GOLA GONG
Episode 1
Senja di Selat Sunda
Aku usap kaca jendela bus beberapa kali, membentuk bulatan-bulatan kecil.
Terasa dingin di telapak tanganku. Lalu aku hapus semuanya. Embun yang menempel
di kaca jendela pun hilang sudah. Bayangan yang seolah-olah menghalangiku
terhadap dunia luar sudah tak ada lagi. Pagi baru saja menjelang. Langit timur yang
aku tinggalkan semalam kini dipulas kemerahan. Tampaknya matahari mencoba
menggeliat; membebaskan cahayanya supaya bisa menyentuh sahabatnya, pucuk-
pucuk padi yang sedang kesepian menguning.
Bus keluar di mulut tol Ciujung, kira-kira 20 km sebelum kota Serang. Jalan
tol Cikampek-Merak memang terputus di sini. Sisanya sedang dalam pengerjaan. Jika
jalan tol ini sudah rampung, tentu segalanya akan jadi lancar. Tapi kata versi yang
lain, malah kota-kota di eks Karesidenan Banten ini akan semakin ketinggalan, karena
tak akan satu pun kendaraan yang singgah. Seperti kata sebuah anekdot, kalau sudah
ngebut di jalan tol suka lupa berhenti. Berarti, semua kendaraan cuma akan melaju
kencang melintasi eks Karesidenan Banten dan "wusssss!" anginnya saja yang
membekas.
Bus terus meluncur menyibak genangan air, sisa dari hujan semalam.
percikannya berhamburan dilindasi roda-roda dan menimbulkan bunyi desisan yang
merdu. Beberapa orang sudah ada yang mulai menggeliat dan sibuk memberesi
barang-barangnya. Tapi Nana, yang mengajakku liburan ke kampung halamannya,
masih asyik bermimpi.
Aku sendiri tidak bisa menikmati perjalanan bus malam ini. Terguncang-
guncang sepanjang Yogya-Magelang-Semarang, dibanting ke kiri-ke kanan di Alas
Roban, terkatung-katung membosankan di jalur lurus Cirebon-Cikampek, dan melaju
dalam kecepatan tinggi dijalan tol Cikampek-Merak, bukanlah sesuatu yang
menyenangkan buatku untuk teman tidur. Aku betul-betul iri melihat Nana tertidur
yenyak. Wajah yang cantik itu tampak begitu damai. Tak terganggu oleh goncangan
bus. Jiwa dan raganya memang sudah menyatu dengan alam. Dan selalu pasrah pada
kehendak Tuhan.
Padahal aku mengenal Nana belum begitu lama. Dia adalah sahabat baruku.
Dua tahun yang lalu, waktu itu sedang Pekan Orientasi Mahasiswa, aku melihat Nana
sebagai calon mahasiswi yang keras kepala, Itu mungkin ungkapan yang tepat
baginya selain sebutan pemberani. Setiap ada raka-raka fakultas yang iseng padanya,
si perkasa yang cantik itu menggeliat liar seperti ular. Setiap hukuman dijalaninya
dengan tegar dan menantang, sampai-sampai para raka bosan dengan ulahnya. Ketika
tiba giliranku dibulan-bulani para raka, dia tidak segan-segan membela dan
membantuku. Dan bahkan pada siapa saja.
"Terima kasih," aku betul-betul malu padanya, ketika dia menyelamatkan aku
dari hukuman push up seorang raka yang over acting.
Nana membalas dengan senyuman tipis. Lalu, "Namaku Nana," nadanya tegas
ketika menyebutkan namanya.
"Aku sudah tahu," kataku membersihkan kedua lutut dan telapak tanganku.
"Kamu cukup beken di sini," aku tersenyum. "Tina, namaku," aku ulurkan pula
lenganku.
Lantas kami berkawan.
"Aku dari Pandeglang," kata Nana di saat lain, ketika acara makan siang nasi
bungkus di halaman kampus.
Nama kota itu sungguh asing bagiku.
Nana tersenyum kecut. Ketika dia menyebutkan nama yang lain, aku baru
mengerti di mana letak kota yang disebutkannya itu.
"Banten," aku mengingat-ingat nama sebuah tempat di ujung barat Pulau
Jawa, yang terkenal dengan hal-hal magisnya. Pantas kalau Nana begitu berani
menentang para raka, batinku saat itu.
Aku sangat menyukai sejarah. Di sana pernah ada sebuah kerajaan Islam –
yang menurut historiografi didirikan oleh Maulana Hasanuddin- yang gigih melawan
gerogotan taring penjajah. Lantas kerajaan Islam itu dihancurleburkan oleh Herman
Willem Daendels. Juga ada suku Baduy, penduduk yang mengasingkan diri di
wilayah Kanekes, pesona Gunung Krakatau yang mengagetkan dunia ketika tahun
1883 melumat 163 desa dan mencabut 36.000 nyawa manusia, kesenian debusnya,
juga gemulai ombak serta kemolekan pantainya.
"Pelajaran geografiku payah!" aku tertawa.
"Tapi kotaku memang tidak ngetop. Kalah bersaing dengan kota-kota lainnya
di Banten," Nana memaklumi.
Aku langsung membongkar-bongkar buku geografiku di rumah. Aku pelajari
wilayah paling barat di Jawa itu. Ada beberapa kota di eks Karesidenan Banten.
Selain Tangerang yang sudah "dicaplok" Jakarta dengan Jabotabek-nya, juga ada
Serang, Cilegon, Merak, Pandeglang, dan Rangkasbitung. Kota-kota ini memang
masih asing buatku, padahal kisah masa lalunya yang termashur sudah sering aku
baca.
Setelah itu akujadi lengket dengan Nana.Aku sering mampir ke tempat kosnya
di setiap kesempatan. Kadang kala aku bawa Nana dengan sedan mutakhir pemberian
Papa keliling Yogya; memperkenalkan pesona wisatanya.
"Kenapa kamu sia-siakan keindahan kotamu, Tina?" kata Nana.
"Maksudmu?"
"Kamu akan bisa melihat dan merasakan keindahan Yogya lebih banyak lagi
dengan naik bus daripada naik mobil sendiri."
Aku tidak langsung setuju pendapatnya. Tapi tidak pula aku biarkan
menggantung. Pelan-pelan aku mencoba mengikuti kehidupan yang ditawarkan Nana,
sebagaimana layaknya orang yang merantau. Ke mana-mana selalu naik kendaraan
umum atau berjalan kaki. Hari-hari bergulir, minggu berganti ke bulan, lalu jadi
merupakan kebiasaan menjalaninya. Dan aku menyukainya.
Orang-orang di rumah, baik Papa, Mama, Robby kakakku dan pacarku Anton
–dua yang terakhir doyan olahraga mobil, jenis olahraga yang kata Nana cuma
semakin menambah polusi bumi saja- cukup terheran-heran juga melihat
perkembangan hidupku, yang tiba-tiba jadi lebih mencintai lingkungan hidup
ketimbang mengotorinya. Begitu juga kawan-kawan pestaku semasa di SMA.
Lambat-laun, mereka berguguran meninggalkanku dengan senyum yang ganjil.
Lantas sedan mutakhirku hampir tidak pernah aku gunakan lagi, kecuali jika
sedang dalam keadaan darurat. Ketika Robby bermaksud memakainya pun, aku tidak
keberatan. Malah aku hibahkan padanya dengan timbal balik dua buah mountain bike.
Aku bermaksud, dengan dua sepeda gunung itu, bersama Nana bisa menyelusuri
Yogya setiap Minggu pagi.
"Lebih enak naik sepeda 'kan!" Nana mengayuh sepedanya dengan terengah-
engah, melahap tanjakan menuju hutan wisata Kaliurang.
Tapi aku turun dari sadel. Menuntun sepeda. Nana juga turun. Kami saling
tersenyum. Dua dunia yang berbeda sedang berusaha untuk bersatu. Duniaku adalah
kehidupan seorang gadis yang selalu tergantung pada orang lain. Sedangkan Nana
adalah seorang wanita yang bertanggung jawab pada dirinya. Yang tidak memberikan
hidupnya untuk jadi tanggung jawab orang lain.
"Liburan semester besok, aku ada reuni dengan kelompok pecinta alamku di
SMA," Nana menyeka keringat di kening dengan punggung tangannya. "Aku
mengundang kamu lagi untuk liburan di kampung halamanku," Nana mengajukan
tawaran berlibur lagi.
Episode 2
Senja di Selat Sunda
Entah ini tawaran Nana yang keberapa kali. Setiap liburan semester tiba, aku
cuma berani mengantarnya sampai di pintu bus saja. Aku tidak pernah punya
keberanian untuk menerima ajakannya. Terlebih-lebih Anton, yang selalu paling
pertama menentang ajakan Nana.
"Sekarang kamu harus mau!" suara Nana ada tekanan.
Aku agak kaget juga. Ini sebetulnya 'petualangan besar' buatku. Berlibur di
kampung halaman orang lain. Terus terang saja, aku tidak terbiasa bepergian dalam
jarak jauh dengan bus umum. Kalau tidak naik pesawat, ya kendaraan pribadi. Tapi
ketika aku mengenal Nana, ada ‘sesuatu' yang selama ini tidak pernah menyentuh
kehidupanku.
"Bagaimana, Tina? Mau?"
Aku berpikir keras. Aku belum berani mengiyakan ajakan Nana. Aku takut,
karena belum pernah mengalami liburan seperti yang ditawarkannya. Selama ini aku
cuma memesan tempat untuk berlibur lewat biro-biro perjalanan. Segalanya sudah
serba teratur dan menyenangkan. Naik pesawat; kalau tidak ke negara tetangga atau
beberapa kota di Eropa dan Australia, paling sial ke Bali, Lombok, dan Medan. Tidur
di hotel dengan menu makan yang terjaga.
Dan sekarang berlibur ke kampung halaman Nana?
"Kamu akan aku ajak keliling Banten, Tina. Akan aku kenalkan pada pesona
yang sesungguhnya," Nana serius sekali.
"Nanti aku bicarakan dulu sama Papa dan Mama," itu yang keluar dari
mulutku.
"Juga Anton," Nana tampak berusaha menyimpan kekecewaannya.
Sebetulnya aku sudah tahu apa jawaban mereka nanti; Mama, Papa, Robby,
dan terlebih-lebih Anton. Tak akan ada seorang pun yang mendukung. Tapi aku
berharap Papa akan mendukung, jika aku punya keinginan yang kuat.
"Apa? Liburan ke Banten?" begitu jelas tergambar kengerian di wajah Mama
pada saat makan malam. Ini tidak berbeda ketika aku utarakan pada awal-awal
persahabatanku dengan Nana. Juga oleh Anton sebelumnya.
Papa dan Robby tertawa, sampai-sampai terbatuk.
"Nanti kamu nggak akan bisa pulang!" Robby menyambar air putih.
Meminumnya. Tambahnya masih tertawa, "Cowok di sana 'kan terkenal jago pelet!"
sambil menyebutkan 'ilmu' yang biasa digunakan lelaki untuk menjerat wanita. Hal ini
pun sudah dikatakan oleh Anton dengan perasaan was-was.
Aku bergidik juga mendengar kata 'pelet' tadi. Aku memang pernah
mendengar bahwa suka ada lelaki yang menggunakan pelet untuk mendapatkan
wanita idamannya.
"Ayo dong, dimakan kacangnya!" ledek Susi, putri Solo.
