Anda di halaman 1dari 5

MIMPI BURUK PENARI

Naskah Teater Monolog Penari


Karya: Rodli TL

Adegan 1

Seorang penari muda menarikan sebuah tarian. Ia sungguh menghipnotis para


penonton dengan kelincahan gerakannya. Ceriah wajahnya bagai rembulan. Penari
mudah itu sungguh asyik menarikan sebuah tarian tradisi jawa. Sebelum berakhir
lampu panggung mendadak gelap dan terjadilah sebuah tragedi yang amat gelap
bagi Penari Muda itu. Musiknya yang rancak seperti menjerit ikuti jeritan penari itu.
Lampunya menyala menyambar seperti kilatan.

Penari Muda

Jangan perkosa aku. Aku seorang penari. Aku bukan pelacur

Beberapa kalimat itu meluncur dalam jeritan penari. dan berakhir dengan jeritan
panjang yang mencekik. Suasana menjadi spontan gelap. Lampu gelap. Cahaya
berhenti menjilat.

Adegan 2

Musik dawai mengalun. Lamat-lamat lampu menyala pada satu titik. Terlihat seorang
perempuan melakukan gerakan ritmis dan lembut. Ia seperti penari topeng, namun
tidak memakai topeng. Pipinya banyak kerutan, namun masih terlihat garis wajah
kecantikannya. Ia memakai kebaya tua. Hanya selendang berwarnah merah dan
kuning yang diikat di pinggangnya yang membuat ia terlihat masih enerjik.

Wanita Tua

(pelan ia berucap) Selendang ini adalah saksi bisu. Tentang hidup seorang penari
pada zamannya. (sedikit bersemangat) He he he . aku ingat ketika malam-malam
itu. Kami para penari dan para pengrawit terus-menerus berlatih untuk
mempersiapkan undangan para petinggi. Sungguh bahagia malam-malam itu.
Musik mulai terdengar. Perempuan tua itu menggerakkan tangan dan tubuhnya
dengan mengikuti alunan musik yang lembut..

Wanita Tua

Malam purnama.
Tergaris lukisan bidadari pada rembulan.
Sedang gemintang itu tertawa riang
Mereka tersenyum menyaksikan bocah-bocah bermain
dan yang tua memainkan tetabuhan.

Semilir angin meliukkan daun-daun.


Seperti seorang penari menggerakkan selendang pada jemarinya.

Berhenti menari. Berjalan ke depan

Wanita Tua

(bersemangat) Sungguh semuanya bahu-membahu menyambut pementasan kami.


Sungguh kami tak merasa kering dengan kesenian. Kadang kami bergantian dengan
kampung-kampung lain untuk saling bertandang adakan pementasan di musim
panen.

Temanku si Lasmi. Ia seringkali menjadi duta untuk memerkan tradisis kebudayaan


kami di daerah tetangga. Tapi kini sudah lama kami tidak bertemu sejak peristiwa itu,
ya sejak peristiwa itu (terlihat sedih)

(tertawa lalu menangis) ya, si Lasmi, gadis termuda dan berbakat di paguyuban
kami yang harus kami selamatkan. Tuhan sungguh sayang pada dia, seperti dalam
firmannya

Sejak peristiwa naas itu ia pergi merantau menjadi TKW. Kami tidak pernah bertemu
memang, namun ia sering berkirim kabar padaku. Ia menjadi pengajar tari dan
menikah dengan seorang pemuda yang baik asal negeri tersebut. Kabar terakhir
yang dikirimkan padaku menceritakan tentang anak-anaknya yang juga suka menari
tari-tarian Jawa.

Nasib Lasmi yang paling baik diantara nasib-nasib kami. Lasmi adalah gadis
termuda di antara kami. Dia adalah satu-satunya gadis yang mujur diantara kami.
Dia memang harus diselamatkan kita yakin, ia yang akan mewarisi tradisi menari.

(musik gamelan dan suara-suara aneh tiba-tiba terdengar bergantian)

(menutup telinga) Asu?ya suara asu. (membuka dan menutupnya lagi)


Bukan, itu bukan suara para penabuh gamelan. Tapi kenapa sekaras itu, kenapa
suara itu semakin melolong. itu suara asu. Jangan-jangan diam! (berteriak sambil
menelungkupkan wajahnya pada lantai)

Teriakan perempuan itu membuat suasana histeris lalu sep sesespi mungkini. Pelan-
pelan perempuan itu menengadahkan ke cahaya temaram. Ia menangis menyesali
nasibnya. Suara tangisanya begitu sendiri.
Wanita Tua

Aku ingat malam itu. Malam itu bukan malam purnama. Malam itu malam perayaan.
Kami dan rombongan sedang menari di hadapan para petinggi. Entah dari mana
awalnya kekacauan itu Tiba-tiba seakan banyak lolongan anjing menerkam tubuh-
tubuh kami. (dialognya diucapkan dengan cepat, gerakannya seperti orang
teraniaya) Kami berontak namun kekuatan kami tidak mampu melawannya. Kami
kalah malam itu. Kami diperlakukan sebagai pelacur, kami diperkosa.

Perempuan itu menangis menjadi-jadi

Kami diperlakukan sebagai pelacur, kami diperkosa

Lampu tetap menyala.


Musik mulai terdengar

Adegan 3

Agak tenang lalu berdiri pelan. Wajahnya masih terlihat ketakutan. Ia berjalan
mengambil posisi lain.

