Anda di halaman 1dari 10

memang sulit bagi muslim untuk menyikapi polemik keistimewaan DIY sekarang ini.

Penetapan
atau pemilihan, bukanlah pilihan-pilihan yang benar. Namun yang jelas, Islam mengatakan tidak
untuk pemilihan (pemilu kada), karena gubernur dalam pandangan Islam bukan hasil pilihan
rakyat, melainkan diangkat oleh kepala negara (khalifah). Islam juga mengatakan tidak untuk
penetapan, karena Islam tidak mengenal proses pewarisan kekuasaan yang turun temurun.
Islam juga mengatakan tidak untuk demokrasi, karena demokrasi memaksakan sebuah prinsip
yang fatal sekali kekeliruannya menurut Islam, yaitu manusia diberi hak membuat hukum.
Yang benar, seorang gubernur (wali) dalam Islam itu diangkat oleh Khalifah (kepala negara),
bukan dipilih oleh rakyat. Dan proses ini tentu harus dijalankan dalam bentuk negara yang
benar sesuai ajaran Islam, yaitu sistem Khilafah, bukan sistem republik (demokrasi) seperti yang
ada sekarang. Wallahu alam.
Bertempat di Kuala Lumpur, Malaysia, pada tanggal 13 – 15 Juni, 2006, Friedrich Naumann
Stiftung menyelenggarakan seminar internasional yang berjudul “Strengthening liberal
democracy in Muslim societies - the contribution of the Friedrich-Naumann-Stiftung.”

Pengalaman FNS yang selama ini bekerja di negara-negara yang memiliki mayoritas penduduk
beragama Islam, dengan berbagai isu yang dihadapi seperti hubungan masyarakat sipil dengan
negara, ekonomi pasar, penegakan hukum, dan politik Islam, ikut dipertukarkan dan
didiskusikan selama seminar berlangsung. Direncanakan pada akhir seminar diproduksi sebuah
kertas kerja yang berisi orientasi program FNS dimasa yang akan datang dalam mendukung
berkembangnya demokrasi liberal di negara-negara Muslim serta bentuk pengembangan
kapasitas yang dapat sejalan denagn tujuan tersebut.
Seminar yang berlangsung selama tiga hari tersebut terbagi dalam 4 sesi yang terdiri dari, 1.
Negara dalam masyarakat Muslim; 2. Ekonomi pasar dalam masyarakat Muslim; 3. Penegakan
hukum dalam masyarakat Muslim; dan 4. Politik Islam.

Pada sesi pertama seminar yang berlangsung di MiCasa All Suites Hotel, Kuala Lumpur,
Malaysia, tersebut didiskusikan berbagai aspek yang menyangkut keempat topik utama diatas
yang antara lain menyangkut hubungan antara agama dengan negara, respon pemerintah
terhadap fundamentalisme Islam, aspek modern dan konservatif dalam program-program yang
dimiliki oleh partai-partai Islam, dampak globalisasi terhadap masyarakat Muslim, dan
hubungan antara Islam dengan beberapa prinsip ekonomi pasar. Berbagai topik tersebut
didiskusikan lebih lanjut pada sesi-sesi berikutnya dengan mendapatkan beberapa masukan
dari pakar yang menekuni isu-isu tersebut.
Pidato kenegaraan Pak SBY tadi pagi menyatakan bahwa negara kita, Indonesia, sudah dikenal
sebagai negara demokrasi terbesar setelah India dan Amerika. Ini merupakan keberhasilan
pemerintah dalam melaksanakan perubahan demokrasi yang fundamental. Bangsa Indonesia
pun telah membongkar dan membangun, telah melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi
terhadap tatanan dasar dalam kehidupan politik, sosial, hukum, dan ekonomi, serta telah
melakukan tiga pemilu yang jujur dan adil. Tak mengejutkan kalau ada yang mengatakan bahwa
ini sesungguhnya adalah revolusi diam-diam, atau the quiet revolution. Saya sendiri baru tahu
istilah “Revolusi diam-diam” ini.Parahnya, demokrasi pun makin kebablasan ketika orang-orang
tertentu bebas menghakimi dan menghujat golongan-golongan tertentu, agama tertentu, dan
suku bangsa tertentu. Kebebasan berekspresi atas nama demokrasi itu tak diiringi dengan
kedewasaan berpikir, seakan-seakan mereka bebas melontarkan apa saja pada pihak lain tanpa
berpikir dampak dan konsekuensinya. Pokoknya asal nyablak, namanya juga zaman demokrasi.