Nana cuma tersenyum. Dia tampaknya memaklumi guyonan mereka tentang
imej daerahnya, yang sudah kondang dengan permainan debus-nya. Bahkan yang
kurang ajar, beberapa kawan sekelas memohon-mohon pada Nana untuk diajarkan
cara memikat lelaki impian.
Memang, setelah pekan orientasi selesai, Nana menjelma jadi pusat perhatian.
Hampir semua lelaki se-fakultas ramai menggunjingkannya. Katakanlah Nana
menjadi "primadona kampus". Tapi sebagian menganggap, karena Nana berasal dari
Bantenlah kenapa semua lelaki di fakultas terpusat padanya.
"Diapasti punya 'apa-apa'!" omongan seperti ini sering aku dengar.
"Heh, 'apa-apa' bagaimana, sih?"
"Ah, bego!"
"Ora mudeng, aku!"
"Itu lho, semacam peletlah!"
"Atau susuk!"
Aku yang terbiasa diajarkan untuk menggunakan logika di rumah, cuma
geleng-geleng kepala saja. Aku pernah membaca di koran gosip tentang beberapa artis
yang menggunakan susuk agar tetap bersinar nasibnya di dunia perfilman atau tarik
suara. Tapi terjadi pada Nana? Bagiku ini cuma karena Nana yang selain cantik, juga
pandai bergaul dan tak pernah pilih-pilih teman. Di senat dia aktif. Di kelompok
pecinta alam mahasiswa, dia semakin menonjol. Dalam kegiatan sosial kampus, wah,
jangan ditanya. Itu saja. Tak ada pelet atau susuk pada diri Nana.
Tapi untuk memuaskan rasa ingin tahu sekelompok orang, dengan tenang
Nana menyuruh mereka datang ke tempat kosnya. Nana menjanjikan akan memberi
'apa' yang mereka minta. Aku pun termasuk yang datang.
"Jangan berebut!" kata Nana.
Ada sebuah bungkusan sebesar buku di halaman rumah kosnya. Nana
menyuruh mereka mengambil isinya dan dimasukkan ke dalam kotak korek api, yang
sudah mereka persiapkan sebelumnya.
"Rahasiaku ada di kotak itu!" kata Nana meyakinkan.
"Apa isinya?" kataku.
"Buat memikat cowok!" aku lihat Nana menahan tawa.
Hidungku yang sudah terbiasa dengan wewangian mahal, mengisyaratkan lain.
Tapi kawan-kawan sudah begitu kebelet. Bungkusan itu dibuka. Lalu terdengar
jeritan; rasa jijik, dan kebingungan.
"Apaan ini!" bungkusan berisi kotoran kerbau itu dibuang.
"Olesin aja di pipi cowok impian kalian!" kata Nana tertawa senang, karena
sudah berhasil 'membodohi' mereka. "Ditanggung manjur. Kalian pasti dikejar-kejar!"
Sebetulnya ini lelucon tidak lucu, yang memperlihatkan "kebodohan" kami.
Keterlaluan. Tapi aku selalu tertawa sendiri jika ingat kejadian itu. Akibatnya, setelah
kejadian 'memalukan' itu tak ada lagi yang 'mengusik' Nana tentang hal-hal aneh
daerahnya.
Papa menatapku. "Betul kamu mau liburan dengan Nana?" Papa seperti
memberi kekuatan padaku.
Aku mengangguk ragu-ragu.
"Bagaimana dengan Arjunamu, si Anton?"
"Akan Tina beri pengertian, Pa," aku menghibur diri, walaupun tahu Anton
yang paling keras menentang setiap rencana liburanku dengan Nana.
"Jangan, Pa! Jangan kita izinkan Tina berlibur ke sana!," Mama masih
khawatir. "Bagaimana kalau nanti sampai terjadi apa-apa pada Tina?"
"Terjadi apa-apa, bagaimana?" Papa tertawa. "Mama ini terlalu banyak baca
cerita mistik. Soal black magic-lah; santet, teluh, atau peletlah!
Sekarang hal-hal seperti itu sudah jadi bumbu-bumbu pariwisata, Ma.
Misalnya, kesenian Banten yang kesohor itu, debus, malahan sering mengharumkan
negara kita di negara-negara lain. Jadi, jangan berprasangka dulu. Apalagi sekarang
sudah abad komunikasi. Era globalisasi," Papa menekankan pembicaraannya.
"Kalau ada lelaki yang melet Nana?" Mama terus saja berusaha melarang.
Papa tertawa, "Kalau 'pelet' itu betul ada, kenapa mesti si Nana? Anak kita
'kan nggak terlalu cantik," Papa melirik padaku. "Mendingan Liz Taylor atau Brooke
Shield sekalian!"
Aku merajukdan menggelayut di bahu Papa. Mama cuma bersungut-sungut,
tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Robby nyeletuk, "Nana ternyata sudah mengubah Tina!"
Dalam hati aku mengiyakan pendapat Robby.
Aku jadi teringat pertengkaran dengan Anton seminggu sebelum
keberangkatan. Semua berpangkal cuma pada Nana. Anton merasa kalau aku lebih
mementingkan Nana ketimbang dirinya.
"Ingat, Anton. Sudah berkali-kali kamu menentang Nana untuk mengajak aku
berlibur di kotanya. Lantas kalau ajakannya kali ini pun kamu larang, sampai kapan
aku bisa memilih acara berlibur sendiri, Anton?
Aku jadi kesal, kok dilarang-larang! Emangnya kamu berhak mengatur hidup
orang lain, Anton?"
Episode 3
Senja di Selat Sunda
"Kapan aku melarang kamu, Tina, kecuali rencana 'gila'mu yang satu ini?"
nada kalimat Anton tegang.
"Kalau begitu, apa masalahnya aku berlibur bersama Nana!"
"Masalahnya? Sudah berulang-ulang aku bilang, jangan berlibur ke sana! 'Kan
masih banyak tempat yang bagus, Tina! Kalau kamu bosan ke Bali, Lombok, ayo kita
berlibur ke Irian kalau perlu!"
"Kenapa mesti risau, Anton? Daerah itu sama saja dengan daerah-daerah yang
lain! Masih tetap di Indonesia."
"Tapi tetap jangan berlibur ke sana!"
Aku tidak habis pikir dengan 'kebodohan'nya kali itu, yang tetap bersikeras
melarang aku berlibur bersama Nana ke Banten. "Aku tetap pergi, Anton, apa pun
taruhannya! Aku nggak peduli kalau nanti ada cowok sana yang melet aku! Syukur-
syukur ada, kalau itu bisa membuatmu puas!" akhirnya aku mengultimatum.
Anton tampak kaget melihat aku bicara begitu. "Ngomongmu ngawur, Tina!
Bisa kualat kamu!" dia memperingatkan.
"Aku nggak peduli!"
"Gara-gara kamu berkawan sama 'anak kampung' itu, hubungan kita jadi
kacau!" dia memaki dengan tidak sopan. Aku merasa tersinggung mendengar
makiannya waktu itu. "Kamu anggap Nana seperti itu? Jadi kamu ini 'anak kota',
Anton?! Lebih beradab ketimbang Nana, begitu?!" otot leherku tertarik saking
marahnya.
Anton wajahnya merah padam dibentak-bentak oleh aku.
"Baik, baik, Anton! Kalau modernisasi atau istilahmu 'anak kota' itu diukur
oleh yang namanya cineplex, fast food, mall, rally mobil, disco, dan tetek bengek
lainnya, berarti selamat tinggal modernisasi!
Aku akan siap disebut sebagai 'anak kampung' oleh kamu, karena semua
merek modernisasi itu aku tinggalkan! Ternyata nggak buruk jadi 'anak kampung'
seperti Nana, yang begitu peduli terhadap lingkungan!" aku membentak-bentak lagi.
"Ketimbang jadi 'anakkota' sepertimu, yangcuma hura-hura!" aku masih belum puas.
"Tina!"Anton memegang bahuku.
"Apa pun yang kamu katakan, aku tetap akan pergi dengan Nana!"
"Walaupun taruhannya hubungan kita, Tina?" ancamnya.
"Ya, hubungan kita!"
Aku sebetulnya berharap untuk tidak kehilangan dia. Anton memang pacarku
yang kesekian, tapi kali ini aku berusaha untuk menjadikan dia sebagai yang terakhir.
Tapi, apa boleh buat. Sebuah hubungan yang menjalin dua perasaan, aku kira, kalau
sudah ada usaha untuk memaksakan kehendak yang satu pada yang lainnya, itu tidak
akan jadi baik. Bukankah semua harus bermula dari rasa saling pengertian dan
bermuara pada kesamaan sikap?
Anton meninggalkan aku dengan amarah yang terpancar dari sorot mata dan
wajahnya. Dia tampaknya serius dengan ucapannya. Terbukti setelah pertengkaran
itu, aku tidak pernah melihatnya lagi.
"Anton ngambek?" Nana merasa tidak enak ketika aku tidur-tiduran di kamar
kosnya.
Aku menutup wajah dengan majalah.
"Ajak saja Anton berlibur."
Aku lempar majalah. "No, no way!" kataku tegas. "Liburan kita bisa runyam
kalau Anton ikut!"
"Aku nggak ingin hubungan kalian..."
"Lupakan hubunganku dengan Anton!" aku memotong.
"Maksudmu?" Nana merasa tidak enak.
"Aku memilih pergi dengan kamu, Nana, daripada diatur oleh Anton!"
"Oh, ajakanku kali ini ternyata memakan korban!" Nana membenturkan
telapak tangannya ke dahi. "Maatkan aku, Tina."
"Sekarang, bawalah aku ke kotamu, Nana! Akan aku buktikan, apakah betul
segala cerita di majalah atau omongan orang-orang itu!"
"Cuma sekedar itu, Tina?"
"Aku ingin jadi diri sendiri, Nana, seperti halnya kamu selama ini. Yang tak
pernah takut melakukan segala hal yang kamu sukai," aku memang iri padanya.
Nana tersenyum tipis, "Rasa 'takut' itu tentu ada, Tina. Pada semua orang. Aku
juga. Dengan adanya rasa 'takut' itu, kita jadi bisa menghargai apa arti hidup ini."
Aku sering mendapat 'pelajaran' berharga dari setiap omongannya. Betapa luas
pandangannya tentang 'apa itu hidup'. Dia seolah-olah tahu apa yang akan diperbuat
dan tahu bagaimana menemukan jalan keluar yang terbaik ketika dalam kesulitan.
Mungkin ini tejadi pada semua orang yang merantau. Aku kira, "Iya".
Kini keputusanku untuk ikut berlibur bersama Nana semakin kuat. Aku rasa
ini terdorong oleh 'ingin membuktikan sesuatu', yang selama ini tidak pemah aku
peroleh atau rasa 'solidaritas perempuan', yang selalu identik dengan ketergantungan
pada orang lain. Pada lelaki.
"Sudah, pergi saja, Tina. Jangan kamu gubris omongan Mamamu dan si
Robby!" Papa merangkul bahuku ketika nonton TV di malam yang hangat. "Juga
lupakan itu si Anton!"
Papa, Mama, dan Robby mengantarkan aku ke tempat bus malam. Sebelum
aku naik ke bus, Mama berulang-ulang mencium pipi dan memelukku. Saat itu aku
merasa jadi boneka tontonan yang aneh bagi penumpang bus. Bahkan mereka masih
saja membuntuti bus yang aku tumpangi sampai batas kota. Aku tahu itu atas suruhan
Mama.
