Anda di halaman 1dari 11

Ulasan Artikel Jacques Lacan: Feminism and the Problem of Gender Identity

ditulis oleh Ellie Ragland-Sullivan

Kelompok 2 Lacan

Gio Pramanda Galaxi 20/470115/PSA/19860


Lussy Albayinnah 20/470116/PSA/19861
Selvi Triana Lestari 21/475966/PSA/19879
Septriana Parlianti 21/486179/PSA/19967
Dini Puji Agustini 21/486790/PSA/19994

Ringkasan

Artikel ini membahas tentang penerapan teori psikoanalisis Lacan yang digunakan
untuk menyorot wacana feminisme dan permasalahan mengenai identitas gender yang
istilahnya sendiri sudah mencuat ke permukaan pada tahun 1960-an, yaitu pada saat
feminisme memasuki gelombang keduanya. Seperti yang sudah dipahami, gelombang
feminisme kedua ini menyorot isu-isu seperti kesetaraan gender di mata hukum dan secara de
facto, permasalahan seksualitas, kesetaraan dalam masalah pekerjaan, dan juga hak-hak untuk
bereproduksi. Di dalam artikel ini, Ragran-Sullivan secara khusus dan mendetail membahas
tentang proses teoretis mengenai permasalahan seksualitas. Ia mengkritisi tokoh feminisme
yang menurutnya keliru dalam memahami teori Lacan ketika mencoba menghubungkannya
dengan wacana feminisme, dan tokoh yang dimaksud adalah Luce Irigaray yang menuduh
teori psikoanalisis sebagai bias maskulin karena individu disebutkan terjebak di fase phallus,
dan keberatan serta kekeliruan Irigaray yang lain juga disebutkan Sullivan di artikel ini.
Selanjutnya, Ragran-Sullivan menghadirkan tokoh-tokoh lain yang mendukung kritiknya
terhadap Irigaray tadi, misalnya filsuf Perancis bernama Jean-Marie Benoist, Frederic
Jameson, dan John Berger. Di bagian akhir dari paruh ke dua artikel ini, Ragran-Sullivan
menjabarkan beberapa state of the arts yang ia ajukan, sebagian didasarkan pada opresi yang
dialami wanita, dan sebagiannya lagi menyorot penawaran Sullivan terhadap basis teoritis
Lacan yang digunakan untuk membaca feminisme, dan terakhir alasan di balik
kecenderungan anak perempuan dalam mengidentifikasikan dirinya dengan seperangkat
peran gender yang tradisional. Di bagian akhir, Ragran-Sullivan menutupnya dengan
ungkapan optimis terhadap usaha feminisme untuk mengubah tatanan sosial dan lingusitik di
masa mendatang.

Isi Artikel

Lacan menawarkan teori psikoanalisis yang didasari oleh metafora paternal dan
struktur Oedipal yang selanjutnya dimanfaatkan untuk mengelaborasi konsep-konsep
inovatifnya, seperti Phallus, Castration, Desire, dan jouissance. Tentu saja, Lacan
mengeklusikan konsep mitos dan biologi di dalam pengembangan teorinya. Lebih lanjut,
Lacan menyertakan intervensi ketiga di dalam konsep struktur anak-dan-ibu, yaitu Law of the
Name-of-the-father (keberadaan ayah). Menurut Lacan, identitas seksual tidak didasarkan
oleh gender biologisnya, atau faktor-faktor internal lain, tetapi dipengaruhi oleh dinamika
pengidentifikasian dan campur tangan dari bahasa. Di dalam pemahamannya, Ragrand-
Sullivan menyebutkan bahwa terdapat dua sistem makna yang termaktub di epistemologi
Lacan, yakni makna bahasa dan makna yang ditimbulkan dari wacana ketidaksadaran.