Kesuksesan demokrasi di negeri Republik ini memang patut diacungi jempol, tapi untuk apa
kalau malah memecah belah masyarakat. Untuk apa demokrasi kalau pengangguran tak
mampu dituntaskan, harga-harga kebutuhan pokok makin tinggi, rakyat kecil dan miskin tak
mendapatkan pembelaan dan kepastian hukum, korupsi tak bisa dibasmi, biaya pendidikan
makin mahal, macet makin menggila dan merajalela, jaminan kesehatan masih di awang-
awang, dan kemiskinan masih menghantui masyarakat. Seharusnya keberhasilan demokrasi
digunakan untuk mendengar jeritan rakyat yang makin terpuruk dari waktu ke waktu, untuk
kemudian diperbaiki secara nyata. Kalau disuruh pilih, antara beras murah dan demokrasi, pasti
rakyat akan pilih beras murah, pasti itu.
Tepatnya 9 April 2009 (besok) di Indonesia diadakan pemilu yang akan memilih para wakil
rakyat yang akan duduk di kursi MPR, DPR RI pusat dan DPR tingkat daerah. Walaupun antusias
masyarakat untuk ikut serta dalam pesta demokrasi di tahun ini serasa kurang dibanding
periode pemilu sebelumya, namun dengan memegang predikat negara demokrasi terbesar
ketiga didunia setelah Amerika Serikat dan India, Indonesia tetap melaksanakan pemilu dengan
dana yang sangat besar berkisar diatas Rp 50 trilyun lebih, dan dana ini belum termasuk dana
partai maupun caleg yang mereka keluarkan untuk mengkampanyekan diri agar dikenal oleh
rakyatnya.Lagi-lagi masyarakat hanya bisa menjadi penonton aksi para politikus dengan janji-
janji yang dibuat manis ditelinga, tidak peduli bagaimana nanti melaksanakan janjinya-itu
urusan belakangan, yang penting dapat kursi. Semua janji parta-partai maupun caleg peserta
pemilu menjanjikan perubahan, perubahan agar Indonesia menjadi lebih baik dengan
mengeluarkan visi-misi yang akan dilaksanakan ketika memenangkan pemilu putaran pertama
ini.Namun disini sedikit pun tidak pernah terdengar visi-misi untuk mengganti sistem demokrasi
yang selama 63 tahun telah terbukti gagal menyejahterakan rakyat Indonesia. Padahal dengan
tetap memakai system yang sama, mustahil Indonesia dapat sejahtera dengan kembali
menguasai 83% kekayaan migas yang telah dicaplok asing melalui mekanisme demokrasi. Juga
mustahil bagi Indonesia untuk terlepas dari kepentingan-kepentingan asing melalui undang-
undang yang telah dibuat oleh para wakil rakyat periode sebelumnya. Tidak pernah kita dengar
ada sebuah undang-undang yang terkait dengan kepentingan asing dicabut untuk kemakmuran
rakyat. Yang ada hanya penurunan kebijakan harga BBM karena mengikuti harga minyak dunia
yang turun akibat krisis global. Yang tentu saja sangat tidak mungkin ada kebijakan menurunkan
harga BBM jika tidak terjadi anjloknya harga minyak dunia.

Demokrasi liberal selalu menghasilkan citra dan harapan yang luar biasa bagi pemeluknya.
Semua kaum demokrat yang beriman pada demokrasi liberal akan mengalami candu kebebasan
hidup.

