Anda di halaman 1dari 12

MODUL

Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam


Disajikan pada Minggu ke- 10
Dosen Pengampu:
Dr. H. Ahmad Kosasih, M.A

Materi - 9
POLITIK DAN HAM DALAM ISLAM

Learning Outcomes
Mengenal, memahami, menganalisis, mendiskusikan dan membuat kesimpulan materi politik dan
Ham dalam Islam .

Pokok-pokok Materi

A. Konsep Politik Islam


1. Pengertian Politik Islam
Islam bukanlah semata agama (a religion) namun juga merupakan sistem politik (a
political sistem). Islam lebih dari sekedar agama, ia mencerminkan teori-teori perundang-
undangan dan politik. Islam merupakan sistem peradaban yang lengkap, yang mencakup
agama dan Negara secara bersamaan (M.Dhiaduddin Rais, 2001:5). Nabi Muhammad SAW
adalah seorang politikus yang bijaksana. Di Madinah beliau membangun Negara Islam
moderen pertama yang didirikan di atas prinsip-prinsip utama berdasarkan aturan syariat.
Nabi Muhammad pada waktu yang sama menjadi kepala agama dan kepala Negara. Karena
itu Islam tidak dapat melepaskan diri dari kegiatan politik.

Kata politik berasal kata politicos (Yunani) atau politicus (Latin) yang berarti relating to
citizen. Kedua kata tersebut berasal dari polis yang berarti kota. Di dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesai disebutkan, politik adalah segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dsb)
mengenai pemerintahan negara atau thd negara lain. Juga dlm arti “kebijakan, cara bertindak
(dlm menghdapi atau menangani satu masalah). Di dlm bahasa Arab kata politik terambil dari
kata ٌ‫سة‬
َ ‫سيَا‬
ِ - ‫اس‬
َ ‫س‬َ yang berarti mengatur, mengemudikan/mengendalikan memimpin/memenej
dan memerintah.

Sedangkan uraian Al-Qur’an tentang politik dapat ditemukan pada ayat-ayat yang berakar dari
kata hukum. Dari akar kata yang sama terbentuk kata hikmah, yang pada mulanya berarti
kendali. Makna ini sejalan dengan asal kata“sasa”, “yasusu” yang berarti kendali (M.Quraish
Shihab, 1999:417). Prof. Miriam Budiarjo (1977:8) mengemukakan, politik (polite) pada
umumnya dapat dikatakan “bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistim politik (atau
negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan
tujuan-tujuan”.
Disisi lain terdapat persamaan makna antara pengertian kata hikmah dan politik.
Sementara ulama mengartikan hikmah sebagai kebijaksanaan atau kemampuan menangani
satu masalah sehingga mendatangkan manfaat atau menghindarkan mudarat. Pengertian ini
sejalan dengan makna yang dikemukakan kamus besar bahasa Indonesia. Dengan kata hikmah
dapat diambil kesimpulan bahwa M.Quraish Shihab lebih cenderung mengartikan politik

1
sebagai segala urusan dan tindakan berupa kebijakan dan siasat mengenai pemerintah negara
dan terhadap negara lain dengan tujuan untuk kemaslahatan bersama.
Dalam term politik Islam, politik itu identik dengan siyasah, yang secara kebahasaan
artinya mengatur. Fikih siyasah adalah aspek ajaran Islam yang mengatur sistem kekuasaan
dan pemerintahan. Politik sendiri artinya segala keputusan dan tindakan (kebijakan, siasat,
dan sebagainya) mengenai pemerintahan suatu negara, dan kebijakan suatu negara terhadap
negara lain. Dan dapat juga berarti kebijakan atau cara bertindak suatu negara dalam
menghadapi atau menangani suatu masalah. Sedangkan menurut Munawir Sjadzali dalam
bukunya Islam dan Tata Negara (1990:2-3), sistim politik adalah suatu konsepsi yang
berisikan antara lain ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan Negara, siapa
pelaksana kekuasaan tersebut, apa dasar dan bagaimana cara untuk menentukan pemegang
kekuasaan Negara melaksanakan kekuasaan itu bertaanggungjawab dan bagaiamana bentuk
tanggungjawab pemegang kekuasaan Negara.
Dalam fikih siasah disebutkan bahwa garis besar fikih siasah meliputi:
(1). Siasah Dusturiyyah (Tata Negara dalam Islam)
(2). Siasah Dauliyyah (Politik yang mengatur hubungan antara satu negara Islam dengan
negara Islam yang lain atau dengan negara atau dengan negara sekuler lainnya.
(3). Siasah Maaliyah (Sistem ekonomi negara).
Kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi yang dapat mempersatukan kekuatan-kekuatan
dan aliran-aliran yang berbeda-beda di masyarakat. Dalam konsep Islam, kekuasaan tertinggi
adalah Allah SWT. Ekspresi kekuasaan dan kehendak Allah tertuang dalam Al-Quran dan
Sunnah Rasul. Oleh karena itu penguasa tidaklah memiliki kekuasaan mutlak, ia hanyalah
wakil (khalifah) Allah di muka bumi yang berfungsi untuk membumikan sifat-sifat Allah
dalam kehidupan nyata. Di samping itu, kekuasaan adalah amanah Allah yang diberikan
kepada orang-orang yang berhak memilikinya. Pemegang amanah haruslah menggunakan
kekuasaan itu dengan sebaik-baiknya. Sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yang telah
ditetapkan Al-Quran dan Sunnah Rasul.

