0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
7 tayangan4 halaman
Tulisan ini membahas tentang pentingnya pembaharuan kompetensi politikus muslim dalam menjalankan peran politik secara internal dan eksternal sesuai dengan syariat Islam. Politikus muslim dihadapkan pada tiga alternatif perjuangan politik untuk mencapai cita-cita negara Islam, yaitu konfrontasi, revolusi, dan partisipasi politik. Partisipasi politik dianggap paling tepat untuk saat ini. Kontribusi politikus muslim perlu didasarkan p
Tulisan ini membahas tentang pentingnya pembaharuan kompetensi politikus muslim dalam menjalankan peran politik secara internal dan eksternal sesuai dengan syariat Islam. Politikus muslim dihadapkan pada tiga alternatif perjuangan politik untuk mencapai cita-cita negara Islam, yaitu konfrontasi, revolusi, dan partisipasi politik. Partisipasi politik dianggap paling tepat untuk saat ini. Kontribusi politikus muslim perlu didasarkan p
Tulisan ini membahas tentang pentingnya pembaharuan kompetensi politikus muslim dalam menjalankan peran politik secara internal dan eksternal sesuai dengan syariat Islam. Politikus muslim dihadapkan pada tiga alternatif perjuangan politik untuk mencapai cita-cita negara Islam, yaitu konfrontasi, revolusi, dan partisipasi politik. Partisipasi politik dianggap paling tepat untuk saat ini. Kontribusi politikus muslim perlu didasarkan p
Politik Politikus Muslim: Pembaharuan Kompetensi Muslim Negarawan
Oleh : Khusnul Khotimah
“Saya hanya meyakini kaidah pergiliran. Ia adalah janji Allah. Peradaban
manusia sedang menanti aktor baru hari ini. Peradaban dunia seperti sudah beraklamasi bahwa aktor masa depan membawa harapan adalah Islam, hanya Islam. Tapi bukan Islam yang terpasung penuh kelesuan, melainkan Islam yang agung dengan kekuatan”. Dalam bukunya yang berjudul Inilah Politikku, seorang Muhammad Elvandi menyatakan keoptimisannya bahwa Islam kini hanya sedang menunggu giliran untuk memimpin kembali peradaban manusia di muka bumi. Hingga akhirnya muncul berbagai pertanyaan, negara mana yang kiranya akan menjadi pengawal bukti Islam sejati? Atau negara mana yang kiranya akan menjadi pionir kejayaan umat yang niscaya lahir?. Pembuka ini semoga menjadi sinar penyemangat untuk bangsaku yang ternyata mayoritas muslim, untuk bangsaku yang ternyata kian hari ruang-ruang pojoknya terlihat makin kelam. Politik merupakan salah satu aktivitas manusia terpenting sepanjang sejarah manusia. Dengannya manusia saling mengelola potensi mereka yang berserakan serta saling bersinergi untuk tujuan yang sama. Ada yang memimpin dan dipimpin, ada yang memerintah dan yang diperintah, ada yang mengkonsep dan merealisasikan (Elvandi, 2011). Tidak terelakkan bahwa politik memanglah melekat pada diri manusia. Di belahan dunia manapun, politik menjadi sesuatu yang paling berpengaruh. Tak terkecuali pada negara-negara Islam. Namun, ketika kata ‘Politik’ berdampingan dengan kata ‘Islam’ berapa banyak kaum sekuler yang akhirnya mundur dan menyatakan ketidaksepakatannya. Meneriakkan penolakan dan menyatakan bahwa politik tidak ada sangkut paunya dengan agama. Pemahaman seperti ini akhirnya memetakan bahwa hanya ada dua kelompok manusia di dunia, yaitu kelompok agamawan dan kelompok politikus. Hasan Al Banna menyatakan dalam bukunya yang berjudul Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, bahwa sesungguhnya dalam Islam ada politik, namun politik yang ada padanya terletak kebahagiaan dunia dan akhirat. Secara sederhana politik islam dapat diartikan sebagai politik yang dilakukan dengan syariah-syariah Islam. Kemudian para pelaku politik Islam ini boleh disebut sebagai politikus muslim. Sehingga benar jika pada tulisan ini akan kita bahas politik politikus muslim sebagai kompetensi baru yang harus dimiliki dan dijalani oleh seorang muslim negarawan. Politikus: Politik Internal dan Eksternal Pemahaman tentang politik memanglah sangat luas, namun yang akan dibahas dalam tulisan ini yaitu tentang politik praktis secara umum. Artinya peran politikus muslim yang sama sekali tidak terikat pada kepartaian. Dalam buku Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin jilid 2, Hasan Al Banna menyebutkan bahwa ada perbedaan yang mendasar antara kepartaian dan politik. Keduanya bisa bersatu namun bisa juga berseteru. Kemudian dilanjutkan juga pembagian ranah politik internal dan juga eksternal. Makna internal dalam politik yaitu seperti mengatur roda pemerintahan, menjelaskan tugas-tugasnya, merinci hak-hak dan