Ragran-Sullivan dengan tegas menyebutkan bahwa penghubungan langsung antara


struktur Oedipal yang digagas Lacan ke ranah biologis melalui konfigurasi tubuh, gender,
pengalaman seksual merupakan suatu kesalahpahaman besar dalam memahami istilah yang
Simbolik dan juga representasinya. Disebutkan pula bahwa efek dari neksus Oedipal adalah
menjadikannya sebagai penentu asumsi mengenai seksualitas, yang mana seksualitas itu
sendiri dikorelasikan dengan identitas dan bukannya gender. Selanjutnya, disebutkan bahwa
krisis Oedipal tidak disebabkan oleh keinginan seorang anak untuk memiliki ibunya secara
seksual tetapi ketika si anak memahami peraturan seksual yang ada di dalam masyarakat.
Namun, krisis itu akhirnya mereda ketika peraturan-peraturan yang ada diterima dan
dijalankan. Peraturan inilah yang disebut oleh Lacan sebagai tatanan Simbolik. Perlu diingat
bahwa, istilah simbolik di sini bukan berarti bentuk representasi dari entitas yang
tersembunyi, melainkan dimaksudkan untuk menjelaskan tatanan di dalam kehidupan yang
meliputi bahasa, kode-kode dan konvensi budaya. Tugas utama dari tatanan simbolik ini
adalah untuk membedakan sekaligus memediasikan antara pengalaman-pengalaman tak
terbahasakan (tatanan imajiner) dengan kejadian yang nyata (tatanan Riil).

Di salah satu seminarnya, Lacan menganjurkan kaum wanita untuk menulis ‘Beyond
the Phallus’, hal itu disampaikan Lacan dalam konteks bahan candaan yang kemudian tidak
ditanggapi dengan baik oleh para feminis. Namun, Ragrand-Sullivan secara pribadi meyakini
bahwa pikiran-pikiran Lacan memberikan kunci penting untuk memahami proses sosialisasi
dan simbolisasi yang telah membentuk spesifikasi wanita selama bertahun-tahun.

Identitas struktural yang dibentuk di dalam pemahaman teori Lacan adalah Desire dan
Law. Menurut Lacan, identitas tidak diturunkan dari kecenderungan yang bersifat genetis dan
juga bukan terbentuk dari rangkaian perkembangan neuro-fisiologis, dan juga bukan produk
dari perseteruan antara paksaan budaya dan biologis, bukan juga bentuk arketipe kolektif.
Identitas terbentuk dari komposit gambar-gambar dan efek-efek, yaitu representasi mental,
yang diperoleh dari dunia luar dari kehidupan awal seorang individu, yang juga
dikembangkan dengan menghubungkan Desire sebagai bentuk kesadaran dan Law sebagai
bentuk kepatuhan terhadap peraturan sosial.