2. Prinsip Dasar politik Islam


Sistem politik Islam berdasarkan atas tiga tiga prinsip yaitu:
(1) Tauhid. Pandangan Islam terhadap kekuasaan tidak terlepas dari ajaran tauhid bahwa
penguasa tertinggi dalam kehidupan manusia, termasuk dalam kehidupan politik dan
bernegara adalah Allah SWT (QS.5:18). Berdasarkan prinsip ini, seorang pemegang
kekuasaan (pemimpin) dalam menjalankan kekuasaannya harus selalu ingat bahwa ia
akan mempertanggungjawabkannya kepada Allah Sang Maha Pencipta.
(1) Khalifah. Seorang pemimpin adalah berfungsi sebagai khalifah (mandataris) Allah
dan hanya sebagai pelaksana amanah-Nya dalam kehidupan ini (QS.2:30). Apapun
tindakan yang dijalankannya harus sesuai dengan ketentuan hukum dan aturan Allah.
(2) Risalah. Maksudnya, seorang pemimpin dalam pandangan Islam adalah pengemban
atau pelanjut misi seorang Nabi sebagai pembawa risalah. Karena itu, dalam
melaksanakan kekuasaannya ia harus berpedoman kepada nilai-nilai yang terkandung
dalam Al-Qur`an dan hadis. Maka risalah itulah yang harus dijadikan pedoman serta
panduan dalam melaksanakan kekuasaannya.
Sedangkan dalam mengambil keputusan untuk kemaslahatan bersama, politik Islam
berlandasan pada prinsip-prinsip antara lain: (1) Musyawarah (2) Tujuan bersama dan
keputusan itu merupakan penyelesaian dari suatu masalah yang dihadapi bersama. (3)
Keadilan (4) Kesetaraan (al-musaawah) atau persamaan, dan (5) Al-hurriyyah
(kemerdekaan/kebebasan berpendapat) (6) Perlindungan jiwa raga dan harta masyarakat.

2
3. Tujuan Politik Islam
Politik Islam dalam bentuk gerakan berarti melakukan upaya keras bersama
untuk menyebarluaskan ajaran Islam dalam dimensi sosialnya agar dipraktekkan dalam
kehidupan bernegara untuk kebaikan nasib bangsa dan negara itu sendiri. Politik Islam yang
pada hakikatnya adalah perjuangan penegakan syari’at sosial Islam dalam lingkup bangsa-
negara jelas untuk menyelamatkan bangsa-negara itu dari krisis-krisis sosialnya agar bisa
menjadi bangsa yang maju, bermoral, aman dan sejahtera, mendatangkan kemanfa’atan pada
bangsa lain, bukan mengeksploitasi atau menjajah bangsa lain.
Menegakkan Negara Islam bukanlah merupakan tujuan utama. Tujuan utamanya
adalah untuk mewujudkan satu umat yang berdiri di atas kebaikan dan keadilan, yaitu umat
yang mampu membenarkan yang benar dan mampu membatilkan yang batil. Melindungi
orang umat dari kezaliman serta menegakkan keadilan di muka bumi ini merupakan tujuan
yang ingin dicapai oleh risalah Islam dari segi kemasyarakatan. Firman Allah swt QS. Ali
‘Imran ayat110:

Artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli
Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

4. Norma-norma Politik dalam Islam


Adapaun praktek politik menurut Islam adalah dengan memperhatikan norma-norma sebagai
berikut:
(1) Politik adalah alat atau sarana utk mencapai tujuan, bukan tujuan
(2) Politik selalu berhubungan dengan kemaslahatan umat
(3) Kekuasaan mutlak adalah milik Allah, sedangkan manusia hanyalah pengemban amanah
(4) Pengangkatan pemimpin melalui syura = musyawarah (demokrasi)
(5) Taat kpd pemimpin wajib setelah taat kpd Allah dan Rasul
(6) Islam tdk menentukan secara eksplisit bentuk negara/pemerintahan.

B. Demokrasi dan HAM dalam Islam

1. Demokrasi dalam Islam


Demokrasi Islam dianggap sebagai sistem yang mengukuhkan konsep-konsep
Islami yang sudah lama berakar, yaitu musyawarah (syura), persetujuan (ijma’), dan
penilaian interpretative yang mandiri (ijtihad). Perlunya musyawarah merupakan
konsekuensi pilitik kekhalifahan manusia. Masalah musyawarah ini dengan jelas juga
disebutkan dalam QS.42:28, yang isinya berupa perintah kepada para pemimpin dalam
kedudukan apapun untuk menyelesaikan urusan mereka yang dipimpinnya dengan cara
ber-musyawarah.
Dengan demikian tidak akan terjadi kesewenang-wenangan dari seorang
pemimpin terhadap rakyat yang dipimpinnya. Oleh karena itu “Perwakilan rakyat
dalam sebuah negara Islam tercermin terutama dalam doktrin musyawarah (syura).
Dalam bidang politik, umat Islam mendelegasikan kekuasaan mereka kepada penguasa
dan pendapat mereka harus diperhatikan dalam menangani masalah negara.

2. Sejarah dan Konsep Hak-hak Asasi Manusia

Sejarah Singkat Hak-Hak Asasi Manusia


Bila ditelusuri lebih jauh ke belakang, cikal bakal hak-hak asasi itu sudah ada sejak lahirnya
Magna Charta 1215 di kerajaan Inggris. Di dalam Magna Charta itu disebutkan antara lain bahwa raja
yang memiliki kekuasaan absolut dapat dibatasi kekuasaannya dan dimintai