Nana cuma tertawa saja melihat kejadian yang aku alami. Menjadi anak yang
terlahir di atas kehormatan dan kekayaan tidak melulu enak. Setidak-tidaknya itulah
yang aku alami. Ada yang terasa kurang dalam kehidupanku. Mungkin aku bisa
mendapatkannya dari Nana nanti.
Bus malam Yogya-Merak terus meluncur menyambut pagi yang basah.
Aku sikut Nana. Dia menggeliat. Aku lihat dari balik kaca jendela bus, di kiri-
kanan jalan, banyak orang-orang sebayaku berdiri. Aku perhatikan malah lebih
banyak kaumku ketimbang lelaki. Mereka sedang bergerombol di pintu gerbang
pabrik-pabrik. Aku lihat mereka sedang sarapan alakadarnya; bacang, ketan, lontong,
atau bubur seharga 100 perak-an.
"Mereka karyawan pabrik," Nana sudah bangun. Dia menghaluskan sebuah
kata yang tidak enak, 'buruh', jadi 'karyawan'. Euphemism yang sia-sia buatku.
Di Indonesia segalanya memang serba dihaluskan agar kedengaran
manusiawi. Nanti bisa menyinggung perasaan. Bisa dibilang bukan bangsa yang
beradab. Wah, jangan-jangan sebutan 'pembunuh' bisa dirubah jadi 'mengambil
nyawa' atau 'korupsi' bergeser jadi 'menyembunyikan uang'. Ini juga euphemism yang
sia-sia.
Aku lihat betapa banyak pabrik berdiri di tanah-tanah produktif; menghimpit
perkampungan dan persawahan. Sedangkan yang aku tahu tentang arti nama kota
"Serang" bukankah "sawah"? Tapi, ke mana sekarang sawah-sawahnya?
"Pabrik sudah merajalela di sini. Jauh berbeda ketika aku masih kecil, Tina.
Persawahan di mana-mana. Sungai yang bening, anak yang menggembalakan kerbau
serta itik, jadi lukisan sehari-hari," Nana rupanya merasakan pikiranku.
Episode 4
Senja di Selat Sunda
***
Episode 5
Senja di Selat Sunda
Misalnya, secuil khabar darimu kek lewat kartu pos! Syukur-syukur mau
menelepon! Eh, tiba-tiba kamu nongol di depan aku. Di depan semua orang. Di depan
Nana pula! Setelah tiga tahun ngilang!" Yanto seperti menumpahkan kejengkelannya.
Eri menarik napas. Dia tampak geram entah pada siapa. Posisinya sangat sulit
untuk menyalahkan "siapa" atau mengkambinghitamkan "apa" saat ini.
"Ayo, kamu mau bilang apa?" Yanto menyudutkannya.
"Kamu yang ngajak aku ikut ke Baduy, Yanto!" nada Eri kesal. "Sekarang aku
nggak ikut!" bentaknya.
"Hey, jangan kayak anak kecil gitu, dong!" Yanto baru sadar. "Ayolah, jangan
campur adukkan soal Nana dengan rencana reuni PA. Aku butuh kamu!" Yanto
mencekal bahunya.
"Ya, lewat rute normal aja!"
"Ah, bosan dong!"
"Aku nggak kepingin ngerusak acara liburannya! Kasihan tuh si Tina, jauh-
jauh datang dari Yogya!"
Aku berdehem; mengingatkan mereka bahwa aku bukan patung. Mereka
mencoba mengembalikan suasana menjadi tenang lagi.
"Gimana, ada perkembangan ?" Y anto mendekati.
"Kamarnya dikunci," kataku tersenyum. "Ini pasti gara-gara kamu, Eri."
"Lho, kok aku?" Eri tertawa kecut.
"Kamu apain Nana?" kejar aku.
"Kamu pikir, aku 'Drakula'? Suka ngisep darah perempuan?" Eri tampak
berang.
Yanto tertawa keras.
"Kamu jangan cerita macam-macam, Yanto!?"
Yanto menggeleng.
"Ini pasti soal cinta!" tembakku.
"Tuh 'kan, apa kubilang!" Yanto tertawa lagi.
Eri salah tingkah. Dia tampak begitu terpukul. "Aku sebetulnya kepengen
banget ikut, Yanto. Di rumah, kamu tahu, masih saja kayak neraka. Tapi, kalau
kenyataannya Nana nggak bisa nerima aku lagi, ya kenapa harus dipaksakan."
"Jangan pesimis," Yanto tersenyum menghibur.
" Aku memang salah. Egois. Selama ini cuma memikirkan kesenanganku saja;
pergi dari satu kota ke kota lainnya tanpa pernah memberi kabar padanya.
"Sekarang, setelah tiga tahun tanpa kabar berita, datang begitu saja dan
memaksa ikut reuni PA sekolah.
Ini acara kalian, bukan acaraku."
"Hey, hey, kamu 'kan senior kami. Nggak ada alasan buat kami untuk
melarang kamu ikut. Apalagi di antara kami, cuma kamu yang tahu rute jalan
belakang itu."
"Aku, memang, sudah menyia-nyiakannya. Tapi, ah, sudahlah!" Eri tampak
putus asa sekali.
Aku meminta penjelasan pada Yanto.
"Yakinkanlah dia, Yanto, bahwa aku sebetulnya nggak berubah."
"Aku udah nyerah!" Yanto mengangkat bahu.
"Setidak-tidaknya, aku masih ingin bersahabat."
"Sekarang, nih! Minta tolong sama dia!" Yanto menunjuk ke arahku.
Eri menatapku tajam. Tersenyum. Mengangguk. Lalu pergi meninggalkan
seribu tanya di hatiku. Aku masih belum mengerti, walaupun ini lagi-lagi soal "cinta".
"Apa dia bakalan ikut ke Baduy?"
Yanto mengangguk. "Bagaimana dengan Tina?"
"Mereka bisa membedakan mana untuk urusan pribadi dan mana untuk urusan
orang banyak."
"Kamu yakin?"
Yanto tidak mengangguk.
"Kamu mesti cerita soal ini, Yanto," kataku.
"No comment!" Yanto menuju dapur.
Aku memburunya. Yanto mengambil air es di kulkas. Menyambar sepotong
pepaya yang baru saja diletakkan di piring oleh ibu Nana.
"Eri mana?" wanita itu melongok ke halaman belakang.
"Biasa, kabur!" Yanto menyambar sepotong lagi. "Kawinin aja sih, Bu!"
"Huss, ngomong sembarangan kamu!" ibu Nana tersenyum.
Yanto tergelak-gelak dan menarik aku ke teras.
"Sekarang tergantung sama kamu, Tina!" katanya sambil mohon pamit.
Tinggal aku yang kebingungan di teras. Ini di luar rencana semula, bahwa
liburanku ini akan ada sedikit ganjalan. Aku begitu ingin melihat Baduy, suku asli
Sunda itu. Tanpa Nana, tentu keinginanku itu tinggal harapan.
Aku ketuk pintu kamar Nana.
Beberapa saat kemudian Nana muncul membuka pintu. Tersenyum, "Maafkan
aku ya, Tina." Matanya tampak merah.
"Kamu sedang nggak mau diganggu, Na?"
"Ayolah," Nana membetotku ke dalam kamar. "Udah pada pulang?"
Aku mengangguk. Duduk di bibir pembaringan. Mencoba menyelidiki apa
yang terjadi pada hatinya. Untuk memahami perasaan kawan kita, terlebih dalam
persoalan cinta, dibutuhkan kesabaran dan rasa pengertian. Kata Mamaku, "Harus
diemong." Tapi aku belum pernah jadi seorang ibu, sehingga omongan Mama belum
bisa aku buktikan.
"Jangan ngelihat aku kayak gitu, dong," Nana serba salah.
Aku tertawa melihat wajah Nana memerah seperti itu. Kalau saja anak-anak
PA di kampus tahu apa yang sedang terjadi pada Nana sekarang, aku yakin mereka
akan merasa surprise.
"Nggak akan cerita soal Eri?" pancing aku.
Nana menggigit bibirnya.
"Kamu merahasiakan sesuatu, Nana."
Nana menuju jendela kamar. Betapa sentimentil dia. "Liburan kamu
kayaknya..."
Aku buru-buru memotong, "Oh, jangan sampai itu terjadi, Na! Kamu udah
janji akan membawaku ke seluruh pesona Banten. Ingat, kamu yang mengajakku
kemari," aku berusaha menyudutkannya.
"Tapi tanpa Eri."
"Tanpa atau dengan Eri, buatku nggak ada bedanya. Kamu nggak pernah
menyinggung-nyinggung soal ini sebelumnya."
"Aku minta pengertianmu, Tina. Ini terlalu rumit."
"Bagaimana aku bisa mengerti kalau persoalannya sendiri aku nggak tahu?
Masa cuma gara-gara nggak ketemu sama Eri selama tiga tahun, kamu korbankan
aku?" Nana menatapku, "Yanto cerita apa?"
"Pasti ada 'apa-apa' dengan Eri."
"Siapa yang cerita?"
Aku tersenyum menang, "O-o, ini bisa jadi headline di buletin kampus!"
Episode 8
Senja di Selat Sunda
***
Episode 9
Senja di Selat Sunda
Rhapsodi Pertemuan
Amplop lusuh itu tergeletak di meja belajar Nana. Tak ada kesan istimewa
dari bentuknya. Cuma dihiasi strip merah-putih-biru di keempat sisinya. Amplop
murahan yang harganya paling-paling seratus perak tiga biji.
Sambil membuka sepatu dan menggantungkan tas di pinggiran lemari, Nana
terkesiap ketika membaca nama si pengirim. Nana menendang sepatu ke kolong
tempat tidur dan langsung rebahan tanpa mengganti baju seragam dulu di tempat
tidur.
Dengan rasa ingin tahu yang besar Nana merobek bagian pinggir amplop:
Dearest, Nana!
Aku tiba di Yogya pukul 11.00 keesokan harinya. Aku ngeluyur ngikutin kaki
dan hati sambil terus bergumam: Aku mesti menang! Aku mesti menang!
Lalu aku terdampar di pojokan alun-alun. Aku punya " kompas " sekarang.
Pasrahkan pada yang di atas. Whatever will be, will be! So, aku kenalan dengan
Steven, Gondrong, Alex, dan masih banyak lagi. Mereka baik-baik. Pengamen
dengan ratusan jam terbang. Mereka bukan unggul di gitar; tapi di lagu. Puluhan
lagu mereka hapal, tapi aku? Tak pernah aku berusaha sebelumnya menghapal lirik-
lirik lagu. Aku pikir itu tak begitu penting. Ternyata sekarang begitu penting.
Mereka peace man, Nana. Selalu cari teman. Aku diterima di "kantor"
mereka. Aku "ngantor" pagi dan "pulang" malam; Aku masih terus mengamati dan
waspada terhadap segala sesuatu. Ini sebuah."negara". Campur baur: Ada Ambon,
Jawa, Sunda, Batak, Palembang, orang sinting, gembel, pengompas, pelacur; campur
aduk. Aku dapat kamar Rp. 15.000/bulan. Fasilitas lengkap; dipan, tikar, bantal, dan
si ‘mbok yang sudah punya cicit manis-manis.
Kawan-kawan baruku selalu bertanya, " Ngapain ke Yogya?" Aku bilang
cuma main-main. Aku iri melihat mereka enjoy tiap hari. Dapat uang seribu-dua ribu
perak. Sisakan untuk makan dan bus. Sisanya patungan untuk mabuk -mabukan. Aku
juga...
