Anda di halaman 1dari 7

IDEOLOGI DAN FANTASI

Slavoj Zizek

PENDAHULUAN
Bayangkan diri kita berada dalam situasi standar kecemburuan
khas chauvinisme pria: tiba-tiba saja, saya mendapati pacar saya
berhubungan seks dengan pria lain. Oke, tak masalah, saya seorang
pria yang rasional, toleran, saya bisa menerimanya namun
lantas, tak pelak lagi imaji-imaji mulai bermunculan merongrong
saya, gambaran-gambaran konkret tentang apa yang mereka
perbuat (ngapain sih pacar saya harus menjilatinya tepat di situ?
Ngapain sih dia harus mengangkang selebar itu?) Saya pun lupa
diri, keringatan dan gemetar, rasa tenang lenyap selamanya dari
diri saya. Sampar fantasi macam ini, yang disebutkan oleh pemikir
Renaissance Fransiskus Petrarchus dalam bukunya Secretum (Buku
Rahasia Saya) sebagai gambaran-gambaran yang mengaburkan
penalaran jernih seseorang, dihadirkan secara ekstrem oleh media
audiovisual zaman sekarang. Di antara benturan-benturan
antagonistik yang mewarnai zaman kita (globalisasi pasar dunia
versus penegasan partikularisme etnis, dsb.), barangkali tempat
pokoknya terletak pada antagonisme antara abstraksi yang kian
lama kian menentukan hidup kita (dalam selubung digitalisasi,
relasi pasar spekulatif, dll.) dengan banjirnya imaji-imaji pseudo-
konkret. Di masa kejayaan Ideologiekritik tradisional, prosedur
kritis paradigmatisnya adalah menarik diri dari gagasan-gagasan
abstrak (religius, hukum,) menuju realitas sosial konkret tempat
gagasan-gagasan tersebut berakar. Di zaman ini, kian lama kian
tampak bahwa prosedur kritis itu dipaksa untuk mengikuti jalur
sebaliknya, dari imaji pseudo-konkret menuju proses-proses
abstrak (digital, pasar) yang secara efektif membentuk struktur
pengalaman hidup kita.
Buku ini melakukan pendekatan sistematis, dari sudut pandang
Lacanian, atas praanggapan-praanggapan tentang sampar fantasi
ini. Bab pertama (Tujuh Tabir Fantasi) mengelaborasi kontur
gagasan psikoanalitis tentang fantasi, dengan penekanan khusus
tentang bagaimana ideologi harus menyandarkan dirinya pada
latar fantasmik tertentu. []
1
Ideologi dan Fantasi Slavoj Zizek Halaman 2

