Anda di halaman 1dari 5

Meski bukan Akhir yang Bahagia

Herlina SA

Sakit yang kurasa,


Dapatkah engkau merasakannya jua?
Semusim telah berlalu,
namun sakitnya masih seperti diiris sembilu?
_Herlina S. A.
***
Tidak biasanya Marian bangun menjelang pukul tujuh pada akhir pekan. Walau
libur bekerja, Marian biasanya bangun pagi. Setelah menunaikan salat Subuh tadi, ia
tertidur lagi. Kemudian terbangun dan menemukan sinar matahari berkedip-kedip ke
dalam jendela kamarnya. Ia menggeliat pelan. Tidak berapa lama, ia mendengar suara
dering telepon. Marian menepak tangannya di kasur untuk menemukan ponselnya.
Begitu jarinya menemukannya, ia segera menyambarnya dengan cepat dan mengusap
ibu jarinya di atas layar dan membawanya ke telinganya, “Iya, Assalamu’alaikum?”
gumamnya seramah mungkin.
“Hei … kamu lupa hari ini kita mau pergi kemana?” sembur suara di seberang
telepon. Marian mengerutkan keningnya dan mencoba mengenali seseorang yang
memiliki suara itu. Kemudian ia melihat tulisan sebuah nama di layar handphonenya,
Lania.
“Lania?” selidiknya.
“Iyaaa, Marian sayang. Jangan-jangan kamu baru bangun tidur, ya?” Suara
Lania semakin meninggi.
“Hehehe, iya. Tadi abis salat Subuh aku tidur lagi. Betewe, kita mau ke mana
hari ini? Kok, aku lupa.”
“Kalau deket, kucubit juga nih kamu. Hari ini kita mau ke pantai Ancol, Cantik!
Jam sembilan kita janjian di stasiun. Kita akan naik commuter Line. You’ve two hours
untuk siap-siap. Cepetan!” teriak Lania.
Sebelum merespon teriakan Lania, terdengar bunyi bip, pertanda Lania sudah
menutup teleponnya. Dengan cepat Marian bergegas ke kamar mandi dan ke dapur
untuk bersiap-siap. Tak lupa ia pun menyiapkan bekal untuk pergi ke pantai. Ia sedikit
merutuki dirinya mengapa bisa melupakan janjinya dengan Lania hari ini.
***
“Marian!” seru Lania dari kejauhan sambil melambaikan tangan. Suasana
stasiun cukup ramai dan membuat Marian sedikit terkaget karena Lania dapat
mengenalinya, padahal ia memakai masker.
“Sorry, Lan. Lama, ya, nunggunya?”
“Enggak, kok. Aku juga baru sampai beberapa menit yang lalu.” Mereka
bergegas menuju pintu tiket stasiun.
Sesampainya di pantai, Marian menatap lepas ke depan tempat ia berdiri.
Memorinya berputar ke masa yang lalu, ketika Andre masih menemaninya di pinggir
pantai tempat ia berdiri saat ini.
***
“Gimana? As you said, you really-really love the beach. And here we’re,”
Andre merentangkan tangannya seraya mengajak Marian ke dalam pelukannya. Andre
merengkuh Marian dengan erat.
“Makasih, ya, Mas. I love you,” bisik Marian pada Andre, lelaki yang baru
menikahinya tiga hari lalu.
“Love you more, Honey,” bisik Andre di telinga istrinya itu dengan mesra.
Marian melepaskan pelukannya ketika ia menyadari beberapa mata pengunjung pantai
sedang menatapnya, ia tertunduk malu.
“Kenapa harus malu? Kita kan pasangan halal,” ujar Andre mengedipkan mata
dengan nakal.
Marian berjalan menuju tikar yang sudah ia hamparkan di atas pasir pantai, di
atasnya tersedia makanan yang sudah Marian siapkan dari rumah. Sesampainya di
sana ia mengajak Andre untuk makan.
“Kita makan dulu ya, Mas,” Andre mengangguk sambil menatapnya lekat.
Marian balas menatap dan hatinya berdesir melihat lelaki di hadapannya itu, ia
