di Manhattan
Karya Umar Kayam
“Kalau bulan itu ungu, apa pula warna langit dan mendungnya itu?”
“Oh, aku tidak ambil pusing tentang langit dan mendung. Bulan itu u-
ng-u! U-ng-u! Ayolah, bilang, ungu!”
“Kuning keemasan!”
“Ya, Jane.”
“Oh, aku kira tidak sedingin seperti biasanya. Bukankah di sana ada
summer juga seperti di sini?”
“Mungkin juga. Aku tidak pernah berapa kuat dalam ilmu bumi.
Gambaranku tentang Alaska adalah satu padang yang amat l-u-a-s
dengan salju, salju dan salju.Lalu di sana-sini rumah-rumah orang
Eskimo bergunduk-gunduk seperti es krim panili.”
“Aku kira sebaiknya kau jadi penyair, Jane. Baru sekarang aku
mendengar perumpamaan yang begitu puitis. Rumah Eskimo sepeti es
krim panili.”
“Tapi Minggu yang lalu kaubilang dia ada di Texas atau di Kansas.
atau mungkin di Arkansas.”
“Oh.”
“Marno, Manisku.”
“Ya, Jane.”
“Aku harap itu betul. Sungguh, Darling, aku serius. Aku harap itu
betul.”
“Kenapa?”
“Marno.”
“Ya, Jane.”
“Aku ingat Tommy pernah mengirimi aku sebuah boneka Indian yang
cantik dari Oklahoma City beberapa tahun yang lalu. Sudahkah aku
ceritakan hal ini kepadamu?”
“Oh.”
“Apa?”
“Bisa, bisa.”
“Bagaimana?”
“Oh, tak tahulah. Tadi aku kira bisa menemukan pikiran-pikiran yang
cabul dan lucu. Tapi sekarang tahulah ….”
“Lantas?”
“Biar!”
Marno mengangkat bahunya karena dia tidak tahu apa lagi yang mesti
diperbuat dengan maaf yang berbalas maaf itu.
“Jet keparat!”
“Oh, lupakan saja. Aku Cuma ngomong saja. Deep blue sea, baby,
deep blue, deep blue sea, baby, deep blue sea ….”
“Marno.”
“Ya.”
“Tapi Marno, bukankah aku harus berbicara? Apa lagi yang bisa
kukerjakan kalau aku berhenti bicara? Aku kira Manhattan tinggal
tinggal lagi kau dan aku yang punya. Apalah jadinya kalau salah
seorang pemilik pulau ini jadi capek berbicara? Kalau dua orang
terdampar di satu pulau, mereka akan terus berbicara sampai kapal
tiba, bukan?”
“Kunang-kunang?”
“Ya.”
“Begitu kecil?”
“Ya, pohon-hari-natal.”
“Marno, waktu kau masih kecil ….. Marno, kau mendengarkan aku,
kan?”
“Ya.”
“Mainan kekasih?”
“Mainan yang begitu kau kasihi hingga ke mana pun kau pergi selalu
harus ikut?”
“Aku tidak ingat lagi, Jane. Aku ingat sesudah aku agak besar, aku
suka main-main dengan kerbau kakekku, si Jilamprang.”
“Tidak selalu. Mainan yang paling aku kasihi dahulu adalah Uncle
Tom.”
“Siapa dia?”
“Dia boneka hitam yang jelek sekali rupanya. Tetapi aku tidak akan
pernah bisa tidur bila Uncle Tom tidak ada di sampingku.”
“Oh, itu hal yang normal saja, aku kira. Anakku juga begitu. Punya
anakku anjing-anjingan bernama Fifie.”
“Tetapi aku baru berpisah dengan Uncle Tom sesudah aku ketemu
Tommy di High School. Aku kira, aku ingin Uncle Tom ada di dekat-
dekatku lagi sekarang.”
“Marno, Sayang.”
“Ya.”
“Belum, Jane.”
Marno tersenyum
Marno tersenyum
“Oh, ya, Marno, manisku. Kau harus berterima kasih kepadaku. Aku
telah menepati janjiku.”
“Akan kau pakai saja malam ini. Aku kira sekarang sudah cukup
malam untuk berganti dengan piyama.”
“Jane.”
“Ya, Sayang.”
“Eh, aku belum tahu apakah aku akan tidur di sini malam ini.”
“Aku harap aku mengerti, Sayang. Aku tak akan bertanya lagi.”
„Tentu, Jane.”
***
“Siapa kamu?”
“Aku adalah pendirianmu. Jam 9 kita akan keluar, tunggu hari agak
terang. Sekarang, tidurlah waktu masih panjang”.
“Hai bangun”.
Aku tertegun, ini bukan suara orang yang pertama. Suara ini
seperti anak yang baru belajar berbicara, sangat halus menggemaskan.
Ku amati tubunya. Anak ini terlalu kecil untuk berada di tempat ini.
anak siapa ini?.
“Hai bangun. Aku adalah pendirianmu, jika kau tidak ikut keluar jam
4 bersamaku! Ah sudahlah nanti juga kau akan tahu sendiri”.
Aku tertunduk memikirkan dan tak kulihat lagi anak itu pergi
kemana, mengapa ada dua orang datang menemuiku, satu anak remaja
dan satu anak kecil. Keduanya membangunkanku dan mengajakku
keluar pada jam yang berbeda. Aneh sekali memang, tempat ini yang
semula ramai, namun tak satupun orang yang berada dalam ruangan
ini mengajakku bicara. Sekarang aku harus memilih salah satu dari
kedua, jam 9 atau jam 4. Aku bangkit dari tempat nyamanku, ku
telusuri ruangan ini, sudut- kesudut, pojok-kepojok entah berapa kali
aku kembali pada tempat semula. Ini ruangan tak ada ujung, di mana
jam dinding?.
***
Suara perempuan! ini bukan suara bapak yang tadi. Ku lihat sosok
seorang perempuan berjalan ke arahku. Semakin dekat semakin jelas
dan kembali aku mengingat-ingat siapa sosok perempuan yang ada
dihadapanku ini. Perempuan itu adalah perempuan yang sedang
merenung tadi, seingatku.
***