Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH AGAMA ISLAM

EKONOMI SYARIAH
Makalah ditulis sebagai tugas pengganti kuliah
Pendidikan agama dan etika islam dari dosen pengajar
DR.H.JAJA JAHARI,M.Pd

Disusun oleh:
Rio Nirvan Ardiyansah 1104193057

Kelas
TF 43 02

FAKULTAS TEKNIK ELETRO


TELKOM UNIVERSITY
2020
BAB 11

POLITIK DAN MASYARAKAT MADANI

A. Pengertian Masyarakat Madani

Masyarakat Madani (dalam bahasa Inggris: civil society) dapat diartikan


sebagai suatu masyarakat yang beradab dalam membangun, menjalani, dan memaknai
kehidupannya. Kata madani sendiri berasal dari bahasa arab yang artinya civil atau
civilized (beradab). Istilah masyarakat madani adalah terjemahan dari civil atau
civilized society, yang berarti masyarakat yang berperadaban. Untuk pertama kali
istilah Masyarakat Madani dimunculkan oleh Anwar Ibrahim, mantan wakil perdana
menteri Malaysia. Menurut Anwar Ibrahim, masyarakat madani merupakan sistem
sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara
kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat. Inisiatif dari individu dan
masyarakat akan berupa pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintah yang berdasarkan
undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu.

B. Unsur-unsur Masyarakat Madani

Masyarakat madani tidak muncul dengan sendirinya. Ia menghajatkan unsur-


unsur sosial yang menjadi prasayarat terwujudnya tatanan masyarakat madani.
Beberapa unsur pokok yang dimiliki oleh masyarakat madani adalah:

1. Adanya Wilayah Publik yang Luas

Free Public Sphere adalah ruang publik yang bebas sebagai sarana untuk
mengemukakan pendapat warga masyarakat. Di wilayah ruang publik ini semua
warga Negara memiliki posisi dan hak yang sama untuk melakukan transaksi sosial
dan politik tanpa rasa takut dan terancam oleh kekuatan – kekuatan di luar civil
society.
2. Demokrasi

Demokrasi adalah prasayarat mutlak lainnya bagi keberadaan civil society yang
murni (genuine). Tanpa demokrasi masyarakat sipil tidak mungkin terwujud.
Demokrasi tidak akan berjalan stabil bila tidak mendapat dukungan riil dari
masyarakat. Secara umum demokrasi adalah suatu tatanan sosial politik yang
bersumber dan dilakukan oleh, dari, dan untuk warga Negara.

3. Toleransi

Toleransi adalah sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan pendapat.

4. Pluralisme

Kemajemukan atau pluralisme merupakan prasayarat lain bagi civil society.


Pluralisme tidak hanya dipahami sebatas sikap harus mengakui dan menerima
kenyataan sosial yang beragam, tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk
menerima kenyataan perbedaan sebagai sesuatu yang alamiah dan rahmat Tuhan yang
bernilai positif bagi kehidupan masyarakat.

5. Keadilan social

Keadilan sosial adalah adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional atas
hak dan kewajiban setiap warga Negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan:
ekonomi, politik, pengetahuan dan kesempatan. Dengan pengertian lain, keadilan
sosial adalah hilangnya monopoli dan pemusatan salah satu aspek kehidupan yang
dilakukan oleh kelompok atau golongan tertentu.

C. Ciri-ciri Masyarakat Madani


Merujuk pada Bahmuller (1997), ada beberapa ciri-ciri masyarakat madani, antara
lain:[1]

Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok eksklusif ke dalam


masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.[1]

Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi


dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.[1]

Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan


organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap
keputusan-keputusan pemerintah.[1]

Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu


mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri
(individualis).[1]

Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan


berbagai perspektif.