3
peratanggungjawabannya di muka hukum. Dari sini lahir doktrin “raja tidak kebal hukum” dan harus
bertanggungjawab kepada rakyat. Meskipun kekuasaan membuat undang-undang berada di
tangannya (Bahruddin Lopa, 1996:2). Semangat Magna Charta inilah yang kemudian melahirkan
undang-undang dalam kerajaan Inggris tahun 1689 yang dikenal dengan undang-undang hak ( Bil of
Right). Peristiwa ini dianggap sebagai sebuah keberhasilan rakyat Inggris melawan kecongkakan raja
Jhon sehingga lahir suatu adagium yang berintikan “manusia sama dimuka hukum (aquality before
the low). Dorongan ini memperkuat timbulnya ide tentang negara hukum dan demokrasi yang
mengakui dan menjamin persamaan dan kesetaraan antar sesama warga negara di depan hukum
untuk mengantisipasi terjadinya tindakan diskriminasi dan penindasan baik antara negara dan
rakyatnya maupun antar sesama warga negara. Kemudian pada tahun 1789 sewaktu berlangsungnya
revolusi Prancis lahir deklarasi yang dikenal dengan The French Declaration yang menyatakan hak-
hak yang lebih rinci lagi sebagai dasar dari The Rule of Low. Di dalamnya dinyatakan antara lain: tidak
boleh ada penangkapan dan penahanan yang semena-mena, termasuk penangkapan tanpa alasan
yang sah dan penahanan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Inilah yang
kemudian diterjemahkan menjadi hak-hak asasi manusia.
Deklarasi ini berhasil meruntuhkan susunan masyarakat feodal termasuk golongan pendeta
agama dan susunan pemerintahan negara yang bersifat kerajaan dengan sistim monachi absolut.
Untuk memperoleh jaminan hak-hak manusia dalam perlindungan undang-undang negara
dirumuskan tiga prinsip yang disebut Trisloganda yakni (1) kemerdekaan (liberte) (2) kesamarataan
(equalite), (3) kerukunan dan persaudaraan (fraternite) yang kemudian menjadi dasar dari konstitusi
negara Prancis (Kuntjoro Probopranoto, 1982:18-19). Deklarasi ini kemudian digunakan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang pada awalnya disebut dengan istilah Fundamental Human
Right kemudian disingkat dengan Human Right saja.
Sedangkan rumusan tentang hak-hak asasi manusia yang dianggap legal dan dijadikan
standar hingga saat ini adalah rumusan yang dikeluarkan oleh PBB. Rumusan tersebut dideklarsikan
pada tanggal 10 Desember 1948 yang dikenal dengan “The Universal Declaration of Human Right”
(UDHR) atau yang populer dengan istilah Deklarasi Semesta tentang Hak-hak Asasi Manusia, terdiri
atas 30 pasal. Namun UDHR ini ternyata belum dapat mengakomodasi keinginan semua bangsa di
dunia dan oleh karena itu masih ada beberapa negara yang tidak menerima rumusan tersebut.
Begitu pula negeri-negeri muslim lainnya karena ada beberapa pasal yang bermasalah dan dianggap
bertentangan secara prinsip dengan keyakinan agama mereka. Misalnya pasal 16 yang menyatakan:
(1) Laki-laki dan wanita yang telah dewasa dengan tanpa pembatasan atas perbedaan ras,
kebangsaan dan agama mempunyai hak untuk menikah dan mendirikan rumah tangga. Mereka
mempunyai hak yang sama dalam pernikahan selama pernikahan masih berlangsung dan waktu
perceraian (2) Pernikahan dianggap terjadi hanya dengan persetujuan yang bebas sepenuhnya dari
kedua belah calon mempelai. Pasal ini jelas bertentangan secara substansial dengan prinsip ajaran
Islam yang melarang terjadinya perkawinan campur yakni perkawinan antar pasangan yang berbeda
agama. Dengan adanya kontroversial inilah maka tidak semua negara yang tergabung dalam
Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat menerima konsep HAM secara totalitas terutama negara-negara
muslim dan negara yang menjadikan Al-Qur’an sebagai dasar negaranya seperti Karajaan Saudi
Arabia. Secara umum terdapat tiga macam pandangan dari kelompok agama, termasuk umat islam,
terhadap HAM hasil deklarasi tahun 1948 itu. Pertama, mereka yang menerima tanpa reserve
dengan alasan bahwa HAM itu sudah sejalan dengan ajaran Islam. Kedua, mereka yang menilai
bahwa konsep HAM tersebut bertolak belakang dengan ajaran Islam karena bersumber dari budaya
Barat yang sekuler. Ketiga, kelompok moderat yang lebih bersikap hati-hati, mereka menerima
dengan beberapa perubahan dan modifikasi seperlunya seperti Indonesia.
Sementara itu permasalahan yang dihadapi dewasa ini terkait dengan HAM ialah banyaknya
terjadi pelanggaran HAM di berbagai belahan dunia terutama di negara-negara dunia ketiga yang
sering diidentikkan dengan keterbelakangan dan ketertinggalan baik dari segi ekonomi, ipteks,
sosial-budaya dan tata kelola pemerintahan. Pelanggaran tersebut dapat terjadi karena persoalan
internal dalam negara mereka dan dapat pula terjadi dengan adanya campur tangan asing yang

4
notebenenya berasal dari negara-negara maju. Dalam bentuk campur tangan asing misalnya
serangan Amerika Serikat dan sekutunya ke Irak dan Afganistan yang telah membawa korban harta
dan nyawa dalam jumlah yang besar. Demikian pula kasus-kasus pencaplokan tanah rakyat Palestina
oleh Israel (Yahudi), pembantaian terhadap muslim Bosnia oleh Serbia dan pembantaian terhadap
muslim Maluku dan Ambon oleh kaum Nasrani di awal masa reformasi Indonesia.