Bayi manusia melampaui ketidakberdayaan dan ketidakcukupannya melalui


penyatuan dengan Ibu dari pemberian makan dan perawatan dini. Ibu menjadi pusat identitas
yang tidak dimiliki bayi dengan berperan sebagai bentuk cermin yang dengannya bayi
mengidentifikasi secara mimetis. Lacan menyebut periode antara usia enam dan delapan
belas bulan ini sebagai tahap cermin. Sekitar delapan belas bulan mulai mengenal bahasa dan
kehadiran ayah yang melarang bayi bergabung dengan Ibu. Sehingga mulai merasa
keterpisahan yang disebut Lacan sebagai penanda phallus atau metafora paternal. Memainkan
kata-kata Prancis non dan nom, Lacan mengatakan bahwa nama ayah tampaknya berarti
“tidak.” Bahasa kemudian bekerja untuk memperkuat perintah phallus untuk diferensiasi
dengan menawarkan kemungkinan substitusi sebagai kompensasi atas hilangnya spontanitas
alami.
Pembelajaran diferensiasi psikis dari Ibu sangat menyakitkan sehingga Lacan
menggambarkan pengalaman itu sebagai Pengebirian; yaitu, bayi merasa tidak lengkap,
patah, hommelette. Bayi menekan rasa sakit karena perpisahan, dan juga menginternalisasi
penanda phallus. Lacan beri nama Desire: ketidakcukupan struktural dalam subjek manusia
yang mendorong individu untuk berjuang selamanya, untuk mencari cara baru untuk
mengkompensasi hilangnya unsur ilusi psikis kesatuan. Lacan menyamakan Keinginan
dengan libido, tetapi menempatkan sumbernya sebagai kekurangan pada Yang Lain
kekurangan yang berusaha untuk mengatasi dirinya sendiri daripada dalam dorongan biologis
atau seksual. Ketika individu semakin teralienasi ke dalam aturan dan norma yang objektif
dari bahasa, kode, dan hukum sosial, dan semakin jauh dari rasa kesatuan diadik pra-Oedipal,
mereka merasakan keinginan dalam keberadaan yang tidak eksistensial, tidak nyata, atau
metafisik, atau material. Jouissance dalam ilusi keutuhan yang merupakan karakteristik dari
periode pra-phallus Jouissance, berarti orgasme, atau pelepasan ketegangan seksual murni
yang dialami dalam kesenangan. Menjadi kesenangan sementara yang diberikan oleh
pengakuan dari orang lain, pengganti dari Yang Lain yang asli.
Meskipun makna khusus yang melekat pada struktur keinginan dan hukum bervariasi
menurut pengalaman pribadi dan konteks sejarah, pengalaman itu sendiri membentuk sejarah
dan lintasan pribadi. Jadi, yang harus dihadapi oleh kaum feminis bukanlah struktur kelas,
atau patriarki semata, melainkan proses tahap cermin di mana subjek manusia mengambil
bentuk dan fiksasi esensialnya. Lacan menggambarkan pilihan yang diberikan kepada setiap
anak adalah individualitas melalui pengebirian psikis yaitu, mempelajari perbedaan dengan
keterasingan ke dalam bahasa, konvensi sosial, dan aturan atau yang lain, kegagalan untuk
mengembangkan identitas yang memadai untuk fungsi sosial. Kita segera melihat bahwa
Hukum Lacanian adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, itu “menyelamatkan” orang dari
dominasi Ibu, tetapi di sisi lain menzalimi karena sewenang-wenang dan buatan.
Irigaray melihat tatanan Simbolik Lacanian sebagai wilayah musuh, diperintah oleh
patriarki. Ini adalah perintah yang harus ditentang jika perempuan ingin mendapatkan
kebebasan kekhususan mereka sendiri. Tetapi Irigaray membaca Lacan secara ideologis dan
substantif, dan karena itu menuduhnya membuat pernyataan yang menentukan. Dengan
menyamakan penanda phallus dengan patriarki, ia memperkuat konsep secara biologis
sedemikian rupa sehingga Phallus = penis = laki-laki. Tapi dia hanya kembali ke
determinisme biologis yang lebih tua dengan menyiratkan bahwa laki-laki dan perempuan
memiliki atribut psikis "alami" sesuai dengan gender. Dengan gagal melihat bahwa penanda
phallic secara intrinsik netral, tidak berarti dalam dirinya sendiri, dan hanya mengambil
kekuatannya dari asosiasi yang dikatalisasi dalam drama Oedipal, Irigaray tidak mengerti
bahwa Lacan menggambarkan penyebab pertama, bukan menyetujuinya.
Dalam Speculum de lAutre femme (1974) Irigaray menuduh psikoanalisis “bias
maskulin”, ditangkap dalam fase Phallus, dan menyamakan seksualitas perempuan dengan
keibuan. Dalam Ce Sexe qui n'eti es/ Jun un (1977) dia menggambarkan Lacan sebagai
seorang sinis yang mencari keuntungan, yang memperoleh kesenangan, kekuatan, dan cinta
dari menjadi seorang Guru. Dalam penolakannya terhadap teori Lacanian tentang penentuan
falus dari takdir seksual seorang anak, Irigaray memperlakukan tahap cermin sebagai laki-
laki secara implisit. Cerminnya menjadi versi terbaru dari topos filosofis yang raison d’etre-
nya adalah untuk menghargai kesamaan dan visibilitas, katanya." Dalam kasus Lacan, standar
kesamaan adalah Phallus. Irigaray bertanya: "Dan sejauh menyangkut organisme, apa yang
terjadi jika cermin tidak mengungkapkan apa pun? Tidak ada seks, misalnya, seperti yang
terjadi pada gadis kecil itu. Meskipun Irigaray tidak menawarkan persepsi “lain” di
Speculum, dia mengajukan beberapa gagasannya sendiri di Ce Sexe. Dia menyimpulkan
bahwa teori Lacan tentang penetapan Phallus identitas seksual adalah homoseksual dengan
mengesampingkan yang lain, dengan heteroseksualitas hanya sebagai bentuk homoseksual
perantara dalam pertukaran perempuan di antara laki-laki. Sebagai mengagalkan untuk
ekonomi seksual phallus, dia mengusulkan kehalusan dan kelenturan wanita, perlawanannya
yang lemah.