kewajiban-kewajiban, mengontrol dan membantu para petinggi agar mereka ditaati jika berbuat baik dan diluruskan jika menyimpang. Sedangkan makna eksternalnya adalah menjaga kebebasan dan kemerdekaan umat, menanamkan rasa percaya diri, kewibawaan, dan meniti sasaran-sasaran yang mulia. Maka politikus muslim dapat saja memaknai dan menjalankan politik secara internal maupun ekstenal. Alternatif Politik Politikus Muslim Setiap politikus muslim tentu mendambakan kehidupan sejahtera dalam sebuah negara Islami. Mengembalikan kekuatan politik umat islam dalam sebuah negara yang Islami menjadi cita-cita mulia para politikus muslim. Dalam buku berjudul Inilah Politikku karya Muhammad Elvandi, dijelaskan bahwa politikus muslim dihadapkan pada tiga alternatif gaya perjuangan politik islam untuk mencapai cita-cita membentuk negara Islami. Diantaranya yaitu konfrontasi politik (Al Mughalabah As-Siyasiyyyah), Revolusi politik (Ats-Tsaurah As- Siyasiyyah), dan Partisipasi politik (Al-Musyarakah As-Siyasiyyah). Dari ketiga alternatif tersebut, jika dibandingkan dari kesesuaiannya dengan kondisi pemerintahan dan masyarakat saat ini, serta dibandingkan juga dari yang paling sedikit dampak negatifnya juga paling mungkin untuk dilakukan adalah partisipasi politik atau musyarakah. Kondisi yang sedang dihadapi oleh umat muslim saat ini adalah bahwa sistem pemerintahan yang saat ini berlangsung tidak menerapkan aturan Allah. Sistem tersebut secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu sistem demokrasi dan otoriter. Kedua pilihan tersebut bukanlah konsep pemerintahan dari Allah, tidak pula ideal namun ternyata harus tetap dihadapi dan dijalani. Maka butuh siasat untuk menjalankannya agar nilai-nilai keislaman dapat tetap dijalankan dalam pemerintahan. Dengan dua pilihan ini politikus muslim harus pandai memilah dengan berbagai pertimbangan, bukan memilih antara yang ideal atau tidak, tapi memilih sistem yang lebih memungkinkan, yang lebih dekat dengan kemaslahatan umat Islam. Muncul ketakutan-ketakutan dari para musuh Islam tatkala politikus muslim mulai menampakkan pehamanannya tentang senjata politik modern. Senjata yang selama ini digunakan untuk menipu dan memberdayakan negara- negara Islam, yaitu demokrasi (Elvandi, 2011). Mereka sangat khawatir jika umat Islam pandai menggunakan demokrasi. Maka disinilah kontribusi para politikus muslim dinantikan. Kompetensi muslim yang harus terus diperbaharui dan ditingkatkan yaitu mengenai pemahaman politik, menjalankan politik, serta siasat mengelola demokrasi. Kontribusi Politikus Muslim Setiap politikus muslim yang bergerak perlu memahami landasan syar’i tentang aktivitas politiknya. Khususnya politikus muslim yang berpartisipasi dalam politik praktis, baik dalam parlemen maupun kementerian dan bidang- bidang birokrasi. Landasan syar’i dari partisipasi politikus tersebut adalah Al Quran, Sunah, kaidah fiqih, maslahah, dan argumen para ulama. Masuknya para politkus dalam sistem pemerintahan sebagai bentuk kontribusi dengan tujuan untuk menciptakan sistem pemerintahan yang jauh lebih baik lagi tentu membutuhkan strategi dan juga keilmuan yang mumpuni. Pemikiran-pemikirannya harus mampu mempengaruhi dan sebisa mungkin untuk menciptakan nuansa-nuansa Islami, hingga akhirnya demokrasi yang terjalin adalah demokrasi yang diharapkan oleh umat muslim. Agenda politik semakin menumpuk dan menggunung. Perlu penyelesaian segera, penyelesaian dengan keimanan yang kokoh, semangat yang terus menyala, keikhlasan yang tiada tara, dan kinerja seperti baja. Negara sebagai organisasi untuk merepresentasikan Islam ke seluruh umat manusia di dunia. Merujuk hal tersebut maka berat sekali tuntutan kualifikasi seorang politikus muslim untuk tampil di hadapan panggung peradaban internasional sebagai representasi Islam yang berwibawa. Butuh dari hanya sekedar bekal filosofis. Tapi butuh banyak amunisi untuk menghadapi estafet perjuangan politik yang panjang, karena seriap politikus perlu bertransformasi dari sekedar politikus biasa menjadi negarawan besar. Sudah tidak ada waktu lagi bagi para pemuda ntuk segera mentransformasikan diri menjadi seorang politikus muslim, kemudian bergerak memperbaiki pemerintahannya. Bahkan tidak cukuyp dengan pergerakan yang biasa saja. Hal ini karena peradaban dunia sudah terlalu lama menunggu munculnya politikus muslim yang siap menjadi negarawan tangguh. Saat ini yang kita butuhkan adalah para politikus muslim yang bergerak seperti gelombang, berlari seperti sungai terderas (Elvandi, 2011).