Padahal, romantisme kebebasan dapat mengakibatkan kebiasaan berfantasi yang akan


menjadikannya ”tidak mampu” untuk menyesuaikan diri dalam kehidupan nyata. Inilah yang
sedang terjadi di Indonesia. Setiap caleg dan capres/cawapres sedang berlomba-lomba
memoles wajahnya melalui iklan-iklan politik agar mendapat simpati publik.

Jika mencermati janji dalam iklan-iklan itu seakan-akan kita melihat bahwa mereka (yang
beriklan) lebih utama dari bekerja. Mereka yang belum bekerja, seakan-akan sudah bekerja.
Mereka yang tak punya visi, seakan-akan punya gagasan besar yang dapat diimplementasikan.
Mereka yang berwajah bopeng dan tak sempurna,
Begitu mudahnya pemerintah memberikan pengolahan sumber daya alam (SDA) negeri ini
kepada pihak asing, ini menggambarkan bahwa nasionalisme kalangan pemimpin di negeri ini
patut dipertanyakan.
Contohnya, Pertamina tetap menggunakan pihak asing untuk melakukan pengeboran. Begitu
juga kerjasama dengan negara Malyasia di bidang perkebunan. “Apakah tidak ada investor
dalam negeri yang mampu mengerjakannya,”.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini, menyampaikan agar seluruh masyarakat
kembali mendalami nilai-nilai nasionalisme tanpa memandang suku, ras maupun agama dan
kelompok agar bangsa ini tidak menjadi kuli di negeri sendiri.
Selain itu, pemerintah juga harus menyaring budaya dari luar sehingga tak merusak kultur yang
ada. Salah satu bentuk nasionalisme adalah mempertahankan budaya sendiri.
Salah satu yang melemahkan nasionalisme di kalangan anak muda adalah karena pemerintah
kurang mampu memproteksi budaya bangsa sendiri. “Lunturnya rasa nasionalisme karena
kekuasaan yang ada di republik ini tidak pernah berpihak kepada bangsa sendiri,”.
Sepi, sunyi, senyap, itulah yang terjadi di Pergerakan yang telah kita cintai ini, Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia Kota Banda Aceh telah memiliki kader ratusan bahkan ribuan orang.
Dokumentasi, foto-foto yang tersimpan rapi di sekretariat hanya menjadi kenangan masa lalu,
bakti sosial di Aceh singkil, Cash for Work di Lamteumen dan Perumnas Ajuen mengingatkan
sahabat-sahabat akan kejayaan PMII.
Meninjau Sejarah Demokrasi

Demokrasi sebenarnya lahir pada abad ke 5 SM di Yunani. Pada waktu itu dalam sejarah
pemikiran politik barat di Yunani telah muncul Negara Negara kota-city state. Jumlah
penduduknya menurut Herodotus dan Aristophanes, sekitar tiga puluh ribu orang. Karena itu
komunikasi politik tidak terlalu sukar dilakukan dalam negara kota tersebut dan sistem
Demokrasi Langsung bisa dilaksanakan secara baik di negara-negara kota itu. Orang-orang
Yunani telah mengamalkan demokrasi di kota Athas dan Sparta. Keseluruhan rakyat lelaki
secara langsung terlibat didalam pemerintahan, dimana mereka akan berkumpul
diperhimpunan umum dan bermusyawarah didalam semua urusan pemerintahan. Mereka akan
melantik seorang ketua dan akan merancang serta mensahkan undang-undang menjalankan
segala perlaksanaanya dan menjatuhkan hukuman terhadap pelanggarnya. Namun demokrasi
ini telah tamat bersamaan dengan tamatnya kerajaan kota Athas (Athena) dan Sparta.