Penggambaranya tentang tahapan Mirror Stage Lacan, sebagai yang paling awal
dalam tahapan sejarah yang menekan para kaum wanita, Irigaray membuat tahapanya sendiri
menjadi literasi dan biologis. Konsep Lacan diatas dianggap sebagai proses mimetik yang
muncul dalam hubungan antarsosial dengan atau tanpa mirror. Mirror stage
merepresentasikan visual suatu kesatuan yang diidentifikasi oleh infant sebagai kontras dari
kekacauan dari dalam akibat ketidakmatangan kemampuan motorik dan neurologi saat lahir
sampai beberapa bulan selanjutnya. 6 bulan pertama, seorang anak melebur terus menerus
persepsi tentang gambar dan objek dari dunia luar yang kemudian menjadi fantasi yang tidak
tersampaikan. Lacan menunjukan persepsi primodial dengan menggunakan matematika
simbo Frege 0. Ketika seorang anak mengidentifikasikan dengan bentuk manusia-yaitu
ibunya dan dan kepemilikanya di dalam cermin, hal ini sudah melampaui kognitif 0-1.
dengan mengidentifikasi pusat kesatuan diluar dirinya dengan menjadikan orang lain menjadi
dirinya, persepsi manusia tentang perbedaan di awali berdasarkan kebohongan-pemisahan
atau kesenjangan-yang nantinya berakibat pada produksi dobel seperti pada fenomena
doppelganger, sampai disintegrasi badan. Dalam kehidupan orang dewasa penekanan pada
tahapan mirror stage membuat orang tidak merasa "satu" dengan diri mereka sendiri. Dan
viktimisasi ini oleh wacana lain yang berfungsi sebagai pusat yang direpresi keberadaanya,
menghantui laki-laki dan juga perempuan

Kebingungan Irigaray muncul dalam mirror stage usia 6-18 bulan dari Gestalt dengan
menetapkan Phallic sebagai identitas seksual yang muncul sesudah Mirror Stage. Yang
membuatnya lalai akan hal terpenting untuk teori feminisme dalam hal ini: yaitu,
epistemologi Lacan sebagai upaya untuk menghilangkan sesuatu yang dianggap mitos
penyebab dasar dan perbedaan kepribadian sexual. Penjelasanya tentang struktur patriarki
bukanlah dukungan ideologi untuk mempertahankan perintah tersebut. Yang utama adalah
efek kebingungan atas fungsi organ seksual dan gender muncul sesudahnya yang di solidkan
lewat bahasa, mitos dan dianggap kebenaral natural. Montrenay, seorang psikoanalisis dari
Prancis telah menggunakan teori Lacan untuk menyatukan bahasa dengan organ tubuh;”
Kebingungan dan kebetulan; pendengaran sangat dekat dengan mata sebagai penglihatan,
yang dilihat anak sebagai mata- telinga, lubang yang menganga, Kebingungan soal organ
tidak hanya memberikan kita gambaran akan tetapi kolusi dengan jouissance.

Filsuf Prancis Jean-Marie Benoist telah menggambarkan phallic atau Oedipal


berfungsi sebagai operator semantiko-sintaksis dari Desire atau keinginan. Sebagai
ketidakhadiran - yaitu sebagai figur atau metaforis - operator alam bawah sadar, penanda
phallic menjebak subjek secara simbolik, mengajarkan batasan batasan tentang keinginan.
Hal ini bersamaan dengan belajar bahasa dengan begitu mengkaitan Logos dengan keinginan
dan hukum atau peraturan.

Mirror stage ditandai dengan penyatuan, gambaran kooperatif dengan korespondensi


diri, lebih kurang dengan tubuh sang ibu. Perlahan anak mengidentifikasi dengan objek yang
diinginkan oleh Ibu. Berharap semua untuknya, sang anak berharap dirinya menjadi penanda
keinginan Ibu. Akan tetapi, karena sang anak tidak mengetahui apa sebenranya keinginan si
ibu, penanda pertama yang nyata adalah bagaimana menyenangkan ibunya. Seorang anak
mulai menyadari bahwa bagaimanapun dia berusaha tidak benar benar memuaskan ibunya.
Hal ini mengantarkan anak pada konsep otherness yaitu sang ayah. Ayah adalah methaphoric
atau penanda asli yang menandakan larangan, pertama Tahapan pertama ibu menjadi
mediator lahirnya keinginan dan peraturan, bahwa seorang anak tidak bisa memenuhi semua
keinginan ibunya.

