Anda di halaman 1dari 12

Islam Politiik dengan Kerangka Materialisme Historis

Buku Depa Kumar

Sebuah tawaran yang diajukan Deepa Kumar dalam bukunya untuk menjelaskan
fenomena muncul dan eksisnya islam politik di berbagai belahan dunia saat ini,
adalah dengan kerangka Marxis. Apa maksud dari “Sebuah Analisa Marxis” di
atas? Tentu, analisa Marxis yang dimaksud adalah penggunaan metode berpikir
Marx dalam menganalisa munculnya fenomena tersebut. Bila kita taat dengan
cara yang diajukan oleh Marx dalam melihat sejarah manusia, maka “Sebuah
Analisa Marxis” tersebut mengacu pada sebuah metode Histomat (Historical
Materialism) atau Materialisme Sejarah. Dengan kerangka itu, Deepa Kumar
berusaha melihat hal ihwal kemunculan islam politik di panggung dunia saat ini.
Apa itu Materialisme Historis
Materialisme sejarah singkatnya adalah penggunaan metode dialektika materialisme pada studi tentang
evolusi kehidupan manusia.[1] Pada posisi pemikiran ini, sejarah dilihat tidak hanya sebagai sesuatu
yang tiba-tiba ada, melainkan merupakan produk dari kegiatan manusia, sehingga bisa dijelaskan asal
usulnya dan dapat dilihat faktor penentuya. Basis yang mengkondisikan adanya perubahan di dalam
masyarakat tersebut terletak pada perubahan faktor dan hubungan produksi sosial. Sehingga, dengan
adanya perubahan di ranah hubugan produksi sosial tersebut, mau tidak mau, membuat bentuk
masyarakat berubah. Acuan umum untuk melihat konsepsi tentang materialisme sejarah ini biasanya
didasarkan pada penjelasan Marx pada A Contribution to the Critique of Political Economy,
‘‘Kesimpulan umum yang saya capai dan berfungsi sebagai garis penuntun dalam studi-studi saya,
secara singkat dapat disimpulkan sebagai berikut:
Dalam produksi sosial yang dilakukan manusia, mereka mengadakan hubungan-hubungan tertentu yang
merupakan keharusan dan yang tidak tergantung dari kehendak mereka;
 Hubungan-hubungan produksi ini sesuai dengan tahap perkembangan tertentu dari kekuatan-kekuatan
produksi material mereka.
 Keseluruhan hubungan-hubungan produksi ini merupakan struktur ekonomi masyarakat-dasar yang
nyata (basis), di atas mana timbul struktur-struktur atas (superstructures) hukum dan politik dan dengan
mana cocok pula bentuk-bentuk kesadaran sosial tertentu.
Cara produksi kehidupan material menentukan sifat umum dari proses-proses sosial, politik, dan
spiritual dari kehidupan. Bukan kesadaran manusia yang menentukan kenyataannya, melainkan
sebaliknya; kenyataan sosialnya-lah yang menentukan kesadarannya.’[2]
Substansi Materialisme Sejarah dan Korelasi Islam Politik
Dengan materialisme sejarah ini, perubahan di dalam masyarakat didasarkan pada kondisi obyektif yang
melingkupi masyarakat tersebut dengan konteks yang spesifik. Ia tidak lahir dari gagasan ataupun ide,
melainkan oleh prasyarat-prasyarat material yang ada. Gagasan merupakan refleksi dari kondisi
obyektif tersebut yang kemudian bertrasformasi menjadi pemikiran. Sehingga praktis, akhir dari hal
yang mengkondisikan keadaan adalah kondisi obyektif tersebut. Namun, demikian, bukan berarti
manusia kemudian menjadi makhluk yang fatalis, justru sejarah itu diciptakan oleh manusia, tapi bukan
semata-mata karena pemikiran dan tindakan manusia, melainkan secara dialektis ditentukan oleh
prasyarat material yang berdiri independen dari diri manusia.
Meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa ia menggunakan metode Histomat, tetapi hal itu
bisa dijumpai dari pengantar di bukunya. Kumar menuliskan,
‘Dalam buku kecil ini, saya coba untuk memposisikan diri untuk melihat secara historis fenomena islam
politik dan menjelaskan hal ihwal sampai menjadi demikian. Untuk itu, saya akan memulainya dengan
membongkar gagasan atau pendapat bahwa kebangkitan organisasi-organisasi islam adalah
perkembangan alami islam, dan sebaliknya akan menunjukan pada pemisahan historis secara de
factoantara agama dan politik pada mayoritas masyarakat muslim… Sementara kecenderungan menuju
islamisme pada tiga dekade terakhir abad ke-21, adalah hasil dari kondisi politik ekonomi tertentu…’
(hlm. 1-2)
Dari kutipan tersebut, setidaknya kita bisa menangkap maksud Kumar bahwa fenomena islam politik
saat ini dapat dijelaskan secara ‘historis’, sehingga bisa ditelusuri asal usulnya supaya menjadi terang.
Ia tidak ujug-ujug ada dan telah mengada sejak kelahiran islam. Tentu, kemunculannya ini berdiri pada
prasyarat-prasyarat material dalam konteks ruang dan waktu yang spesifik. Sehingga, dalam bukunya
ini, Ia menyebutkan bahwa kemunculan islam politik saat ini tidak berhubungan secara langsung
dengan islam di awal kemunculannya atau masa abad pertengahan, tetapi ia merupakan ‘hasil dari
kondisi-kondisi politik ekonomi tertentu’ yang memungkinkannya muncul.
Lanjutan
Kerangka materialisme sejarah dalam buku tipis yang ditulis
oleh Kumar ini, disebutkan oleh Coen Husain Pontoh, terdiri
dari tiga poin penting, yaitu 
pertama, Kumar menunjukan bahwa tesis yang menyatukan
agama dan politik dalam Islam sebagai sesuatu yang alamiah
adalah tidak benar; 
kedua, islam politik merupakan akibat dari situasi ekonomi
politik kontemporer; dan 
ketiga, kelas menengah sebagai basis utama dari kalangan
islam politik.
 Dari ketiga poin tersebut, inti dari buku Kumar dapat dibaca
secara materialis.
Islam politik dari Basis-Material Ekonomi
dan Politik
Posisi pemikiran ini bukan tanpa konsekuensi, melainkan memberikan sebuah pemahaman baru
bagi kita bahwa munculnya islam politik bukan masalah tafsir saja, sebagaimana yang diajukan
oleh kalangan pemikir islam liberal. Menurut mereka, islam politik adalah keyakinan yang dianut
oleh orang-orang yang mempraktekkan islam dengan tafsir secara literal, saklek, dan
mengutamakan dalil naqli daripada rasio. Hal itu tidak memadai. Begitu juga, bahwa islam politik
bukan hanya berhubungan dengan urusan ‘muslim baik’ dan ‘muslim buruk’.
 Kumar memberikan pemahaman lain bahwa kemunculan islam politik lebih ditentukan oleh
kondisi obyektif yang melingkupi manusia. Kondisi obyektif ini tidak ditentukan oleh hasil
pemikiran, melainkan oleh sebuah kenyataan real yang independen dari kesan indrawi dan berdiri
di luar diri manusia. Hal itu mempertegas posisi materialis Kumar bahwa perubahan sosial (baca:
kemunculan islam politik) bukanlah produk pemikiran yang independen dari basis materialnya,
melainkan sebaliknya, bahwa produk pemikiran tersebut adalah hasil dari refleksi dunia material
dalam pikiran manusia. Sehingga, basis yang mengkondisikan munculnya islam politik tersebut
bukanlah pemikiran, tetapi kondisi obyektif di luar diri manusia, tepatnya kondisi ekonomi politik.