1. TUJUH TABIR FANTASI


Kebenaran ada di luar sana

Sekian tahun lalu, ketika tudingan akan perilaku amoral Michael


Jackson (yakni permainan seksualnya dengan anak-anak bawah
umur) terkuak dan merontokkan citranya sebagai Peter Pan yang
lugu tanpa dosa, menjulang melampaui perbedaan (dan
permasalahan) seksual serta rasial, beberapa pengamat yang tajam
melontarkan pertanyaan gamblang: Buat apa ribut-ribut?
Bukankah apa yang disebut sebagai sisi gelap Michael Jackson itu
senantiasa terpampang untuk kita tonton bersama dalam klip-klip
video yang menyertai peluncuran karya musiknya, yang penuh
dengan ritual kekerasan dan gestur-gestur seksual tak senonoh
(yang begitu blak-blakan dan tanpa tedeng aling-aling dalam kasus
Thriller dan Bad)? Bawah-sadar itu terpampang di luar, bukan
tersembunyi di balik kedalaman yang tak terselamiatau untuk
mengutip semboyan X-Files: kebenaran ada di luar sana.
Fokus pada eksternalitas materiil macam ini terbukti sangat
berguna dalam menganalisa bagaimana fantasi terkait dengan
antognisme inheren suatu bangunan ideologis. Pertimbangkan dua
rancangan arsitektural yang saling bertentangan antara markas
lokal Partai Fasis Casa del Fascio karya Adolfo Coppede yang
bergaya neo-Imperial (1928), dengan rumah kaca transparan
Giuseppe Teragni yang sangat modernis (1934-1936). Tidakkah
dengan jukstaposisinya itu kedua gedung tersebut mengungkap
kontradiksi inheren proyek ideologis Fasisme, yang secara
simultan mendorong untuk kembali pada korporatisme organis
zaman pramodern, sekaligus mendorong mobilisasi seluruh
kekuatan sosial yang belum ada presedennya demi tujuan
modernisasi kilat?
Contoh yang lebih baik lagi tampak dalam proyek raksasa
pembangunan gedung-gedung publik di Uni Soviet tahun 1930-an.
Di atas gedung datar bertingkat itu biasanya diberdirikan sebuah
(atau kadang sepasang) patung raksasa yang menggambarkan
idealisasi Manusia Baru. Dalam rentang beberapa tahun,
kecenderungan untuk kian mendatarkan atau menggepengkan
bangunan kantor itu (tempat kerja aktual bagi manusia-manusia
Ideologi dan Fantasi Slavoj Zizek Halaman 3

sungguhan) kian lama kian jelas terlihat, sampai-sampai gedung-


gedung itu jadi tampak tak lebih dari sekadar pijakan bagi patung-
patung raksasa itu. Tidakkah ciri material eksternal dari desain
arsitektural ini mengungkap kebenaran ideologi Stalinis di mana
manusia-manusia sungguhan direduksi menjadi instrument belaka,
yang dikorbankan sebagai pijakan bagi momok Sang Manusia Baru
di masa depan, sesosok monster ideologis yang melumat manusia-
manusia sungguhan di bawah kakinya? Paradoksnya adalah:
barang siapa yang berani berkata terang-terangan di Uni Soviet
tahun 1930-an bahwa visi Manusia Baru Sosialis adalah sesosok
monster ideologis yang melumat manusia-manusia sungguhan,
jelas mereka akan langsung diringkus. Namun demikian,
mengungkapkan hal ini justru diperbolehkan digiatkan, malah
lewat desain arsitektural sekali lagi, kebenaran ada di luar sana.
Dengan demikian argumentasi kita bukan hanya bahwa ideologi
itu menjalari strata ekstra-ideologis dari hidup keseharian,
melainkan bahwa pengejawantahan ideologi dalam materialitas
eksternal ini mengungkap benturan-benturan inheren yang tidak
mungkin diakui oleh rumusan eksplisit ideology itu sendiri:
seolah-olah sebuah bangunan ideologis, bila ingin berfungsi
normal, harus mematuhi sejenis godaan kelainan tertentu (imp of
perversity), dan mengartikulasikan antagonisme inherennya dalam
wujud luar keberadaan materiilnya.
Eksternalitas ini, yang secara langsung mematerialisir ideologi,
juga dipampatkan sebagai fungsi (utility). Artinya: dalam hidup
sehari-hari, ideologi bekerja terutama dalam rujukan yang tampak
semata-mata sebagai fungsi-jangan lupa bahwa pada jagat
simbolik, fungsi bertindak sebagai gagasan refleksif; yang
artinya ia selalu melibatkan penegasan fungsi itu sebagai makna
(umpamanya, seseorang yang tinggal di kota besar dan punya
mobil Land Rover tidak semata menjalani hidup yang membumi
dan tanpa kompromi; melainkan, ia memiliki mobil itu untuk
memberi pertanda bahwa ia menjalani hidup di bawah panjipanji
sikap membumi dan tanpa kompromi).
Empu tak tertandingi dalam analisa macam ini tentu saja adalah
Claude Lvi-Strauss, yang segitiga semiotikanya dalam tata boga
(mentah, dipanggang, digodok) menunjukkan bahwa makanan
juga bertindak sebagai makanan otak. Barangkali kita semua
ingat adegan dalam film Luis Buuel The Phantom of Liberty, di
Ideologi dan Fantasi Slavoj Zizek Halaman 4

