“Mau cari info tentang Dean lagi?”, kataku menawari Hana dengan nada
sedikit mengejek.
“Ah, sudahlah Anne. Aku menyerah. Dean itu masa lalu. Sekarang orang itu
masa depanku”, jawab Hana menyeringai menunjuk seorang laki-laki satu angkatan
di atas kami.
“Kamu ini, cepat sekali berpaling”, balasku menyikut lengan Hana. Hana
hanya cemberut mendengar pernyataanku. Kurangkul lengan sahabatku itu,
mengajaknya kembali ke kelas.
“Eits, Dean itu cadangan, Anne. Tapi dia tetap jadi nomor satu di hatiku. Tapi
kamu tahu sendirikan, bagaimana susahnya seorang Dean itu didekati. Jadi, untuk
sekarang kita cari yang baru dulu”, jelas Hana panjang lebar sekilas seperti seseorang
yang berpidato. Aku hanya manggut-manggut seolah-olah mengerti.
***
Libur kenaikan kelas, tak banyak yang bisa aku lakukan. Semua keluarga
tinggal di sini, jadi tak ada istilah libur ke kampung halaman dalam kamusku. Pagi ini
aku memutuskan untuk berjalan-jalan di dekat taman di kompleks perumahan tempat
tinggalku. Taman ini merupakan taman favoritku. Tamannya tidak terlalu luas,
namun sangat nyaman. Bunga-bunga tertata dengan sangat rapi. Pepohonan terawat
dengan baik oleh petugas-petugas di sini. Tinggi rumput selalu diperhatikan.
Pengunjungnya juga sangat menjaga kebersihan, sekeliling taman tidak ada satupun
sampah bekas, hanya beberapa helai daun yang terlihat menyapa rumput-rumput.
Semuanya agar pengunjung taman betah berlama-lama tinggal.
“Udara pagi memang tak terkalahkan”, celetukku. “Aku pikir juga begitu”,
jawab seseorang.
“Oh, Tuhan”, betapa kagetnya aku, karena terlalu asyik melihat bunga, aku
tak sadar jika sedari tadi aku tidak sendiri di tempat itu. Mataku menangkap wajah
seseorang yang sangat tak asing. Seseorang yang selama ini Hana dan aku lihat dari
kejauhan. Dia tersenyum jahil padaku. Ya ampun, senyumnya itu seperti seorang
anak kecil, sangat lucu dan menggemaskan. Aku membalas senyum Dean dengan
sangat kaku. Dean hanya cekikikan melihat wajah anehku.
“Kamu kenal aku kan, Anne ?”, kata Dean dengan senyum yang lebih santai.
“Ah, ya. Mungkin”, aku tak yakin harus menjawab apa. Jangan-jangan Dean
sadar jika selama ini kami sering memperhatikannya.
“Aku tinggal di dekat sini. Oh ya, dari tadi aku perhatikan sepertinya kamu
suka dengan bunga mawar. Benar kan ?”, kata Dean.
“Ya, begitulah”, jawabku mencoba untuk tak terlihat kaku. Dean berbeda jauh
dari yang selama ini aku pikir. Dia sangat hangat. Entah kenapa aku merasa nyaman
berbicara dengannya. Kami bicara tentang banyak hal. Sejak saat itu, taman ini
menjadi tempat kami-aku dan Dean.
***
“Kamu menyukai Dean, Anne?”, tanya Hana tiba-tiba padaku. Aku menjawab
lama, mencoba berpikir kata-kata apa yang harus aku rangkai untuk menjawab
pertanyaan Hana. Haruskah aku jujur tentang Dean kepada Hana? Tapi, aku sendiri
tidak yakin tentang perasaanku kepada Dean.
“Bagaimana mungkin aku menyukai Dean? Aku tahu sahabatku ini menyukai
Dean lebih dari yang orang lain tahu, bahkan lebih dari yang aku tahu. Jadi,
bagaimana mungkin aku berani merebut orang yang sahabatku suka”, jawabku
seadanya. Sungguh aku tidak bermaksud untuk berbohong kepada Hana. Hanya saja,
Hana terlalu baik padaku, aku tidak ingin membuat sahabatku satu-satunya ini
menangis dan kecewa karena pengkhianatan yang dilakukan oleh temannya.
“Ah, Dean”, teriak Hana menoleh ke balik pundakku. Aku pun ikut berbalik.
Dean tengah berdiri mematung tidak jauh dari tempat kami. Sejak kapan dia disana?
Dan kenapa dia memegang setangkai mawar merah? Dean tahu betul jika aku sangat
menyukai bunga mawar. Mungkinkah Dean akan menyatakan perasaannya padaku?
Lalu, apakah dia mendengar semua pembicaraan antara aku dengan Hana tadi?
Dean memberikan bunga mawar merah itu kepada Hana. Hana terlihat begitu
gembira. Dari posisiku berdiri mematung, aku dapat mendengar apa yang Dean
katakan kepada Hana, sebuah untaian kata sederhana yang sangat ingin sekali aku
dengar Dean mengucapkannya kepadaku.
Saat liburan akhir semester ganjil, aku harus pindah sekolah karena perceraian
kedua orang tuaku. Aku memilih untuk ikut bersama ibu dan tinggal di tanah
kelahirannya. Tak banyak yang tahu tentang kepindahanku ini, hanya Hana saja yang
aku kabari.