Karena situasi ekonomi-politik tertentu itulah, islam politik bisa dimungkinkan untuk muncul,
atau bisa dikatakan ia adalah rangkaian respon dari kalangan islam atas kondisi ekonomi politik
yang spesifik. Dengan demikian, Kumar menjangkarkan bahwa perubahan ekonomi-politik
tertentu yang mengkondisikan islam politik. Tepat di sini biasanya para pengkaji islam luput.
Kondisi Obyektif Islam Politik
Sebelum jauh melangkah, kita harus jelaskan dulu apa maksud islam politik di sini.
Islam politik menurut Kumar, ‘mengacu pada jajaran kelompok yang telah
terbentuk berdasarkan sebuah reintepretasi atau penafsiran kembali islam untuk
melayani tujuan-tujuan politik secara khusus’ (hlm. 3).
 Dengan tendensi yang hampir mirip, Vedi R. Hadiz dalam artikelnya yang
berjudul, ‘Indonesia Political Islam: Capitalist Development and the Legacies of
Cold War’, mendefinisikan islam politik sebagai, ‘respon atas isu ketidaksetaraan
kuasa dan kekayaan di dunia modern yang disampaikan melalui idealita,
terminologi, imajinasi, dan simbol agama islam.’[4] 
Dengan begitu, islam politik meyakini bahwa ‘tidak dipisahkannya agama dan
politik’, dan dengan semangat bahwa islam sebagai alternatif dari kondisi
ekonomi politik yang berjalan di dunia saat ini. Dalam beberapa slogan bahkan
dinyatakan, ‘islam adalah satu-satunya solusi’. Lebih lanjut, Samir Amin
menunjukan beberapa ciri khusus, bahwa islam politik dapat didentikan
dengan cara pikir yang berusaha kembali dalam tatanan islam asli/awal
dalam konteks dunia modern, adanya ketundukan (ketaatan/taqlid) yang
kaku, dan berseberangan dengan teologi pembebasan.[5
Islam Politik Hadir dengan Alami???
Isu mengenai islam politik ini mulai mencuat sejak peristiwa 9/11 di AS. Dalam nalar umum di Barat tercipta sebuah
pemahaman bahwa islam politik menjadi hal yang alami di Islam atau sudah dari sananya Islam begitu. Yang tercipta
dalam bayangan mereka adalah Islam selalu identik dengan kekerasan dan aksi terror, yang itu merupakan versi radikal
dari islam politik. Pemahaman ini juga dikuatkan dengan studi dari para sarjana orientalis yang melihat Islam sebagai
musuh peradaban dari Barat yang anti demokrasi dan anti Barat. Dengan pemahaman seperti itu, tentu, sebuah distorsi
terjadi. Bagi sebagian orang Islam, terutama yang bukan bagian dari islam politik, akan tidak setuju bila dikaitkan
dengan sembarangan tersebut. Karena realitas di dalam islam sendiri sangat kompleks. Kumar berusaha melihat hal
tersebut. Tesis pertama yang ingin dia buktikan berkaitan dengan relasi antara Islam, politik dan islam politik. Kira-
kira pertanyaan yang dia ajukan adalah, ‘apakah islam politik merupakan perkembangan alami dari Islam?’
Kumar membantah bahwa islam politik sebagai bagian dari perkembangan Islam secara alami, atau dalam bahasa saya,
‘Islam’ selalu identik dengan ‘islam politik’ sepanjang sejarah. Menurutnya, islam politik lebih tepat dipahami sebagai
bentuk dari fenomena kontemporer sebagaimana kebangkitan fundamental Kristen, Yahudi atau Hindu belakangan ini,
daripada dipahami sebagai Islam dari sananya. Tentu, ciri penting dari adanya islam politik ini adalah tidak
dipisahkannya kekuasaan politik dan agama. Karena berdasarkan ciri tersebut hal sebaliknya justru terjadi. Kumar
melihat bahwa secara historis dalam mayoritas masyarakat Islam telah terjadi pemisahan antara agama dan politik
sejak kepergian Rasulullah. Meskipun ini bisa menimbulkan perdebatan diantara para sarjana Islam. Tapi, Kumar
melihat bahwa kombinasi antara agama dan kekuasaan politik di dalam Islam terjadi dengan masa yang sangat singkat,
yaitu hanya di masa Rasulullah saja, tetapi setelah itu secara de facto terjadi pemisahan kekuasaan politik dan agama.