mana hubungan antara makan dan berak dijungkirbalik: orang-


orang duduk di atas kakus mengitari meja dan mengobrol santai,
sementara bila mereka ingin makan, mereka diam-diam bertanya
pada pelayan Di mana tempat tahu kan? dan menyelinap ke
kamar kecil di bagian belakang. Jadi untuk melengkapi Lvi-
Strauss, kita pun tergoda untuk mengusulkan bahwa tahi juga bisa
dipakai sebagai matire--penser: tidakkah tiga tipe dasar kakus bisa
membentuk sejenis perbandingan korelatif ketinjaan atas segitiga
masak-memasak Lvi-Strauss?
Dalam kakus Jerman umumnya, lubang tempat tahi menghilang
setelah kita guyur air terletak di bagian depan, sehingga tahi itu
pertama-tama akan terpampang bagi kita untuk diendus dan
diamati apakah ada jejak-jejak penyakit. Sebaliknya, dalam kakus
Perancis umumnya, lubangnya terletak di belakangartinya, tahi
itu harus menghilang secepat mungkin. Terakhir, kakus Anglo-
Saxon (Inggris atau Amerika) menghadirkan sejenis sintesis,
mediasi antara dua kutub yang bertentangan tadi. Cekungan kakus
itu penuh terendam air, sehingga tahinya mengambang: bisa
terlihat, tapi bukan untuk diamati. Tak heran bila Erica Jong, dalam
pembahasan terkenal atas berbagai jenis kakus Eropa pada
pembukaan karyanya Fear of Flying yang kini sudah agak
terlupakan, mengklaim dengan mengolok: Toilet-toilet Jerman
benar-benar merupakan kunci untuk menyelami horror Third Reich.
Orang yang bisa membuat toilet macam ini sungguh sanggup berbuat apa
saja. Jelas bahwa tak satupun versi ini bisa diperhitungkan dalam
kaidah yang murni utilitarian: adanya persepsi ideologis tertentu
tentang bagaimana subjek harus berhubungan dengan buangan tak
sedap yang keluar dari dalam diri kita kentara jelas di sinilagi-
lagi, untuk ketiga kalinya, kebenaran ada di luar sana.
Hegel termasuk orang pertama yang menafsirkan bahwa segitiga
geografis Jerman-Perancis-Inggris ini mengekspresikan tiga sikap
eksistensial yang berbeda: Jerman ketelitian permenungan,
Perancis ketergesaan revolusioner, sementara Inggris pragmatisme
utilitarian moderat. Dalam pengertian sikap politik, segitiga ini
bisa dibaca sebagai konservatisme Jerman, radikalisme
revolusioner Perancis, dan liberalisme moderat Inggris. Sedangkan
dalam pengertian dominasi bidang kehidupan sosial, tersebutlah
metafisika dan puisi Jerman lawan politik Perancis dan ekonomi
Inggris. Rujukan pada kakus ini memungkinkan kita bukan hanya
Ideologi dan Fantasi Slavoj Zizek Halaman 5

