Anda di halaman 1dari 20

Slavoj Sizek dan Pembentukan

Identitas Subjektif Melalui Bahasa


Politik identitas dewasa ini kian menjadi tantangan teori-teori kebudayaan. Dengan mengendurnya pertarungan ideologis antara liberalisme dan sosialisme dengan
keruntuhan Uni Soviet, kini panorama kebudayaan dunia ditandai dengan mengerasnya perseteruan antar kelompok yang identitasnya dikonstitusikan oleh ciri-ciri
primordial seperti etnis, agama, dan keyakinan kultural. Situasi ini menghadirkan tantangan tersendiri terhadap teori kebudayaan Marxis. Apabila lazimnya pendekatan
Marxis berpatokan pada analisis kelas sosial dalam masyarakat, agaknya dalam kasus politik identitas analisis semacam itu tak sepenuhnya berhasil menjelaskan duduk
perkaranya. Pasalnya, politik identitas kerap tampil dalam asosiasi-asosiasi yang lintas-kelas, dan karenanya tampak tak terstruktur oleh logika kelas sosial. Hal ini
menghadirkan permasalahan bagi pendekatan Marxis yang secara tradisional bertopang pada analisis kelas.
Namun teori kebudayaan Marxis tidak hanya dibangun di atas analisis kelas yang sifatnya ekonomis. Dalam hal kebudayaan, Marx juga memberikan analisis menarik
tentang ideologi dan pemberhalaan (fetisisme) yang pada akhirnya mencerminkan hubungan sosial tertentu dalam masyarakat. Dalam masyarakat kapitalis, komoditas
tampil sebagai kumpulan barang yang dihasilkan oleh investasi modal dan pada gilirannya menghasilkan akumulasi modal. Komoditas, karenanya, tampil sebagai berhala;
asal-usul sosialnya seolah lenyap. Ideologi komoditas semacam ini dibongkar oleh Marx dengan menunjukkan bahwa hubungan komoditas sejatinya menyamarkan
hubungan sosial antar kelompok sosial dalam masyarakat sejauh komoditas merupakan objek yang dihasilkan lewat kerja manusia. Apa yang sejatinya merupakan
hubungan antar manusia tampil seolah sebagai hubungan antar benda mati. [1] Inilah efek ideologi sebagai kesadaran palsu, yakni sebagai potret terbalik tentang kenyataan.
Dengan analisis semacam ini, Marx membukakan jalan bagi teori ideologi dan kritik ideologi yang berkembang dalam ilmu-ilmu sosial-budaya di kemudian hari.
Pendekatan kultural semacam itu jugalah yang belakangan banyak berkembang dalam filsafat Marxis kontemporer. Slavoj Žižek adalah Marxis asal Slovenia yang banyak
mengembangkan pendekatan seperti itu. Ia menggunakan percampuran antara pendekatan Marxis tentang ideologi dan pendekatan psikoanalisis Jacques Lacan yang
berpusat pada perkara bahasa. Hasilnya adalah suatu pendekatan tentang konstruksi ideologis tentang subjek melalui bahasa. Pandangan inilah yang akan penulis kupas
dalam artikel ini. Paparan dalam artikel ini akan disusun ke dalam tiga bagian.  Pertama, penulis akan menguraikan teori Lacan tentang formasi kesadaran-diri melalui
bahasa, khususnya teori tentang hubungan antara tiga aras kesadaran: imajiner, simbolik, dan Riil.  Kedua, penulis akan mengupas pembacaan Žižek tentang Lacan yang
merekonstruksinya dalam aras teori kebudayaan dan konstruksi identitas melalui bahasa.  Ketiga, penulis akan menunjukkan beberapa kekurangan dari pendekatan Žižek
dalam menjawab problem identitas.
Teori Lacanian tentang Fase Imajiner, Simbolik, dan Riil
dalam Formasi Kesadaran-Diri

Lacan merumuskan teorinya tentang fase imajiner,


simbolik, dan Riil secara berurutan dalam tiga tahap
pemikirannya. Pada mulanya adalah penemuan fase
imajiner pada 1936. Selanjutnya adalah perumusan
fase simbolik pada 1953. Terakhir ialah sketsa tentang
fase Riil pada 1954. Kita akan mendekati teori
Lacanian itu secara selaras dengan alur penemuannya.
