Anda di halaman 1dari 5

Cekik Kesialan

Kebisingan pagi itu menjadi tabiat yang pendengaran sering tangkap. Kendaraan, sepatu dan trotoar, setiapnya
melangkah seolah-olah hari esok akan terus datang. Mereka tersenyum, tertawa, berlari, bahkan mengangkat
tangan hanya untuk berbasa-basi. Mereka mengungkapkan masalah sedangkan beberapa yang lainnya tak
mampu. Mengejar bus atau hanya sekedar memesan jasa kendaraan, mereka menghabiskan waktu dengan cara
masing-masing. Yah, selalu...

Satu tahun lagi,

Satu hari lagi,

Lusa,

Dua minggu kemudian,

Dua jam lagi,

Satu menit....

Tidak, angkanya berubah-ubah.

Ryyana tidak paham, angka itu berubah-ubah. Langkah nya tegap meski bukan pemenang. Tubuhnya terlalu
bugar untuk penyakit kronis. Wajahnya terlalu dingin bagi manusia yang menyisakan masa terakhirnya lebih
bahagia. Pemuda itu membuatnya merinding.

Punggung pemuda itu terhenti di hadapan Ryyana, reflek gadis bekerja, entah apa yang membuatnya turut
berhenti. Netra Ryyana beralih pandang pada pemuda itu menuju. Hanya lampu merah dan pejalan kaki, gadis
itu terus mengernyit heran. Hingga dalam sepersekian detik, detak jantungnya memacu kencang. Irama kakinya
memgikuti tiap detik langkah anak berumur lima tahun yang terlepas dari sang ibu. Naas, kecerobohan itu
menghentikan waktu salah seorang manusia. Teriakan sang ibu begitu histeris, yang lain mulai bergegas
menghubungi rumah sakit.

Ini mencekik, pikir Ryyana.

Selesai terkejut, Ryyana membalikkan tubuhnya. Kontak mata tak dapat dihiraukan baik dia maupun pemuda
dengan angka tak beraturan itu. Tatapan berbalas itu menjadi pengertian kecil bagi nya. Pemuda itu menghela
napas, memilih untuk berlalu dengan langkah santai dalam gumaman pelan yang mampu gadis itu dengarkan.

"Mungkin, hanya..., mungkin saja, dì dunia lain, kekuatan terkutuk itu, tak menggelapkan aura
kehidupanmu."

EUFIMISME PLOT

–alur jahat yang diperhalus seakan jatuh satu dengan yang lain, padahal keduanya benar membenci—

(by. s.h)

Bukan sembarang kala Dewa Nemesis dikenali oleh manusia saat itu. Rekaman pijakan kaki akan
membuat gadis itu naik pitam hingga lengah jiwa nya menumpahkan lontaran dari tubuh tak
bertulang tersebut. Beberapa mengatakan, musuh terbaik adalah teman mu sendiri meleraikan
bahwa faktanya musuh terbaik adalah dirimu sendiri.

Bak menjual jiwa kepada serangkaian kemenyan, tubuhnya akan melawan ucapan sang pemimpin
saat itu juga. Seolah anakan lain takkan melakukan hal yang sama. Kejujuran bahwa ibarat dalam
analogi yang ia pikirkan sekarang datang juga.

"Yesi, temuin gue di ruangan HIMA," suara itu mendengung pada pendengarannya.

Semakin mengajak lawan, "gue ga punya urusan sama lo," gadis itu menentang tegas seolah tak
terelakkan hingga kedua jiwa itu akan terus membakar atmosfer yang menyerang. Air wajah yang
tak memikirkan apapun.

Sang lelaki berbalik, langkahnya dipercepat dihadapan berontak, menekankan setiap detik yang
terucapkan, "gue Jose, ketua HIMA FH angkatan kedua puluh empat dan lo kabur dari evaluasi
semalam."

Gadis itu mengencangkan otot wajahnya. Gerahamnya menekan satu sama lain, seakan hari ini
merupakan akhir kakinya bertahan, "dan gue Yesi, koordi acara menolak evaluasi lo dan kating
sampah yang menjadikan ini ajang memijak gue dan segenap anggota koordi gue!"

Yang lainnya menarik ujung garis menantang, seolah berencana memang untuk saling mengulur
dan menggunting benang kesetaraan, "ucap seseorang yang ninggalin anggotanya saat evaluasi. Lo
mau bercanda, kan, si paling peduli."

"Brengsek, lo pikir gue ga tau, lo cegat mereka di depan FIB pas selesai acara bazaar, selain bacot,
perkataan lo munafik," cecar gadis itu tak lagi memikirkan posisi. Minus dua bintang kesopanan
pada kehidupan berkelompoknya saat ini.

Cercaan balas membalas tak berhenti saat itu, dunia juga takkan menghentikan keduanya. Benda
bulat ini akan memusingkan diri dibanding mengingatkan polusi suara yang menganggu semesta.
Meninggalkan jejak kedua insan itu, bukankah cerita ini hanya akal-akalan penulis akan
teriakannya pada isu dunia yang tak berhenti melewatinya.

