Anda di halaman 1dari 4

Bunga Awal Abad

Oleh : Fikri Moh. Ansor

Setetes demi setetes, air masih berjatuhan dari atap meskipun hujan memang telah reda.
Namun, sisa air yang mampir pada dahan dan atap tak kunjung lenyap.

Raden bersandar punggung pada sudut masjid. Dalam genggamannya, terdapat gambar si
manis, cantik, nan menawan. Ia pandangi mili demi mili gadis itu.

“Bunga awal abad.” Ucapnya lirih. “Ya, kau adalah bunga awal abad dua satu.”
Tersunggingkan sebuah senyum ketenangan pada Raden. “Annelis? Ahh, lewat jauh!”
tambahnya.

“Duaaar!” dua sahabatnya muncul mengejutkan. Yang satu merebut gambar di tangan
Raden.

Raden berkecap lidah. “Ahhh, kalian!”

“Ouhhhh, bunga awal abad!!!” suaranya nyaring membaca tulisan pada bawah gambar. Ia
memamerkan wajah pada gambar.

Raden mencoba menggapai gambar yang telah Bumi rebut. Tiada sampai. “Ayolah, Bum!
Guyonmu nggak lucu.” Raden mengeluh.

Bumi mengembalikan gambar. Lalu, ia duduk pada sisi Raden, sama halnya dengan
Awan.

“Tadi, kita lihat kamu senyuuuuum terus. Sebagai sahabat, kami takut kalau ternyata
kamu gila. Makanya, kita datangi. Coba cerita, ada apa sebenarnya?” Awan menerangkan,
bertanya pula.

Raden terenyum. “Enggak!” ia masukkan gambar pada saku.

“Wah, ada informasi yang nggak sampai ke telingamu ya, Wan? Harusnya kamu tahu
kalau Raden sedang kasmaran. Wanita yang digadang-gadang bunga pesantren itu yang dia sebut
bunga awal abad.” Bumi menyela.

Awan menatap Raden yang tak membantah. “Sebab apa dia dikata bunga?”
“Bahasamu tiba-tiba jadi sastra lama, Wan!” Bumi berkomentar dan tertawa kecil. Yang
dikomentari tersenyum dan menaik turunkan alisnya.

“Sebab semua orang mengakui kecantikannya.” Raden berucap mantab. Ia tersenyum dan
menggeleng. Heran dengan diri sendiri.

“Aku adalah pengecualian. Aku tidak mengakui kecantikannya.” Bumi menyela lagi.

“Tapi, selama ini dia dikenal sebagai orang yang baik, ramah, sopan, rajin, cerdas, hemat,
berbakat, dan….” Dalam otaknya masih banyak lagi. “Yang aku tahu tentang dia adalah semua
kisah baik.” Awan merasa perlu menyampaikan apa yang ia tahu.

“Nah, itu yang aku maksud. Tidak selamanya cantik itu selalu fisik, Bum!” Raden
menampakkan wajah sangarnya. Matanya tajam menatap lawan bicara. Bumi tak menyela. Awan
nampak lebih memperhatikan. Sekali Raden menampakkan martabatnya, akan banyak ungkapan-
ungkapan Mahadahsyat yang dapat dipetik. Awan bersiap menganalisis ungkapan yang sangat
baik dijadikan tadabbur.

“Kalau hanya tentang tantang fisik, aku tidak akan mencintainya. Karena bagiku dia
bukan gadis yang amat cantik. Dia hanya sekedar cantik pada umumnya. Dan masih ratusan
lebih yang melebihi cantiknya di pondok pesantren ini.”

“Dia cantik dari dalam. Orang modern bilang dengan kata innerbeauty. Dia selalu
menebar kebaikan. Dia tidak melakukan sesuatu yang berdampak hanya untuk diri sendiri. Dia
selalu melakukan sesuatu yang sifatnya memberi dampak kolektif, nahnuniyyah, bukan
ananiyah! Sikapnya, ucapannya, pikiran dan perbuatannya selalu berenergi positif. Setiap orang
yang berada di dekatnya akan nyaman. Setiap orang yang berada pada zona kehidupannya akan
mendapatkan energi positif.” Jelas Raden.