Aku punya cerita, Nana. Kemarin ada anak yang lapar ngajak aku ngamen.
Selagu-dua lagu. Aku pikir, ayolah dimulai sambil nolong tuh anak. Aku nyanyikan
lagu kesenangan kita "More than words" di depan bule. Olala, suaraku nggak lepas.
Padahal itu bule (cewek lagi) udah interest. Penampilan pertama yang buruk. Lalu
keliling meja lainnya. Mulai lancar. Dapat berapa perak, aku nggak peduli. Aku
cuma tanya sama anak itu, "Cukup buat makan?" Dia bilang cukup. Udah makan
sana. Hehehe, aku bisa ngasih orang makan. Lumayan, ngurangin dosa.
Itulah cerita awalku di Yogya. Seterusnya aku mau minta tolong sama kamu.
Cariin dong lirik lagu Duran Duran "Ordinary World (word?)". Itu lagu bagus, buat
digenjreng dengan gitar. Kamu tahu, aku biasa main gitar dipetik. Lagi ngamen
begini ternyata kurang klop. Mesti digenjreng. Sekalian "Blowing in the wind" si Bob
Dylan. Gini lagunya: How many roads, must…. Atau yang lainnya. Pokoknya yang
digenjreng. Nambah deh, "Blood money"-nyaBon Jovi. Koleksi kaset kamu 'kan
komplet.
Nana,
Bagaimana kalau aku jadi orang yang tak berharga di mata keluarga dan
masyarakat? Jadi orang yang serba terpaksa. Terpaksa kerja. Kataku, ini bahaya.
Aku bisa "sakit" seumur hidup.
Terus terang, Nana,
Seperti yang pernah kamu lihat di diriku sebelum berangkat, agak panik juga
aku. Huh, kalau saja kebakaran hotel tempatku bekerja itu tidak terjadi, entahlah apa
yang akan terjadi padaku. Mungkin sekarang aku sudah jadi penyanyi beken, ya.
Sekitar 2 tahun, sejak aku mulai mengisi acara di bar-bar kecil sampai sebelum hotel
itu terbakar, aku menimbang, melihat, dan memutuskan segala kebimbangan. Aku
memilih untuk pergi saja dari rumah, yang masih saja begitu. Takada perubahan.
Masih kayak neraka.
Yogya adalah pilihanku, Nana. Aku jadi ingat lagu Queen. Aku mungkin si
"Sammy was low". Just watching the show, over and over again, knews he was time,
he made up his mind, to live he dead behind! Spread your wings! Pull your self
together, cause I know I should do better, just because I am free man.
Bagaimana keadaan rumahku, Nana ? Adakah Papa-Mama menanyakan
tentangku sama kamu? Tak ada pilihan lain bagiku, selain pergi meninggalkan
rumah. Aku harap, kalau mereka memang merasa memiliki anak, tentu akan
menyusulku ke Yogya. Aku kemarin malam interlokal. Mama yang nerima. Pada
mulanya Mama menangis mengharapkan aku pulang. Tapi setelah itu, Mama cuma
menjelek-jelekan Papa saja dengan istri mudanya. Mama mungkin lupa, bahwa
penyebab utamanya juga adalah pacar-pacar muda Mama (Oh, Nana, aku nggak
nyangka kalau kedua orangtuaku doyan "daun muda"!). Aku betul-betul bodoh
selama ini, kalau ternyata kepergian Papa-Mama ke Jakarta selain untuk urusan
bisnis, juga ada "bisnis" yang lain. Nggak kebayang, kalau berita-berita tentang
"daun muda" yang lalu-lalu lalang di pusat perbelanjaan Jakarta, seperti yang sering
kita baca di majalah, digaet kedua orangtuaku. Tapi, yang lebih kaget lagi, Papa
ternyata mengambil salah satu dari mereka sebagai istri muda-nya! Kalau saja
Mama ikut-ikutan latah seperti Papa, aku lebih baik terus seperti ini: tidak pernah
merasa diakui sebagai anak oleh mereka!
Bagaimana sekolahmu, Na? Sebentar lagi ujian, ya. Wah, kamu bakal jadi
mahasiswi. Kuliah di mana nanti? Di Yogya aja, deh. Asyik lho di Yogya. Kota ini
bisa dibilang "kota internasional". Turis mancanegara dan lokal nggak ada habis-
habisnya. Sambil kuliah nanti, kamu bisa praktek bahasa di Yogya.
Nana, sambil aku perangi kekhawatiran yang ada. Kalaupun aku kalah, aku
tak kehilangan martabat kemanusiaanku. Pernah aku bilang padamu, bahwa aku
suka sekali bila melihat jembatan. Kenapa? Karena sekaranglah aku sedang
menitinya. Jika aku sampai di ujungnya, aku akan menengok sambil tersenyum
syukur. Oh, betapa manisnya sejarah hidupku. Atau mungkin aku tak lagi
menengoknya. I don't know, yet! Just keep fighting! Aku tak ingin jadi teroris bagi
nuraniku sendiri. Itu penjahat kemanusiaan. Okey, I am nothing now. But not forever.
I wish I could. Dan akhir kata, wish me luck, Nana! I'll wait your answer!
***
"Halo, yang di bawah!" kali ini kepala Nana ditimpuk dengan buah mangga
kecil.
Nana mendongak. Di dahan pohon mangga dari rumah sebelah yang agak
menjulur ke tembok rumahnya, seorang pemuda gondrong bertampang trash mania
asyik duduk sambil mengunyah mangga.
Dada Nana berdegup kencang, walaupun. senang bukan kepalang. Sudah
beberapa hari ini dia mengharapkan akan mendapat kawan baru sebaya dari rumah
sebelah. Oh, the boy next door! hatinya terpekik.
"Kenalan, dong!" katanya. Nana tersenyum. Inilah yang ditunggu-tunggunya.
"Namaku Eri!"
Nana menyebut namanya dengan riang.
Eri memuji namanya.
"Kok, baru nongol sekarang?"
Eri cuma tertawa.
Nana memang baru seminggu tinggal di perumahan mewah ini. Rumah om
dan tantenya. Setelah lulus SMP, ayahnya menyekolahkan dia di kota tetangga,
Serang, yang lebih ramai ketimbang kota asalnya, Pandeglang. Maksudnya agar bisa
mengejar ketinggalan segala-galanya. Sekolah di kota kecil, seperti Pandeglang, kata
ayahnya, janganlah terlalu diharapkan untuk bisa menyamai prestasi para pelajar dari
kota besar. Apalagi untuk bersaing nanti merebut kursi di perguruan tinggi negeri.
Risikonya Nana harus meninggalkan lingkungan kekeluargaan bersama para tetangga
yang sudah dibina bertahun-tahun. Juga kawan-kawan masa kecilnya di kota asalnya.
Tadinya Nana tetap memilih meneruskan sekolah di SMA di kotanya, tinggal
bersama ketiga adiknya; Uus, Maya, dan Mia daripada harus hidup bersama om-
tantenya. Tapi om-tantenya pun berharap sekali, karena Siska, anak mereka yang baru
di kelas dua SD, butuh seorang "kakak" di rumah; untuk menemani bermain atau
belajar.
Baru satu hari tinggal di sini saja, Nana langsung tidak kerasan. Tak ada
kawan yang bisa diajak bermain. Rumah-rumah berpagar tinggi di sebelah atau di
seberang jalan, seperti tidak ada penghuninya. Kehidupan antar tetangga seolah-olah
tak berdenyut. Kesannya individual. Terbukti ketika pertama kali pindah ke sini, tak
ada sambutan atau uluran tangan dari para tetangga, yang biasanya terjadi di
kampung-kampung.
Perumahan-perumahan dari kelas real estate sampai BTN yang tipe 21 atau
tipe rumah sangat sederhana, memang bagai jamur musim hujan bermunculan di
Serang. Om Oya, adik ayahnya, memang lebih bernasib baik dibandingkan dengan
keluarga ayahnya yang lain. Bermula dari berdagang material, kini omnya menjadi
kontraktor yang sukses. Terbukti sanggup membeli rumah di kalangan yang kalau di
Jakarta sekelas dengan Pondok Indah. Dan ini cuma ada di sebuah sudut di kota
Serang. Persisnya di kawasan Industri Cilegon, yang melaju pesat. Mulai dari toko
serba ada, fast food sampai bar tersedia di kota baja ini.
Kawan-kawan barunya di sekolah memang ramah menyambut murid baru.
Bahkan terlalu ramah, sehingga kesannya seperti mengolok-olok. Mungkin karena dia
pindahan dari kota tetangganya, yang bioskop pun tidak punya. Tapi ketika mereka
tahu dia tinggal di perumahan elit, sepulang sekolah beberapa orang "memaksa" untuk
mengunjungi rumahnya.
"Kamarmu pasti besar, ya," Susan, kawan sebangku, tersenyum lebar. "Pasti
koleksi bonekamu banyak 'kan?"
"Aku tinggal sama Om dan Tante. Mana punya aku koleksi boneka, " Nana
menggeleng.
"Punya koleksi gantungan kunci?" Hera menyerobot. "Nanti kita tukeran, ya!"
"Itu aku punya. Tapi nggak di sini. Di rumahku yang di Pandeglang! Malah
koleksi perangko segala!"
"Oh, ya!" Hera tampak tertarik.
"Acaranya makan-makanlah yaaa!" Rini mengusulkan.
"Hitung-hitung merayakan perkenalan kitalah!" timpal Yuni.
Nana agak bingung, walaupun tidak bisa menolak, karena takut kehilangan
kawan-kawan barunya. Saat itu juga Nana menelepon ke rumah, meminta
kebijaksanaan tantenya, apakah diperbolehkan mengajak beberapa kawan barunya di
sekolah untuk makan siang. Untung tantenya mau mengerti.
Hari pertama Nana di sekolah, memang menyenangkan. Terbilang sukses. Dia
langsung jadi bagian dari mereka. Tapi setelah seminggu berjalan, belum ada seorang
pun yang sebaya dengannya, yang bisa diajaknya berkawan di perumahan elit ini.
Terus terang saja, dia kesepian sekali di rumah ini, karena om-tantenya jarang ada di
rumah. Paling-paling cuma ditemani dua orang pembantunya saja, kalau tidak ada
kawan sekolah yang datang, setelah main scrabble sendirian atau mengajari Siska
matematika. Atau setiap sore Nana cuma berangin-angin saja di halaman. Kadang
kala mengintip ke tembok sebelah, kalau-kalau ada orang yang bisa diajak bercakap-
cakap. Atau iseng-iseng mengambil buah mangga yang menjulur ke halamannya.
Kini penantiannya berakhir sore itu. Seorang pemuda tampan dan berambut
gondrong dari rumah sebelah muncul. Dia mengajak berkenalan.
"Kamu suka nyuri manggaku, ya!" Eri turun bergantungan dari dahan ke
dahan pohon mangga.
"Kok, tau?" pipi Nana terasa merah.
Eri tertawa hinggap di pucuk tembok pemisah. Dia duduk di sana, "Aku
pernah ngintip kamu, kok! Duh, cewek kesepian. Nggak punya temen, ya!"
"Aku 'kan nggak nyuri! Menurut peraturan, apa saja yang masuk ke halaman
rumah kita, berarti menjadi milik kita."
Eri melompat ke halaman rumah Nana. Dia kini ada di hadapannya. "Kalau
begitu, sekarang aku jadi milik kamu!" senyumnya menggoda.