Setelah menyadari keberadaan diri dalam cermin seorang bayi menyadari hal lain
berkaitan dengan ibunya. Phallus adalah imaginary object, hanya objek imaginer. Castration
adalah tahap kesadaran, kita bukan lagi mencari cinta pada diri ibu, tapi kepada orang lain,
teman dan lainya. Masih ada phallus hole atau lubang phallus di dalam dirinya, masih
mencari sesuatu yang lebih.

Lacan mengkritisi teori linguistik Saussure dengan mengatakan teorinya kekurangan


konteks. Bahasa itu bukan yang seperti Freud percayai yaitu suara yang diterima begitu saja,
namun mencakup semua jaringan yang efeknya menciptakan kesan dan reaksi, lalu
menghubungkan makna dan label, yang pada akhirnya terhubung dengan jaringan tahap
cermin.

Bahasa menurut Lacan tidaklah statis dan transparan dalam mengungkap makna
tersembunyi. Bahasa itu buram, tidak jelas maknanya, dan kesulitan untuk mewujudkan
pengalaman dan simbol-simbol dari Yang-Nyata (the Real) dan Yang-Imajiner (the
Imajinary), yang kemudian hanya bisa diperkirakan karena secara instrinsik bersifat
representasional. Ketika para filsuf menempatkan mereka dalam kesadaran pikiran dan
bahasa, Lacan malah menempatkan makna bawah sadar sebagai sebuah bahasa yang
maknanya lebih dari apa yang dikatakannya. Apa yang psikoanalisis Prancis tawarkan kepada
teori feminisme adalah gambaran dari penempatan laki-laki dan perempuan dalam struktur
sejarah, simbolisasi, dan makna.

Lacan melihat struktur Oedipal itu problematis, sebagai manifestasi dari upaya
manusia untuk memosisikan dirinya terhadap efek the Real, melalui interpretasi budaya.
Ketika bayi manusia lahir dengan kemampuan penerimaan informasi yang canggih, untuk
membantunya memproses informasi, membutuhkan sebuah identitas representasional.
Dengan kehadiran bahasa, identitas ini terbelah menjadi bagian tertindas, dan bagian yang
berkembang dalam bahasa. Ide Lacan tentang kehilangan, kekurangan, mengacu pada
ketertindasan the Other (ibu) dimana suara, pesan, Hasrat, tubuh, dan gambaran fiksinya
dibangun melalui masa kanak-kanak untuk mengembangkan sistem makna bawah sadar.
Dalam kesadaran, level bahasa, struktur Oedipal hadir untuk mengatur peran gender, dan
membedakan fungsi peran laki-laki dan perempuan.

Dalam esainya yang berjudul "God and the jouissance of Woman" Lacan mengatakan
bahwa kata-kata secara historis telah menggambarkan seorang laki-laki sebagai a tout atau
lengkap, sedangkan perempuan digambarkan sebagai pas-toute atau tidak lengkap. Seperti
misalnya penanda falus memberikan arti yang memisahkan laki-laki dengan perempuan.
Laki-laki akan dilihat sebagai standar gambaran kelengkapan, sedangkan perempuan sebagai
kekurangan. Namun, pemaknaan arbitrer dari perbedaan peran gender ini bukan hanya
sebuah penerimaan fiksi, tapi juga kekeliruan dari fungsi falus. Penanda falus mengacu
kepada sebuah ketidakutuhan, perbedaan, sesuatu yang lain, dan faktanya dimiliki oleh
bahasa pas-tout. Tapi mengapa identifikasi falus itu merujuk pada tout atau laki-laki yang
menjadi sosok yang utuh? menurut Sullivan, selaku penulis paper ini, hal itu terjadi karena
kehilangan atau sesuatu yang berkekurangan selalu diasosiasikan dengan perempuan sebagai
The Other (yg lain). The Other ditindas seperti the Real atau bawah sadar primordial Other
dan hal tersebut secara permanen terhubung dengan ketertindasan, penolakan, kehilangan
"kebenaran" dalam keberadaan.
John Berger mengatakan bahwa "penyelidik perempuan dalam dirinya adalah laki-
laki". Maksudnya ketika perempuan menyelidiki tentang dirinya sendiri menggunakan sudut
pandang laki-laki. Sejauh tatanan Simbolik memberikan nilai pada penanda dan menentukan
keberadaan laki-laki dan perempuan dalam skala hierarkis yang asimetris, apa yang dikatakan
Berger itu benar. Tetapi yang lebih mendasar dari sudut pandang laki-laki di dalam mata
perempuan, adalah sudut pandang perempuan di dalam diri kita semua. Jadi, sudut pandang
perempuan dalam melihat dirinya sendiri itu yang terpenting untuk Lacan. Dengan demikian,
Lacan menggambarkan perempuan sebagai kebenaran bahkan menyebutnya sebagai Wajah
Tuhan (the face of God) karena ketika perempuan berbicara, dia tidak meletakkan dirinya
sebagai seseorang yg superior atau inferior, tapi karena bahasa dan mitos yang entah
bagaimana menafsirkan kehilangan pada keberadaan sosok perempuan.