Lanjutan
Kontribusi pertama Lacan terhadap kajian psikoanalisis telah dimulai dengan presentasinya dalam
kongres ke-XVI Asosiasi Psikoanalisa Internasional tahun 1936 di Marienbad. Judul presentasi itu
adalah “1) Stadium Cermin” (“Le stade du miroir”). Stadium inilah yang nantinya dimengerti
Lacan sebagai yang-Imajiner—suatu ranah sebelum ego mengerti bahasa. Tujuan utama Lacan pada
fase ini adalah untuk mengklarifikasi pengertian psikoanalisis tentang narsisisme.[2] Artinya, ranah
problematik dari teori tentang “stadium cermin” ini adalah problem identifikasi diri. Fase cermin, bagi
Lacan, terjadi sejak bayi mencapai usia enam bulan. Pada tahap ini, sang bayi belum dapat
mengkoordinasikan seluruh anggota tubuhnya ke dalam fungsi terpadu. Ia belum mampu
mendiferensiasikan dirinya dan dunia di sekitarnya—dengan kata lain, ia belum mengerti dirinya.
Pengertian tentang diri ini didapat melalui citra (imago) tentang dirinya di hadapan “cermin” —tentu saja,
cermin ini dapat dimengerti tak hanya secara harfiah melainkan juga secara metaforis, misalnya dalam
bayangan di permukaan air atau refleksi-diri sang bayi di mata ibu. Dengan kata lain, diri diperoleh
melalui persepsi tentang citra visual (l’image speculaire) tentang dirinya
Lanjutan
Apa yang dilihat oleh sang bayi di cermin adalah Gestalt atau
sebuah totalitas diri yang eksterior.[3] Itulah sumber identifikasi-diri atau
basis formasi ego sang bayi.
Sementara sang bayi menemukan dirinya dalam tubuh yang terfragmentasi
secara fungsional, ia pada saat yang sama menemukan “diri-Ideal”-nya
dalam cermin. Melalui citra cermin itulah diri terbentuk, namun diri yang
terbentuk itu terbelah antara diri dan citra-diri—persis karena diri itu
dibentuk melalui citra-diri. Sang bayi menemukan dirinya di dalam citra-
dirinya di cermin. Artinya juga, “la premiere connaissance de soi est
méconnaissance”: pengertian pertama tentang diri adalah salah-pengertian.
 Bagi Lacan, di sinilah terjadi keterasingan pertama manusia, yaitu ketika
identitas-diri dikonstitusikan oleh sesuatu yang eksternal atau asing
terhadap diri itu sendiri—citra-diri.[4] 
Itulah sebabnya, Lacan menulis: “Keterasingan bersifat konstitutif terhadap
tatanan imajiner. Keterasingan adalah yang-imajiner itu sendiri.”[5]
 Singkatnya, yang-imajiner adalah ranah di mana ego terbelah antara dirinya
dengan citra tentang dirinya sebelum ia terintegrasikan sepenuhnya dalam
struktur bahasa.
Ketaksadaran, Bahasa, dan Formasi Tahap
Kesadaran Simbolik
Kontribusi kedua Lacan mengemuka dalam apa yang dikenal sebagai “Wacana Roma”, yakni
ceramah panjang yang ia berikan dalam kongres Institut Psikologi di Universitas Roma pada
1953.[6] Pada waktu itulah ia memperkenalkan suatu konsep psikoanalisis tentang tatanan
simbolik (symbolique). Konsep ini diambil-alih Lacan dari aplikasi Lévi-Strauss atas
strukturalisme linguistik Ferdinand de Saussure ke dalam ilmu kemanusiaan secara umum.
Melalui konsep ranah simbolik ini, Lacan hendak memetakan wilayah ketaksadaran manusia.
Yang dimaksud Lacan dengan ranah simbolik adalah struktur penandaan atau bahasa.
Ide tentang kesebangunan antara ketaksadaran dan bahasa ini terkenal dalam ungkapan Lacan
bahwa “ketaksadaran terstruktur seperti bahasa.”[7] Mengapa demikian? Alasannya pertama-
tama adalah karena ketaksadaran merupakan wilayah hasrat manusia dan, kedua, karena hasrat
selalu merupakan hasrat orang lain yang diinternalisasikan ke dalam kita melalui tuturan,
nasihat, sindiran, ekspektasi—singkatnya, melalui bahasa. Itulah sebabnya Lacan mengatakan
bahwa hasrat “mesti dirumuskan sebagai hasrat yang-Lain [désir de l’Autre] sebab ia pada
mulanya merupakan hasrat dari apa yang dihasrati yang-Lain [désir de son désir].”[8]Ambil
contoh: dalam modus produksi kapitalis seperti sekarang ini, kita menghasrati laptop terbaru
karena penanda tentang ketrendian yang ditawarkan oleh iklan bersinergi dengan pemujaan atas
ketrendian yang terdapat dalam lingkungan pergaulan sosial kita—artinya, hasrat kita
akan laptop adalah, pada dasarnya, hasrat orang lain tentang sesuatu yang ditandai
oleh laptop itu, yakni ketrendian. Dengan ini kita dapat menarik persamaan antara ranah
simbolik, wilayah ketaksadaran, dan jaringan hasrat.
