Anda di halaman 1dari 4

Nama : Agesti Siwi Prabantari

NIM : B0216003

Kelas : A

Apresiasi Pentas Teater ‘Malam Pertama’

Mahasiswa Sastra Indonesia yang mengambil mata kuliah penyutradaraan melakukan


pentas teater di Taman Budaya Jawa Tengah dengan membawakan naskah dari Yukio Mishima
yang berjudul ‘Malam Terakhir’. Pemain dalam teater tersebut ialah Desita sebagai Komachi
seorang wanita tua, Wahid sebagai Penyair, Rico sebagai gelandangan, serta beberapa pemeran
pembantu lainnya. Pimpinan produksi dari pentas tersebut juga mahasiswa Sastra Indonesia
angkatan 2015 yang bernama Bella. Pentas teater yang disutradarai oleh Budi Bothot menurut
saya masih memiliki beberapa kekurangan. Sebelum saya menyebutkan kekurangan-kekurangan
dari pentas tersebut alangkah baiknya saya sedikit menceritakan jalan cerita dari pentas teater
tersebut. Cerita yang akan saya tulis ini berdasar dari apa yang saya tangkap.

Naskah ini bercerita tentang seorang wanita tua yang bernama Komachi. Komachi ini
bernampilan layaknya gelandangan, suatu hari ia bertemu dengan penyair di sebuah taman kota
yang sepi akan pengunjung remaja. Percakapan demi percakapan terjadi antara penyair dan
Komachi. Penyair itu mengatakan kepada Komachi bahwa sepinya pengunjung remaja di taman
kota itu disebabkan oleh dirinya yang seringkali datang ke taman kota dengan penampilan yang
sangat buruk dan membuat para remaja yang akan memadu kasih merasa takut ataupun
terganggu dengan kedatangan Komachi. Komachi yang merasa dirinya baik-baik saja dan tidak
ada yang salah dengan dirinya tidak terima dengan ucapan si penyair, kemudian ia mengatakan
kepada si penyair jika dirinya dulu sangatlah cantik. Bahkan Komachi mengklaim jika
kecantikannya begitu terkenal di penjuru kota itu. Tentu saja melihat keadaan Komachi yang
sekarang si Penyair tidak lah percaya dengan apa yang dikatakan oleh Komachi.

Saya kurang memahami tentang adegan ini, namun saya akan tetap menjelaskan berdasar
apa yang saya tangkap. Sebelumnya diceritakan bahwa penyair tidak percaya dengan cerita
Komachi yang mengklaim dulunya ia adalah seorang gadis yang cantik. Pada adegan ini
diceritakan diadakannya sebuah pesta dansa yang dihadiri oleh Komachi dan penyair serta
pemain pembantu yang berperan sebagai tamu di pesta tersebut. Dalam pesta tersebut seperti ada
sebuah keajaiban, si penyair akhirnya dapat melihat kecantikan Komachi, tidak hanya si penyair
namun beberapa pengunjung juga mengatakan hal tersebut. Tidak sedikit yang mengatakan
bahwa dirinya adalah yang tercantik. Dansa pun dimulai, Komachi dan si penyair menjadi
pasangan dansa yang paling diagungkan pada malam itu. Tamu yang lain juga mengatakan
bahwa komachi dan si penyair adalah pasangan yang cocok dan terlihat begitu serasi jika
bersama. Diceritakan juga bahwa Komachi terlihat bahagia pada malam itu di pesta dansa. Laki-
laki yang menghadiri pesta dansa tersebut juga mengatakan bahwa banyak sekali lelaki yang
mendekati Komachi dan menginginkan dirinya untuk dijadikan pendamping hidup. Namun,
semua lelaki yang telah mengungkapkan cinta kepada Komachi berakhir tidak menyenangkan,
semua lelaki itu meninggal tanpa sebab.

Pesta dansa tersebut berakhir dengan kebingungan yang melanda di penyair. Ia


mengatakan bahwa kejadian yang baru saja terjadi begitu ajaib bagi dirinya. Percakapan antara
Komachi dan si penyair berlanjut. Si penyair tidak dapat menahan pesona dari Komachi,
akhirnya ia jatuh cinta dan begitu tergila-gila dengan Komachi. Penyair tersebut berusaha untuk
mengatakan kepada Komachi tentang dirinya yang begitu terposan dengan dirinya dan betapa
jatuh cintanya si penyair terhadap Komachi. Namun Komachi dengan keras melarang si penyair
mengatakan hal tersebut karena jika si penyair mengatakan hal itu, penyair tersebut akan
kehilangan nyawanya dan Komachi tidak ingin hal tersebut terjadi. Sangat disayangkan si
penayir akhirnya mengatakan kepada Komachi tentang perasaannya, tidak lama, penyair itu
akhirnya meregang nyawa. Komachi tidak begitu menyesal dengan kejadian tersebut karena
dirinya telah berusaha mengingatkan si penyair.