Untuk mengamati sejarah opresi perempuan, penulis menawarkan sebuah konsep


yang disebut dengan kastrasi ganda (double castration). Kastrasi yang pertama (primer) itu
dimana kedua belah pihak, laki-laki maupun perempuan mengalami kehilangan dan
mendapatkan ketidaksadaran (setelah keluar dari tatanan imajiner) yang kemudian
membentuk kepribadian sosial dalam tatanan simbolik. Kastrasi yang kedua (sekunder)
adalah struktur simbolik yang menyebabkan posisi perempuan dilihat sebagai sesuatu yang
tidak sempurna dapat dijelaskan dan dibahasakan.

Maskulinitas dilihat sebagai pelarian dari feminin, penolakan terhadap rasa sakit
kehilangan dan Castration (Pengebirian). Pada saat yang sama, tahap cermin dilihat sebagai
prinsip yang terinternalisasi dari sensualitas, sehingga mengangkat isu seksualitas perempuan
ke tingkat yang problematis baik bagi laki-laki maupun perempuan. Perempuan ditakuti
sebagai penggoda, dilihat sebagai objek seks, atau diidealkan sebagai ibu, nilai utamanya
berada dalam wujud fisiknya. Menyebarluasnya persamaan feminin dengan seksual
menjelaskan, sebagian, mengapa feminis mengancam ekonomi seksual di mana identitas
gender didirikan.

Menurut penulis, perempuan yang mengidentifikasi dirinya dengan ibunya dalam


garis gender atau peran tradisional, adalah mereka yang menghindari kastrasi primer—yaitu,
perbedaan dan pemisahan psikis dari ibu—dan akhirnya menjadikan mitos sebagai kastrasi
sekunder. Laki-laki cenderung dipaksa untuk mengidentifikasi dirinya di luar ranah ibu.
Maka dari itu, perempuan dan laki-laki sebenarnya tetap tunduk pada sebuah struktur
simbolik. Dalam hal ini Feminisme, seperti struktur falus, dapat memberikan gambaran
tentang perbedaan, kelainan, pemisahan.