“Kamu sungguh akan pergi, Anne? Tidak bisakah kamu tetap tinggal di sini
bersama denganku?”, kata Hana memelas.
“Maaf. Ini sudah keputusanku. Suatu saat kita pasti akan bertemu kembali”,
jawabku meyakinkan Hana.
“Kamu tidak mau berpamitan dengan Dean, Anne?”, nama Dean kembali
terngiang di pikiranku.
“Tidak Hana. Aku titip salam saja untuk Dean. Maaf karena aku tidak sempat
berpamitan dengan dia”.
“Baiklah, hati-hati di jalan”, sebuah pelukan hangat dari Hana mendarat. Aku
tidak sanggup membendung air mataku yang mengalir karena harus berpisah dengan
sahabat baikku ini. Begitu juga dengan Hana, ia begitu larut dalam tangisnya,
kurasakan pelukannya semakin erat. Aku akan sangat merindukan sahabatku ini.
Setelah selesai berpamitan, aku dan ibu kemudian berangkat menuju Bandara.
***
-3 tahun kemudian-
Udara di tempat ini masih terasa sama. Tetap sejuk dan menyegarkan. Hiruk-
pikuk kendaraan di jalan raya masih rengang ketika aku memutuskan untuk berjalan-
jalan sekembalinya aku dari Surabaya. Aku dan ibu kembali ke rumah lama kami,
karena ibu ditugaskan di sini. Pagi hari selalu menjadi saat paling mengesankan
bagiku. Sapaan dari bunga-bunga di sekeliling jalan yang baru bangun dari tidurnya
menambah aroma semerbak pagi. Aku memutuskan untuk duduk di bangku taman
dengan deretan bunga mawar di sekitarnya. Tempat ini masih sama seperti dulu,
ketika aku pertama kali berbicara dengan Dean. Ah, nama itu benar-benar tak bisa
aku singkirkan.
Ketika melihat sekeliling, aku baru menyadari jika ada laki-laki yang tengah
duduk di sebelahku dengan arah yang berlawanan. Angin pagi menunjukkan dirinya.
Tercium bau tubuh laki-laki di sebelahku ini, bau tubuh yang sama dengan seseorang
yang sangat aku kenali. Bau tubuh Dean persis seperti bau tubuh laki-laki ini.
Kubalikkan kepala mencoba melihat wajah laki-laki itu, ternyata dia juga melihat ke
arahku. Mata kami saling bertemu. Mata yang sudah lama sekali aku rindukan. Wajah
yang selalu ingin aku lihat. Dia Dean. Laki-laki ini adalah Dean.
“Dean”, kataku spontan. Laki-laki ini masih diam, mungkinkah aku salah
orang?
“Ya, Anne”, jawabnya. Dean tepat di depanku saat ini. Air mataku mulai
menetes. Terharu melihat laki-laki yang sudah bertahun-tahun ini aku rindukan.
“Aku tidak bisa mengatasi wanita saat menangis. Jadi, jangan menangis”, kata
Dean. Banyak perubahan dalam diri Dean. Rambutnya, suaranya dan cara dia bicara
padaku. Berbeda dengan Dean yang aku kenal 3 tahun lalu.
“Kenapa kamu pergi tanpa pamit padaku?”, tanya Dean membuka topik yang
lain. Aku tidak menemui kamu karena aku tidak sanggup melihatmu, Dean. Aku
mungkin akan membatalkan kepindahanku jika saat itu aku melihat matamu itu.
“Apa maksud kamu?”. “Tidak ada. Aku hanya berpikir mungkin kamu akan
mengorbankan kebahagiaanmu untuk sahabatmu itu lagi. Seperti 3 tahun yang lalu”,
jelas Dean dengan santai. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Semua perasaan aku
pada Dean 3 tahun yang lalu kini mulai berkecamuk di pikiranku. Air mataku
menetes kembali. Aku sudah lama ingin mengatakannya.
“Seharusnya bunga mawar 3 tahun yang lalu itu untukmu, Anne”, jelas Dean
tersenyum padaku, “namun, kamu lebih memilih berkorban untuk temanmu”. Aku
menelan ludah. Andaikan kita bisa kembali ke masa-masa itu.
“Itu semua sudah menjadi masa lalu, kita tidak bisa kembali ke masa itu.
Begitu juga dengan perasaanku, itu juga masa lalu”, lanjut Dean. Aku merasa
terhempas begitu keras. Jadi, saat ini yang berada di depanku bukanlah Dean yang
menyukaiku seperti 3 tahun yang lalu. Ini adalah Dean yang sama sekali tidak punya
perasaan pada seorang Anne.
“Tidak bisakah kamu menyukai aku lagi?”, tanyaku terisak. Dean hanya diam.
Ku eratkan genggamanku pada tangan Dean.
“Tidak bolehkah aku membuat kamu mencintai aku lagi ?”, teriakku.
Semua sudah terlambat untuk kita. Kita tidak mungkin kembali ke masa lalu.
Andai saja dulu kamu jujur dengan perasaan kamu, kita tidak akan berakhir seperti
ini. Tetapi, apa salahnya bagi kita untuk mencoba mulai semua itu dari awal lagi ?
Biodata Penulis
Cerpen “Menggapaimu”
merupakan cerpen ketiga saya
yang berhasil selesai sampai
akhir. Sebelumnya saya pernah
membuat cerpen yang berjudul “Ayah Terbaik dari Tuhan” dan “Pupus”.