Lanjutan
Melalui contoh di muka kita juga dapat melihat secara implisit
bahwa struktur hasrat adalah struktur hukum, atau lebih tepatnya,
hukum dari yang-Lain yang menuntut kita untuk mengkoordinasikan
hasrat kita sesuai dengan perintahnya. Keidentikan antara struktur
hukum dan struktur hasrat inilah yang dirumuskan oleh Lacan,
dengan acuan pada karya Freud, Totem dan Tabu, melalui istilah
“nama-sang-Ayah” (nom du Père).[9]Konsep ini juga diolah Lacan
dari analisis antropologis Lévi-Strauss tentang “larangan inses” atau
larangan bagi pernikahan sedarah yang bagi Lévi-Strauss sama
tuanya dengan usia peradaban itu sendiri. Melalui “larangan inses”
ini terlihat bahwa hasrat dikanalisasi melalui hukum atau dengan
kata lain difabrikasi melalui bahasa. Hukum ini pula yang disebut
oleh Lacan, dalam Seminaire III, sebagai yang-Lain Besar (le Grand
Autre): yang-Lain dalam bentuknya yang umum dan abstrak, yang
misalnya disimbolkan melalui Tuhan atau hukum adat.[10]
Lanjutan
Melalui internalisasi hukum hasrat inilah, bagi Lacan, subjek terlahir. Dan senada dengan
keidentikan struktur hasrat dan hukum tadi, kelahiran subjek pun ditandai oleh keterbagian secara
internal, yakni antara subjek-yang-menyatakan (subject of statement) dan subjek-yang-mengutarakan
(subject of enunciation). Kedua istilah yang diambil Lacan dari teori linguistik ini—yakni pernyataan
dan pengutaraan—dipakainya untuk menjelaskan perbedaan tingkat kesadaran dan ketaksadaran
dalam laku berbahasa: subjek-yang-menyatakan adalah suatu kondisi ketika subjek
menyatakan secara sadar apa yang ada dalam pikirannya kepada orang lain, sementara subjek-yang-
mengutarakan adalah landasan tak-sadar dari pernyataan itu, yakni makna tak-sadar dari pernyataan
tersebut.[11] Maka sebuah pernyataan yang diutarakan subjek dapat berarti lain jika ditilik dari
intensi tak-sadarnya. Inilah yang disebut Lacan sebagai subjek-terbagi (barred subject), yang
dinotasikan Lacan dengan simbol $. Artinya, dalam tindak berbahasa sehari-hari pun seorang subjek
selalu dibimbing oleh yang-Lain persis karena ketaksadaran—yang menjadi sumber asali dari setiap
laku berbahasa—merupakan wilayah operasi yang-Lain melalui struktur penandaan.
Lanjutan
Dalam ranah simbolik, subjek selalu dikonstitusikan oleh negativitas, yakni apa yang disebut Lacan
sebagai ‘kekurangan’ (lack ; manque). Dalam ranah penandaan, setiap penanda selalu mengacu pada apa
yang ditandainya. Oleh karenanya, setiap penanda selalu merupakan kekurangan-akan-petanda, dan
sebangun dengannya, hasrat selalu merupakan kekurangan-akan-kepuasan. Itulah sebabnya Lacan
berbicara tentang “kekurangan yang tak terpuaskan dalam penanda”.[12] Lacan merumuskan relasi
kekurangan dalam subjek ini dengan notasi $ ◊ a, yang artinya: subjek-yang-terbagi menghasrati “a”.
Apakah “a” itu ? Itu adalah notasi Lacan untuk apa yang ia sebut sebagai “objek a kecil” (objet petit a),
yakni sebuah detail dalam objek yang membuat subjek menghasrati objek—sesuatu yang disebut Lacan
sebagai sesuatu yang “ada dalam dirimu lebih ketimbang dirimu sendiri”.[13] Karena objek kecil di
dalam objek inilah yang membuat subjek menghasrati objek, maka Lacan menyebut objet petit a ini
sebagai “objek-penyebab hasrat”. Namun “objek a kecil” ini tak pernah dapat sepenuhnya direngkuh oleh
subjek, persis karena ia tak tersimbolisasikan, ia tak dapat direpresentasikan melalui bahasa, sementara
hasrat—seperti yang sudah kita lihat—senantiasa mengandaikan struktur bahasa untuk
mengartikulasikan-dirinya. Ambil contoh: kita mencintai seseorang yang karena ada sesuatu yang ada
dalam dirinya yang secara tak terjelaskan menimbulkan hasrat kita, namun ketika kita berhasil
mendapatkan cinta orang itu terasa ada yang hilang darinya atau kita merasa tak semenggebu-gebu dulu
lagi—yang hilang itu tak lain adalah objek-penyebab hasrat itu sendiri. Objek ini, dengan demikian, tak
dapat dimengerti sebagai objek dalam pengertiannya yang biasa, bahkan—dalam arti tertentu—ia
adalah materialisasi objektif dari kekurangan yang ada dalam subjek.