Nana tidak bisa menjawab pertanyaannya.
Sore itu Nana mencatat di buku harian sebagai hari yang bersejarah, karena
Eri-lah orang pertama dan satu-satunya teman yang dia peroleh di lingkungan
perumahan ini. Tak ada lagi selain dia, kecuali rumah-rumah yang terkunci dengan
tembok pagar bisu yang tinggi.
"Komplek ini kayak kuburan aja," Nana mengeluh ketika duduk di pantai,
menunggu senja di Selat Sunda tiba.
"Om-mu salah beli rumah!" Eri tertawa memetik gitarnya.
"Rumahmu aja mirip rumah hantu. Nggak ada orangnya."
Eri berhenti memetik gitar. Dia memeluk dan menopang wajahnya pada tubuh
gitar. "Aku juga merasa kesepian seperti kamu. itulah sebabnya kenapa aku lebih
sering beada di luar rumah.
"Kamu suka hiking?"
Nana mengangguk cepat.
"Ya, berpetualanglah. Naik gunung, menyusuri pantai, atau cuma sekedar
jalan-jalan keluar-masuk kampung bersepeda.
Itu hobiku yang lain selain main musik. Semuanya sangat menyenangkan
ketimbang diam di rumah yang kayak neraka!"
"Aku nggak pernah lihat orang tuamu. Ke mana aja mereka?"
Eri menerawang. Melihat ke langit timur. Bola merah raksasa itu sebentar lagi
jatuh. "Sebentar lagi kegelapan datang, Nana, dan hari pun menghilang," katanya
pelan dan bergetar. "Cuma kegelapan saja yang ada di sekeliling kita."
Nana mencoba menangkap makna kalimatnya.
Episode 11
Senja di Selat Sunda
Nana melihat jam di meja belajar sudah melewati angka satu. Sebetulnya dia
ingin sekali kembali memeluk guling, tapi begitu melihat wajah Eri yang sangat
memelas, dia urungkan niat tadi. Inilah gunanya seorang teman. Siapa tahu dia pun
mengalami hal yang sama seperti Eri suatu saat nanti.
Dengan tergesa-gesa Nana menulis surat. Dia kabarkan pada Om dan Tante
tentang kepergiannya pada dini hari bersama Eri ke pantai di Selat Sunda. Siapa tahu
mereka "geger" dan melaporkan "kehilangan"ku pada polisi, pikir Nana.
Nana melompati jendela.
Dengan jeep Eri, mereka melaju ke Selat Sunda. Sepanjang perjalanan, Eri
cuma berkonsentrasi pada kemudi dan jalanan.
"Maafkan aku, Nana," suaranya terdengar juga.
Nana cuma tersenyum menghibur.
Kali ini tanpa gitar, Eri menceritakan keadaan rumahnya, yang semakin hari
semakin seperti neraka saja baginya.
"Mereka saling menyalahkan, Nana. Saling melemparkan tanggungjawab,
karena merasa telah gagal membesarkan dan mendidik aku," suara Eri seperti putus
harapan. Nana merapatkan jaket. Angin pantai memang berhembus keras.
Begini kira-kira cerita Eri:
Begitu lagu terakhir usai, Eri memilih untuk pulang lebih awal daripada
menghabiskan sisa malam dengan botol-botol bir atau wanita seperti kebiasaan para
penyanyi rock di bar-bar kecil. Perasaannya tidak menentu. Dia merasa sesuatu akan
terjadi malam ini di rumahnya.
Betul juga. Baru saja Eri memasukkan jeep ke garasi, Papanya sudah bertolak
pinggang di pintu masuk. Mamanya cuma memperhatikannya dari ruangan dalam
dengan perasaan cemas.
"Ternyata begini Eri, balasan dari kepercayaan yang Papa berikan! Keluyuran
setiap malam! Tampang kayak anak jalanan!"
"Eri nggak keluyuran, Pa," Eri menjawab seenaknya.
"Apa namanya kalau pulang selalu menjelang pagi, kalau bukan keluyuran!"
Papanya semakin murka.
"Eri main musik, Pa."
"Kamu bisa apa dengan musik, heh?! Cuma membawakan lagu-lagu pinggiran
jalan! Bikin telinga orang jadi sakit! Apa sih yang kamu dapat dari musik, Eri?"
"Selain kepuasan batin, Eri juga dibayar, Pa."
"Sudah kaya kamu, heh! Berapa bayarannya ? Biar Papa nanti yang bayar
kamu, kalau uang dari Papa masih saja kurang! Yang penting kamu kuliah! Kalau
perlu, Papa kirim kamu sekolah ke Eropa atau ke Amerikar!"
"Sudah, sudah, Pa. Malu sama tetangga," Mamanya menengahi. Wanita cantik
itu menuntun anak lelaki kesayangannya ke dalam rumah.
"Ini semua gara-gara Mama, sih! Tuh, lihat anak kesayanganmu sekarang. Jadi
liar dan tidak intelektual! "
"Kok, Mama?" Mamanya kini menggeliat.
"Harusnya Papa! Ke mana saja Papa selama ini? Selalu rapat inilah-itulah!
Padahal cuma cari-cari alasan biar bisa berduaan dengan sekretaris itu!"
"Heh, heh, jangan menyebar fitnah, Mama!" Papanya membentak. "Malah
selama ini apa yang Mama lakukan terhadap Papa? Tanggung jawab seorang istri
terhadap suaminya? Apa pernah Mama menyediakan Papa sarapan? Mempersiapkan
tas, dasi, atau jas sebelum Papa berangkat ke kantor? Semuanya dikerjakan oleh Bik
Iyem! Mama ini lebih mementingkan bisnis permata daripada ngurusin anak! Istri
macam apa itu!"
"Lho, bisnis permata itu bernilai jutaan, Papa! Kalau Mama selama ini cuma
diam saja, kita mau makan apa? Bagaimana nanti dengan biaya listrik, telepon, iuran
televisi, gajih Bik Iyem, dan biaya sehari-hari Eri ? "
"Dari gaji Papa saja itu semua sudah cukup!"
"Tapi bagaimana dengan keinginan-keinginan Mama, Papa? Apa Papa selama
ini bisa mencukupinya? Mama ‘kan wanita. Butuh pergaulan, hiburan, dan perhiasan
demi menjaga citra suami!"
"Mama terlalu mengada-ada!"
"Papa yang tidak mau menerima Mama, sebagai istri yang berpikiran maju!
Sebagai wanita karir!"
"Tapi jangan kelewatan, dong!"
"Papa mungkin yang kelewatan!"
"Tapi lihat akibatnya pada anak kita!"
Eri tercengang. Sebetulnya malam ini dia cuma jadi kambing hitam saja dari
"peperangan " kedua orangtuanya. Segalanya jadi jelas kini, bahwa kedua
orangtuanya sudah tidak bisa mengarungi bahtera hidup lagi bersama-sama. Mereka
lebih merasa ketakutan tidak bisa membayar rekening ini-itu daripada memikirkan
pertumbuhan dirinya. Untuk alasan lain tentang ketidakharmonisan papa-mamanya,
misalnya ada orang ketiga, Eri belum melihatnya.
Eri mengunci dirinya di dalam kamar. Dadanya terasa terhimpit. Sebetulnya
ingin sekali dia menceritakan kebanggaannya, bahwa dia sudah bisa mendapatkan
pekerjaan. Sudah bisa memperoleh uang dari keringatnya sendiri. Ingin betul dia
melihat papa-mamanya memeluknya bangga, karena sudah bisa memilih hidup, tanpa
perlu menggantungkan diri dari fasilitas orangtua.
Tapi mana mau papa-mamanya mengerti. Mereka cuma mau dirinya
meneruskan kuliah dan jadi manusia intelektual dan mentereng dipandang rekan
sejawat Papa. Mereka tidak pernah bisa mengerti kalau yang dibutuhkan dirinya
sekarang adalah menjadi lelaki merdeka, yang bisa bertanggung jawab pada dirinya
sendiri. Dia sedang butuh pengakuan dari sekelilingnya, untuk bisa tumbuh di
masyarakat. Dan itu cuma bisa diperolehnya dengan bekerja. Dengan mendapatkan
uang dari tetesan keringatnya sendiri.
Malam terus menggelincir. Pagi mulai menggeliat-geliat. Kesibukan baru
berputar lagi.
"Papa berpendapat, menjadi seorang pemusik itu bukan pekerjaan intelektual,"
Eri menelungkupkan wajahnya di kemudi.
"Mungkin karena dandananmu yang mirip berandalan," Nana tertawa.
"Maksudmu?"
"Cobalah potong rambutmu. Rapih sedikit. Ganti jeans-mu yang pada bolong
itu dengan yang agak sopananlah. Syukur-syukur berjas-dasi," Nana mengusulkan
sambil tertawa.
Eri ikut tertawa, walaupun kecut.
"Aku harus pergi sekolah," Nana menguap.
Eri mengangguk. Dia menyalakan jeepnya.
"Moga-moga Om dan Tante nggak marah, ya," katanya pelan. Tapi Eri tidak
menarik kopling. Lengannya merengkuh jemari Nana. Eri menoleh. Menatapnya.
Ombak berdebur di hati Nana.
"Aku takut kehilangan kamu, Nana," suara Eri bergetar.
Lengan Eri mengangkat wajah Nana. Dia mengecup keningnya sambil
berbisik, "Aku mencintaimu, Nana."
Nana terkesiap. Matahari pagi kini menyeruak perlahan. Membangunkan
mimpi-mimpi semua orang yang sedang terlena. Hari baru kini di hadapan; harus
mereka lalui tanpa tahu apa yang akan terjadi.
***
Episode 13
Senja di Selat Sunda
Rhapsodi perpisahan
Hai, Nana!
Suratmu nyampe. Ternyata alamat Poste Restante, GPO Yogyakarta mantep
juga. Aku nggak usah bingung-bingung buat nyari alamat surat kalau bepergian
sekarang. Thank's juga kiriman lirik-lirik lagunya. Membantu banget dalam
perjalangan ngamen-ku.
Aku masih betah di Yogya. Sehat, gemuk, dan bersih. Sungguh! Walau
kegiatan sehari-hari di jalan, tetaplah aku yang masih menyisakan bekas
"keteraturanku". Tak bisa tak peduli pada tubuhku sendiri, karena itu aset mendasar.
Nana, sepatu western-ku disambar maling. Raib, dah! Sandal jepitan aku
sekarang. Aku masih merokok sedikit. Susah ngeberentiinnya. Alkohol, no! Drugs,
apalagi. Ngamen, cuma ini yang baru bisa aku lakukan. Setiap hari aku dipelototin
mata, yang entah apa artinya. Mungkin kasihan, mungkin aneh, dan terkadang juga
kilatan-kilatan mata sebal. Aku tak peduli, walaupun suka ada juga cewek-cewek
kampus yang larak-lirik (pengamennya 'kan keren, hehehe). Yang jadi pedomanku,
semuanya aku lakukan dengan penghayatan. Itu jarang aku lakukan ketika masih
maen sama kawan-kawan. Wah, kalau saja si Uzi sekarang ngikut ngamen sama aku,
bakalan panen terus, deh.
Tapi Nana, di lain waktu aku merasa pada saat dulu di mana mestinya aku
jadi orang baik-baik, patuh, dan lurus, malah pengen coba-coba jadi orang liar.
