Anda di halaman 1dari 4

Semburat Mimpi Anak pesisir

Bunyi sepatu nyaring beradu bunyi dengan kayu-kayu rapuh khas sekolah pesisir,
membuat bulu kuduk siswa-siswi berdiri membayangkan penggaris rotan seukuran satu meter
dihantam ke meja. Wajah pasrah yang tertunduk lesu di tampilkan olehnya, Renjanu. Si
jenius Ranamenggala menatap iba ke arah saudaranya Renjanu, “Renjanu, tenanglah. Tidak
akan terjadi apa-apa,” Ujar Ranamenggala sembari menepuk bahu saudaranya. Namun
ucapan Ranamenggala rasanya seperti hanya sekelebat angin yang hanya berlalu, mata
tajamnya masih terus menelisik kertas keramat itu, yah itulah julukan yang diberikan oleh
anak-anak untuk kertas yang berisi berbagai macam jenis angka, mulai dari warna merah dan
hitam. Langkah kaki yang penuh intimidasi itu berhenti tepat di depan papan tulis, mampu
menarik atensi Renjanu yang mulai menatap kertas berisi nilai ujian yang dibawa oleh
walikelasnya dengan tatapan pasrah.

Wajah dirgantara terbungkus mendung, menggantikan peran senja yang seharusnya


mengisi kekosongan, menampilkan air muka yang masam milik Renjanu. Benar saja yang ia
pikirkan, penggaris rotan itu berhasil menghantam meja nya, seuntai kalimat ketus menusuk
gendang telinganya dan masih terbayang-bayang sampai sekarang. Tangannya yang masih
memegang kertas keramat yang di dominasi warna merah, kecuali nilai seninya yang selalu
sempurna memperoleh nilai 10. “Oi Rana, mengapa kau dan aku berbeda? Kenapa hanya kau
yang pintar nan jenius? Kenapa aku tidak begitu? Apakah Tuhan tidak mengasihaniku yang
selalu mendapat kalimat pedas dari Bu Ratna?,” Ucap Renjanu panjang lebar, mampu
membuat Ranamenggala yang biasanya mampu menjawab segala pertanyaan dari Renjanu,
namun kini ia bungkam. Lamat-lamat ia menatap saudaranya, “Tidak semuanya harus bisa,
Janu. Terkadang Tuhan menciptakan sesuatu yang sedikit berbeda dan istimewa yang tidak
bisa dilihat oleh sembarang orang. Aku tahu engkau akan bersinar dengan caramu sendiri, eh
ayolah! Jangan kau murung seperti sang cakrawala hari ini,” Ujar Ranamenggala sembari
merangkul pundak saudaranya.

“Alam memang selalu mewakili perasaan Rana, kau harus belajar dari alam. Dan yah alam
juga jadi inspirasi yang menarik, namun bisa saja jadi perantara luka yang hebat. Rana coba
kau lihat keanehan di pantai Talise, kenapa air pantainya surut sampai jauh sekali?” Ucapan
Renjanu membuat Ranamenggala beralih menatap pantai, ekspresi wajah yang teduh kini
mulai berubah sedikit tegang, ia teringat dengan pelajaran geografinya di sekolah, namun ia
segera menepis pikiran itu dan menarik tangan saudaranya yang masih menampilkan wajah
bingung untuk segera pulang, hujan yang mulai membasahi pesisir kota Palu dan petir yang
mulai bersahutan membuat langkah keduanya semakin cepat.