sedang dilanda cinta. Sungguh ia tidak pernah mengira bahwa ia akan berjodoh
dengan lelaki jangkung asal Jawa Timur itu. Perkenalan singkat lewat guru mengaji
mereka masing-masing tidak menghalangi niatan mereka untuk melanjutkannya ke
jenjang pernikahan. September mereka berkenalan, November mereka mengikat janji.
Marian masih mengingat jelas pesan guru mengajinya, Bu Adya, wanita
setengah abad itu berkata, ‘Bila tujuannya lillah, insyaallah perjalanan pernikahan
kalian akan lancar saja dan bila ada masalah di kemudian hari, pasti akan Allah
mudahkan kalian mengatasinya. Ibu dulu sama suami hanya ta’aruf sepekan setelah
itu langsung akad. Alhamdulillah kami sudah 25 tahun bersama. Ibu doakan kalian
juga akan langgeng’. Perkataan Bu Adya diamini juga oleh Pak Anton, guru mengaji
Andre. Saat itu Marian dan Andre menganggukkan kepala saja sambil meng-aminkan
juga di dalam hati.
Marian benar-benar merasakan kebahagiaan yang sempurna. Rumah tangga
yang selama ini ia inginkan, dapat ia wujudkan dengan mudah. Selama dua purnama,
tidak ada masalah dalam pernikahannya.
Sampai suatu hari ia menerima direct message di aplikasi whatsapp miliknya,
[Ini dengan Mba Marian? Mba, aku Lisa, teman Andre. Apa kita bisa bertemu?]
Gemetar Marian ketika membacanya, tetapi ia tetap berpikiran positif. ‘Bisa saja itu
teman sekolah atau teman kantornya’, bisiknya menenangkan diri. Andre sedang
dinas ke Bandung, tugas dari kantor, selama sepekan ia di sana.
Marian mengajak Lisa bertemu di restoran dekat rumahnya. Sesampainya di
sana, ia celingukan mencari perempuan berambut panjang berkacamata dan memakai
baju biru, ciri-ciri Lisa yang disebutkan tadi melalui whatsapp. Marian
menemukannya, Ia menemukan Lisa sedang duduk di pojok restaurant, sendirian.
“Mbak Lisa?” tanya Marian penuh hati-hati. Yang ditanya hanya mengangguk
tersenyum. Marian yang biasanya sangat murah senyum pada siapa pun, kali ini ia
tidak bisa melakukannya. Hatinya terasa berat. Ketika mereka sudah duduk saling
berhadapan dan memesan minuman, untuk beberapa saat mereka terdiam.
“Maaf ya, Mbak Marian. Aku terpaksa mengajak Mbak ketemuan seperti ini,”
ujar Lisa memulai pembicaraan. Marian hanya menjawab dengan anggukan kecil.
“Andre itu pacarku dari sepuluh tahun yang lalu,” lanjutnya. Kedua mata
Marian memerah. Ia merasakan gemuruh yang teramat hebat di dadanya.
“Ayah dan ibu Andre memaksanya untuk segera menikah, tetapi aku belum
siap. Sejujurnya aku juga belum kenal dengan keluarganya. Waktu bulan Agustus
kami bertengkar hebat sehingga Andre meninggalkan rumah kami.”
“Rumah kami?” tanya Marian dengan suara menahan tangis.
“Oh iya, kami memang sudah tinggal bersama selama lebih kurang lima tahun,”
jawab perempuan yang duduk di kursi seberang Marian itu dengan santai.
“Aku lanjutin ceritanya, ya, Mbak. Ketika bulan Agustus teman mengajinya itu
menawarkan seorang perempuan untuk dinikahi, katanya sama-sama suka ngaji juga.
Tanpa pikir panjang ia menyetujuinya.”
‘Perempuan? Dari teman mengaji? Sama-sama suka mengaji? Akukah itu?’
Marian mencoba untuk tidak menangis walau matanya sudah menganak sungai dan
hatinya bagai digodam batu yang teramat besar.
“Sekarang Andre ada di rumah kami lagi. Dia bilang sama Mbak kalau lagi