mengamati segitiga yang sama dalam wilayah paling intim fungsi


pembuangan, namun juga melihat mekanisme dasar dari segitiga
ini dalam tiga sikap berbeda mengenai tahi: keterpukauan
kontemplatif yang ambigu; ketergesaan untuk menyingkirkan
buangan tak sedap itu selekas mungkin; pendekatan pragmatis
untuk memperlakukan buangan itu sebagai benda biasa yang
harus dibuang dengan cara yang pantas.
Jadi, mudah kiranya seorang akademisi mengklaim dalam sebuah
seminar bahwa kita tengah hidup dalam dunia pasca-ideologi. Tapi
begitu ia masuk kamar kecil sesudah debat berapi-api, kembali lagi
ia berkubang selutut dalam ideologi. Asupan ideologis dalam
rujukan pada fungsi tersebut terbukti kebenarannya dari watak
dialogis-nya: kakus Anglo-Saxon memperoleh maknanya hanya
melalui hubungan diferensialnya pada kakus Perancis dan Jerman.
Kita punya begitu banyak tipe kakus karena adanya proses
pembuangan traumatis yang coba untuk diakomodasi oleh masing-
masing tipe tersebutmenurut Lacan, salah satu ciri yang
membedakan manusia dari binatang adalah justru karena pada
manusia, pembuangan tahi itu jadi masalah.
Hal yang sama juga berlaku pada banyaknya cara orang mencuci
piring: di Denmark misalnya, sederet rincian ciri-ciri mereka
mencuci piring mempertentangkan cara itu dengan cara orang
Swedia mencucinya. Analisa mendalam langsung bisa menguak
bagaimana pertentangan itu dipakai untuk mengindeks persepsi
dasar akan identitas nasional Denmark, yang dirumuskan secara
berlawanan dengan identitas nasional Swedia.[i] Dan memasuki
ranah yang lebih intim lagitidakkah kita menemui segitiga
semiotika yang sama dalam tiga model potongan rambut organ
kewanitaan? Jembut yang lebat tak dipangkas mencerminkan sikap
hippies atas spontanitas alamiah. Kaum yuppies (eksekutif muda)
menyukai prosedur penataan taman-taman Perancis (jembut di
sisi-sisi dekat pangkal paha dicukur, sehingga yang tersisa tinggal
seurai di tengah-tengah dengan garis potong yang jelas). Dalam
sikap punk, vagina dicukur polos dan dihiasi anting (biasanya
ditindikkan ke kelentit). Tidakkah ini versi lain lagi dari segitiga
semiotika Lvi-Straussian tentang jembut liar yang mentah,
jembut yang dipanggang matang, dan jembut yang digodok
habis?
Ideologi dan Fantasi Slavoj Zizek Halaman 6

Orang bisa melihat bagaimana sikap yang paling intim sekalipun


terhadap tubuh seseorang dipakai untuk membuat pernyataan
ideologis.[ii] Jadi bagaimana eksistensi material dari ideologi ini
terkait dengan keyakinan-keyakinan sadar kita? Mengenai Tartuffe
karya Molire, Henri Bergson telah menekankan bagaimana
Tartuffe itu lucu bukan karena kemunafikannya, melainkan karena
ia terperangkap dalam topeng kemunafikannya sendiri:
Ia membenamkan diri begitu rupa dalam peran seorang hipokrit
sampai-sampai ia memainkannya dengan penuh ketulusan.
Dengan ini dan hanya dengan inilah ia jadi lucu. Tanpa ketulusan
yang murni materiil ini, tanpa tindak-tanduk dan perkataan yang
melalui latihan panjang kemunafikanbaginya lantas menjadi
sikap alamiah, Tartuffe akan jadi memuakkan.[iii]
Ungkapan Bergson soal ketulusan yang murni materiil ini pas betul
dengan gagasan Althusser tentang Aparatus Negara Ideologis
tentang ritual eksternal yang mematerialisir ideologi: subjek yang
menjaga jarak dari ritual ini tak sadar akan fakta bahwa ritual
tersebut telah menguasai dirinya dari dalam. Sebagaimana kata
Pascal, kalau kau tidak percaya, berlututlah, bersikaplah seolah-
olah kau percaya, dan kepercayaan ini akan dating dengan
sendirinya. Begitu juga halnya dengan fetisisme komoditas
Marxian: dalam kesadaran dirinya yang eksplisit, seorang kapitalis
adalah seorang nominalis yang berakal sehat, namun ketulusan
yang murni materiil dari perilakunya menampakkan kejanggalan
teologis dari jagat komoditas.[iv] Ketulusan yang murni materiil
dari ritual ideologis eksternal inilah, bukan dalamnya keyakinan
dan hasrat-hasrat diri sang subjek, yang merupakan lokus
sesungguhnya dari fantasi yang menjaga sebuah bangunan
ideologis.
Gagasan standar tentang cara kerja fantasi dalam ideology adalah
berupa gambaran tentang sebuah skenario-fantasi yang
mengaburkan kengerian sesungguhnya dari sebuah peristiwa: alih-
alih memahami sepenuhnya antagonisme yang ada dalam
masyarakat, kita menceburkan diri ke dalam ide tentang
masyarakat sebagai Keutuhan organis, yang dipersatukan oleh
kekuatan solidaritas dan gotong-royong Bagaimana pun, di sini
juga jauh lebih produktif untuk mencari gambaran tentang fantasi
ini di tempat-tempat yang paling tidak diduga akan didapati: di
yang-marjinal, dan sekali lagi, dalam situasi-situasi yang tampak
Ideologi dan Fantasi Slavoj Zizek Halaman 7