D. Politik Dalam Perspektif Islam

Politik didalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu,
didalam buku-buku para ulama salafush shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah,
misalnya dalam Al Muhith. Siyasah berakar kata sâsa – yasûsu. Dalam kalimat Sasa
adaawaba yasusuha siyasatan berarti Qama’alaiha wa radlaha wa adabbaha
(mengurusinya, melatihnya dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya
dabbarahu (mengurusi / mengatur perkara).
Jadi, asalnya makna siyasah (politik) tersebut diterapkan pada pengurusan dan
pelatihan gembalaan. Lalu, kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan
manusia dan orang yang mengurusi urusan-urusan manusia tersebut dinamai
politikus (siyasiyun). Dalam realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulil amri saat
mengurusi urusan rakyatnya, mengaturnya, dan menjaganya.

Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya :


"Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya).
Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi
setelahku, namun akan ada banyak para khalifah" (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian politik atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan
masyarakat. Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum
muslimin dengan cara menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan
melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk itu kita perlu mengetahui apa
yang dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin,
mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta
memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti
ditegaskan dalam banyak hadits terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui
Rasulullah SAW. Berkaitan dengan persoalan ini Nabi Muhammad SAW bersabda :

"Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah
(hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan
kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka." (HR. Al Hakim).

E. Prinsip-prinsip Politik Dalam Islam

Prinsip-prinsip politik Islam, terutama terkait dengan kepemimpinan, di tinjau


dari perspektif Al-Quran dan Hadist bisa dijelaskan seperti berikut ini:
1) Tidak memilih orang kafir sebagai pemimpin (QS. An-Nisa’ (4):144), orang-
orang yahudi dan nasrani (QS. Al-Maidah (5):51-53), orang-orang yang
mempermainkan agama dan mempermainkan shalat (QS. Al-Maidah (5):56-
57), musuh Allah Swt. Dan musuh orang mukmin (QS. Al-Mumtahanah
(60):1), dan orang-orang yang lebih mencintai kekufuran dari pada iman (QS.
At-Taubah (9):23).
2) Setiap kelompok harus memilih pemimpin sebagaimana di jelaskan dalam
hadist: “jika tiga orang melakukan suatu perjalanan, angkat salah seorang di
antara mereka sebagai pemimpin” (HR. Abu Daud).
3) Pemimpin haruslah orang-orang yang dapat diterima, sebagaimana di jelaskan
dalam hadist :” sebaik-baiknya pemimpin adalah mereka yang kamu cintai
dan mencintai kamu, kamu berdoa untuk mereka dan mereka berdoa untukmu.
Seburuk-buruk pemimpinmu adalah mereka yang kamu benci dan mereka
membencimu, kamu melaknati mereka dan melaknati kamu” (HR. Muslim).
4) Pemimpin yang maha mutlak hanyalah Allah Swt. Sebagaimana di jelaskan
dalam Al-Quran: “Maha Suci Tuhan yang di tangan-nyalah segalah kerajaan
dan Dia maha kuasa atas segalah sesuatu” (QS. Al-Mulk (67):1); “dan
kepunyaan Allah lah kerajaan antar keduanya” (QS. Al-Maidah (5):18).
5) Kepemimpinan Allah Swt. Terhadap alam ini sebagian di delegasikan kepada
manusia, sesuai yang dikehendakiNya:” Katakanlah Wahai Tuhan yang
mempunyai kerajaan Engkau berikan kerajaan kepada orang yang engkau
kehendaki” (QS. Ali Imran (3):26). Status kepemimpinan manusia hanya
sebagai amanah dari Allah Swt. Yang sewaktu-waktu diberikan kepada
seseorang dan diambil dari seseorang.
6) Memperhatikan kepentingan kaum Muslimin. Prinsip ini di dasarkan pada
sabda Nabi Saw. : “siapa yang memimpin, sedangkan ia tidak memperhatikan
urusan kaum muslimin, tidaklah ia termasuk dalam golongan mereka” (HR.
Al-Bukhari).
Semoga pembaca yang membaca makalah ini mendapatkan mafaat dari ilmu
ini. Semoga bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai