Oh, tak tahulah. Tadi aku kira bisa menemukan pikiran-pikiran yang cabul dan lucu. Tapi sekarang
tahulah ....
Lampu-lampu yang berkelipan di belantara pencakar langit yang kelihatan dari jendela
mengingatkan Marno pada ratusan kunang-kunang yang suka bertabur malam-malam di sawah
embahnya di desa.
Oh, kalau saja .....
Kalau saja apa, Kekasihku?
Kalau saja ada suara jangkrik mengerik dan beberapa katak menyanyi dari luar sana.
Lantas?
Tidak apa-apa. Itu kan membuat aku lebih senang sedikit.
Kau anak desa yang sentimental!
Biar!
Marno terkejut karena kata biar itu terdengar keras sekali keluarnya.
Maaf, Jane. Aku kira scotch yang membuat itu.
Tidak, Sayang. Kau merasa tersinggung. Maaf.
Marno mengangkat bahunya karena dia tidak tahu apa lagi yang mesti diperbuat dengan maaf yang
berbalas maaf itu.
Sebuah pesawat jet terdengar mendesau keras lewat di atas bangunan apartemen Jane.
Jet keparat!
Jane mengutuk sambil berjalan terhuyung ke dapur. Dari kamar itu Marno mendengar Jane keraskeras membuka kran air. Kemudian dilihatnya Jane kembali, mukanya basah, di tangannya segelas air
es.
Aku merasa segar sedikit.
Jane merebahkan badannya di sofa, matanya dipejamkan, tapi kakinya disepak-sepakkannya ke
atas. Lirih-lirih dia mulai menyanyi : deep blue sea, baby, deep blue sea, deep blue sea, baby, deep
blue sea ......
Pernahkah kau punya keinginan, lebih-lebih dalam musim panas begini, untuk telanjang lalu
membiarkan badanmu tenggelam dalaaammm sekali di dasar laut yang teduh itu, tetapi tidak mati dan
kau bisa memandang badanmu yang tergeletak itu dari dalam sebuah sampan?
He? Oh, maafkan aku kurang menangkap kalimatmu yang panjang itu. Bagaimana lagi, Jane?
Oh, lupakan saja. Aku Cuma ngomong saja. Deep blue sea, baby, deep blue, deep blue sea, baby,
deep blue sea ....
Marno.
Ya.
Kita belum pernah jalan-jalan ke Central Park Zoo, ya?
Belum, tapi kita sudah sering jalan-jalan ke Park-nya.
Dalam perkawinan kami yang satu tahun delapan bulan tambah sebelas hari itu, Tommy pernah
mengajakku sekali ke Central Park Zoo. Ha, aku ingat kami berdebat di muka kandang kera. Tommy
bilang chimpansee adalah kera yang paling dekat kepada manusia, aku bilang gorilla. Tommy
mengatakan bahwa sarjana-sarjana sudah membuat penyelidikan yang mendalam tentang hal itu,
tetapi aku tetap menyangkalnya karena gorilla yang ada di muka kami mengingatkan aku pada penjaga
lift kantor Tommy. Pernahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?
Oh, aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.
Oh, Marno, semua ceritaku sudah kau dengar semua. Aku membosankan, ya, Marno? Mem-bosan-kan.
Marno tidak menjawab karena tiba-tiba saja dia merasa seakan-akan istrinya ada di dekat-dekat dia
di Manhattan malam itu. Adakah penjelasannya bagaimana satu bayang-bayang yang terpisah beriburibu kilometer bisa muncul begitu pendek?
Ayolah, Marno. Kalau kau jujur tentulah kau akan mengatakan bahwa aku sudah membosankan.
Cerita yang itu-itu saja yang kau dengar tiap kita ketemu. Membosankan, ya? Mem-bo-san-kan!
Tapi tidak semua ceritamu pernah aku dengar. Memang beberapa ceritamu sudah beberapa kali aku
dengar.
Bukan beberapa, Sayang. Sebagian besar.
Baiklah, taruhlah sebagian terbesar sudah aku dengar.
Aku membosankan jadinya.
Marno diam tidak mencoba meneruskan. Disedotnya rokoknya dalam-dalam, lalu dihembuskannya
lagi asapnya lewat mulut dan hidungnya.
Tapi Marno, bukankah aku harus berbicara? Apa lagi yang bisa kukerjakan kalau aku berhenti
bicara? Aku kira Manhattan tinggal tinggal lagi kau dan aku yang punya. Apalah jadinya kalau salah
seorang pemilik pulau ini jadi capek berbicara? Kalau dua orang terdampar di satu pulau, mereka akan
terus berbicara sampai kapal tiba, bukan?
Jane memejamkan matanya dengan dadanya lurus-lurus telentang di sofa. Sebuah bantal terletak di
dadanya.
Kemudian dengan tiba-tiba dia bangun, berdiri sebentar, lalu duduk kembali di sofa.
Marno, kemarilah, duduk.
Kenapa? Bukankah sejak sore aku duduk terus di situ.
Kemarilah, duduk.
Aku sedang enak di jendela sini, Jane. Ada beribu kunang-kunang di sana.
Kunang-kunang?
Ya.
Bagaimana rupa kunang-kunang itu? Aku belum pernah lihat.
Mereka adalah lampu suar kecil-kecil sebesar noktah.
Begitu kecil?
Ya. Tetapi kalau ada beribu kunang-kunang hinggap di pohon pinggir jalan, itu bagaimana?
Pohon itu akan jadi pohon-hari-natal.
Ya, pohon-hari-natal.
Marno diam lalu memasang rokok sebatang lagi. Mukanya terus menghadap ke luar jendela lagi,
menatap ke satu arah yang jauh entah ke mana.
Marno, waktu kau masih kecil ..... Marno, kau mendengarkan aku, kan?
Ya.
Waktu kau masih kecil, pernahkah kau punya mainan kekasih?
Mainan kekasih?
Mainan yang begitu kau kasihi hingga ke mana pun kau pergi selalu harus ikut?
Aku tidak ingat lagi, Jane. Aku ingat sesudah aku agak besar, aku suka main-main dengan kerbau
kakekku, si Jilamprang.
ULASAN
ALUR : Dalam Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, sangat menarik dan membawa
kehikmatan jika kita sedang membacanya . beliau membungkusnya dengan penataan alur
dialog dengan halus, serta tertata
Menurut saya . Seribu Kunang-kunang di Manhattan sangat terbaca situasi dengan
budaya orang Barat di Amerika suka minum-minum biarpun saat santai atau pun acara
mewah sekalian. Dalam penokohan sosok Marno yang berasal dari Indonesia, terlihat
dari namanya Marno yang populernya dari suku Jawa dengan nama berakhiran vokal o,
yang bertingkah laku seperti orang bule. Bias disimpulkan bahwa Marno semasa di
Amerika atau yang paling dekat dengannya, Jane sang kekasih memengaruhi pola hidup
Marno.
Dalam cerpen dideskripsikan bahwa mereka sedang bermalas-malasan di sofa
sambil minum martini dan scotch.Menurut saya mereka ini tinggal di kawasan elit di
Amerika apalagi mereka berada di Apartemen. kawasan komplek gedung-gedung yang
lampunya berkelip mewah, hingga ada pesawat Jet yang melintasi daerah itu.
Menunjukkan itu adalah daerah kaum elit.
Walaupun Jane sudah janda dan masih selalu membicarakan hal-hal tentang mantan
suaminya, Tommy, Marno tidak pernah berontak kepada Jane. Marno selalu
mendengarkan cerita Jane tentang mantan suami Jane, menjawab pertanyan-pertanyan
Jane yang berkaitan dengan mantan suami Jane. Memang tidak dijelaskan pemberontakan
Marno atau kecemburuan yang dialami Marno terhadap cerita-cerita Jane mengenai
Mantan suami Jane, Tommy, tetapi dari sikap Marno yang kalem-kalem saja dalam
menanggapinya, justru menjadi tanda tanya di sini. Bisa jadi Marno sebenarnya sebal,
kesal, dan benci pada cerewetnya Jane menceritakan semua kejadian yang pernah Jane
lewati bersama Tommy, tetapi ia lebih memilih diam yang ternyata dipendam dalam hati
Marno. Atau Marno menerima keadaan yang sedang dihadapinya, sehingga ia tidak
memperumit. Mungkin Marno yang berasal dari Jawa memang membawa sifat sabar
terhadap apa pun dalam hidupnya.
NAMA
:SIGIT OKTABRIANA
KELAS
: XII IPA 2
NO ABSEN : 31
PUISI
Rumpun Alang- Alang
WS. rendra
Engkaulah perempuan terkasih, yang sejenak kulupakan, sayang
Karna dalam sepi yang jahat tumbuh alang-alang di hatiku yang malang
Di hatiku alang-alang menancapkan akar-akarnya yang gatal
Serumpun alang-alang gelap, lembut dan nakal
Gelap dan bergoyang ia
dan ia pun berbunga dosa
Engkau tetap yang punya
tapi alang-alang tumbuh di dada
Ulasan
Puisi ini menceritakan tentang seorang laki laki mengenang istrinya yang ia cintai ,
namun laki laki itu telah menduakannya. Dengan diam diam laki laki itu mencari wanita
lain atau selingkuan. Wanita itu lebih mencintainya dengan memberikan godaan agar
melupakan istrinya. Wanita itu memberikan rayuan dan godaan dengan berbagai cara
untuk melakukan perbuatan dosa, hingga pada suatu hari mereka melakukan perbuatan
itu, akhirnya mereka menghasilkan keturunan dari perbuatan gelapnya . Laki laki itu
berkata dalam hati bahwa istrinya itu tataplah miliknya tetapi ia terlanjur mencintai
wanita lain itu.