Pengertian Hak-hak Asasi


Di dalam kamus Bahasa Indonesia, hak-asasi diartikan sebagai “hak dasar atau hak pokok
seperti hak hidup dan hak mendapatkan perlindungan” (KBBI, 1988:292). Hak-hak asasi manusia
yang menurut Kuntjoro Purbopranoto (1982:19) “adalah hak yang dimilki manusia menurut
kodratnya, yang tak dapat dipisahkan dari pada hakekatnya dan karena itu bersifat suci. Oleh karena
hak-hak tersebut adalah anugerah Tuhan, maka tak seorangpun berhak mencabutnya atau
membatalkannya”. Hal ini menyiratkan suatu pengertian bahwa hak-hak asasi itu hak yang melekat
dalam diri seseorang dan terbawa sejak lahir. Ia bukanlah pemberian dari siapa-siapa dan bukan pula
pemberian negara melainkan adalah anugerah Tuhan Yang Mahakuasa, karena itu tak seorangpun
berhak mencabutnya. Hak-hak itu hanya akan tercabut dengan sendirinya apabila seseorang itu
telah wafat seperti hak kepemilikan.
Jan Materson dalam Baharuddin Lopa (1996:1) mengemukakan, human right wich are
inheren in our nature and without which we can not live as human being” (hak-hak asasi manusia
sebagai hak yang melekat pada manusia yang tanpa dengannya manusia mustahil hidup sebagai
manusia). Namun Lopa menambahkan di situ bahwa disamping mempunyai hak seseorang juga
harus bertanggungjawab atas segala perbuatan dan tindakannya.
3. Ruang Lingkup Hak-hak Asasi
HAM yang dijadikan sebagai rujukan pokok saat ini adalah HAM yang dirumuskan oleh PBB
itu yang terdiri atas 30 pasal. Secara garis besar rumusan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
(1) Hak hidup, (2) Hak kebebasan dari perlakuan diskriminasi, (3) Hak perlindungan terhadap rasa
aman dari penindasan dan perbudakan, (4) Hak mendapatkan perlindungan hukum, (5) Hak-hak sipil
dan kepemilikan, hak untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat, (6) Hak politik, (7) Hak jaminan
sosial, (8) Hak untuk mendapatkan pekerjaan untuk penghidupan yang layak dan imbalan atas
pekerjaan atau jasa, (9) Hak untuk beristirahat dan berlibur, (10) Hak atas jaminan kesehatan dan
kesejahteraan, (11) Hak ibu dan anak-anak, (12) Hak memperoleh pendidikan, dan (13) Hak
partisipasi dalam kegiatan kebudayaan. Dari ketiga puluh pasal itu ada satu poin yaitu pasal 29 poin
1 yang menyatakan kewajiban berbunyi: “Setiap orang berkewajiban berhubungan dengan
masyarakat sebab hanya di dalam masyarakat itulah yang memungkinkan ia bebas untuk
mengembangkan pribadinya secara penuh” (Kosasih, 2003:149).
Dengan memperhatikan hak-hak manusia yang telah ditetapkan dalam rumusan HAM
tersebut perlu adanya penjagaan dan pemeliharaan secara serius oleh negara dalam hal ini
pemerintah. Dengan kata lain, pemerintah harus terus perupaya dengan memberdayakan segala
potensi yang ada demi tegaknya HAM dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat dalam rangka
perlindungan negara terhadap warganya. Seperti yang diamanatkan dalam pembukaan Undang-
Undang Dasar tahun 1945 yaitu melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Kasus-
kasus pelanggaran HAM baik oleh perorangan dan kelompok maupun negara haruslah ditekan
sampai sekecil mungkin. Namun, penegakan HAM tidak akan efektif tanpa adanya kewajiban asasi
yang harus dilaksanakan oleh setiap individu. Di sinilah terlihat titik lemah dari pada HAM yang
dirumuskan oleh badan dunia tersebut dan yang dijadikan sebagai acuan pokok bagi negara-negara
yang mengikutinya.

HAM dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia


Sebenarnya Indonesia sudah lebih dulu mencantumkan hak-hak asasi manusia dalam
konstitusi negara. Bila kita perhatikan di dalam Undang-Undang dasar (UUD) tahun 1945 terdapat
sebanyak tujuh pasal yang terkait dengan hak-hak asasi manusia. Ketujuh pasal yang mengandung

5
elemen hak asasi tersebut adalah pasal-pasal: 27, 28, 29, 30, 31, 33 dan 34. Kemudian di masa awal
era reformasi terjadi amandemen terhadap UUD 1945. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia periode 1999-2004 telah berhasil memperluas pasal-pasal tentang hak-hak asasi manusia
yang terdiri dari satu Bab yakni BAB XA, dengan 10 pasal dan 26 butir. Pasal-pasal tersebut adalah
pasal: 28A, 28B, 28C, 28D, 28E, 28F, 28G, 28H, 28I dan 25J. Sedangkan beberapa tahun sebelumnya,
sejalan dengan konstalasi politik dan tuntutan demokrasi telah diselenggarakan Konferensi Dunia
tentang Hak-Hak Asasi Manusia Wina, Austria yang melahirkan Deklarasi Wina tahun 1993. Deklarasi
ini berisi kesepakatan untuk mempekuat dan menegaskan pelaksanaan HAM di seluruh dunia
dengan kewajiban memajukan penghormatan, ketaatan dan perlindungan universal terhadap HAM
sesuai yang dirumuskan oleh PBB.
Tak ayal Indonesia sebagai salah satu negara yang tergabung dalam PBB mencoba
menjabarkannya ke dalam bentuk perundang-undangan agar dapat ditegakkan secara hukum. Untuk
merealisasikannya pada tahun 1993 terbentuk Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia melalui
Keputusan Presiden RI No. 50/1993. Keputusan tersebut segera disusul dengan Kepres No. 476
Tahun 1993 tentang susunan organisasi dan personilnya. Dengan terbentuknya Komnas HAM ini
telah memberikan secercah harapan bagi perlindungan hak-hak sivil dan hak-hak asasi warga negara
Indonesia. Pada tahun 1999 lahir Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang
Hak-Hak Asasi Manusia. Undang-Undang yang disahkan pada tanggal 23 September 1999 dan
ditandatangani oleh presiden B.J. Habibi itu terdiri atas 10 BAB dan 105 pasal. Isinya tidak hanya
menyangkut hak tapi juga kewajiban. Misalnya pada pasal 69 yang berbunyi:
(1) Setiap warga negara wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika, dan
tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
(2) Setiap hak-hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan
tanggungjawab untuk menghormati hak-hak asasi orang lain secara timbal balik serta
menjadi tugas pemeritah untuk menghormati, melindungi, menegaskan dan
memajukannya.
(3) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, seseorang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan undang-undang dengan maksud untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Dengan demikian kedudukan hak-hak asasi manusia serta perlindungannya di dalam
konstitusi negara terlihat semakin kuat.

