Anda di halaman 1dari 3

Tantangan Osamu Dazai

SETIAP kali kita berbicara tentang Marxisme dalam hubungannya dengan


kesusastraan, ingatan kita selalu terbetik pada ‘realisme sosialis’, atau
lebih tepatnya apa yang biasa kita artikan sebagai ‘realisme sosialis’.
Tanpa kita sadari, kita mengasosiasikan—bahkan mengidentikkan—
kesusastraan Marxis dengan karya-karya sastra yang menggambarkan
penderitaan kelas buruh, tani atau ‘kaum yang lapar’, dan perjuangan
mereka mengganyang kapitalisme serta membangun tatanan masyarakat
sosialis.
Tak jarang karya-karya tersebut dibubuhi dengan idealisasi kuasi-mitis
tentang profil kelas tertindas—dengan tubuh kekar dan jiwa yang
dibimbing oleh sikap moral yang mulia.
Dengan begitu, ‘realisme sosialis’ sebetulnya mengandung tegangan
konstitutif, yakni tegangan antara imperatif untuk menggambarkan
kenyataan (imperatif realisme) dan imperatif untuk mengimajinasikan
tatanan masyarakat ideal (imperatif sosialisme).
Dengan kata lain, tegangan antara menggambarkan dan mengangankan
Lanjutan
 Dalam bentuknya yang buruk (dan jamak ditemukan),
 karya-karya bernafaskan (atau punya pretensi)
realisme sosialis mengemuka sebagai penindasan
kenyataan oleh angan-angan,
 subordinasi apa-yang-ada oleh apa-yang-
seharusnya-ada,
 penundukan realisme oleh visi tentang sejenis
‘sosialisme’ (sosialisme yang dibayangkan dari dalam
kalbu sang pengarang, alih-alih direkonstruksi dari
kenyataan).
 Namun kelirulah anggapan bahwa realisme sosialis
dapat dikecilkan menjadi karya semacam itu dan
karenanya kelirulah juga anggapan yang menyamakan
realisme sosialis sebagai ‘sastra propaganda’.
Lanjutan
 Realisme sosialis yang baik adalah realisme sosialis yang tak melupakan akar
‘realis’-nya.
 Yang saya maksudkan di sini dengan istilah ‘realis’ dan ‘realisme’ tidak sekadar
karya-karya beraliran realis seperti novel Tolstoy yang menggambarkan dunia
fiksional secara terperinci sehingga nampak seperti dunia empiris yang kita lihat
sehari-hari.
 Yang saya maksudkan lebih longgar dari itu, yakni realisme sebagai kemawasan
akan kenyataan, terlepas dari betapapun subjektif dan pskilogisnya kenyataan
tersebut. Sebab toh dunia batin pribadi tetaplah bagian dari kenyataan, bukan?
 Realisme sosialis yang baik mesti mampu menjawab tantangan yang muncul dari
dunia batin pribadi, betapapun absurd pergulatan psikologis itu.
 Pengarang Marxis tidak semestinya menghindari deskripsi keruwetan batin
individual dengan melarikan diri ke ranah deskripsi dunia penampakan yang bersih
dari ambiguitas.
 Ia tak boleh bersembunyi di balik kategori-kategori umum seperti kelas dan
revolusi tanpa mengungkapkan terlebih dahulu konflik-konflik absurd dalam
relung batin yang paling privat.
 Basis ekonomi mengkondisikan superstruktur psikologis? Tentu saja, tapi
perlihatkan dalam semesta fiksimu bagaimana persisnya hubungan pengkondisian
itu terjadi.
 Yang pribadi tak pernah lepas dari yang politis? Tentu saja, tapi perlihatkan dalam
semesta fiksimu bagaimana yang politis itu menubuh dalam yang pribadi. Di
situlah terletak tantangan kesusastraan Marxis.

Anda mungkin juga menyukai