Yang Riil dan Keterbatasan dalam Bahasan
Apa itu yang-Riil? Bagaimana membahasakan sesuatu yang, per definisi, di luar
bahasa? Dalam seminarnya pada 1954, Lacan menerangkan bahwa jika yang-
simbolik selalu ditandai oleh negativitas, kekurangan, absensi, maka yang-Riil
sebaliknya: “Tak ada absensi dalam yang-Riil.”[16] Apabila sesuatu direpresi dalam
ranah simbolik, maka sesuatu itu dapat muncul kembali sebagai halusinasi dalam
ranah yang-Riil.[17] Namun halusinasi di sini tak boleh diartikan secara populer,
yakni sebagai fenomena ilusi subjektif belaka. Yang-Riil bukanlah ranah subjektif
psikologis semata, melainkan juga realitas dalam artinya yang paling material.[18]
Konsep tentang yang-Riil dalam Lacan, oleh karenanya, bersifat ambigu—ia
memiliki arti yang mendua dan nampak kontradiktif: di satu sisi, ia internal dalam
subjek, namun di sisi lain, ia juga tak kurang riil dalam dunia material-konkret yang
eksternal terhadap subjek. Secara spasial, Lacan mendeskripsikan yang-Riil dengan
neologisme yang ia ciptakan, ‘ekstimasi’ (extimité), yakni gabungan antara kata
‘eksterior’ (exterieur) dan ‘intimitas’ (intimité).[19] Dengan kata lain, yang-Riil
berada di dalam sekaligus di luar. Ia menggambarkannya dalam ilustrasi teori
topologi dalam matematika, yakni tentang Pita Mobius (bande de moebius).
Lanjutan
Situasi inilah yang digambarkan Lacan—mengikuti Freud dan Heidegger—dengan
istilah ‘kecemasan’ (l’angoisse ; Angst ; anxiety) yang dibedakannya dari
‘ketakutan’ (peur ; Furcht ; fear). Apabila rasa takut selalu memiliki objek,
sebaliknya, kecemasan tidak mengandaikan objek : L’angoisse […] est une crainte
sans objet, “kecemasan adalah suatu kegelisahan tanpa objek”.[14] “Objek” dari
kecemasan ini adalah “objek a kecil” yang, seperti telah kita lihat, bukan objek
dalam arti yang biasa persis karena objek itu bagian dari subjek itu sendiri. Apabila
hasrat selalu muncul dari kekurangan, maka kecemasan muncul dari kekurangan
yang paling radikal, yakni kekurangan atas kekurangan. Dalam kecemasan, sang
subjek telah mendapatkan objek yang dihasratinya namun justru perasaan “telah
mendapatkan” ini membuatnya rindu atas perasaan kekurangannya yang terdahulu,
rindu pada “objek a kecil” yang lenyap itu. Dengan kecemasan ini pula, Lacan
hendak menunjukkan bahwa ada sesuatu yang lebih mendalam ketimbang ranah
simbolik—sesuatu yang menjadi sumber sesungguhnya dari “objek a kecil” yang
tak tersimbolisasikan itu. Sesuatu itu adalah apa yang ia sebut sebagai yang-Riil
dan Lacan mengatakan: “Kecemasan adalah tanda akan yang-Riil”.[15]
Lanjutan
Dalam Pita Mobius ini kita menyaksikan sebuah bidang
geometris di mana hanya terdapat satu permukaan—tak ada
permukaan luar dan permukaan dalam. Itulah yang
dimaksudkan Lacan dengan ekstimasi yang-Riil, yakni ia
berada dalam suatu ranah di mana yang-subjektif (atau internal)
dan yang-objektif (atau eksternal) menjadi tak terbedakan lagi.
Yang-Riil, dengan demikian, adalah landasan dari yang-
imajiner dan yang-simbolik namun sekaligus pada-dirinya tak
dapat diketahui. Artinya, setiap upaya identifikasi melalui
kerangka bahasa, setiap upaya identifikasi simbolik, akan selalu
gagal mencapai kepenuhan makna sebab selalu ada yang tersisa
dan tak terbahasakan. Yang-Riil, karenanya, menandai batas-
batas identifikasi simbolik
Apropriasi Žižek Terhadap Lacan: Teori tentang Formasi
Ideologis atas Identitas melalui Bahasa
Berikut kita akan melihat bagaimana pengertian Lacanian tentang triade
imajiner-simbolik-Riil direkonstruksi oleh Žižek menjadi batang tubuh teori
kontemporer tentang konstruksi ideologis atas identitas melalui bahasa. Oleh
karena itu, kita akan berfokus pada konsep subjek Žižekian, yakni soal cara
formasi subjek dalam kacamata psikoanalisis-Marxis Žižek.
