Anda di halaman 1dari 2

Biola Tak Berdawai

Biola Tak Berdawai bisa dibilang adalah salah satu film terbaik yang pernah dibuat di Tanah Air. Film keluaran tahun 2003 yang disutradarai oleh Sekar Ayu Asmara dan dibintangi oleh antara lain Ria Irawan, Nicholas Saputra, dan Jajang C. Noer. Lagu-lagu dalam film ini juga tidak dibuat oleh sembarang orang. Lagu-lagu dalam film ini dibuat oleh Addie MS, dan dimainkan dengan apik oleh Victorian Philharmonic Orchestra. Tidak heran film ini bersinar di dunia film Tanah Air, maupun internasional. Di ajang dalam negeri, seperti Festival Film Bandung, film ini menyabotase enam piala dari tujuh nominasi, termasuk musik Terpuji garapan Addie MS. Dalam MTV Indonesian Movie Awards, film ini juga turut bersinar dengan masuk empat dari lima nominasi Most Favourite. Sementara di dunia internasional, film ini meraih aktris terbaik di ajang Festival Film Asia Pasifik, aktor dan musik terbaik di ajang Bali International Film Festival, dan Naguib Mahfouz Prize dalam ajang Cairo International Film Festival 2003. Sekarang ini pun, sudah beredar novel adaptasi dari film ini yang dinilai cukup sukses dalam penulisannya. Cerita film ini berpusat pada kehidupan Renjani (Ria Irawan), seorang mantan penari balet, yang berhenti setelah ia diperkosa, hamil, dan akhirnya mengaborsi kandungannya. Ia pun berniat untuk membuang masa lalunya dengan pindah ke Yogyakarta. Di sana ia membuka panti asuhan untuk anak-anak cacat, bernama Ibu Sejati. Kemudian ia mempekerjakan seorang dokter anak yang sangat filosofis terhadap sifat manusia dan juga pandai membaca kartu tarot, bernama Mbak Wid (Jajang C. Noer). Suatu hari, seorang anak bernama Dewa (Dicky Lebrianto) yang mengalami distorsi otak dan tuna wicara datang ke panti asuhan itu. Renjani mengasuh Dewa dengan sepenuh hati, bahkan sampai menganggapnya seperti anak kandungnya sendiri. Lama setelah itu, ia kemudian menemukan bahwa Dewa dapat merespon musik dan tarian. Akhirnya Renjani membawa Dewa ke sebuah resital biola. Di resital biola itulah, Renjani dan Dewa bertemu Bhisma (Nicholas Saputra), yang ternyata adalah salah satu performer dalam resital tersebut. Dari situlah, hubungan Renjani, Dewa, dan Bhisma semakin dekat, sampai akhirnya Renjani dan Bhisma jatuh cinta satu sama lain. Bhisma kemudian membuatkan sebuah lagu untuk Dewa, berjudul Biola Tak Berdawai, dan berjanji memainkannya untuk Renjani di resital biola. Akan tetapi, nasib berkata lain. Renjani mendadak kritis sesaat sebelum berangkat ke resital tersebut. Ia dilarikan ke rumah sakit, dirawat selama seminggu, sebelum akhirnya ia meninggal karena kanker rahim yang dideritanya akibat aborsi yang sembarangan. Di akhir cerita, ditunjukkan Bhisma dan Dewa mengunjungi makam Renjani. Bhisma kemudian memainkan lagu ciptaannya di makam Renjani untuk menepati janjinya, dan pada akhirnya Dewa dapat mengucapkan sebuah kalimat untuk Renjani. Film ini memiliki banyak daya tarik. Dari segi musik, tidak diragukan lagi, lagu-lagu dalam film ini sangat enak didengar dan penuh makna. Misalkan saja lagu Biola Tak Berdawai, yang juga dimainkan di bagian credit film ini. Selain itu, film ini juga berbeda dari film-film Tanah Air yang didominasi film horor dan komedi berbau seks. Film ini mengusung nilai-nilai yang memang berlaku dalam kehidupan manusia, dan mengemasnya dengan penuh makna dan nilai seni. Kualitas akting para aktor dan aktris yang berpartisipasi dalam film ini juga sudah tidak dipertanyakan lagi. Sebagian besar karakter utama dalam film ini diperankan oleh wajah-wajah yang tidak asing lagi di dunia perfilman Indonesia, seperti Ria Irawan, Jajang C. Noer, dan Nicholas Saputra. Akting Dicky Lebrianto sebagai Dewa yang bisu dan cacat mental pun juga terbilang sukses.