Sesampainya di rumah, wajah wanita paruh baya mampu mengubah ekspresi Renjanu
dengan cepat, wajah murung itu kini berganti dengan wajah sumringah. Ranamenggala yang
melihatnya tersenyum tipis dan mulai menyalami wanita paruh baya yang mereka panggil
dengan sebutan ammak, atau dalam bahasa Sulawesi yang bearti ibu. “Rana, Janu cepatlah
kalian mandi dan bantu ammak mu ini. Janu selesai kau mandi, pergilah ke warung Purina
Siti”, Purina dalam bahasa Sulawesi yang bearti bibi. Karena perintah ammaknya yang tidak
bisa dibantah Janu bergegas pergi ke warung Purina Siti, saat dijalan ia masih menatap
cakrawala yang masih berselimut mendung, meskipun hujan sudah reda sedari tadi.
Sesampainya di warung Purina Siti, sebuah suara nyaring hampir mengoyak gendang telinga
Renjanu, jika saja Renjanu tidak cepat-cepat menutup telinganya. “Ammak, bantulah Jena
mak, Bu guru memberi tugas untuk membuat sajak, Jena tidak punya ide mak,” Rengekan
Jena membuat Purina Siti yang sedari tadi sibuk melayani pembeli membalas rengekan
anaknya dengan suara yang tak kalah tinggi frekuensinya, “Oi Jena, Tak bisakah kau lihat
ammakmu ini yang sibuk, sebaiknya kau minta tolong orang lain saja, eh ada Renjanu. Nah
Janu kau bantulah Jena, Purinamu ini masih sibuk,” , karena Janu masih menyayangi telinga
berharganya, ia pun memilih untuk membantu Jena.

“Memang sesusah apa membuat sajak Jena? Berapa sajak yang harus dibuat? Sampai kau
merengek seperti ayam ditinggal induknya,” Ucap Renjanu, “Susah sekali Kak Janu, seperti
mendaki gunung Everest, dan disuruh membuat 2 sajak saja, dan temanya terserah saja,”
Terang Jena. Tanpa menunggu lama, seutas Kalimat indah sudah terdengar, “Nah kau
siapkan pensilmu, dan catat ini Jena.’Senja ini, sepi turun dari puncak bukit kenangan
membawa sekeping ingatan tentang masa lalu yang lama berdiam di pucuk pohon-pohon
kerinduan’. Nah kurang satu lagi, 'aku mencari sisa hujan semalam. Mungkin di sela bulirnya
masih bisa kutemukan sekeping kenangan yang dulu kutitipkan’, “, “Yey!, sudah selesai kak.
Terimakasih banyak kak Janu, Kak Janu sangat pandai membuat sajak.”

Setelah selesai membeli barang yang diminta ammaknya, Renjanu kembali menapaki jalan
pulang, namun saat sampai dipertengahan jalan. Tiba-tiba tanah bergetar dengan hebat, dalam
sekejap saja Desa pesisir pantai Talise penuh dengan jeritan Manusia, disusul dengan
gemuruh ombak menggelegar mampu mengusik ketenangan, “Tsunami, tsunami! Ayo
selamatkan diri kalian menuju bukit!”, Belum selesai Tanah mengeluarkan amarahnya, Laut
sudah mengeluarkan dendam yang dipendamnya. Renjanu tanpa berpikir panjang berusaha
menerobos kerumunan manusia yang berusaha menuju bukit, namun usahanya sia-sia,
Renjanu terseret dan terinjak-injak oleh warga desa yang berusaha menyelamatkan diri. Saat
mata sendu itu mulai membuka matanya, sambutan pertama yang ia dapat adalah tangisan-
tangisan dan rintihan yang mengusik telinganya, mengingatkannya pada saudara dan
ammaknya yang belum tentu keselamatannya, Renjanu mulai kalang kabut mencari saudara
dan ammaknya diantara ratusan warga yang selamat. Namun tak dijumpainya keduanya, mata
sendunya kembali menatap desanya yang sudah rata, hanya tinggal puing-puing bangunan.

Setelah laut puas meluapkan segalanya dan sudah bosan memporak-porandakan desa
pesisir Pantai Talise, lantas kembali ke asalnya. Menyisakan puing-puing mimpi anak pesisir
yang ikut berlari turun dari bukit menuju desa, derap langkah kakinya terus melangkah,
Renjanu berhenti tepat di atas tanah yang semula berdiri sebuah rumah sederhana, yang kini
telah hancur, menyisakan dua raga tak bernyawa milik ammaknya dan saudaranya,
Ranamenggala. Langkah penuh luka mulai menghampiri raga dua orang terkasih
kesayangannya, dua orang alasannya bermimpi tinggi untuk menjadi pelukis, tubuh lemahnya
pun tak sanggup membendung luka dan akhirnya ambruk ketanah dengan merengkuh jasad
keduanya. Saat mata itu mulai mengerjap yang ia dapati ialah kamar bercat abu-abu yang
sangat asing, namun ingatan akan bencana yang merusak segalanya kembali terbayang-
bayang, membuat Renjanu mulai mengeluarkan isak tangis yang menyakitkan. Gagang pintu
kamar yang dibuka oleh seorang pria paruh baya membuyarkan tangisan Renjanu, pria paruh
baya itu mulai mendekat dan mendekap tubuh ringkih Renjanu, “Tenang, kau sudah aman
nak, dan jangan kau khawatir kan saudara dan ammakmu. Mereka sudah tenang sekarang,
tugasmu sekarang adalah mewujudkan mimpimu, mimpi seorang anak pesisir yang indah
yang harus kau rajut mulai sekarang,”Ucapnya sambil menatap teduh ke arah Renjanu,
“Terima kasih pak sudah bersedia menolong saya, nama bapak siapa?” Tanya nya, “Nama
bapak Ode, Renjanu” ujarnya sambil tersenyum penuh arti pada Renjanu.

Keesokan harinya, saat sang fajar masih malu-malu menampilkan semburat sinarnya,
Renjanu tampak sedang duduk sendiri di balkon dengan kanvas dan alat lukis lain yang
tersaji di hadapannya. Tangannya mulai menyentuh kuas dan mulai menggoreskannya di atas
kanvas yang entah siapa yang menaruh kanvas itu dan alat yang lain dibalkon. Tangannya
bergerak lincah menorehkan ide-ide cemerlangnya, perpaduan warna kontras dan goresan
kuas penuh makna yang mulai muncul membuat Pak Ode yang berdiri di belakang Renjanu
entah sejak kapan terkesima melihatnya. Renjanu yang masih fokus dan tak mengalihkan
atensinya mampu menyelesaikan lukisannya dalam waktu singkat, Pak Ode yang tetap setia
memperhatikannya pun menatap lamat-lamat buah karya Renjanu, “Oi, Renjanu. Apakah kau
sebelumnya pernah belajar melukis?”, tanya Pak Ode pada Renjanu dengan masih
mempertahankan wajah kagumnya, “Pernah sekali pak, waktu belajar di sekolah. Apakah
lukisan saya ini tampak aneh?”, “Tentu tidak, Renjanu. Lukisan kamu ini fantastis, sungguh
mengekspresikan emosi jiwa. Dan bapak yakin lukisan ini akan menarik atensi para korektor
lukisan dan para pelukis yang hadir di acara pameran Minggu depan,” Ujarnya dengan
tersenyum simpula, “Pameran pak?Apakah lukisan saya ini akan berjajar dengan lukisan
milik para pelukis-pelukis terkenal itu?,” Ucap Renjanu dengan mata berbinar, “Tentu saja,
memang siapa yang tidak suka dengan karya indah ini, Renjanu,” Ucap Pak Ode dengan
mantap.

Setelah selesai berdoa, Renjanu mulai mengusap kedua nisan, milik ammaknya dan
saudaranya, Ranamenggala. “Ammak, Rana. Janu sekarang sudah jadi orang yang selama ini
yang kalian nanti. Rana kau benar saudaraku, aku bisa bersinar dengan caraku sendiri tanpa
harus menirumu. Mimpi yang selama ini kuanggap tidak akan mendapati jalannya kini sudah
mendapati jalannya. Namun semua itu tidak lengkap mak,” Setelah selesai mengeluarkan rasa
rindunya, Renjanu mulai beranjak dari tempat duduknya, setelah berpamitan pada ammak
dan saudaranya. Renjanu memang sudah berencana untuk mendatangi makam ammak dan
saudaranya setelah mengikuti pameran. Bahkan saat di pameran berbagai macam pujian
menimpa Renjanu, dan mampu membuat wajah putus asanya berubah menjadi wajah bangga,
semua ini berkat Tuhan yang menyelipkan hadiah besar dibalik luka yang hebat. Lukisan
Renjanu mampu menarik perhatian para penggemar dunia seni, lukisan itu berjudul
‘Semburat mimpi anak pesisir’.

Anda mungkin juga menyukai