Adegan 1
Penari Muda
Beberapa kalimat itu meluncur dalam jeritan penari. dan berakhir dengan jeritan
panjang yang mencekik. Suasana menjadi spontan gelap. Lampu gelap. Cahaya
berhenti menjilat.
Adegan 2
Musik dawai mengalun. Lamat-lamat lampu menyala pada satu titik. Terlihat seorang
perempuan melakukan gerakan ritmis dan lembut. Ia seperti penari topeng, namun
tidak memakai topeng. Pipinya banyak kerutan, namun masih terlihat garis wajah
kecantikannya. Ia memakai kebaya tua. Hanya selendang berwarnah merah dan
kuning yang diikat di pinggangnya yang membuat ia terlihat masih enerjik.
Wanita Tua
(pelan ia berucap) Selendang ini adalah saksi bisu. Tentang hidup seorang penari
pada zamannya. (sedikit bersemangat) He he he . aku ingat ketika malam-malam
itu. Kami para penari dan para pengrawit terus-menerus berlatih untuk
mempersiapkan undangan para petinggi. Sungguh bahagia malam-malam itu.
Musik mulai terdengar. Perempuan tua itu menggerakkan tangan dan tubuhnya
dengan mengikuti alunan musik yang lembut..
Wanita Tua
Malam purnama.
Tergaris lukisan bidadari pada rembulan.
Sedang gemintang itu tertawa riang
Mereka tersenyum menyaksikan bocah-bocah bermain
dan yang tua memainkan tetabuhan.
Wanita Tua
(tertawa lalu menangis) ya, si Lasmi, gadis termuda dan berbakat di paguyuban
kami yang harus kami selamatkan. Tuhan sungguh sayang pada dia, seperti dalam
firmannya
Sejak peristiwa naas itu ia pergi merantau menjadi TKW. Kami tidak pernah bertemu
memang, namun ia sering berkirim kabar padaku. Ia menjadi pengajar tari dan
menikah dengan seorang pemuda yang baik asal negeri tersebut. Kabar terakhir
yang dikirimkan padaku menceritakan tentang anak-anaknya yang juga suka menari
tari-tarian Jawa.
Nasib Lasmi yang paling baik diantara nasib-nasib kami. Lasmi adalah gadis
termuda di antara kami. Dia adalah satu-satunya gadis yang mujur diantara kami.
Dia memang harus diselamatkan kita yakin, ia yang akan mewarisi tradisi menari.
Teriakan perempuan itu membuat suasana histeris lalu sep sesespi mungkini. Pelan-
pelan perempuan itu menengadahkan ke cahaya temaram. Ia menangis menyesali
nasibnya. Suara tangisanya begitu sendiri.
Wanita Tua
Aku ingat malam itu. Malam itu bukan malam purnama. Malam itu malam perayaan.
Kami dan rombongan sedang menari di hadapan para petinggi. Entah dari mana
awalnya kekacauan itu Tiba-tiba seakan banyak lolongan anjing menerkam tubuh-
tubuh kami. (dialognya diucapkan dengan cepat, gerakannya seperti orang
teraniaya) Kami berontak namun kekuatan kami tidak mampu melawannya. Kami
kalah malam itu. Kami diperlakukan sebagai pelacur, kami diperkosa.
Adegan 3
Agak tenang lalu berdiri pelan. Wajahnya masih terlihat ketakutan. Ia berjalan
mengambil posisi lain.
Wanita Tua
Mulai itu, orang-orang memandang kami adalah penari murahan. Kelompok seni
yang tidak memiliki kehormatan. Sungguh kami heran, kenapa kenyataan itu
berubah ketika sesampainya berita itu pada telinga orang-orang kampung. Sungguh
kami tidak bisa berbuat apa-apa.
(berontak) Awalnya teman-teman lain mencoba untuk membela diri. Kami dianggap
melawan. Kami dianggap tidak patuh pada petinggi. Anti kemapanan. Kami dituduh
tidak pro petinggi. Kami kalah, ya kami benar-benar kalah (terlihat lelah.)
Kini semakin tua saya semakin heran, banyak orang-rang yang antipati dengan
nasib ini. Nasib seorang penari yang betul-betul menjadi sampah di negeri sendiri.
Untunglah saya masih punya Lasmi yang tinggal di negeri tetangga, yang masih
peduli dengan nasib temannya seperjuangan. Ia masih sering kirim uang kepada
kami walaupun tidak banyak.
Nasib saya adalah yang paling buruk diantara teman-teman. Mereka masih ada
yang punya sepetak tanah untuk bertahan hidup. Ada yang merantau lalu menikah
dengan pemuda setempat. Tapi aku takut, sungguh peristiwa itu sangat
menghantuiku.
(bersemangat) Zaman berubah. Aku yakin nasib saya, nasib seorang penari tradisi
akan berbuah. Hidup ini seperti roda berputar. Ada kalanya menderita, juga ada
saatnya berbahagia. Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian.
Pernah kami diundang oleh para petinggi yang mengurusi seni. Saya berfikir pasti
ada perubahan pada diri nasib kami di usia senja ini. Undanagan itu dalam rangka
memberikan apresiasai penari tua seperti saya ini. Tapi itu hanya mimpi. Setelah
kami menari, mereka menyodorkan selembar kertas yang harus kami tanda tangani
untuk menerima upah, namun saya hanya menerima kurang dari separo dari angka
yang tertulis itu. Saya tidak mengerti untuk siapa yang separo. (tertawa getir) Di atas
apa negeri ini dibangun. Penuh dengan intrik dan kebohongan.
Saya bisa merasakan apa yang dikatakan Ronggowarsito. Sulit menemukan orang
yang waras di negeri ini (tertawa getir)
Adegan 4
Musik masuk. Lampu mulai menyala. Perempuan itu berjalan ke depan kiri
panggung.
Wanita Tua
Boleh kami menari untuk saudara-saudara. Namun mohon maaf sebelumnya. Saya
tidak bisa menari seeksotis pemuda dan pemudi sekarang. Tarian saya tarian kuno
yang mungkin sudah tidak menarik lagi. Kalau dihargai oleh para petinggi itu, tarian
saya hanya seharga satu gelas air mineral.
Ia mengambil lipatan selendang lalu di taruhnya dilantai berharap ada orang yang
memberi uang dilipatan selendang tersebut. Musik terdengar lalu ia menari ikuti
musik. Cepat tarianya.
Selang beberapa menit, tertengar suara-suara sepatu. Tariannya gugup. Ia terlihat
ketakutan.
Wanita Tua
Orang-orang itu datang lagi. Jangan-jangan mimpi buruk itu terulang. Ya mereka
orang-orang berseragam. Mereka para petinggi sedang kemari. Aku takut. Aku takut
mereka memperkosaku lagi
TAMAT
Rodli TL, alumnus teater tiang FKIP Jember, pernah mendirikan kelompok teater
pelajar di SMPN 3 Jember yang bernama STAPEGA. Juga pernah di teater
DOBRAK SMAN Arjasa. Kini hidup bersama sanggarnya Sang_BALA (Kelompok
Belajar Bermain Drama) di Kampungnya Canditunggal Kalitengah Lamongan.
Bersama kelompok tersebut dipercaya mewakili Indonesia di Festival Seni
Internatioanl 2009 untuk seni pertunjukan anak. Ia mendapatkan 2 penghargaan;
karya pertunjukannya menjadi karya terbaik pertama Festival International II dan
sebagai pengajar seni budaya berprestasi dari MENDIKNAS.