Sejak awal karir pemikirannya, Žižek telah berkutat dengan persoalan subjek.
Ini dapat kita lihat dalam karya pertamanya dalam bahasa Inggris, The Sublime
Object of Ideology.[21] Kendati begitu, puncak refleksinya tentang formasi
subjek dapat kita temukan dalam karya besarnya, The Ticklish Subject.
Keseluruhan buku ini dijiwai oleh semangat merehabilitasi subjek Cartesian—
sesuatu yang bagi Žižek hendak didestruksi habis-habisan oleh para filsuf
kontemporer sejak Heidegger.[22] Melawan kecenderungan umum ini, Žižek
mengupayakan rehabilitasi atas subjek Cartesian melalui reinterpretasi
atasnya: tidak untuk kembali pada konsep cogito Descartes sebagai aku yang
memahami realitas dari “titik tolak keabadian” (sub specie aeternitatis),
melainkan untuk mengeksplisitkan dimensi negativitas kreatif yang inheren di
dalam subjek Cartesian—sesuatu yang tak disadari oleh Descartes sendiri. [23]
Kekurangan Konstitutif dalam Identitas
Untuk mengeksplisitkan dimensi negatif tersebut, Ži. Karenanya, tidak ada kebenaran dan makna absolut yang
dapat diraih manusia. Konsekuensi dari pembacaan Heidegger ini nantinya terejawantah di dalam filsafat
pascamodern sebagai “peminggiran terhadap subjek” (decentering of the subject). Subjek tidak lagi dianggap
sebagai masalah utama dalam filsafat. Sebabnya, subjek hanyalah efekyang tercipta dari konfigurasi sejarah
dan lokalitas tertentu. Tidak ada lagi subjek universal yang dapat mengakses makna yang sama secara
universal.
Žižek memperlihatkan bahwa Heidegger telah abai terhadap penekanan Kant pada yang-Sublim dalam
karyanya yang lain, Critique of Judgement.[24] Selain berbicara tentang keterhinggaan subjek, Kant juga
berbicara tentang kemungkinan manusia untuk mengakses yang-Sublim. Inilah yang terjadi, misalnya, dalam
pengalaman estetis atas karya seni atau bentangan alam yang maha besar. Pada momen itu, ketakterhinggaan
kenyataan seperti tersingkap secara serentak di hadapan subjek. Pengalaman akan yang-Sublim inilah yang
ditafsirkan secara Lacanian oleh Žižek sebagai “dorongan kematian” (death drive).[25]    Dorongan kematian
yang dimaksud Žižek bukanlah suatu dorongan untuk mati atau bunuh diri secara harfiah, melainkan suatu
kehendak akan kepenuhan makna dan identitas. Subjek dibentuk dan digerakkan oleh dorongan untuk
mencapai kepenuhan dirinya, mencapai kondisi identitas yang paripurna. Namun, dalam tafsiran psikoanalisis
Žižek, dorongan ini akan senantiasa gagal; alih-alih mengantarkan subjek pada objek yang dihasratinya,
dorongan kematian senantiasa meleset dari objek yang dituju dan terus-menerus berpusar di sekitar objek
tersebut.[26] Artinya, di dalam jantung subjek terdapat dimensi kekurangan. Manusia adalah subjek yang
ditandai oleh hasrat akan kepenuhan yang pada saat bersamaan berarti selalu merasa kurang. Inilah yang
dalam kerangka Lacanian dirumuskan sebagai $ ◊ a, artinya: subjek yang senantiasa menghasrati objek tanpa
sepenuhnya dapat meraih kepenuhan darinya. žek mengawali paparannya dengan mengkritik pembacaan
Heidegger atas Kant. Heidegger menekankan pentingnya karya Kant, Critique of Pure Reason, yang
menurutnya telah menyediakan landasan bagi suatu “ontologi tentang keterhinggaan” (ontology of finitude),
yakni pengertian bahwa pengetahuan manusia secara konstitutif berciri terhingga
Lanjutan
Žižek memperlihatkan bahwa subjek justru eksis karena ada kekurangan yang mengkonstitusinya. Justru
karena subjek senantiasa kekurangan identitas dirinya, maka ia terus melaksanakan proses menjadi-
subjek.[27]Kekurangan, karenanya, bersifat konstitutif terhadap adanya subjek: di mana ada subjek, di situ
ada kekurangan. Mengapa demikian? Karena hasrat terstruktur oleh hubungan bahasa. Hasrat selalu
merupakan hasrat akan makna dan makna adalah perkara bahasa. Persoalannya, makna selalu bertopang
pada perbedaan antar tanda. Apabila setiap benda disebut melalui tanda yang sama, maka kita tak akan
dapat mengerti makna dari tanda tersebut. Makna kata ‘angin’, misalnya, dapat ditentukan persis karena
ada perbedaan antara kata ‘angin’ dan kata ‘tanah’. Karenanya, makna ditentukan oleh hubungan
perbedaan antar tanda. Akibatnya, selama masih ada kemungkinan bagi munculnya kata-kata baru, maka
selama itu pula tak pernah dimungkinkan adanya makna yang absolut dan final. Karena alasan itulah
hasrat akan makna niscaya tak pernah terpenuhi secara mutlak. Inilah kekurangan yang menandai setiap
subjek dan identitasnya. Artinya, selama identitas subjek dibentuk lewat operasi bahasa, maka tak pernah
ada identitas yang sepenuhnya tetap dan mutlak; identitas selalu berwatak kontinjen, selalu dapat diubah.