tugas di Bandung kan? Sebenarnya tugas ke Bandungnya hanya satu hari, setelah itu
dia pulang ke rumah dan minta maaf sama aku,” lanjutnya lagi seperti tidak ada
beban.
“Maafkan aku, ya, Mbak.” Perempuan itu mencoba meraih tangan Marian.
Marian mencoba tersenyum. Ia mencoba meresapi yang sedang terjadi. Ini
seperti mimpi di siang hari yang ia ingin segera bangun dari mimpinya itu. Namun
beberapa kali ia mencubit tangan kirinya, beberapa kali pula ia merasakan sakit.
Karena nyatanya ini bukan mimpi!
Setelah pertemuannya dengan Lisa, segala cara sudah ia tempuh agar tetap
bersama Andre. Akan tetapi, Marian melihat bahwa Andre sudah memiliki tujuan lain
dalam pelayaran bahtera rumah tangga mereka. Marian tidak bisa berlayar sendiri dan
tidak mungkin hal itu dapat dilakukan. Butuh waktu beberapa bulan untuk Marian
mengambil keputusan. Keputusan besar dalam hidupnya yang sudah pasti akan
mengecewakan kedua orangtuanya.
“Maaf karena aku telah menyusahkan hatimu, kamu orang baik dan pasti akan
bertemu dengan orang yang baik. Bukan lelaki bejat seperti aku,” ujar Andre.
Marian hanya menjawab dengan deraian airmata. Keputusan sidang
menyatakan mereka sudah berpisah, baik secara negara maupun agama. Usia Marian
baru 24 tahun namun ia sudah menyandang status janda. Hatinya pedih. Lebih pedih
lagi ketika ia membayangkan pupusnya harapan kedua orang tuanya pada pernikahan
putri pertamanya itu.
***
“Marian? Kamu enggak pegal berdiri di situ dari tadi?” tanya Lania sambil
menyenggol lengan Marian pelan. Marian terkaget.
“Berapa lama aku berdiri di sini?”
“Cukup lama untuk aku bisa menghabiskan bekal roti yang kubawa. Ada apa?
Ada sesuatu yang salah?” selidik Lania pada sahabatnya itu.
Marian menggelengkan kepalanya pelan.
“Tiba-tiba kamu ingat si brengsek itu?” tanya Lania lagi. Marian tersenyum
pedih. Lania adalah orang yang menjadi saksi atas perjalanan hidupnya. Padanya
Marian menceritakan segala hal yang terjadi. Mereka bersahabat dari sejak mereka
kuliah di universitas yang sama hingga sekarang.
“Itu sudah berlalu, Lan. I feel better now. Hanya rasa sakitnya terkadang masih
tergambar jelas di sini.” Marian menepuk dadanya. Lania memeluk sahabatnya itu
erat.
“Kamu adalah orang paling kuat yang selama ini pernah aku temui. Tetap kuat,
ya! Aku selalu ada buat kamu. Aku yakin kehidupamu ke depan akan jauh lebih baik
dari ini.” ujar Lania sambil menggenggam erat jemari Marian.
Kabar terakhir yang ia dapat, Andre pergi meninggalkannya dan juga Lisa.
Marian sudah tidak peduli ke mana Andre pergi dan dengan siapa ia saat ini. Yang ia
pedulikan kini adalah orang-orang yang disayanginya. Luka hati yang Andre
tinggalkan, perlahan mulai hilang ditelan waktu. Marian menyadari meski Andre
melukainya, tetapi nyatanya itu memberikan kekuatan yang besar padanya. Ia dapat
melanjutkan hidup. Ada banyak kemudahan yang ia temukan ketika ia mengalami
kesulitan. Benarlah firman-Nya, ‘Bahwa bersama kesulitan selalu ada kemudahan’.

Catatan :
Halo, Kak Herlina.
Ini keren banget, ih. Aku suka, hehe.
Ada sedikit aja koreksi dari aku, kalo berkenan boleh klik accept track changesnya ya
hehe
Tetap semangat dan terus berkarya, Kak.
Much Love, Nuri <3

Anda mungkin juga menyukai