Juga dengan berkembangnya zaman jelas tidak memungkinkan lagi semua pendapat dari
masyarakat (misal 200 juta – 1 Milyar penduduk) dihimpun dan dibahas bersama-sama.
Sehingga kemudian muncullah system perwakilan. Nah disinilah mulai timbul permasalahan,
siapa sebenarnya yang diwakili; kepentingan rakyat banyak? ataukah kepentingan para pemilik
modal?-sebab untuk dapat menjabat sebagai wakil rakyat harus melalui mekanisme pemilu
yang tentu saja memerlukan dana tidak sedikit yang biasanya didapatkan dari koceknya para
pemilik modal.
Beberapa Kritikan Terhadap Demokrasi

 · Dalam bukunya Reaganism and the Death of Representative Democracy, Walter


William seorang professor emeritus dari Universitas Washington, mengatakan bahwa
pemerintahan Amerika semenjak zaman Reagan hingga saat ini adalah “Government of
the Wealthy, for the wealthy” (pemerintahan si kaya untuk kepentingan si kaya)
Perubahan nilai dalam demokrasi ini disebabkan adanya sistem lobbi yang memberi
peluang bagi kapitalis-kapitalis, yang mayoritasnya Yahudi, untuk menentukan segala
kebijaksanaan pemerintah.
 · Kritikan lebih pedas lagi diutarakan oleh Chomsky, beliau mengatakan bahwa Amerika
tidak kurang terorisnya berbanding mana-mana Negara yang diklaim sebagai teroris.
Karena Amerika berambisi untuk mewujudkan empayar dunia dan semua konspirasi
dilakukan untuk merealisasikan “imperial grand strategy” (strategi penjajahan yang
besar). Antara konspirasi yang sudah tidak asing lagi adalah konspirasi 11 september
yang menjadi alasan perang terhadap keganasan umat Islam. Demikian dijelaskan oleh
Mathias Brockers, penulis Jerman yang berhasil mendedahkan konspirasi Amerika agar
dunia percaya ia dilakukan oleh teroris.
 · Abu A’la Al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya,Islam tidak
mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk
menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari
pertentangan Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler.
 Di dalam kitabnya ‘Nazariat Islamiah al biah’ beliau mengungkapkan “sesungguhnya
kerajaan(pemerintahan) Islam bukanlah demokrasi. Demokrasi adalah ibaratdaripada
manhaj pemerintahan yang kekuasaannya milik rakyat keseluruhannya. Tidak akan
berubahnya undang-undang melainkan dengan pandangan orang banyak, bahkan
undang-undang juga tidak akan dibuat melainkan berdasarkan pengiraan kehendak
akal mereka,sehingga perlaksanaannya daripada undang-undang tersebut melainkan
mengikut rekaan diri mereka. Setiap yang tidak dikehendaki oleh akal mereka akan
terbina tembok penghalang dan dikeluarkan dari parlemen. Inilah yang ada pada ciri-ciri
Republik: “Engkau akan melihat sesungguhnya demokrasi tidak ada sesuatupun
daripada Islam. Jadi tidak betul mensandarkan ungkapan Republik atau Demokrasi
kepada sistem pemerintahan Islam.
 · Syekh Muhammad Qutb Didalam kitab ‘Mazahib fikriah al mu’asarah’ menyatakan dua
hakikat yang tidak boleh dilupakan dalam demokrasi yaitu:

1. Tidak sepatutnya kita sertakan sistem-sistem Islam kepada system Jahiliah. Lebih-lebih
lagi kita coba untuk menyandarkan system yang ditetapkan oleh Allah kepada sistem
Jahiliah atau kita menggambarkan akan pujian sistem Islam apabila wujudnya titik
pertemuan dengan sistem Jahiliah. Firman Allah Ta’ala yang bermaksud: “Maka apakah
kamu mencari hukum jahiliah? Sedang hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum
yang diturunkan oleh Allah bagi orang-orang yang yakin“.
2. Walaupun Islam dan demokrasi mempunyai keserupaan didalam beberapa noktah
tetapi ia berbeda besar pada kaedah dasar. Islam berdiri di atas kaedah yang
mempunyai perbedaan yang kukuh daripada kaedah yang didirikan oleh demokrasi. Dan
Islam meletakkan pengabdiannya yang mutlak kepada Allah dan melaksanakan
syariatnya sehingga terlaksana di bumi nyata sebagai alamat kepada mentauhidkan
Allah, namun demokrasi ialah pengabdian selain Allah. Pemerintahan undang-undang
manusia dan peneguhannya di bumi nyata sebagai tanda pengabdian selain dari Allah.

Anda mungkin juga menyukai