4. Pandangan Islam terhadap Hak-hak Asasi Manusia


Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin (penebar rahmat kepada semesta) sangat
menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Manusia dalam pandangan Islam adalah
makhluk paling dan sempurna dibanding makhluk lainnya (Q.S.95:4) dan karena itu, dimata Allah
manusia adalah makhluk yang harus dihormati dan dimuliakan (Q.S. 17:70). Selain itu kepada
manusia diberikan kebebasan untuk memilih yang terbaik karena ia diberi akal yang dapat
membedakan baik dan buruk, benar dan salah, serta manfaat dan mudarat ditambah dengan
bimbingan wahyu. Dengan demikian pula dia dapat dituntut untuk mempertanggungjawabkan
setiap tindakannya. Sebagai konsekuensinya seseorang selain diberi hak juga dituntut untuk
melaksanakan kewajibannya. Di dalam hak-hak yang ia miliki juga terpikul kewajiban menghormati
hak-hak orang lain. Tersebut salam sebuah riwayat, seorang sahabat dari golongan Anshar pernah
datang mengadu kepada Rasulullah bahwa pohon kurma milik Samurah bin Jandub, tetangganya,
condong ke pekarangannya sehingga ia direpotkan oleh sampah-sampahnya. Dia telah meminta
supaya pohon itu ditebang tapi Samurah enggan dengan alasan bahwa pohon itu tumbuh di dalam
pekarangannya. Rasulullah lalu memanggil sahabat itu dan memutuskan supaya pohon itu ditebang.
Dari kasus tersebut dapat dipahami kenapa Rasulullah menyuruh agar pohon itu ditebang?
Jawabannya ialah bahwa dalam hak itu ada kewajiban untuk mejaga dan menghormati hak orang

6
lain. Antara hak dan kewajiban tak dapat dipisahkan, dalam implementasinya keduanya saling
terkait.
Ada lima hal mendasar yang sangat dijunjung tinggi oleh Islam yakni: 1. Memelihara akal
(hifzh al-‘aql) 2. Memelihara nyawa (fifzh al-nafs) 3. Memelihara harta (hifzh al-mal) 4. Memelihara
Kehormatan dan keturunan (Hifzh al-‘irdh wa al-nasl), dan 5. Memelihara Agama (Hifzh al-Din).
Kelima hal inilah yang menjadi dasar hak-hak asasi manusia dalam Islam. Untuk menjaga dan
memelihara yang lima ini yang disebut juga al-hajah al-insaniyyah, Islam telah mengatur dengan
aturan-aturan yang dasar-dasarnya telah tertuang dalam Al-Qur`an dan hadis.
Dalam rangka menjaga dan memelihara akal Islam memerintahkan umatnya agar menjaga
akal pikiran dengan menghindari perilaku-perilaku atau kebiasaan yang berpotensi merusak akal.
Misalnya larangan main judi dan mengomsumsi minuman keras (khamr). Dalam rangka menjaga dan
memelihara nyawa Islam melarang umatnya saling membunuh. Dalam rangka menjaga dan
memelihara harta Islam melarang mencuri dan merampas hak-hak orang lain. Dalam rangka
menjaga dan memelihara kehormatan dan keturunan Islam melarang umatnya melakukan pergaulan
bebas dengan lawan jenis yang bukan muhrim dan melarang perzinaan. Dalam rangka menjaga dan
memelihara agama/akidah Islam melarang perilaku syirik dan murtad. Untuk menjaga tegaknya hak-
hak tersebut, Islam tidak hanya bertumpu pada tindakan represif tapi juga preventif untuk
mengantisipasi agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak itu. Inilah salah satu yang
membedakan HAM dalam pandangan Barat dan HAM dalam perspektif Islam. Misalnya untuk tidak
terjadi perzinaan Islam melarang pebuatan-perbuatan yang dapat merangsang dan mendorong
seeorang untuk melakukannya seperti pergaulan bebas muda dan mudi, pornografi, pornoaksi dsb.
Karena itu larangan berduaan seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan muhrim di
tempat yang sepi atau tertutup (khalwat) tidaklah diartikan sebagai pelanggaran HAM tapi justru
bertujuan untuk memeliharanya yakni memelihara martabat dan kehormatan sebagai manusia. Hal
itu dapat dimaknai sebagai tindakan preventif (sadd al-zari’ah).
Sebagai implementasi dan penjabaran dari hak-hak dasar sebagaimanana dikemukakan di
atas, maka pada tanggal 5 Agustus 1990 negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi
Konferensi Islam (OKI) mengeluarkan deklarasi tentang HAM berdasarkan pada Al-Qur`an dan
Sunnah yang dikenal kemudian dengan Deklarasi Kairo (Cairo Declaration/CD), terdiri atas 25 pasal.
Deklarasi Kairo ini untuk selanjutnya disebut CD tidak merombak total pasal-pasal yang terdapat
pada UDHR tapi mengoreksi dan menyesuaikannya dengan prinsip-prinsip Islam. Sebagai contoh hal-
hal yang dianggap kontoversial itu perhatikan pasal-pasal berikut:
(1) Di dalam Pasal 16 UDHR disebutkan: (1) “Laki-laki dan wanita yang telah dewasa tanpa
pembatasan dan perbedaan ras, kebangsaan dan agama mempunyai hak untuk menikah
dan mendirikan rumah tangga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam pernikahan
selama pernikahan masih berlangsung dan waktu perceraian. (2) “Pernikahan dianggap
terjadi hanya dengan persetujuan yang bebas sepenuhnya dari dari dua belah calon
mempelai”. Secara substansial pasal 16 UDHR di atas jelas bertentangan dengan ajaran Islam
yang melarang pernikahan sepasang calon pengantin dengan perbedaan agama. Sedangkan
pada pasal 2 nya membuka peluang terjadinya pernikahan tanpa wali yang menjadi salah
satu rukun bagi sahnya pernikahan dalam ajaran Islam. Maka sehubungan dengan hal
tersebut, di dalam CD pasal 5 disebutkan: (1) “Setiap keluarga adalah pondasi dari
masyarakat dan pernikahan adalah basis untuk pembentukannya. Laki-laki dan wanita
berhak untuk menikah, dan tak ada pelarangan yang berasal dari ras, warna kulit atau
kebangsaan untuk menikmati hak ini”. (2) Masyarakat dan pemerintah harus melenyapkan
semua hambatan untuk menikah dan harus memberikan fasilitas kemudahan prosedur
pernikahan. Mereka harus dijamin perlindungan berkeluarga dan kesejahteraannya”.
(2) Di dalam Pasal 18 UDHR disebutkan: “Setiap orang berhak untuk bebas berpikir, bertobat,
dan beragama; hak ini meliputi kebebasan berganti agama atau kepercayaan dan
kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dalam bentuk beribadah dan
menepatinya, baik sendiri maupun dilakukan bersama-sama dengan orang lain, baik di

