Anda di halaman 1dari 4

Politik Politikus Muslim: Pembaharuan Kompetensi Muslim Negarawan

Oleh : Khusnul Khotimah

“Saya hanya meyakini kaidah pergiliran. Ia adalah janji Allah. Peradaban


manusia sedang menanti aktor baru hari ini. Peradaban dunia seperti sudah
beraklamasi bahwa aktor masa depan membawa harapan adalah Islam, hanya
Islam. Tapi bukan Islam yang terpasung penuh kelesuan, melainkan Islam yang
agung dengan kekuatan”. Dalam bukunya yang berjudul Inilah Politikku, seorang
Muhammad Elvandi menyatakan keoptimisannya bahwa Islam kini hanya sedang
menunggu giliran untuk memimpin kembali peradaban manusia di muka bumi.
Hingga akhirnya muncul berbagai pertanyaan, negara mana yang kiranya akan
menjadi pengawal bukti Islam sejati? Atau negara mana yang kiranya akan
menjadi pionir kejayaan umat yang niscaya lahir?. Pembuka ini semoga menjadi
sinar penyemangat untuk bangsaku yang ternyata mayoritas muslim, untuk
bangsaku yang ternyata kian hari ruang-ruang pojoknya terlihat makin kelam.
Politik merupakan salah satu aktivitas manusia terpenting sepanjang
sejarah manusia. Dengannya manusia saling mengelola potensi mereka yang
berserakan serta saling bersinergi untuk tujuan yang sama. Ada yang memimpin
dan dipimpin, ada yang memerintah dan yang diperintah, ada yang mengkonsep
dan merealisasikan (Elvandi, 2011). Tidak terelakkan bahwa politik memanglah
melekat pada diri manusia. Di belahan dunia manapun, politik menjadi sesuatu
yang paling berpengaruh. Tak terkecuali pada negara-negara Islam.
Namun, ketika kata ‘Politik’ berdampingan dengan kata ‘Islam’ berapa
banyak kaum sekuler yang akhirnya mundur dan menyatakan
ketidaksepakatannya. Meneriakkan penolakan dan menyatakan bahwa politik
tidak ada sangkut paunya dengan agama. Pemahaman seperti ini akhirnya
memetakan bahwa hanya ada dua kelompok manusia di dunia, yaitu kelompok
agamawan dan kelompok politikus. Hasan Al Banna menyatakan dalam bukunya
yang berjudul Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, bahwa sesungguhnya
dalam Islam ada politik, namun politik yang ada padanya terletak kebahagiaan
dunia dan akhirat.
Secara sederhana politik islam dapat diartikan sebagai politik yang
dilakukan dengan syariah-syariah Islam. Kemudian para pelaku politik Islam ini
boleh disebut sebagai politikus muslim. Sehingga benar jika pada tulisan ini akan
kita bahas politik politikus muslim sebagai kompetensi baru yang harus dimiliki
dan dijalani oleh seorang muslim negarawan.
Politikus: Politik Internal dan Eksternal
Pemahaman tentang politik memanglah sangat luas, namun yang akan
dibahas dalam tulisan ini yaitu tentang politik praktis secara umum. Artinya peran
politikus muslim yang sama sekali tidak terikat pada kepartaian. Dalam buku
Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin jilid 2, Hasan Al Banna menyebutkan
bahwa ada perbedaan yang mendasar antara kepartaian dan politik. Keduanya bisa
bersatu namun bisa juga berseteru. Kemudian dilanjutkan juga pembagian ranah
politik internal dan juga eksternal. Makna internal dalam politik yaitu seperti
mengatur roda pemerintahan, menjelaskan tugas-tugasnya, merinci hak-hak dan
kewajiban-kewajiban, mengontrol dan membantu para petinggi agar mereka
ditaati jika berbuat baik dan diluruskan jika menyimpang. Sedangkan makna
eksternalnya adalah menjaga kebebasan dan kemerdekaan umat, menanamkan
rasa percaya diri, kewibawaan, dan meniti sasaran-sasaran yang mulia. Maka
politikus muslim dapat saja memaknai dan menjalankan politik secara internal
maupun ekstenal.
Alternatif Politik Politikus Muslim
Setiap politikus muslim tentu mendambakan kehidupan sejahtera dalam
sebuah negara Islami. Mengembalikan kekuatan politik umat islam dalam sebuah
negara yang Islami menjadi cita-cita mulia para politikus muslim. Dalam buku
berjudul Inilah Politikku karya Muhammad Elvandi, dijelaskan bahwa politikus