Yah, hanya melewatinya. Dewa Eros mungkin mulai bermain dengan panahnya, Fortuna akan
menepati janji nya, kala Aphrodite akan terus egois akan kecantikan yang dimilikinya. Faktanya
takkan ada yang merubah hal tersebut. Bahwa manusia hanya akan saling meneriaki satu sama lain
bagai anak kecil yang kehilangan sebuah balon. Berisik!

Saunter
( by s.h)

Tahun1846 . . .

Lentunan klasik, derap langkah tipis anggun. Perbincangan yang selembut sutra meski belitan lidah
tersebut mengecilkan manusia lain. Paripurna area ini bahkan telah menjelaskan berpengaruhnya pesta
kerajaan saat ini.
"Putra mahkota tentu gagah— pangeran adalah orang yang tampan."

"Nona, cerita mulut terkadang tidak dari hati, tetapi dia memang seperti itu— itu rumor, bisa
bisanya mempercayai itu, padahal sudah jelas pangeran jelek."

"Nyonya Vadwins benar juga, kita memang harus memperhatikan ucapan ya— berhati-hati dengan
mulutmu jika yang kau bicarakan juga rumor."

Percakapan bodoh kedua faksi, setidaknya kesimpulan itu didapat dalam ketenangan yang dimiliki gadis
itu saat mengolah pandangan pada tata manisan tersebut. Faksi kerajaan melawan faksi bangsawan.

Memakan manisan itu dengan tenang membuatnya tak menyangka kala sepasang sepatu menepak tepat
disebelahnya.

"Salam sejahtera pada pendeta bulan abu agung, Nona Wistheria Atfirstly," salam seorang pemuda dengan
tenang meski tanpa melakukan gerak salam. Tangannya bergerak meraih salah satu gelas minuman perasa
buah. Yang diberi salam hanya melirik lantas mengangguk perlahan, seolah formalitas hal seperti itu tak
menganggu keduanya.

Wistheria memanjakan pengecap nya kembali sembari menunggu penyambutan pada aula besar ini.
Netranya tak berhenti melihat sajian sembari melirik sepersekian detik matahari kerajaan yang berada
disebelahnya.

"Pendeta, bagaimana dengan ketukan kaki, kekakuan akan membuat acaranya mudah berakhir,
kan ?— pendeta bagaimana jika kita berdansa, menunggu pangeran pertama akan membuat lelah
terlebih dahulu," ajak pemuda yang ditandai Wistheria sebagai salah satu pangeran di kerajaan tersebut,
baik struktur wajah yang mengundang tatapan orang maupun tata krama yang terlihat terjaga.

Jelas Wistheria tahu, keberadaan dirinya di istana saat ini tak lebih dirahasiakan. Tentu saja untuk
menghindari pertanyaan mengenai pesan para dewa pada keturunan matahari raja yang selanjutnya.

"Tidak, saya memilih berada dipinggir selagi menunggu pangeran dan acara dansa dimulai— saya
menolak dan cepatlah kembali sebagai seorang pangeran, tidak menyamar, karena aku ingin segera
pulang." balas Wistheria masih menetap pada posisinya.

Pemuda yang pendeta itu tandai sebagai pangeran putra mahkota hanya terkekeh kecil. Meski tak sadar,
beberapa manusia disana memperhatikan jelas wujud keduanya yang terlihat serasi. Meski dengan
ketidaktahuan hadirin, isi percakapan keduanya tak lebih dari menyuruh yang lainnya untuk tidak saling
merepotkan satu sama lain dalam arti aku tidak peduli.

Menerima bukan kewajiban, Wistheria kembali fokus pada yang dia hadapkan sedaritadi membiarkan sang
pangeran yang saat itu sedang menyamar meninggalkannya.

Meski tanpa pakaian formal sebagai putra mahkota, Wistheria bisa melihat kualitas kain yang dipakai
sebelumnya. Ck,ck, karena terlalu tau, sepertinya kerajaan ini harus memperhatikan Kuil Agung mereka.
Penghasilan pangan bahkan mempengaruhi daerah sekitarnya. Jelas korupsi dan tidak subur.

"Matahari kerajaan, Yang Mulia Anderson Theserrians dan Putra Mahkota Carvalian Theserrians
akan memasuki ruangan."

Pemberitahuan disertai terbukanya bilah pintu menyadarkan para bangsawan yang menatap penasaran,
Wistheria bergerak menjauhi tengah aula hingga menemui pojok aula istana. Tugasnya, tidak lebih
memastikan takdir bulan tak sekadar silap matanya.

Kedua matahari kerajaan menuju singgasana dengan tenang, bahkan sekecil bisikan tak lagi terdengar
setelah Putra Mahkota Carvalian menunjukkan dirinya. Seakan rumor tersebut menguap diudara dan
terbawa oleh sapuan napas hingga menuju langit. Napas para bangsawan tertahan, hingga dalam hitungan
detik, sudut bibir para wanita bangsawan mulai naik.