Menurutnya,
‘Islam yang dibayangkan Muhammad adalah ajaran yang mengombinasikan spiritualitas dengan politik, ekonomi, dan
adat istiadat sosial. Ia memainkan dengan baik sebagai pemimpin politik dan relijius, dan kekuasaannya dalam dua hal
tersebut tak terbantahkan. Namun tidak demikian dengan para penggantinya, Dalam satu abad setelah meninggalnya
Muhammad, tentara Muslim terus bergerak mengalahkan kekaisaran tetangga dan membangun kekaisaran yang kuat.
Dalam konteks ini, pemisahan secara de facto antara kekuasaan politik dan relijius mulai mengambil bentuknya. Saat
para keturuanan Nabi atau Khalifah memegang jabatan relijius, monarki atau kesultanan memegang kekuasaan
politik.’ (hlm. 7-8)
Lanjutan
Pemisahan tersebut bersifat de facto karena secara legal dan formal memang tidak terjadi.
Tetapi pembagian kerja itu secara nyata terjadi. Menurut Kumar, terjadi pembagian kerja
antara mereka yang menulis dan mereka yang menghunus pedang. Kelas yang menulis
berposisi di bawah kekuasaan politik penguasa, ditugasi melaksanakan administrasi dan
kebijakan. Sedangkan kelas kedua menjadi pemegang kekuasaan politik. Karena itu,
pemisahan kekuasaan politik dan agama akhirnya terjadi. Bahkan, setidaknya, dalam dua
abad terakhir hingga beberapa dekade di akhir abad ke-20, dalam masyarakat muslim justru
menunjukan tren adanya sekularisasi. Hal itu berhubungan dengan adanya modernisasi di
kekaisaran islam, seperti yang terjadi di Turki di bawah kepemimpinan Attaturk. Di sisi
lain, gerakan Pan-Islamisme (Islam revivalis) mengalami kegagalan. Hal tersebut
berhubungan dengan kekecewaan massa yang sedang berada dalam situasi revolusioner
kemerdekaaan terhadap tawaran Pan Islamisme. Di samping itu, juga desakan yang kuat
dari kelompok kiri dan nasionalis yang membuat tren negara-negara lebih mengacu pada
aliansi nasionalis. Sehigga dalam kondisi pasca kolonial, massa secara luas lebih tertarik
pada gerakan nasionalis radikal. Bentuk sekularisasi itu berlanjut di bawah kepemimpinan
nasionalisme radikal pasca Perang Dunia kedua. Praktis itu membuat panorama islam pasca
Rasulullah hingga masa tersebut berada dalam landscape pemisahan kekuasaan politik dan
agama.
Lanjutan
Hal itu berbalik pada tiga dekade abad ke 21, dimana muncul gerakan islam yang
berusaha menuju islamisme. Gerakan islam yang disebut sebagai islam politik ini
mengusung agenda penyatuan kembali agama dan politik sebagai sebuah satu sistem
yang utuh. Dihadapkan dengan fakta yang diajukan Kumar di atas, dimana pemisahan
kekuasaan politik dan agama telah terjadi dengan tradisi yang sangat panjang, maka
menjadi lebih tepat bila melihat islam politik ini sebagai sebuah fenomena kontemporer
daripada perkembangan islam secara alami. Bahwa kemunculan islam politik ini perlu
disandarkan pada kondisi obyektif dengan konteks yang spesifik. Dalam
pemeriksaannya ini, Kumar menemukan beberapa kondisi obyektif tersebut yang
memungkinkan islam politik tumbuh dan berkembang hingga saat ini.
Menurut Kumar, islam politik hadir dari bertemunya beberapa kondisi obyektif ini,
yaitu kekuatan imperialisme Amerika Serikat dalam usahanya menghadang
nasionalisme dan kiri melalui strategi aliansi dengan kelompok islam, kegagalan rejim
nasionalisme sekuler dan kiri Stalinis yang membuat kekosongan politik, dan krisis
ekonomi akibat ekspansi kapitalisme-neoliberal dan tawaran solusi ‘islami’. Ketiga hal
tersebut secara umum menjadi faktor yang mengkondisikan pembentukan islam politik
di beberapa negara, termasuk Indonesia. Meskipun dalam setiap negara memiliki faktor
spesifiknya masing-masing, namun secara garis besar ketiga hal tersebut cukup
menggambarkan demikian.
Lanjutan bro
Selama perang dingin, AS berupaya membatasi meluasnya kekuatan komunisme di dunia dan
berusaha membentengi kekuatan nasionalisme sekuler agar tidak tertarik ke blok Timur. Untuk
membendung dua kekuatan tersebut, AS menjalankan strategi koalisi dengan kekuatan islam sebagai
bentengnya. Dalam buku ini, Kumar banyak memberikan contoh seperti AS dengan Ikhwanul
Muslimin untuk membendung Abdul Gamal Nasser di Mesir, AS dengan kelompok islamis Osama
Bin Laden di Afganistan untuk membendung Uni Soviet, dan kelompok islam di Iran. Hal demikian
juga terjadi di Indonesia. untuk membendung kekuatan komunis, kelompok Islam dilibatkan dalam
pembantaian jutaan anggota PKI pada tahun 1965.[6] Itu dilakukan di satu sisi demi kepentingan
AS, namun di sisi lain menjadi benih kekuatan islam politik di kemudian hari.
Di sisi lain, pemerintahan nasionalisme sekuler semakin hari mengalami kebangkrutan dalam
menghadapi krisis ekonomi. Kesejahteraan masyarakat tidak kunjung membaik dan kekecewaan
semakin meningkat. Terlebih pemerintah nasionalisme sekuler ini kebanyakan bersifat otoritarian.
Dengan begitu, gerakan islam politik semakin terkonsolidasi untuk bergerak di bawah tanah. Hal itu,
membuatnya mereka menjadi kekuatan islam politik yang kuat pasca rejim jatuh. Hal yang hampir
mirip terjadi dalam kelompok kiri Stalinis yang gagal memanfaatkan peluang karena mengambil
posisi politik yang berseberangan dengan massa secara luas, seperti di Mesir dan Syiria. Di lain
tempat, seperti Indonesia, kekuatan kiri telah dihancurkan terlebih dahulu dengan bantuan kelompok
Islam. Vedi R Hadiz menunjukan bahwa kemunculan islam politik pada beberapa negara, selalu
dicirikan dengan hancurnya kelompok kiri dan progresif terlebih dahulu. Indonesia menjadi contoh
yang paling pas untuk itu. [7]
Lanjutan
Situasi demikian, kemudian bertemu dengan diskursus ekonomi-politik yang hagemonik di tataran dunia mengenai
neoliberalisme. Sebuah program politik untuk restorasi kapitalisme yang baru saja krisis, kemudian membuat ‘krisis’
baru di beberapa negara berkembang karena program penyesuaian strukturalnya. Sejumlah pemotongan subsidi dan
biaya sosial membuat ketimpangan semakin melebar dan kemiskinan semakin meluas. Hal tersebut membuat sejumlah
program sumbanganislamis menjadi semacam kedok bagi masyarakat kelas bawah. Hal tersebut bersamaan dengan
program-program keuangan syariah yang dijanjikan lebih mudah daripada sistem konvensional. Adanya tawaran
“solusi” islami ini membuat kelas menengah banyak yang tertarik. Kumar menunjukan bahwa basis kelas dari islam
politik ini adalah kelas menengah, atau borjuis kecil.