Sekarang di Yogya, ketika mestinya aku jadi orang jalan yang liar dan impulsif,
malah jadi seperti orang yang terpencil. Di antara kawan-kawan baruku di jalanan,
cuma aku yang nggak minum. Cuma aku yang nggak senang bergerombol. Cuma aku
yang tak terlalu bergairah. Terutama pada cewek-cewek senasib. Oh, betapa
bebasnya pergaulan mereka. Kehidupan seperti ini sebetulnya tidak terlalu aneh
betul untukku. Hanya saja sekarang bobotnya lebih kuat. Iya, betul-betul anak
jalanan, yang sehari-harinya di jalan melulu. Jalanan Yogya lumayan keras juga, di
mana berlaku motto "Daripada menang, lebih baik mengalah". Apa ini pernah aku
tulis di surat kemarin? Aku belum pernah clash fisik, memang. Tapi semenjak datang,
semenjak aku mengenal kata pasrah pada Tuhan, tertanam di benakku: Aku tak boleh
dan tak akan dipermalukan oleh siapa pun. Itu suara rendah dari hatiku. Dan aku
enjoy sambil tetap jaga mulut.
Ngamen itu tak bisa diandalkan buat cari kekayaan, Nana. Tapi bisa dipakai
sebagai jembatan pengubah nasib. Itu yang tampaknya tak dihiraukan para kolegaku.
Begitu dapat duit, mereka langsung asyik dengan alkohol. Aku sempat nonton konser
"Raja Pengamen", Iwan Fals di Yogya. Hebat. Dia orang hebat. Berkharisma dan
tahu persoalan. Dia "pahlawan". Dia idola bagi orang-orang sisa. Seperti katanya:
Kita memang sampah, tapi bukan sampah plastik. Mungkin maksudnya, sampah
plastik diolah cuma jadi sampah plastik lagi.
Dari dulu aku tahu, jika terlalu banyak keinginan akan makin membuat kita
menderita. Dulu keinginanku banyak, ingin punya keluarga hebat gitaris rock.
memiliki kamu (ehem), dicintai kamu (huuuuu), punya album kaset, dan entah apa
lagi. Ternyata setelah dihayati, tidak terlalu banyak keinginan itu yang membuat kita
enteng, tapi sekaligus mandeg. Aku sekarang, sehari-harinya keinginanku cuma
memenuhi kebutuhan dasar saja; makan, minum, dan istirahat (tidurlah). Keinginan
untuk corat-coret bikin lirik lagu, kadang jadi males kalau tidak dipaksakan.
Kawanku bilang: Arti hidup itu adalah saling berhutang. Itu karena kawanku
itu suka ngutang di warung 'kali. Mungkin maksudnya, hidup itu saling
ketergantungan. Ada benarnya. Yang pasti, hidup tolong-menolong dan saling
mendukung itu ada di kalangan bawah. Orang-orang kebanyakan. Contohnya para
pengamen inilah. Aku perhatikan, yang paling sering dan ihklas memberi adalah
sesama rakyat kecilnya. Mahasiswa, yang katanya kaum intelektual dan peka
terhadap aspirasi rakyat kecil, juga pegawai pemerintah, weh, ternyata lebih banyak
yang ogah melirikkan matanya pada kami (aku kini digolongkan jadi bagian dari
pengamen).
Sering aku tidak paham diriku. Kadang merasa hari ini aku sedang marah
pada diriku, marah pada orangtua yang nggak becus ngurus anak, dan marah pada
ketololanku, pada negaraku, dan masyarakatku. Di lain hari aku merasa damai,
aman, dan ikhlas.
Okey, Nana, untuk sementara aku tetap ngamen dulu. Hidupku memang tak
bisa lepas dari musik. Oh ya, kemarin aku naik Gunung Merapi. Asyik juga. Di surat
ini aku nggak ingin ngomongin orangtuaku. Kamu pasti bosen. Sampai di sini dulu,
ya!
***
Nana mendekap lagi surat itu. Dia membayangkan Eri yang kesepian sendiri.
Tak ada kawan jika sedang gundah-gulana. Nana sadar, bagaimanapun Eri tetap
merahasiakan kisah hidupnya pada kawan-kawan sesama pengamennya. Kalau
mereka mengamen itu untuk menyambung hidup, Eri cenderung untuk sekadar
pelepasan hati atau menghibur kegetiran hidupnya. Uang sebetulnya bukan segala-
galanya bagi Eri, tapi kedamaianlah yang dicari Eri.
"Sekarang betul-betu1 perang dunia ketiga," Eri menutup wajahnya dengan
kedua telapak tangannya, seolah tidak mau melihat perahu nelayan yang begitu
tenangnya dipermainkan ombak di Selat Sunda.
"Ada apa lagi?" Nana menyenderkan tubuhnya ke punggung Eri. Sebetulnya
dia rindu, karena Eri seperti menghilang begitu saja selama sebulan. Tapi, ketika
sepulang sekolah tadi Eri mencegatnya dengan jeep di muka sekolah, Nana bisa
menebak bahwa kerinduannya akan sia-sia. Wajah Eri begitu kusut dan terhimpit
beban.
Mereka kembali duduk di pantai, sedang menunggu senja turun di Selat
Sunda.
Eri berdiri.
Nana menggerutu, karena terguling ke pasir.
"Papaku punya bini muda," suara Eri tertelan ombakSelat Sunda.
Nana terperangah.
"Sebulan yang lalu Mama menangis di kamarku. Mama memperlihatkan
potret pemikahan Papa. Pengantin wanitanya tak jauh beda dengan kamu. Lebih
pantas aku anggap kakak ketimbang ibu tiri."
"Oh, Eri," Nana cuma bisa memeluk tubuh lelaki itu. Mencoba meredakan
badai di dadanya yang bergejolak.
"Apa yang harus aku lakukan, Nana?" Eri mulai menggeliat.
Episode 14
Senja di Selat Sunda
"Aku nggak tahu, Eri," Nana belum pernah mengalami hal ini sebelumnya.
Dia baru saja di bulan-bulan awal kelas dua SMA.
"Oh, kalau saja mereka tahu, betapa aku menginginkan mereka hidup rukun.
Betapa aku menyayangi mereka."
Nana menuntun Eri ke pantai. Nana merasa seperti sedang membawa benda
tak bernyawa. Rapuh sekali. Mereka duduk.
Eri menangis terisak-isak.
Saat inilah dia baru percaya, bahwa menangis itu bukan cuma milik wanita.
Lelaki pun bisa terjebak di dalamnya. Sebetulnya tak perlu diributkan betul kalau
"lelaki menangis itu cengeng dan senjata wanita adalah menangis". Anggap saja
"menangis" itu milik semua orang; lelaki dan wanita. Menghadapi situasi seperti ini,
Nana cuma ingat pesan ibunya, "Mendengarkan adalah hal paling bijaksana."
"Ketika hal itu aku tanyakan, Papa tidak membantah. Papa malah balik
menyalahkan Mama, yang katanya suka keluyuran dengan 'daun muda’ di Jakarta.
Aku betul-betul seperti anak bodoh, yang dilempar ke sana-kemari. Mama
menyalahkan Papadan begitu juga sebaliknya.
Aku pikir dalam hubungan Papa-Mama sudah nggak ada keharmonisan lagi.
Kini komplit sudah. Selain soal melulu materi, ternyata ada orang ketiga.
Tadinya, aku pikir, Papa memang mata keranjang. Cuma ingin menang sendiri
dengan mengkambinghitamkan Mama saja. Aku sampai perlu menguntit Mama ke
Jakarta untuk membuktikan omongan Papa.
Oh, Nana!" Eri menjambak rambut gondrongnya ke belakang.
Nana menggigit bibirnya.
Ombak Selat Sunda menggelora.
"Mama memang berbisnis permata. Tapi, Mama ternyata kelayapan ke Mall-
mall; melirik cowok-cowok yang sebaya dengan aku. Bahkan menggaetnya ke hotel."
Aku sampai hilang pikiran saat itu.
Aku hajar cowok buaya itu di depan Mama.
Mama menangis seperti orang kesurupan."
Ombak berdebur memukuli pantai. Ujungnya yang putih seperti busa seperti
memanggil-manggil mereka agar mendekat. Ujung ombak putih itu kini ibarat janggut
putih penguasa laut, yang datang hendak menghibur mereka.
Eri berdiri lagi. Dia mondar-mandir. Betul-betul anak manusia yang
kehilangan arah mata angin. Tak tahu harus bertindak apa dan bagaimana.
"Tahu apa yang Mama bilang, Nana? 'Ini lebih baik ketimbang papamu, Eri!
Yang mengkhianati Mama dengan mengawini salah satu dari mereka!"
"Apa betul itu berbeda, Nana?
"Yang mereka pikirkan adalah dirinya sendiri, bukan aku, sebagai anak
mereka.
"Aku pikir, perceraian adalah hal yang terbaik buat mereka. Tapi mereka tidak
memilih itu. Mereka masih takut dengan hukum masyarakat tanpa pernah mau
memikirkan aku."
Beberapa hari setelah itu, Eri mengajak Nana untuk menonton
pertunjukannya. Wajah Eri dari hari ke hari semakin kusut. Seperti tak ada gairah
hidup lagi.
"Kok, main di sini?" Nana keheranan ketika jeep diparkir di sebuah hotel
terkemuka di pesisir Selat Sunda.
"Kami dikontrak 6 bulan di sini," Eri berusaha tersenyum.
"Oh, congratulations!"' Nana terpekik memeluk Eri. Mengecup pipinya. "Ini
harus kita rayakan, Eri!"
Eri berusaha tersenyum lagi.
"Oh, Eri, betapa aku ingin duduk-duduk di pantai di sekitar hotelnya. Melihat
keindahan Krakatau malam-malam, yang kadang menyemburkan letupan-letupan
apinya!" Nana betul-betul gembira.
"Aku mau nyanyi malam ini, Nana."
"Oh, ya?!" Nana menahan tawa.
"Aku nggak akan jadi kalau kamu ketawa kayak tadi."
"Okey, okey," Nana menepuk-nepuk pipi Eri. "Aku janji nggak akan
mentertawakan kamu." Eri mendelik.
"Swear!" Nana mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya.
Eri kini tersenyum.
Nana begitu bahagia melihatnya. Kadang kala dia merindukan senyum Eri
yang mempesona sekaligus menggoda, seperti pertama kali Nana melihatnya. Oh,
perkenalan itu sangat membekas di hatinya. Ketika Eri menimpuknya dengan buah
mangga. Lalu mengajaknya berkenalan!
Eri menariknya ke lobby hotel. Mereka melintasinya. Nana melihat ada
beberapa track bowling. Para tamu, yang mayoritas orang asing, sedang asyik
menggelindingkan bola hitam itu untuk menghancurkan barikade kendi-kendi putih.
"Nanti ajari aku bowling, ya!" Nana merajuk.
Eri mengangguk.
Beberapa orang kawan bandnya menyambutnya, yang juga membawa
pasangan masing-masing. Mereka saling merengkuhkan tangan, pertanda
kekompakan mereka.
"Wah, kamu nggak bakalan bisa nyanyiin rock 'n roll di sini. Apalagi metal!"
Nana meneliti pengunjung bar hotel ini, yang rata-rata berumur dan berduit.
"Kamu lihat aja nanti!" kata Uzi, penyanyi utama sambil tertawa merangkul
Yanti, pasangannya yang tersenyum malu-malu.
"Kamu mau nyumbang lagu?" si penggebuk drum, Adam, meledek.
Nana mencubitnya keras-keras.