"Heh? Wajah yang memuaskan ternyata," simpul Wistheria dengan remeh. Semua memang tentang wajah
dan pengaruh di zaman ini. Putra Mahkota Carvalian bahkan sudah memasuki aula sebelumnya, namun
bisa-bisanya wujud pemuda itu bahkan tak terasa diantara para pecinta gelar ini.

Para gadis mulai membenarkan dandanannya, Wistheria hampir tergelak membenarkan hipotesisnya
sendiri. Lantas kembali menatap singgasana, menemukan matahari kerajaan Carvalian yang sedang
menatapnya.

Wistheria mengendalikan arah wajahnya dengan lihai. Sekali lagi, tujuannya cuma memastikan suara dewa
bulan yang didengarkan oleh Pendeta Agung. Mengingat kembali isi, kala melihat kedua matahari tersebut.

Seruan memuja pada matahari kerajaan dengan ranum yang menyesap kemegahan.

Wistheria melihat Raja Anderson yang mengangkat gelas peraknya, wajahnya menyambut dengan
senyuman. Seluruh seakan dipercepat dan diperlambat sesuai ritmenya.

Alunan musik menyandung indah, rentangan waktu yang selesai melanjutkan keramaian.

Raja dan Pangeran mulai kembali turun dan menyusuri aula, para bangsawan memulai salam dan alur
pembicaraan keduanya. Sambutan pra-dansa menyambut keinginan para gadis bangsawan tatkal melihat
Putra Mahkota Carvalian.

Jejak napas mulai teratur, rangkap dari mereka mulai menyusur tengah, alunan lagi berganti dengan
ketukan lebih lembut .

Mata Wistheria dan pengartian takdir didalam pikirannya terus merangkai sesuai yang tertulis. Musik
berganti menjadi lebih ritmis, beberapa diantaranya menunjukkan kemampuan bangsawan sembari
membawa pasangan ke tengah lantai dansa.

Matahari baru menyadarkan ke segala arah akan sesuatu yang memecah pikiran sebelumnya.

Wistheria melihat curiga pada Pangeran Carvalian yang bergerak ditengah keramaian yang dibuatnya.
Netra keduanya tak sengaja beradu, baik Wistheria maupun Carvalian menatap rumit tak memiliki arti.

Pendeta muda itu mulai tersentak kala seseorang menganggu kegiatan sinkronisasinya. Melewatkan detail
penting kepastian dalam suara yang didengungkan dewa dan dituliskan Pendeta Agung.

Seorang cendekiawan. Wistheria hanya memikirkan itu ketika mendengar salam yang disampaikan,
apalagi rangkaian kata yang cendikiawan itu katakan. Seorang cerdas tak berpengalaman.

"Nona terlihat sendiri, jika anda keberatan bolehkah saya bergabung?— sepertinya anda tidak memiliki
pasangan kan?" tanya sang cendekiawan.

Wistheria tidak mengangguk, tak menjawab apapun dan memilih untuk tersenyum. Urusan paham atau
tidaknya, dia adalah seorang cendikiawan, kan?

Dalam beberapa menit, Wistheria tak melihat pergerakan dari sang cendikiawan membuat gadis hampir
menghela napas. Manusia memang tidak boleh terlalu sempurna, jika tidak cendikiawan itu akan
tersinggung memang.

"Bagaimana dengan lantai dansa?" tanpa nilai jelas dan perkenalan sang cendikiawan bertanya dengan
uluran tangannya. Wistheria memuji keberanian manusia disebelahnya, meski sembari mengingat sampai
dimana bagian yang ia hentikan karena kehadiran cendikiawan ini.

Merehatkan diri sejenak Wistheria berpikir untuk mengi—

Lekukan yang seharusnya tak pernah terjadi, tidak akan pernah terjadi. Karena matahari tau waktu
nya untuk terbit, meski tak menganggu tidur mahkluk hidup.

"Permisi, Tuan Cendekiawan Regisan, nona ini milik saya," suara yang disertai cekalan mendominasi
kegiatan mereka saat itu. Salah satu matahari menunjukkan panasnya.

Pangeran mahkota Carvalian, memegang tangan Wistheria. Gadis itu bahkan tak menyadari langkah kaki
dan tatapan saat pemuda itu mendekat pada keduanya. Seolah-olah semua telah terstruk—

Wistheria terdiam, bola matanya membelalak, bagian dari takdir. Tidak salah lagi, gadis itu memasuki
takdir matahari. Baik mahkluk ini ataupun takdir saat ini memang menjebak Wistheria sejak awal.
Wistheria tak menyangka Carvalian dan takdir berjalan seperti udara. Langkah tenang dengan tata krama
yang mengatur usaha.

FIN—

nb: italic dalam percakapan itu makna asli.


bold+italic+underline takdir yang dipastikan

Anda mungkin juga menyukai