Wanita Tua

Mulai itu, orang-orang memandang kami adalah penari murahan. Kelompok seni
yang tidak memiliki kehormatan. Sungguh kami heran, kenapa kenyataan itu
berubah ketika sesampainya berita itu pada telinga orang-orang kampung. Sungguh
kami tidak bisa berbuat apa-apa.

(berontak) Awalnya teman-teman lain mencoba untuk membela diri. Kami dianggap
melawan. Kami dianggap tidak patuh pada petinggi. Anti kemapanan. Kami dituduh
tidak pro petinggi. Kami kalah, ya kami benar-benar kalah (terlihat lelah.)

Membalik tubuhnya dan berjalan mundur.

Kini semakin tua saya semakin heran, banyak orang-rang yang antipati dengan
nasib ini. Nasib seorang penari yang betul-betul menjadi sampah di negeri sendiri.
Untunglah saya masih punya Lasmi yang tinggal di negeri tetangga, yang masih
peduli dengan nasib temannya seperjuangan. Ia masih sering kirim uang kepada
kami walaupun tidak banyak.

Nasib saya adalah yang paling buruk diantara teman-teman. Mereka masih ada
yang punya sepetak tanah untuk bertahan hidup. Ada yang merantau lalu menikah
dengan pemuda setempat. Tapi aku takut, sungguh peristiwa itu sangat
menghantuiku.

Berjalan dengan semangat menempati posisi lain

(bersemangat) Zaman berubah. Aku yakin nasib saya, nasib seorang penari tradisi
akan berbuah. Hidup ini seperti roda berputar. Ada kalanya menderita, juga ada
saatnya berbahagia. Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian.

Tersenyum namun getir

Pernah kami diundang oleh para petinggi yang mengurusi seni. Saya berfikir pasti
ada perubahan pada diri nasib kami di usia senja ini. Undanagan itu dalam rangka
memberikan apresiasai penari tua seperti saya ini. Tapi itu hanya mimpi. Setelah
kami menari, mereka menyodorkan selembar kertas yang harus kami tanda tangani
untuk menerima upah, namun saya hanya menerima kurang dari separo dari angka
yang tertulis itu. Saya tidak mengerti untuk siapa yang separo. (tertawa getir) Di atas
apa negeri ini dibangun. Penuh dengan intrik dan kebohongan.

(tertawa lebar) Sungguh kami trauma dengan orang-orang berseragam. Kami


menjadi gila menghadapi mereka. Kebobrokan itu ternyata turun menurun. (menjerit
menyesali nasib) kenapa hidup segila ini. Orang-orang yang seharusnya terpercaya
justru pemerkosa.

Saya bisa merasakan apa yang dikatakan Ronggowarsito. Sulit menemukan orang
yang waras di negeri ini (tertawa getir)

Lampu padam. Wanita tua it terus tertawa dalam kegelapan.

Adegan 4

Musik masuk. Lampu mulai menyala. Perempuan itu berjalan ke depan kiri
panggung.

Wanita Tua

Boleh kami menari untuk saudara-saudara. Namun mohon maaf sebelumnya. Saya
tidak bisa menari seeksotis pemuda dan pemudi sekarang. Tarian saya tarian kuno
yang mungkin sudah tidak menarik lagi. Kalau dihargai oleh para petinggi itu, tarian
saya hanya seharga satu gelas air mineral.

Ia mengambil lipatan selendang lalu di taruhnya dilantai berharap ada orang yang
memberi uang dilipatan selendang tersebut. Musik terdengar lalu ia menari ikuti
musik. Cepat tarianya.
Selang beberapa menit, tertengar suara-suara sepatu. Tariannya gugup. Ia terlihat
ketakutan.

Wanita Tua

Orang-orang itu datang lagi. Jangan-jangan mimpi buruk itu terulang. Ya mereka
orang-orang berseragam. Mereka para petinggi sedang kemari. Aku takut. Aku takut
mereka memperkosaku lagi

Jangan perkosa aku. Aku adalah penari. Aku bukan pelacur

Aku takut pada mereka yang berseragam


Aku bukan pelacur
..

Ia berlarian sampai pojok belakang penonton dan terus menangis ketakutan.

Jangan perkosa aku. Aku adalah penari. Aku bukan pelacur

Aku takut pada mereka yang berseragam


Aku bukan pelacur
..
(menangis menjadi-Jadi) mimpi buruk apa lagi yang akan terjadi pada seorang
penari seperti ini..

TAMAT

Lamongan, 18 September 2009

Rodli TL, alumnus teater tiang FKIP Jember, pernah mendirikan kelompok teater
pelajar di SMPN 3 Jember yang bernama STAPEGA. Juga pernah di teater
DOBRAK SMAN Arjasa. Kini hidup bersama sanggarnya Sang_BALA (Kelompok
Belajar Bermain Drama) di Kampungnya Canditunggal Kalitengah Lamongan.
Bersama kelompok tersebut dipercaya mewakili Indonesia di Festival Seni
Internatioanl 2009 untuk seni pertunjukan anak. Ia mendapatkan 2 penghargaan;
karya pertunjukannya menjadi karya terbaik pertama Festival International II dan
sebagai pengajar seni budaya berprestasi dari MENDIKNAS.

Anda mungkin juga menyukai