Ketiga hal di atas yang dimaksudkan dengan faktor obyektif yang membuat islam politik dapat muncul. Adanya ketiga
kondisi obyektif tersebut, menciptakan situasi ekonomi-politik yang dirasa tidak menguntungkan bagi kalangan Islam.
Sehingga mereka kemudian berusaha untuk mendasarkan diri pada sebuah konsepsi bahwa ‘Islam adalah solusi dari
permasalahan sehari-hari mereka’. Karena problem keseharian mereka itu berhubungan dengan persoalan ekonomi-
politik, tidak hanya masalah agama, maka membawa pemahaman bahwa Islamtidak memisahkan antara agama dan
politik dalam partisi yang berbeda. Dengan demikian, islam politik hadir, baik dalam bentuk pemikiran ataupun
praktek politik, merupakan respon dari kalangan islam yang berhadapan dengan ketiga kondisi obyektif di atas.
Melihat munculnya fenomena islam politik itu, Kumar menawarkan sebuah pembacaan untuk kaum Marxian.
Menurutnya, kaum Marxian harus melawan sebab-sebab kemunculannya, yaitu imperialisme AS dan ekspansi
kapitalisme-neoliberal. Karena kedua hal tersebut, membuat kemiskinan dan ketimpangan muncul, dan menjadikan
kaum muslim sebagai salah satu korbannya. Di sisi lain, kaum Kiri juga harus menentang kebangkitan islam politik
yang wataknya anti-kiri, anti-demokrasi, dan anti-HAM. Namun demikian, di samping itu kaum Kiri juga harus
bersolidaritas atasnya sebagai korban imperialisme dan neoliberalisme. Tren di Timur Tengah (dan belahan dunia lain)
yang memaksa orang biasa melawan sistem ini harus dapat digunakan kaum Kiri untuk membangun kembali basisnya.
Dengan begitu, kepemimpinan kaum Kiri dapat ditumbuhkan kembali untuk menjadi kekuatan pembebas yang sejati,
di atas sentimen agama, ras, etnik dan identitas lainnya.
Kesimpulan Pentingnya Menggunakan
Pendekatan Materialisme Sejarah
Pembacaan Kumar ini meskipun tidak begitu mendalam dan spesifik, tetapi
setidaknya memberikan sebuah cara baca baru dalam melihat fenomena islam politik
di dunia saat ini. Menurut saya, menjadi penting dari buku Kumar ini terletak pada
kerangka pikirnya yang menggunakan metode materialisme sejarah. Karena dengan
itu, sebuah pembacaan yang obyektif bisa dilakukan dengan memeriksa asal usulnya
dan bertumpu pada faktor material secara dialektis. Dengan pembacaan tersebut,
salah satu pelajaran yang bisa kita ambil bahwa islam politik hadir sebagai
konsekuensi atas kondisi obyektif yang melingkupi masyarakat. Artinya, ia adalah
produk sejarah manusia. Dengan demikian, karena ia sebagai produk sejarah, maka
islam politik harus kita tempatkan sebagai hal yang tidak mustahil untuk bisa
berubah. Islam politik bukanlah takdir, tetapi sebagai respon islam terhadap tren
ekonomi-politik tertentu. Cara baca seperti ini berguna bagi kita untuk dapat melihat
fenomena serupa, misal kemunculan kelompok islam yang gemar merusak warung
makan pada bulan puasa di tanah air, atau semakin banyak kalangan islam yang
radikal dan melakukan sejumlah aksi terorisme di tanah air. Itu yang perlu kita
lakukan untuk pemeriksaan berikutnya. Semoga ini memberikan pencerahan pikir di
bulan Ramadhan yang penuh berkah ini. Sekian.

Anda mungkin juga menyukai