muslim dihadapkan pada tiga alternatif gaya perjuangan politik islam untuk
mencapai cita-cita membentuk negara Islami. Diantaranya yaitu konfrontasi
politik (Al Mughalabah As-Siyasiyyyah), Revolusi politik (Ats-Tsaurah As-
Siyasiyyah), dan Partisipasi politik (Al-Musyarakah As-Siyasiyyah).
Dari ketiga alternatif tersebut, jika dibandingkan dari kesesuaiannya
dengan kondisi pemerintahan dan masyarakat saat ini, serta dibandingkan juga
dari yang paling sedikit dampak negatifnya juga paling mungkin untuk dilakukan
adalah partisipasi politik atau musyarakah. Kondisi yang sedang dihadapi oleh
umat muslim saat ini adalah bahwa sistem pemerintahan yang saat ini berlangsung
tidak menerapkan aturan Allah. Sistem tersebut secara umum dapat dibagi
menjadi dua, yaitu sistem demokrasi dan otoriter. Kedua pilihan tersebut bukanlah
konsep pemerintahan dari Allah, tidak pula ideal namun ternyata harus tetap
dihadapi dan dijalani. Maka butuh siasat untuk menjalankannya agar nilai-nilai
keislaman dapat tetap dijalankan dalam pemerintahan.
Dengan dua pilihan ini politikus muslim harus pandai memilah dengan
berbagai pertimbangan, bukan memilih antara yang ideal atau tidak, tapi memilih
sistem yang lebih memungkinkan, yang lebih dekat dengan kemaslahatan umat
Islam. Muncul ketakutan-ketakutan dari para musuh Islam tatkala politikus
muslim mulai menampakkan pehamanannya tentang senjata politik modern.
Senjata yang selama ini digunakan untuk menipu dan memberdayakan negara-
negara Islam, yaitu demokrasi (Elvandi, 2011). Mereka sangat khawatir jika umat
Islam pandai menggunakan demokrasi. Maka disinilah kontribusi para politikus
muslim dinantikan. Kompetensi muslim yang harus terus diperbaharui dan
ditingkatkan yaitu mengenai pemahaman politik, menjalankan politik, serta siasat
mengelola demokrasi.
Kontribusi Politikus Muslim
Setiap politikus muslim yang bergerak perlu memahami landasan syar’i
tentang aktivitas politiknya. Khususnya politikus muslim yang berpartisipasi
dalam politik praktis, baik dalam parlemen maupun kementerian dan bidang-
bidang birokrasi. Landasan syar’i dari partisipasi politikus tersebut adalah Al
Quran, Sunah, kaidah fiqih, maslahah, dan argumen para ulama.
Masuknya para politkus dalam sistem pemerintahan sebagai bentuk
kontribusi dengan tujuan untuk menciptakan sistem pemerintahan yang jauh lebih
baik lagi tentu membutuhkan strategi dan juga keilmuan yang mumpuni.
Pemikiran-pemikirannya harus mampu mempengaruhi dan sebisa mungkin untuk
menciptakan nuansa-nuansa Islami, hingga akhirnya demokrasi yang terjalin
adalah demokrasi yang diharapkan oleh umat muslim.
Agenda politik semakin menumpuk dan menggunung. Perlu penyelesaian
segera, penyelesaian dengan keimanan yang kokoh, semangat yang terus menyala,
keikhlasan yang tiada tara, dan kinerja seperti baja. Negara sebagai organisasi
untuk merepresentasikan Islam ke seluruh umat manusia di dunia. Merujuk hal
tersebut maka berat sekali tuntutan kualifikasi seorang politikus muslim untuk
tampil di hadapan panggung peradaban internasional sebagai representasi Islam
yang berwibawa. Butuh dari hanya sekedar bekal filosofis. Tapi butuh banyak
amunisi untuk menghadapi estafet perjuangan politik yang panjang, karena seriap
politikus perlu bertransformasi dari sekedar politikus biasa menjadi negarawan
besar.
Sudah tidak ada waktu lagi bagi para pemuda ntuk segera
mentransformasikan diri menjadi seorang politikus muslim, kemudian bergerak
memperbaiki pemerintahannya. Bahkan tidak cukuyp dengan pergerakan yang
biasa saja. Hal ini karena peradaban dunia sudah terlalu lama menunggu
munculnya politikus muslim yang siap menjadi negarawan tangguh. Saat ini yang
kita butuhkan adalah para politikus muslim yang bergerak seperti gelombang,
berlari seperti sungai terderas (Elvandi, 2011).

Anda mungkin juga menyukai