7
tempat umum maupun tersendiri”. Pasal ini akan berbenturan dengan prinsip ajaran Islam
yang mewajibkan setiap umatnya menjaga dan memelihara akidahnya. Seorang muslim yang
pindah agama akan dihukum murtad. Pasal 18 ini memberi peluang terjadinya pemurtadan
bagi seorang muslim. Maka sehubungan dengan kebebasan ini di dalam CD pasal 10
disebutkan pula: “Islam adalah agama yang murni ciptaan Allah. Islam melarang melakukan
paksaan dalam bentuk apapun atau untuk mengeksploitasi kemiskinan atau ketidaktahuan
seseorang untuk merubah agamanya atau menjadi atheis”.
(3) Untuk menjaga hak-hak asasi manusia yang sesuai dengan ajaran Islam, maka pada pasal 25
CD disebutkan: “Syariat Islam adalah satu-satunya sumber acuan untuk penjelasan atau
uraian berbagai pasal dalam deklarasi ini”. Pasal terakhir ini merupakan pengunci agar HAM
dan penegakannya di kalangan interen umat Islam tidak keluar dari prinsip-prinsip akidah
Islam yang harus dipeliharanya.

Jika ditarik titik-titik perbedaan antara HAM Barat dan HAM dalam perspektif Islam dapat
dilihat pada tabel berikut ini:

PERBEDAAN ANTARA HAM BARAT DAN HAM DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Ham dalam Pandangan Barat HAM dalam Perspektif Islam


1. Bersumber pada pemikiran filosofis 1. Bersumber pada Al-Qur`an dan Sunnah
Semata Nabi Muhammad SAW
2. Bersifat antrofosentrik 2. Bersifat teosentrik
3. Lebih mengutamakan hak dari pada 3. Menjaga keseimbangan antara hak dan
Kewajiban Kewajiban
4. Cenderung bersifat individualistik 4. Kepentingan sosial sangat diperhatikan
5.Manusia dilihat sebagi pemilik 5. Manusia dilihat sebagai makhluk yang dititipi
sepenuhnya hak-hak dasar. hak-hak dasar oleh Tuhan dan oleh karena itu
mereka wajib mensyukuri dan memeliharanya.

5. Kesetaraan Jender
Kata jender dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris gender yang berarti jenis
kelamin (John M. Echol dan Hassa Shadily, 2010:265). Menurut Mansur Faqih (1995:7), di
dalam Kamus bahasa Inggris tidak secara jelas membedakan antara sex dan jender. Untuk
memahami konsep jender harus dibedakan antara kedua kata tersebut. Lebih lanjut ia
mengatakan, pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis
kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu.
Misalnya, yang disebut jenis laki-laki adalah yang bercirikan (a) memiliki penis/zakar (b)
memilki jakala (kala menjing) dan (c) memproduksi sperma disamping ciri-ciri fisik umum
yang biasa dimiliki oleh kaum lelaki. Sedangkan kaum perempuan bercirikan antara lain (a)
memiliki vagina/faraj (b) memilki buah dada sebagai alat untuk menyusukan bayinya (c)
memiliki alat reproduksi yang disebut rahim atau peranakan. Ciri-ciri atau alat-alat tersebut
melekat pada masing jenis laki-laki atau perempuan buat selamanya. Dengan kata lain, ciri-
ciri atau alat-alat tersebut tidak bisa dipertukarkan antara kedua jenis manusia itu.
Perbedaan jender laki dan perempuan tidak hanya didukung oleh ciri fisik biologis
tapi juga oleh konstruksi sosial dan pandangan hidup dalam suatu masyarakat. Banyak hal
yang dapat mempengeruhinya antara lain; adat istiadat, kultur dan pandangan keagamaan.
Misalnya kaum lelaki dianggap sebagai makhluk yang identik dengan kekerasan atau
ketangkasan karena fostur tubuhnya yang kuat dan tegap. Sebaliknya perempuan dianggap
sebagai makhluk yang identik dengan kelembutan dan punya perasaan yang halus. Dari
situlah muncul pembidangan pekerjaan misalnya laki-laki untuk melakukan pekerjaan-
pekerjaan berat dan kasar sedangkan perempuan layak untuk mengerjakan pekerjaan-