Lacan berpendapat bahwa salah satu dari banyak fungsi bahasa adalah untuk
mengimbangi divisi psikis yang dialami melalui perpecahan Oedipal. Meskipun tidak ada
hubungan satu-ke-satuan antara "bahasa" sadar dan tidak sadar, pengalaman bawah sadar
seseorang nantinya akan mengatur penggunaan bahasa mereka dalam intensionalitas yang
tidak terlihat. Meskipun intensionalitas yang menginformasikan struktur wacana ini tidak
terkait seks dan tatanan patriarki. Dari segi wacana, perbedaan anatomi merupakan korelatif
dari penggunaan bahasa yang berbeda. Artinya, gender mencirikan dirinya dengan cara
tertentu ke dalam wacana umum sebagai posisi diri terhadap metafora paternal. Seharusnya
tidak mengherankan, dari sudut pandang ini, bahwa banyak kritikus sastra feminis telah
menemukan bahwa penulis perempuan "berbicara" dalam bahasa yang berbeda dari rekan-
rekan laki-laki mereka.
Kode tatanan simbolik dan deskripsi linguistik berubah sepanjang waktu. Ketika
realitas ekonomi dan sejarah baru terus mencerminkan perubahan peran seks, dan
kemungkinan gender, makna sekunder yang melekat pada pengebirian mencerminkan
realitas baru. Perubahan seperti itu menimbulkan banyak pertanyaan di benak. Lacan
tidak pernah mengatakan, seperti yang dilakukan Freud. Lacan juga tidak mengaitkan
kekhususan gender perempuan, seperti yang dilakukan Heinz Kohut, dengan
perkembangan biologis alami.
Dalam seminar kedua (1954-55) Lacan mengajarkan bahwa "beyond the pleasure
principle" adalah prinsip pengulangan, atau desakan yang otonom. Pengulangan
identitas, dan memproyeksikan kebenaran teks bawah sadar ke layar hubungan yang
lain. Pengulangan memberikan subjek manusia yang terbagi rasa kesatuan dan
keteguhan melalui koherensi hubungan dan pemahaman linguistik yang telah ditetapkan
sebelumnya (Séminaire N, hal. 222). Dalam istilah teoretis Lacan sendiri, kekuatan
feminis akan terletak pada arah mengganggu sejarah pengulangan lainnya, menabur
perpecahan di antara kode-kode sosial standar, praktik dan linguistik umum, serta
dengan mengubah struktur hubungan objek. Upaya Irigaray untuk menciptakan bahasa
yang sesuai dengan apa yang disebutnya sebagai “law of feminine” tentu merupakan
salah satu langkah ke arah itu.
Sebagai kesimpulan, saya menyampaikan bahwa upaya feminis untuk mengubah
tatanan sosial, linguistik menghadapi sebuah dilema. Meskipun identifikasi tahap cermin
dan diferensiasi phallus tidak ditentukan secara biologis sepanjang garis seksual, efeknya
dapat diprediksi. Jika Lacan benar, maka kita tahu apa yang harus direstrukturasi. Dan
bukan dengan menggulingkan patriarki dan kapitalisme, manusia akan memperoleh
kebebasan keinginan seperti yang diramalkan Deleuze dan Guattari, juga bukan bahwa
kaum feminis akan memberantas phallocratic. — yaitu, berbasis kekuasaan — nilai-nilai
bahkan jika mereka hidup secara eksklusif dalam kelompok perempuan. Untuk setiap
kelompok mengembangkan struktur phallocratic-nya sendiri, karena pengakuan dan
kekuasaan dibutuhkan di dalam struktur subjek manusia itu sendiri. Maka, dalam konteks
Lacanian, tidak akan ada hari esok egalitarianisme komunis yang akan menghapus struktur
kekuasaan, dan tidak ada utopia di mana nilai-nilai superior perempuan akan menggantikan
nilai-nilai reputasi seorang laki-laki.

Catatan:

Dari pembacaan terhadap Artikel Jacques Lacan Feminism and the Problem of Gender
Identity, kelompok kami menyimpulkan bahwa artikel tersebut memiliki kelebihan dan
kekurangan. Beberapa kelebihan dan kekurangan tersebut adalah sebgai berikut.

Kelebihan:

1. Penulis menjabarkan kritik terhadap pemikiran Irigaray dengan menyertakan


pandangan tokoh lain, pijakan argumennya lengkap.
2. Penulis sangat kreatif ketika menuliskan Yang-Lain dengan tulisan (m)Other, yang
juga bisa digunakan untuk memaknai eksistensi Ibu di dalam paradigma Lacan.
3. Penulis memberikan kontribusi pemikiran dengan menawarkan konsep-konsep baru
untuk menjelaskan hubungan teori psikoanalisis Lacan dengan feminisme.
4. Artikel ini memberikan kritik secara partikular kepada pemikiran Luce Irigaray dan
menuai perspektif yang apik dalam uraiannya yaitu dengan tidak hanya menjabarkan
kekeliruan pemikiran Irigaray terhadap teori Lacan namun juga memberikan apresiasi
kepadanya.

Kekurangan:

1. Penulis terlalu panjang menjelaskan poin-poin Lacan secara umum, sebelum akhirnya
masuk ke bagian konsep yang dikritik oleh Irigaray.
2. Penulis hanya menyebutkan keberatan Irigaray saja tanpa mengangkat konsep-konsep
lain yang dipermasalahkan oleh feminis yang lain. Sehingga di sini, poin Irigaray
kalah telak.

Anda mungkin juga menyukai