Dalam pentas tersebut juga ada peran gelandangan yang menurut saya itu hanya sebuah
pencair suasana untuk pentas. Karena cerita yang dipentaskan ini terbilang serius sehingga
dihadirkan tokoh yang mencairkan suasanya. Namun kehadiran tokoh pencair suasana tidak lah
suatu kewajiban dalam pentas itu semua tergantung sutradara yang menangani. Dan menurut
saya kehadiran tokoh tersebut yang diperankan oleh Rico sangat lah menghibur karena sedari
tadi saya mencoba memahami cerita tersebut dan berusaha mengambil amanat dari cerita yang
dipentaskan itu.
Pemeran Komachi dalam pentas ini secara keseluruhan terbilang bagus dan memukau
meskipun ada beberapa kekurangan yang saya rasakan. Saya akan memulai dari hal-hal yang
bagus terlebih dahulu. Pertama, hal yang paling membuat saya terkagum-kagum oleh pemeran
Komachi ada pada make upnya. Make up yang menempel pada wajah pemeran Komachi
menurut saya sangat berkarakter, begitu pula dengan kostum beserta rambut palsunya. Vokal
pemeran Komachi masih mampu menjangkau di tribun penonton bagian depan meskipun kadan
kurang stabil; kadang keras, kadang juga terdengar lemah vokalnya. Selain itu, ada juga
kekurangan yang saya rasakan dari pemeran Komachi. Menurut saya pemeran Komachi ketika
sedang berada di panggung kurang lepas seperti ada beban yang akhirnya membuat saya yang
menontonnya merasa tidak nyaman. Entah perasaan saya atau memang si pemeran Komachi
dalam keadaan yang seperti saya katakan sebelumnya.

Saya juga memiliki beberapa pendapat tentang pemeran penyair. Tentu saja tiap pemeran
memiliki penilaian yang baik dan buruk, namun untuk pemeran penyair saya lebih condong ke
pendapat yang buruk. Berbeda dengan pemeran Komachi, pemeran penyair menurut saya kurang
dapat penjiwaannya, menurut saya pemeran penyair terlihat begitu kaku. Terlebih lagi ketika ia
harus melakukan adegan meninggal, disitu pemeran penyair kurang natural dalam melakukan
adegan yang mengharuskan dirinya terlihat sedang kesakitan. Untuk make up dan kostum yang
digunakan oleh pemeran penyair saya akui sudah cukup bagus. Untuk vokal pemeran penyair
dapat dibilang cukup keras. Bahkan begitu jelas terdengar di tempat saya duduk.

Selanjutnya adalah pendapat saya mengenai pemeran-pemeran pembantu. Ada beberapa


pemeran pembantu yang menurut saya bagus dalam memerankan tokoh, namun juga ada yang
memerankannya begitu kaku. Selain itu adegan dansa yang dilakukan oleh pemeran-pemeran
pembantu ada beberapa yang terlihat ‘kurang latihan’ sehingga dansa antara seorang perempuan
dan seorang lelaki terlihat begitu canggung. Selain itu untuk Eka sebagai pemeran pembantu
vokalnya begitu lemah, saya kurang bisa mendengar apa yang ia bicarakan. Untuk vokal
pemeran pembantu yang lain saya rasa sudah cukup bagus, bahkan ada beberapa pemeran
pembantu yang vokalnya begitu kuat seperti Rere dan Gibran. Untuk kostum yang digunakan
oleh pemeran pembantu yang melakukan adegan dansa sangat pas untuk suasana pesta di malam
hari, begitu pula dengan make up yang memoles wajah para pemeran pembantu wanita.
Selain pemeran pembantu yang beradegan menari dansa, ada juga pemeran pembantu
yang memerankan sebagai pelayan. Ada dua orang pemeran pelayan. Jujur saja saya sangat tidak
setuju dengan kostum yang digunakannya, karena kurang menunjukkan bahwa ia adalah seorang
pelayan. Dan pemeran pelayan gerak dan geriknya begitu terburu-buru ketika menyajikan
makanan dan minuman kepada tamu dansa.

Amanat yang saya dapat dari cerita tersebut ialah kita tidak boleh mendewakan perasaan
cinta tanpa memikirkan resiko yang ada. Dengan kita lain kita tidak boleh memiliki obsesi yang
berlebihan akan suatu hal karena dapat membuat kita kehilangan akal.

Anda mungkin juga menyukai