8
pekerjaan ringan seperti memasak, menyuci pakaian dan mengasuh dan menjaga anak di
rumah.
Namun seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutan kebutuhan hidup tidak
sedikit pula terjadi apa yang biasa dilakukan oleh laki-laki juga dilakukan oleh perempuan,
dan begitu pula sebaliknya. Bahkan lebih dari itu, ada perempuan/isteri yang keberatan
untuk mengerjakan pekerjaan sebagai seorang istri/ibu karena ingin berkarir seperti laki-laki.
Misalnya keengganan menyusui dan mengasuh bayinya sendiri, mengerjakan pekerjaan
rumah tangga dan sebagainya. Pada gilirannya muncullah keinginan dan tuntutan
kesetaraan dengan laki-laki sehingga muncul gerakan feminisme dimana perempuan
menuntut hak-haknya yang diasumsikan adanya penindasan dari kaum laki-laki. Inilah yang
kemudian dikenal dengan istilah kesetaraan jender. Seperti dikemukakan oleh Oakley dalam
Fakih (1996:157), gender pada dasarnya adalah “pembagian peran serta tanggung jawab
baik laki-laki maupun perempuan yang ditetapkan secara sosial maupun cultural (social and
cultural constructed)”. Bagaimana pandangan Islam?
Islam mengakui perbedaan laki-laki dengan perempuan baik dari segi fisik biologis
maupun dari segi kejiwaan. Karena itu, banyak ayat dan hadis menjelaskan terkait dengan
kedua hal tersebut. Antara lain seperti pernyataan-pernyataan di berikut ini:
(1) Asal kejadian laki-laki dan perempuan adalah sama. Firman Allah dalam (Q.S.49:13):
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Sehubungan dengan ayat ini, Al-Maraghi menegaskan bahwa Allah menciptakan laki-laki dan
perempuan dari asal kejadiannya yang sama yakni Adam dan Hawa (Tafsir Al-Maraghi Jld. IX:195).
Oleh karena itu tidak boleh saling menghina dan merendahkan antara yang satu dan yang
lainnya.

(2) Laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk bekerja dan menerima
imbalan dari pekerjaannya. Firman Allah (Q.S. 16:97):
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan
beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[839] dan
Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan”.
Ditekankan dalam ayat ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat
kesempatan yang sama untuk berkarya dan menerima imbalan dari pekerjaannya itu.

(3) Allah tidak menyia-nyiakan pahala amal seseorang baik laki-laki maupun perempuan
(Q.S. 3:195):
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): Sesungguhnya aku
tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau
perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.....”
Menurut Ibnu Katsir, baik laki maupun perempuan yang beramal akan dibalasi dengan
pahala yang sesuai dengan timbangan amalnya (Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir Juz.
I:278).

(4) Laki-laki dan perempuan sama-sama berhak mendapatkan karunia Allah (Q.S.4:32):
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu
lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa
yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka
usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.
(5) Laki-laki dan perempuan sama-sama berhak menerima harta warisan (Q.S.4:7):

9
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi
orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit
atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”.
Ayat ini menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama berhak untuk
menerima harta warisan ibu-bapak dan kerabatnya. Sedangkan secara keseluruhan ayat-
ayat tersebut mengindikasikan bahwa laki-laki dan perempuan baik secara fisik maupun
psikis terdapat perbedaan yang jelas dan tidak akan bisa dipertukarkan buat selamanya.

6. HAM dan Demokrasi


Demokrasi merupakan rumah tempat berlangsungnya penegakan HAM. Adalah suatu hal
sulit kalau tidak tidak dapat dikatakan mustahil bagi tegaknya HAM bila di suatu negara
tidak menganut sistim pemerintahan yang demokrasi. Kata demokrasi yang berasal dari
bahasa Yunani (demos= orang banyak dan critos= kekuasaan) dapat diartikan secara
sederhana bahwa kekuasaan seorang kepala negara ditentukan oleh rakyat, begitu sampai
ke level terendah pemerintahan dalam suatu negara. Pengangkatan seorang pemimpin
melalui pemilihan baik langsung maupun perwakilan. Seperti yang terjadi di negara
Republik Indonesia. Inti dari demokrasi adalah musyawarah dalam pengambilan keputusan.
Dalam sistim ketatanegaraan Indonesia hal ini dituangkan dalam sila keempat Pancasila
sebagai landasan ideal dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusionsl negara.
Di negara yang menganut sistim demokrasi pula bisa didorong munculnya
masyarakat madani (civil society). Masyarakat madani adalah masyarakat yang menjadikan
nilai-nilai peradaban sebagai ciri utama. Dalam sejarah pemikiran filsafat juga dikenal istilah
polis yang maknanya sepadan dengan kata madinah (Arab) yang berarti kota yang identik
dengan kemajuan (al-mudun), sebagai lawan dari kata nomad yang identik dengan
keterbelakangan. Masyarakat madani menjadi simbol idealisme yang diharapkan oleh
setiap masyarakat. Di dalam Al-Qur`an Allah mengilustrasikan dengan baldah thoyyibah.
Sebegaimana firman-Nya: “negerimu ini adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah
Yuhan yang Maha Pengampun” (Q.S. Al-Saba`:15).