Akan tetapi, sesempurnanya film ini, tentu masih ada beberapa hal yang mengganjal dalam film ini. Film ini menjelaskan banyak sekali hal, namun di saat yang sama, banyak hal yang dipertanyakan penonton belum terjawab. Banyak sekali adegan yang sebenarnya tidak perlu diperpanjang, namun diberikan porsi yang lebih. Sebut saja adegan ketika Renjani mengalami sakit di perutnya ketika ia sedang tidur. Padahal dengan menunjukkan selama beberapa detik saja, penonton akan segera mengerti bahwa Renjani mengalami sakit yang amat sangat. Namun ketika adegan tersebut diperpanjang menjadi satu menit lebih, maka penonton akan mulai bosan dan kehilangan fokus dari film tersebut. Di sisi lain, ketika Renjani menghanyutkan perlengkapan menari baletnya ke laut, masih ada penonton yang bertanyatanya mengenai kenapa dan apa alasan di balik peristiwa itu, namun adegan sudah dipotong, dan penonton dibawa ke babak baru dalam film itu. Hal lain yang agak mengganjal adalah intro yang terlalu panjang. Di bagian pembukaan, banyak credit yang ditampilkan, diiringi dengan instrumen biola, padahal credit tersebut akan ditampilkan kembali di akhir film. Credit tersebut sebenarnya dapat dipersingkat untuk menampilkan nama aktor dan aktris, sutradara, produser, dan hal-hal lain yang esensial saja, daripada malah membuat penonton menunggu lama sebelum cerita mulai bergulir. Referensi cerita kepada cerita perwayangan juga menyulitkan penonton. Memang benar, cerita menjadi lebih artistik dengan perbandingan kisah alur utama dengan epos Mahabharata, dan sebagainya. Namun, bagi penonton awam yang tidak mengikuti cerita-cerita epos semacam itu, malah menyulitkan untuk memahami cerita tersebut. Misalkan ketika tokoh Drupadi disebut-sebut, sebagian penonton yang tidak pernah mendengar epos tersebut, mungkin mulai bertanya-tanya siapa itu Drupadi, bagaimana karakternya, mengapa dikaitkan dengan tokoh dalam film ini, dan lainnya. Dan karena tidak terjelaskan lebih lanjut, akhirnya tanda tanya tersebut terus dibawa penonton sampai akhir film. Hal terakhir yang juga mengganggu adalah dialog yang dibuat puitis, namun akhirnya malah membuat beberapa bagian film terasa dibuat-buat. Dibandingkan dengan zaman sekarang, bahasa yang digunakan masyarakat dalam keseharian berbeda jauh dengan dialog puitis yang digunakan dalam film ini. Misalkan kalimat [...] adalah teka -teki yang [...] yang diulang-ulang oleh Mbak Wid dengan subyek dan kata sifat yang berbeda-beda. Kalimat-kalimat puitis ini menjauhkan penonton dari masa kini, karena di masa kini, dalam bahasa sehari-hari, penggunaan kalimat-kalimat puitis yang diulang-ulang sudah sangat jarang. Akan tetapi, dengan segala kekurangannya, film ini tetap pantas menerima berbagai penghargaan tersebut. Film yang unik ini, walau masih memiliki hal-hal yang mengganjal, dapat menginspirasi manusia untuk tidak menyerah, untuk saling mengasihi dalam berbagai keadaan, dan untuk menghargai orang-orang yang mendedikasikan dirinya untuk mengasuh anak-anak yang dibuang oleh orang tuanya karena cacat, baik cacat mental, maupun fisik. Film ini juga menunjukkan, bahwa tanpa berdamai dengan masa lalu dan diri kita sendiri, kita tidak akan pernah bisa melangkah ke masa depan yang lebih baik. .Angeline. .Debora. .Deviana. .Prisilia. ~XII-IPA~

Anda mungkin juga menyukai