"Heh, enak aja. Pacar orang, tau!" Dini, pasangan Adam, merajuk manja.
"Kamu udah tahu Eri bakal nyanyi?" Uzi menahan tawa.
Eri menggepit kepala Uzi dengan gemas. "Pokoknya, malam ini posisi kamu
bakalan kegusur!" Eri tertawa.
"Oh, Boy!" Uzi tertawa keras. "Kamu denger itu, Opik!" Uzi meninju bahu
pemain keyboard.
"Aku jadi penonton aja, deh!" Opik tertawa. Dia berlindung di balik Prety,
pacarnya, ketika Eri hendak menjambret rambutnya.
"Nggak janji lah yaa!" Rehan, pasangan si pencabik bas, Mhaex, mengerling
lucu dan tertawa genit.
Tapi Nana sudah berjanji tidak tertawa untuk hal ini.
Eri memanggil seorang pelayan. Berbicara padanya. Lalu, "Kalian ikuti dia,
ya," katanya pada Nana dan keempat cewek lainnya.
Nana mengangguk. Kelima cewek itu mengikuti pelayan. Nana duduk
menyender ke tembok. Meminta es cola pada pelayan itu. Cahaya di bar mulai redup.
Para pengunjung yang sedang bersantai memenuhi dua pertiga ruangan masih asyik
bercengkrama dengan lawan bicaranya atau lamunannya masing-masing.
"Saya deg-degan," Yanti meraba dadanya.
Episode 15
Senja di Selat Sunda
"Kalian yakin para tamu bakalan suka lagu-lagu mereka?" Dini juga ikut
khawatir.
"Aku sedang berdoa untuk itu," Prety memejamkan mata.
"Paling-paling cuma suka sama pemain bass-nya," Rehan tertawa.
"Aku serius!" Yanti mendelik.
"Kamu kok diem aja?" Dini menyentuh lengan Nana.
"Kami ikut prihatin, Nana, dengan apa yang terjadi pada Eri," Rehan
merangkul bahunya.
Nana mencoba tersenyum.
Lampu mulai menyorot ke panggung.
Eri dan Mhaex menyelendangkan gitar, Adam mulai memukul-mukulkan stik
drum, Opik berdiri di depan piano, dan seketika itu pulalah melengking suara Uzi,
"Oh Darling!" dari Beatles.
Nana melihat para pengunjung agak tersentak juga. Mata mereka perlahan-
lahan berpindah ke panggung di sudut ruangan. Suasana yang romantis dan penuh
kenangan seperti tercipta dari wajah-wajah tamu, yang rata-rata di atas 40-an tahun.
Lalu meluncur lagu-lagu blues legendaris. Rupanya malam ini mereka tidak
membawakan lagu-lagu yang hingar-bingar atau jingkrak-jingkrak tanpa harus
meninggalkan akar rock 'n roll yang sudah biasa mereka bawakan.
Di atas panggung tiba-tiba ada kelainan. Uzi menghilang ke belakang
panggung. Rupanya saat inilah Eri akan menyanyi. Seseorang muncul membawakan
kursi.
Eri duduk di kursi itu.
Hening sebentar.
Nana pada mulanya tidak percaya kalau yang sedang membawakan "Mother"-
nya John Lennon itu adalah Eri, yang paling kesal jika disuruh menyanyi. Tapi Nana
merasakan Eri bukan sekadar menyanyi. Tiba-tiba Nana seperti melihat seseorang
sedang meronta-ronta, menjerit, menangis, dan berteriak-teriak marah pada keadaan.
"Oh, aku nggak percaya Eri bisa nyanyi!" Yanti menutup mulutnya.
Nana merasa kelopak matanya hangat. Dia mengusap air matanya, yang mulai
mengalir hati-hati. Dia tahu persis apa yang sedang berkecamuk di hati Eri. Kalau saja
papa-mama Eri malam ini hadir di sini, selayaknya mereka harus bahagia melihat
anaknya yang sangat mendambakan keharmonisan sebuah keluarga. Harta yang
melimpah memang tidak pernah bisa menjamin kebahagiaan seseorang.
"Bagaimana, Nana? Bagus suaraku?" Eri meminta pendapatnya dalam
perjalanan pulang tadi.
"Kamu nggak nyanyi tadi," Nana meledek.
"Lalu, apa?"
"Kamu protes."
"Protes pada siapa?"
"Pada Tuhan."
Eri tertawa hambar, "Para tamu 'kan nggak ada yang tahu masalahku."
"Aku 'kan tahu. Uzi, Adam, Mhaex, dan Opik juga tahu. Yanti dan yang
lainnya juga ngerti."
"Kalian bukan tamu."
"Tapi kamu menyuruh aku dan pemain band untuk mendengarkan rintihanmu.
Protesmu. Seolah-olah kamu mengumumkan pada kami, bahwa Tuhan sudah nggak
bersikap adil pada kamu. Sementara kami hidup dengan keluarga yang bahagia, tapi
kamu malah hidup berantakan."
"Yang penting pengunjung terpesona tadi dengan suaraku."
"Mereka cuma memhayangkan John Lennon yang nyanyi tadi," Nana tertawa.
"Sekarang kamu tertawa, Nana. Dan kedengarannya sinis."
Nana terpaksa harus hati-hati. "Aku cuma bosan ngedenger persoalan-
persoalan yang terjadi di rumahmu, Eri. Seolah-olah kamu mengeksploitirnya. Minta
dibelaskasihani sama orang-orang, bahwa 'Nih, aku anak yang terlahir dari keluarga
broken home' .
Kenapa aku bosan ngedengernya? Karena aku nggak hisa ngebantu apa-apa.
Seharusnya kamu bisa lebih tabah dari yang terjadi seperti sekarang, Eri."
"Apa maksudmu, Nana?" Eri meminggirkan jeepnya.
"Sudah ma1am, Eri. Nantilah kita bicarakan hal ini."
"Jawab, Nana. Kamu bosan dengan keluh-kesahku atau bosan dengan aku?
Malah jangan-jangan ada cowok lain, Nana?"
"Oh, Eri, jangan kayak anak kecil."
"Kita memang masih anak kecil, Nana. Kamu saja baru akan tujuh belas
tahun. Aku belum lagi dua puluh." '
"Ayolah pulang, Eri."
"Aku memang nggak bisa kayak cowok-cowok lain, Nana. Yang bisa
menggembirakan pasangannya di setiap malam Minggu, karena hidup mereka sendiri
sudah hahagia.
Aku malah jarang mengapeli kamu di malam Minggu. Mengajakmu nonton
atau makan malam. Kalaupun aku mengajakmu pergi, paling-paling aku menceritakan
tentang keadaan rumah yang seperti neraka."
Nana tidak menjawab, walaupun hatinya mengiyakan.
Setelah kejadian malam itu, Eri menghilang lagi selama seminggu. Seperti
angin, yang datang dan perginya tak pernah ketahuan.. Begitulah yang terjadi pada
Eri, yang bisa datang dan pergi semaunya saja. Kadang kala Nana melongok lewat
pagar pembatas, mencari-cari Bik Iyem, pembantu tetangga sebelah itu.
"Bik, Bik," Nana memanggil pembantu itu.
"Eh, Neng Nana."
"Nggak ada orang di rumah, Bik?"
Bik Iyem menggeleng.
"Eri ke mana, Bik?"
"Nggak tahu, Neng. Malam-malam Eri bawa ransel. Bawaannya banyak,
Neng. Mungkin pergi kemping."
Nana menggerutu sendirian, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Setelah itu kelompok band Eri datang memberondong Nana dengan beragam
pertanyaan. Membuatnya kesal dan tidak bisa memihak siapa-siapa.
"Kemping ke mana Eri?" Uzi penasaran.
"Mana aku tahu!" Nana histeris.
"Ayolah, jangan main rahasia-rahasiaan!" Adam kesal.
"Kacau, kacau!" Mhaex nimbrung. "Bubar, bubar deh! Ke mana sih tuh anak!"
Episode 16
Senja di Selat Sunda
Cuma Opik yang bisa memaklumi. "Mungkin Nana nggak tahu ke mana Eri
pergi. Ya, sudah. Kalaupun Nana tau, kita nggak punya hak untuk memaksa
mengatakannya," katanya pada yang lain.
"Sudah empat hari kami nggak main. Tanpa Eri, kita nggak bisa main. Malam
ini peringatan terakhir. Kalau tetep nggak main, kami akan dipecat!" Uzi begitu
kecewa.
"Cari aja pengganti Eri!" usul Nana.
"Nggak akan kami lakukan itu, Nana," Opik masih tenang.
"Kenapa? Karena setengah dari uang pembelian peralatan band uangnya dari
Eri?" Nana menyindir.
Mereka bersungut-sungut.
"Untuk sementara aja sambil menunggu Eri pulang," Nana tetap pada
pendiriannya.
"Inget, ini kamu yang mengusulkan!" Uzi menunjuknya.
"Iya, ini atas usulku!" suara Nana tegas.
"Gimana, Opik?" Uzi meminta pendapatnya.
"Kalian punya pilihan?" Opik melemparkan lagi persoalan.
Mhaex menyebut sebuah nama.
"Kita cobalah," Adam tidak bergairah.
Tapi keesokan paginya di sekolah, orang-orang meributkan tentang kebakaran
yang melanda hotel ternama di Pantai Selat Sunda. Hotel di mana Eri dan bandnya
biasa tampil menghibur para tamu di bar.
Nana cuma bisa terisak-isak sendirian di kamarnya. Kenapa hal ini terjadi
padamu, Eri? hati Nana meratap nelangsa.
"Sekarang semuanya berakhir, Nana," Uzi tidur-tiduran di rumput. Yanti
membelai-belai rambut kekasihnya dengan iba.
"Ada di mana kamu, Eri!"Adam berteriak.
"Kami nggak nyangka, bahwa malam tadi adalah malam terakhir kami main di
hotel itu," Mhaex meratapi nasib.
"Tanpa Eri," Opik tersenyum kecut.
"Bagaimana itu bisa terjadi?" Nana panik.
"Biasa, korslet listrik!" Rehan yang bersender di bahu Mhaex, nyeletuk.
"Ya, siapa bisa membaca garis tangan hidup kita," Opik menarik napas. "Aku
pikir, kita akan istirahat panjang dari main band. Ini ada baiknya juga. Aku agak
jenuh juga main di bar-bar."
"Maksudmu?" Uzi bangkit.
Adam dan Mhaex juga menatapnya tidak enak.
"Tadi pagi kakakku menelepon. Dia tahu kebakaran hotel semalam dari berita
TV. Aku ditawari kursus piano di Bandung," Opik memegangi terus lengan Prety.
"Kamu mau meninggalkan kami?" Adam tidak percaya.
"Aku mau serius di musik sekarang. Dukunglah aku," Opik memohon. "Kalian
juga bisa melakukan hal sama seperti aku."
"Ya, benar apa yang dibilang Opik," Nana menyumbang pendapat. "Kalian
'kan nggak akan selamanya main di bar-bar. Tentu suatu hari bermimpi masuk studio
rekaman. Bermimpi bikin lagu sendiri dan didengar oleh semua orang."
"Sebaiknya kita tunggu Eri pulang," kata Uzi lemah.
"Kalau dia masih hidup!" Adam masih jengkel.
Nana menarik napas panjang.
***
Episode 17
Senja di Selat Sunda
Rhapsodi Penantian
Nana!
Jika kamu terima suratku ini, mungkin aku sudah melakukan perjalanan lagi.