“Emmh, ya. Aku juga pernah menemukan bacaan yang menyinggung hal demikian.
Setiap orang punya zona biru dan merah dalam dirinya. Zona biru artinya energi positif dan zona
merah artinya negatif. Setiap orang akan memiliki kecenderungan warna zona dalam dirinya.
Ada yang cenderung zona merah dan ada pula yang cenderung zona biru. Lalu, setiap orang juga
bisa memperluas warna zona pada dirinya dan juga bisa menularkan warna zona kepada orang
lain.” Awan bersikap layaknya pemantik.
“Maka, bunga awal abad yang kucinta memiliki blue zone yang sangat luas. Saaaaaaangat
luas. Siapa saja yang dekat dengan dia, dan sekental apapun zona merah yang mereka punya, di
hadapan bunga awal abadku sama sekali tak berarti. Red zone mereka akan menjadi biru kalau
dekat dengan bunga awal abadku. Seperti yang dikatakan Awan juga, bahwasannya warna zona
bisa saling mempengaruhi. Maka, kekuatan blue zone yang dia miliki dan dampak energi positif
yang dia miliki sangat kuat dan mempengaruhi orang lain. Itu nyata. Setiap orang yang dekat
akan merubah sikap!” tambah Raden.

Bumi menarik napas panjang dan membuangnya dengan sekali hembusan. Sedikit
banyak ia merasa dihakimi.

“Seharusnya, kita bisa punya blue zone yang kental, kuat dan luas seperti dia.” Awan lagi-
lagi menyambung pembicaraan. Ia tak rela pembicaraan berhenti. “Dari sudut pandang
Mahasiswa, sebagai pengubah sosial, bukankah begitu, Den?”

Awan tahu betul kecenderungan sudut pandang Raden. Maka, ia tanyakan dengan
demikian.

“Tapi, blue zone aja gak cukup. Sultan Agung juga manusia yang punya blue zone yang
kuat, luas dan kental. Tapi, tetap kalah sama VOC. Karena apa? Karena Sultan Agung dan
kerajaannya belum selesai dengan masalahnya sendiri.” Sahut Bumi, ia tak mau kalah
berpendapat. Meski suka mengacau, kalau sudah merasa terpojok, keluar juga pendapat-
pendapatnya. Semua akan ia kaitkan dengan kisah masa lalu.

“Haaa……?” Raden dan Awan tak paham.

“Nah, kan!” Bumi merasa menang. Ia terkekeh. “Gini, boss! Sistem!” ucap Bumi dengan
penekanan pada kata ‘sistem’. “Berapa prajurit kerajaan yang diterjunkan ke medan perang?
200.000 lebih!” ia menjawab pertanyaannya sendiri. “Berapa orang VOC yang berperang? Tak
lebih dari 600!”

Semua telah paham masud Bumi. “Dan Sultan Agung kalah karena….” Raden
memancing jawaban.

Mereka bertiga sama-sama mengacungkan telunjuk lalu sama-sama menyimpulkan dalam


hati.
“Yahhh, seenggaknya kita menganalisa pribadi kita sendiri. Bukan masalah kalau harus
bercermin dengan orang yang bukan bagian dari sahabati, kan? Siapapun yang tahu akan aturan
dan etika dan bisa memadukan sekaligus menerapkannya dalam kehidupan sebagai nilai-nilai,
maka wajib kita jadikan uswah.” ucap Awan.

“Doakan saja dia jadi sahabati! Akhkhahahaha……” Raden terkekeh dan pergi
meninggalkan dua sahabatnya.

Awan dan Bumi kembali saling tatap. Satu garis yang sama di antara mereka berdua.
“Jangan jangan gila beneran.”

Dari kejauhan terdengar samar-samar Raden berkata, “Aku mencintainya. Tapi kalau aku
sampai menyentuhnya, apalagi membuat luka hatinya, maka cintaku batal.”

“Gila betul ternyata, Wan!” kata Bumi.

Anda mungkin juga menyukai