2. HAM dalam Islam


Manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa secara kodrati dianugerahi
hak dasar yang disebut dengan hak asasi, tanpa perbedaan antara yang satu dengan
yang lainnya. Dengan hak asasi tersebut manusia dapat mengembangkan diri pribadi,
peranan dan sumbangannya bagi kesejahteraan hidup manusia. Hak Asasi Manusia
(HAM) sebagai suatu hak dasar yang melekat pada diri tiap manusia.
Ada perbedaan prinsip antara hak-hak asasi manusia dilihat dari sudut
pandangan Barat dan Islam. Hak asasi manusia menurut pandangan Barat semata-mata
bersifat antrofosentris, artinya segala sesuatu berpusat kepada manusia. Dengan
demikian manusia sangat dipentingkan. Sebaliknya, hak-hak asasi manusia ditilik dari
sudut pandangan Islam bersifat teosentris, artinya segala sesuatu berpusat kepada
Tuhan. Maksudnya ialah penghargaan terhadap hak-hak asasi itu didasarkan pada
ajaran ketuhanan dan atas perintah Tuhan. Berbeda dengan pendekatan Barat, strategi
Islam sangat mementingkan penghargaan kepada hak-hak asasi dan kemerdekaan dasar
manusia sebagai sebuah aspek kualitas dari kesadaran keagamaan yang terpatri di
dalam hati, pikiran dan jiwa penganut-penganutnya. Di dalam pemikiran Barat,
penetapan hak-hak asasi itu hanya berdasarkan pemikiran manusia semata. Di sinilah
letak perbedaan yang fundamental antara hak-hak asasi manusia menurut pola
pemikiran Barat dengan hak-hak asasi menurut pola ajaran Islam.

10
C. Konsep Masyarakat Madani
Masyarakat madani adalah masyarakat yang menjadikan nilai-nilai peradaban
sebagai ciri utama. Dalam sejarah pemikiran filsafat, sejak filsafat Yunani sampai masa
filsafat Islam juga dikenal istilah madinah atau polis, yang berarti kota, yaitu
masyarakat yang maju dan berperadaban. Masyarakat madani menjadi simbol idealisme
yang diharapkan oleh setiap masyarakat. Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT memberikan
ilustrasi masyarakat ideal, sebagai gambaran dari masyarakat madani dengan firman
Allah SWT dalam Q.S 34:15yang terjemahannya sebagai berikut:
“(negerimu), adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang
Maha Pengampun.” (Depag. R.I, 1984: 685).

Masyarakat Madani sebagai masyarakat yang ideal itu memiliki karakteristik sebagai
berikut : (1) Bertuhan (2) Damai (3) Tolong-menolong (4) Toleran (5) Keseimbangan
antara hak dan kewajiban sosial. Konsep zakat, infak, shadakhah dan hibah bagi umat
Islam serta jizyah dan kharaj bagi non muslim, merupakan salah satu wujud
keseimbangan yang adil dalam masyarakat tersebut, (6) Berperadaban tinggi, (7)
Berakhlak mulia.

Tugas-tugas
1. Jelaskan pengertian politik Islam serta prinsip prinsip dasarnya!
2. Jelaskan apa yang anda ketahui tentang hak-hak Asasi Manusia !
3. Coba anda identifikasi hak-hak apa saja yang terkandung dalam al-hajah al-insaniyyah terkait
dengan butir-butir HAM dalam UDHR !
4. Jelaskan perbedaan yang mendasar antara HAM Barat dan HAM dalm perspektif Islam !
5. Jelaskan apa yang dimaksud dengan kesetaraan Jender dan bagaimana pandangan Islam
tentang itu?
6. Jelaskan apa yang dimaksud dengan masyarakat madani serta karakteristiknya!
7. Tulislah ayat yang berhubungan dengan politik Islam dan Hak-Hak Asasi Manusia beserta
terjemahnya!

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Mustafa Al-Maraghi. 2001. Tafsir Al-Maraghi. Beirut: Dar al-Fikri li al-
Thiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’.
Ahmad Kosasih. 2003. HAM dalam Perspektif Islam: Menyingkap Persaman dan
Perbedaan Antara Islam dan Barat. Jakarta: Penerbit Salemba Diniyah.
Baharuddin Lopa. 1996. Al-Qur’an dan Hak-Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: P.T. Dana
Bhakti Prima Yasa.
Departemen Agama. 1996. Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum, Sosial dan Politik
Hasanuddin. Islam & Perundang-undangan Modern. Penerjeman. Jakarta: PT.
Tritamas Indonesia
Ibnu Katsir. 2002. Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir Jld. I. Beirut: Al-Maktabah
al-‘Ashriyyah.
John M. Echols dan Hassan Shadily. 2010. Kamus Inggris Indonesia: An English-
Indonesian Dictionary. Jakarta: P.T. Gramedia.

11
Kuntjoro Probopranoto. 1982. Hak-Hak Asasi Manusia dan Pancasila. Jakrta: Pradya
Pramita.
Mansoer Fakih. 1996. Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ann Oakley. 1972. Sex, Gender and Society. New York: Harper and Row.
Said Sabiq. tth. Fikih Sunnah (terj), Bandung: PT Al-Ma’arif
Subhi Mahmassani. Konsep Dasar Hak- Hak Asasi Manusia; Studi Perbandingan Syari’at

12

Anda mungkin juga menyukai