Žižek juga mengajukan argumen Lacanian bagi tesis tentang kekurangan konstitutif subjek. Mengikuti
Lacan, Žižek menyatakan bahwa hasrat adalah selalu “hasrat dari orang lain”.[28] Di sini Žižek
menggunakan teori Lacan tentang “yang-Lain Besar” (le Grand Autre) untuk berbicara tentang formasi
subjektivitas melalui aparatus ideologi. Dalam kebudayaan kapitalis, menurut Žižek, hasrat apapun yang
kita miliki selalu dikondisikan oleh kekuatan kapital. Misalnya, hasrat kita akan mobil mewah
sebetulnya tak lebih daripada hasil fabrikasi industri periklanan yang melayani kepentingan industri
otomotif. Karenanya, kapitalisme tampil sebagai “yang-Lain Besar” dan mengarahkan apa-apa saja yang
perlu dan tidak perlu kita hasrati. Karena hasrat adalah apa yang membentuk diri kita sebagai subjek,
maka dapat disimpulkan bahwa dalam kebudayaan kontemporer, kapitalisme menjadi unsur kunci
formasi identitas-diri. Di sinilah ideologi kapitalisme bekerja. Subjek kontemporer adalah hasil
ideologisasi yang dilancarkan oleh kapitalisme sebagai sistem.
Pertanyaan Mendasar
Dengan itu, kita dapat melihat bagaimana Žižek menelurkan teorinya
tentang formasi identitas subjektif melalui jalan ideologi, hasrat, dan
bahasa. Subjek adalah hasil konstruksi ideologi yang berperan
melalui penanaman hasrat yang terstruktur oleh bahasa.
Konsekuensinya, subjek tak pernah swa-identik atau mengalami
kepenuhan identitas karena identitasnya selalu dihasilkan persis oleh
perantaraan pihak lain, oleh yang-Lain Besar.[29] Pertanyaan besar
yang mesti dijawab Žižek, kemudian, adalah menerangkan
bagaimana emansipasi sosial atas kungkungan simbolik itu
dimungkinkan. Dengan kata lain, jika identitas subjek adalah efek
dari mekanisme ideologisasi yang-Lain Besar, lantas bagaimana
mungkin seseorang menjadi subjek secara autentik dan mencapai
kepenuhan identitasnya tanpa tunduk pada ideologi yang-Lain
Besar?
3.2. Keruntuhan Identitas Simbolik dan Pengalaman akan
Yang-Riil
Yang-Lain Besar bukanlah awal dan akhir dari segala-galanya. Ia dapat runtuh dalam situasi-situasi
krisis yang mendorong semua orang mempertanyakan konfigurasi aktual segala yang ada. Žižek
memberikan contoh konkret. Pada awal mula keruntuhan rezim Syah Rizal Pahlevi di Iran yang korup
pada 1979, muncul kabar bahwa seorang warga biasa menolak patuh pada instruksi polisi. Kabar ini
meluas dengan cepat dan sekonyong-konyong semua orang membangkang terhadap kekuasaan rezim
Syah. Di sinilah terjadi apa yang disebut Žižek sebagai keruntuhan yang-Lain Besar.[30] Efektivitas
simbolik rezim Syah yang ditopang oleh kanalisasi atas hasrat dan ekspektasi masyarakat tak lagi bisa
dipertahankan. Dengan pudarnya efektivitas simbolik itu, runtuhlah pula rezim Syah dan terbitlah
kenyataan politik baru. Dengan kata lain, terbitlah emansipasi subjek dari kungkungan simbolik
ideologi lama.
Kehancuran tatanan simbolik menyibakkan pengalaman subjektif akan yang-Riil. Sang subjek
kehilangan kepastian identitasnya yang selama ini dijamin lewat proses ideologisasi simbolik.
 Pada momentum keruntuhan rezim Syah, rakyat Iran selama sesaat berhadapan dengan wajah asli
kenyataan yang nir-simbolik. Keadaan kacau dan tak menentu, tanpa hukum dan pemimpin, semacam
itulah yang sejatinya merupakan wajah kenyataan sosial. Dengan runtuhnya hukum, lenyaplah pula
identitas rakyat Iran sebab status mereka sebagai “warga negara” dengan sejumlah hak dan kewajiban
yang dirumuskan oleh undang-undang menjadi tertangguhkan.[31] Inilah momen desubjektivasi:
mereka kehilangan status mereka sebagai subjek dan beralih ke dalam zona pra-ideologis yang serba-
kacau di mana belum ada distingsi antara individu dan masyarakat (sebab individu politik adalah
produk hukum), serta antara diri dan kenyataan (sebab tanpa distingsi legal antara warga negara dan
pemerintah, setiap orang bisa saja identik dengan “pemerintah” itu sendiri). Inilah yang-Riil dari
identitas: subjek yang dikosongkan dari identifikasi simbolik, dari segala identitas dan subjektivitas—
suatu ‘subjek’ tanpa subjek.
Lanjutan
Namun momen yang-Riil seperti itu amat rapuh. Sesaat setelah rezim Syah tumbang, berdirilah rezim
Ayatollah dan dengan itu dimulailah tatanan simbolik yang baru. Bersamaan dengan itu, muncullah juga
proses ideologisasi yang melahirkan identitas subjektif baru. Pengalaman akan yang-Riil adalah pengalaman
yang dengan cepat berlalu. Di sini kita dapat menyaksikan betapa kontinjennya identitas. Tak pernah ada
identitas yang tetap sebab pergantian tatanan simbolik akan membawa serta perubahan pada aras identitas
subjektif. Dengan demikian, hasrat untuk mengekalkan identitas—seperti yang dilakukan para penganut
politik identitas—adalah hasrat yang sia-sia. Identitas tak mungkin kekal sebab tatanan simbolik selalu dapat.
Lantas bagaimana emansipasi sosial yang sejati dimungkinkan? Dalam kerangka Žižekian, tak pernah ada
emansipasi yang tuntas; emansipasi adalah rentetan proses yang tanpa akhir. Emansipasi terjadi manakala
subjek terbebas dari belenggu identitasnya yang dikonstruksikan secara ideologis oleh yang-Lain Besar.
Dengan kata lain, emansipasi terjadi ketika subjek berpapasan dengan yang-Riil. Pada momen itu, subjek
tampil secara anonim, dalam kondisi nir-identitas, persis karena identitas adalah produk ideologi simbolik.
Mengapa pengalaman akan yang-Riil yang membawa kita pada kondisi nir-identitas ini dapat disebut sebagai
emansipasi? Karena dengan itu terlihat bahwa seluruh tatanan simbolik bertopang pada yang-Riil sebagai
kekosongan, bahwa seluruh tatanan simbolik yang selalu mencitrakan-dirinya seolah-olah sebagai satu-
satunya tatanan yang mungkin, sebagai tatanan yang niscaya, nyatanya dapat tumbang setiap saat.
Pengalaman akan yang-Riil bersifat emansipatoris sebab dengan itu ditunjukkan bahwa yang (selama ini
dianggap) tak mungkin itu sesungguhnya mungkin. Žižek menyatakan: “Yang penting bukanlah bahwa yang-
Riil itu tak mungkin, melainkan bahwa ketakmungkinan itu sendiri Riil.”[32] Anggapan bahwa tatanan
simbolik yang ada tak mungkin runtuh adalah pencitraan yang dihasilkan lewat ideologi. Kemungkinan
berhadapan dengan yang-Riil akan mewujud dalam kesadaran bahwa klaim itu tak berdasar dan dengan itu
emansipasi terjadi.
Identitas dan Kenyataan
Masalah utama dari pendekatan Žižek dan Lacan adalah lenyapnya pertimbangan tentang kenyataan
objektif. Žižek cenderung mereduksi persoalan identitas pada aras mental-kultural semata (ideologi, tatanan
simbolik, kekurangan, dst.) dan tidak berhasil menjangkarkannya pada dimensi kenyataan material, antara
lain pada konteks ekonomi-politik. Apa yang lenyap, kemudian, adalah gambaran tentang kenyataan
objektif itu sendiri. Kita akan memperlihatkan akar permasalahan ini secara beturut-turut pada Lacan dan
Žižek.
Pertama-tama, terkait soal Lacan, kita dapat mempertanyakan: Apakah yang-Riil adalah kenyataan
material? Apabila kita perhatikan triade imajiner-simbolik-Riil, kita tak bisa secara tegas mengatakan
bahwa dalam perspektif Lacan realitas yang sepenuhnya eksternal dari manusia itu ada. Dalam yang-
imajiner, misalnya, kendati kita berangkat dengan pengenalan bayi akan realitas, momen itu sendiri
ditandai oleh ketakmampuan membedakan antara diri dan realitas. Ketakmampuan ini kemudian diatasi
justru dengan mensimbolisasi realitas, yakni dengan terintegrasinya sang bocah ke dalam tatanan simbolik.
Dalam ranah simbolik, realitas eksternal lenyap sebab yang ada hanyalah unggun-timbun tanda. Apakah
dengan konsep yang-Riil Lacan bermaksud menyuntikkan dimensi kenyataan? Yang-Riil memang seakan
menunjuk ke arah itu. Yang-Riil dialami dari dalam ranah simbolik sebagai krisis struktural, sebagai
sesuatu yang traumatis, yang menunjukkan bahwa ranah simbolik tidak pernah penuh pada dirinya. [33]
 Namun Lacan mengutarakan dalam Seminar XX bahwa “yang-Riil tak ada hubungannya dengan apa yang
dalam pengetahuan tradisional dianggap sebagai basis dan sesuatu yang dipercayainya—yakni realitas—
melainkan fantasi.”[34] Yang-Riil, dengan demikian, tidak dimengerti Lacan sebagai realitas material. Ia
adalah “fantasi” yang menunjukkan kekurangan realitas itu sendiri, yakni bahwa realitas yang ada sekarang
ini—maksudnya “realitas” simbolik—mengandung sebuah kekosongan (Void) dalam dirinya. Yang-Riil,
dengan kata lain, adalah sebuah ranah yang diandaikan mendahului realitas material sebab realitas material
itu dikonstruksikan secara simbolik.
Lanjutan
Tak pelak lagi, visi Lacanian tentang ‘kekurangan konstitutif’ yang
kemudian dibicarakan lagi oleh Žižek adalah sejenis idealisme,
yakni keyakinan bahwa kenyataan material tak lain adalah produk
dari imajinasi kultural. Artinya, tidak ada realitas eksternal.
Realitas telah selalu dikonstitusikan oleh kita. Tidak ada titik henti
material bagi variasi konstitusi ini. Semuanya ada
sejauh berkorelasi dengan elemen subjektif—entah itu
kesadaran ataupun ketaksadaran. Yang-Riil adalah mistifikasi atas
realitas eksternal—sebuah mistifikasi yang menghadirkan realitas
eksternal itu hanya sebagai yang tak hadir di dalam
ketaksadaran, sebagai trauma. Dengan itu, kenyataan ditundukkan
pada anasir-anasir psikologis. Tak ada realitas di luar ruang
konsultasi psikoanalis, di luar ruang ceramah teoretikus budaya.
Kesimpulan
Situasi ini menghasilkan persoalan tersendiri pada diskursus tentang formasi identitas. Marxisme-
psikoanalis Žižek telah membuang khazanah yang berharga dari pendekatan Marxis tradisional,
yakni analisis ekonomi-politik atas kebudayaan.
Identitas tidak melulu perkara makna yang dihayati secara kultural. Identitas juga terjangkarkan
pada faktor-faktor material seperti kelas sosial.
Kesadaran seseorang untuk berpikir sebagai pemodal, alih-alih sebagai warga negara,
dikondisikan oleh realitas ekonomi-politik yang mengenal pembagian antara kelas pemodal dan
pekerja.
Artinya, kemungkinan untuk melakukan identifikasi-diri dikonstitusikan pula, selain oleh perkara
simbolik, oleh kenyataan material berupa distribusi kepemilikan atas sumber daya.
Tak ada seorang pun yang dapat mengidentifikasi diri secara efektif sebagai seorang buruh
sebelum perkembangan moda produksi kapitalis. Sebelum moda produksi kapitalis terwujud,
Orang berpikir dalam kerangka kerja-wajib yang mesti dilakukan hamba pada tuan tanah. Setelah
moda produksi kapitalis terwujud, orang berpikir dalam kerangka kerja-upahan yang dilakukan
buruh bagi pemodal. Artinya, pergeseran moda produksi mengikut-sertakan pergeseran imajinasi
tentang diri.
Moda produksi menjadi cakrawala material yang memungkinkan sekaligus membatasi
tumbuhnya identitas subjektif. Faktor material inilah yang diabaikan Žižek dari Marxisme
tradisional. Akibatnya, aras kebudayaan dan identitas tampil secara otonom tanpa dapat
dijelaskan asal-usul materialnya. Dalam hal ini, apa yang dilakukan Žižek serupa dengan para
penganut politik identitas yang mencerabut akar historis-material identitas dan mengekalkannya
sebagai memori kultural yang steril dari kenyataan.

Anda mungkin juga menyukai