sepenuhnya fungsional. Cobalah kita ingat petunjuk keselamatan


yang diperagakan sebelum pesawat tinggal landas-tidakkah ini
dirawat oleh skenario fantasmik tentang seperti apa kemungkinan
kecelakaan pesawat itu? Sesudah pendaratan mulus di air (yang
ajaib, selalu dianggap terjadi di atas permukaan air!), masing-
masing penumpang mengenakan pelampung penyelamat, dan
sebagaimana di seluncuran pantai, merosot ke dalam air lalu
berenang, ibaratnya liburan ramai-ramai di laguna di bawah
pengawasan instruktur renang berpengalaman. Tidakkah
gentrifikasi atas malapetaka ini (pendaratan yang mulus,
pramugari-pramugari dengan gaya elok menunjuk ke tanda
Exit) juga merupakan ideologi dalam bentuknya yang paling
murni? Meski demikian, gagasan psikoanalisa tentang fantasi tidak
bisa direduksi menjadi gambaran tentang sebuah skenario-fantasi
yang mengaburkan kengerian sesungguhnya sebuah peristiwa. Hal
pertama dan cukup jelas yang harus ditambahkan adalah bahwa
hubungan antara fantasi dan kengerian dalam the Real yang
ditutup-tutupinya jauh lebih ambigu ketimbang yang kelihatan:
fantasi menyembunyikan kengerian ini, namun pada saat yang
sama menciptakan apa yang semestinya ia sembunyikan, titik
rujuknya yang direpresi (tidakkah gambaran-gambaran tentang
Makhluk maha seram, mulai dari cumi-cumi raksasa hingga amuk
taufan badai, merupakan kreasi-kreasi fantasmik par excellence?).

Tulisan ini adalah sebuah cuplikan dari SAMPAR FANTASI. Diterjemahkan


dari potongan Bab Pendahuluan dan potongan Bab 1 buku Slavoj Zizek
The Plague of Fantasies (London: Verso, 1997) oleh Ronny Agustinus
(2007-2008), khusus untuk jurnal online Paralaks.

[i] Baca Anders Linde-Laursen, Small Differences-Large Issues, The South


Atlantic Quarterly, 94:4 (musim gugur 1995), hlm. 1123-1144.
[ii] Kasus yang paling jelas dan karena kejelasannya itulah tidak saya
bahas di sinitentu saja adalah konotasi ideologis yang ada dalam
pelbagai posisi hubungan badan; artinya, pernyataan ideologis tersirat
yang kita lontarkan dengan melakukannya dalam posisi tertentu.
[iii] Henri Bergson, An Essay on Laughter, London: Smith, 1937, hlm. 83.
[iv] Uraian rinci tentang paradoks fetisisme, lihat Bab 3 buku ini.

Anda mungkin juga menyukai