Kayaknya terus ke timur menenteng gitar. Kalau lagi suntuk, ngamen adalah
hiburanku. Setelah aku merasakan beberapa kali ngamen, kini 'plong'. Aku bisa
merasakannya. There is something different. Entah apa namanya. Tak tahu aku.
Cuma yang aku rasa, jadi bosan sendiri ngamen di Yogya. Sekarang aku menyingkir
dululah. Dengan kawan-kawan baruku di Yogya nggak ada masalah, kok. Hanya aku
perlu cari udara lain.
Nana, bila perjalanan ini sudah selesai dan aku pulang, itu artinya aku jadi
manusia instan yang fleksibel. Lentur dan elastis. Manusia serba siap. Termasuk siap
melempar jangkar. Aku punya tali yang panjang, kok. Tak sepanjang milik orang
lain, sih. Tali yang panjang, artinya tidak tergantung pada suatu tempat. Aku punya
dua "titik" sekaligus. "Titik" tempat jangkar menancap dan "titik" bagi kapal
terapung. Tidak seperti pasak yang cuma satu titik dan lurus, tegak, dan kaku
melawan gelombang. Bukan mengikuti arusnya. Tali punya cakupan wilayah yang
luas, Nana, dibanding pasak.
Mungkin tak perlu jadi kapal. Perahu kecil yang lincah ke segala arah, tapi
rentan pada badai dan gelombang. Hidup memang banyak pilihan dan aku masih
terus melihat-lihat. Wah, aku sebetulnya berlayar saja belum, ya! Kadang aku
berpikir, Nana, tak akan meninggalkan rumah terlalu jauh. Kasihan Papa dan
Mama. Kami keluarga kecil. Akulah dinasti penerus mereka. Aku tentu akan
memelihara kerajaan kecil kami.
Nana, kapankah kita bisa ketemu lagi? Aku pikir kamu nanti bakalan
kesulitan membalas surat-suratku. Entahlah, aku nggak punya alamat sekarang. Aku
mungkin cuma bisa meratapi rasa kangenku padamu. Kenanglah aku di hatimu. Tapi
aku akan berusaha untuk tetap memberimu kabar.
Tentang orangtuaku, bagaimana kabar mereka? Sesekali aku menelepon
mereka. Tapi aku nggak berani menelepon kamu. Aku takut bisa "gila" jika
mendengar suaramu. Aku takut setelah mendengar suaramu, kerinduanku padamu
taktertahankan lagi. Aku nggak mau itu terjadi. Ini bisa menyiksaku.
Terima kasih, itu saja yang bisa aku ucapkan sama kamu. Nanti aku kabari
lagi.
***
Nana mendekap lagi surat itu. Dia membayangkan Eri sedang kelelahan
menyandang ransel dan gitarnya; menahan haus dan lapar dalam perjalanan. Sedang
menuju ke mana dia sekarang? Batinnya nelangsa. Ah, kenapa kamu tidak pulang saja
Eri?
Setelah kelompok band Eri datang membawa kabar kebakaran hotel tempat
mereka bekerja, dua hari kemudian, di Minggu siang, Eri menimpuk Nana dengan
ranting kecil pohon mangga.
"Hey, ngelamunin aku, ya!" teriaknya dari dahan pohon mangga.
Ingin sekali Nana berteriak girang saking rindunya. Tapi itu diurungkannya.
Sebagai perempuan, kata ibunya, tidak baik mengumbar perasaan. Menunggu adalah
hal terbaik yang harus dilakukan perempuan. Ibunya memang terhitung wanita
konservatif dalam soal cinta.
"Marah, ya!" Eri meloncat turun dan kini sudah duduk di rumput.
"Ke mana aja, sih!" Nana cemberut.
"Aku ke Baduy."
"Kok, nggak bilang! Aku 'kan kepingin juga ke Baduy."
"Di luar rencana, sih."
"Aku pikir nggak bakal pulang lagi."
Eri tersenyum.
"Hotelmu kebakaran."
"Aku denger di radio."
"Lho, katanya di Baduy nggak boleh denger radio?"
"Sembunyi-sembunyi," Eri tertawa kecil.
"Wah, itu merusak lingkungan namanya!" Nana protes.
Eri mencubit pipinya.
"Udah ketemu kawan-kawanmu?"
Eri mengangguk. "Kami sepakat untuk mencari jalan sendiri-sendiri dulu.
Opik kursus piano di Bandung, Uzi mau adu nasib di Jakarta. Siapa tahu ada band
yang butuh penyanyi. Adam ikut bisnis pamannya ke Semarang dan Mhaex memilih
mengurus lebih serius sanggar lukisnya."
"Kamu?" Nana bermanja-manja.
"Itulah sebabnya aku kemari. Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu, Nana.
Ini mendesak sekali," nadanya serius.
"Apa lagi, sih?" Nana ogah-ogahan.
"Please, ini untuk yang terakhir, Nana."
Nana menatapnya penuh ingin tahu. Tiba-tiba dia merasakan ada 'sesuatu'
menyusup ke hatinya. Dia merasakan rasa sepi yang panjang. Sorot matanya pun jadi
redup. Eri menyembunyikan wajahnya di kedua lututnya. Rambutnya yang gondrong
menutupi seluruh wajahnya.
Mereka meluncur ke pantai di Selat Sunda. Menghabiskan hari sambil menanti
senja. Nana seperti merasakan pertemuan dengan Eri ini untuk yang terakhir kali.
"Kamu seperti mau pergi jauh, Eri," perasaannya diungkapkan.
Eri memegang lengannya. Dia tidak ingin kehilangan gadis yang selama ini
selalu hadir, jika dia sedang bersusah hati. Gadis yang selalu menemaninya dalam
kegembiraan.
"Aku renungkan berhari-hari di Baduy sana, Nana. Dan aku semakin mantap
setelah hotel tempatku bekerja kebakaran."
Nana menyembunyikan wajahnya. Dia tidak berani untuk menatap layar yang
membentang luas di atas Selat Sunda. Dia seperti takut untuk menyaksikan matahari
tenggelam di layar itu, karena dia sudah merasa hatinya berubah jadi gelap. Tak ada
cahaya. Pernyataan Eri tadi cukup menggoncangkan jiwanya.
"Aku ingin melupakan dulu masalah-masalah yang sepertinya nggak berhenti
menimpaku. Sebutlah aku pengecut. Tak apa. Yang penting, aku sedang berusaha
untuk memperbaiki keadaan. Aku cuma ingin meninggalkan Papa-Mama; mencari
suasana baru. Kalau terus-terusan begini, aku bisa stress, Nana. Bisa frustasi di usia
muda.
Episode 18
Senja di Selat Sunda
Setelah tiga surat terakhir Eri dari Yogya, Nana cuma menerima kartu pos-
kartu pos saja dari Eri. Kadang baru sebulan dia menerimanya tanpa bisa
membalasnya. Tampaknya Eri mulai kesulitan untuk berkirim surat padanya. Ini
terlihat dari tempat Eri mengeposkan surat. Kadang di kampung-kampung kecil di
Madura, Bali, bahkan di Nusa Tenggara Timur, yang tidak diketahuinya.
Hari bergulir terus.
Pada tahun pertama kepergian Eri, Nana pergi sendirian ke Pantai Selat Sunda.
Menikmati senja. Dia mencoba merasakan apa-apa yang pernah dilaluinya bersama
Eri di sini.
"Ada di mana sekarang Eri, Senja?" bisiknya pada matahari. "Apakah Eri
sedang duduk di pantai menikmatimu, Senja?" air matanya bergulir.
Ini adalah saat perpisahan kecil bagi Nana menikmati senja di Pantai Selat
Sunda. Dia akan meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi negeri di Yogyakarta.
Setiap liburan semester Nana menyempatkan diri pulang sambil berharap, semoga ada
sepucuk surat atau kartu pos lagi dari Eri. Tapi cuma kehampaan saja yang dia
dapatkan. Eri seperti hilang ke dasar samudra. Tertelan belantara bumi. Paling-paling
dia cuma bisa mengadu pada matahari senja di Selat Sunda.
"Berilah aku kabar tentang Eri, Senja?" Nana menatap langit timur Selat
Sunda. "Apa yang terjadi dengan Eri?"
Lain saat, "Aku kangen sama Eri, Senja."
Paling-paling Nana melongok di pagar pembatas ke rumah sebelah. Jika ada
Bik Iyem, dia memanggilnya, "Eri ada di mana sekarang, Bik?"
"Bulan lalu Bibik yang nerima tilpon. Den Eri bilang sih di Irian," Bik Iyem
memandang gadis cantik ini dengan iba. Dia bisa merasakan kerinduan hati si gadis
pada Eri.
"Ada kabar mau pulang, Bik?"
"Den Eri mau pulang kalau rumah ini sudah tidak seperti neraka," Bik Iyem
melihat ke rumah besar yang sepi itu. "Petaka apa lagi yang akan menimpa penghuni
rumah ini?" gumamnya.
"Hus, jangan ngomong yang nggak-nggak, Bik."
Episode 19
Senja di Selat Sunda
***
Nana menarik napas kuat-kuat ketika mengakhiri ceritanya tentang Eri.
Dilontarkan napasnya ibarat membuang segala himpitan di dadanya. Tanpa terasa
mataku menjadi hangat oleh air mata. Kisah hidup sahabatku ini betul-betul
menyentuh. Ternyata "cinta" pernah melukai hatinya.
Nana kini tergolek memejamkan matanya. Tampak wajahnya berseri-seri. Aku
yakin sekarang Nana merasa lega. Mungkin batu yang selama ini menghimpit
dadanya sudah terangkat.
Aku lebarkan selimut. Aku tutupi tubuh perkasa yang kini tampak kembali
menemukan kekuatannya. Wajah cantik alami itu tertidur pulas. Betapa damai. Kalau
Eri diizinkan untuk melihat Nana bahagia, inilah saat yang paling tepat untuk
melihatnya.
Aku betul-betul terharu mendengar ceritanya. Tak kusangka betapa rapihnya
dia menyimpan luka lamanya. Dua tahun aku bersahabat dengannya dan tak secuil
pun aku menaruh curiga, bahwa dia pernah punya 'sesuatu' yang mengharu biru.
Aku baru bisa tidur menjelang fajar menyingsing.
Ketika aku menggeliat bangun, karena merasakan hawa panas di dalam kamar,
Nana sudah tidak ada di sampingku. Aku lihat jarum jam menunjukkan angka dua
belas! Betapa lelap tidurku!
Aku melongok di jendela. Melihat ke pantai. Nana sedang duduk sendirian.
Aku berteriak memanggilnya. Nana melambaikan tangan.
"Mandi dulu, sana!" Nana tertawa cerah.
Aku sangat gembira bisa melihat Nana tertawa lagi.
Sepanjang hari kami cuma jalan-jalan di pantai; membicarakan apa saja.
Buatku ini penting untuk mengembalikan tenaga, karena lusa akan menjelajah
wilayah Kanekes.
"Betul nggak akan berubah pikiran?" aku mengingatkan lagi.
"Sekarang aku sudah plong," wajahnya berseri-seri.
"Eri ikut ke Baduy?"
"Seperti kata Yanto, selain dia senior PA, cuma dialah yang tahu rute lewat
pintu belakang."
"Kamu tahu kenapa alasannya Eri pulang?"
"Nanti aku tanyakan."
"Kita akan menikmati senja lagi hari ini, Nana?"
Nana mengangguk.
Tampaknya senja di Selat Sunda tak bisa dilepaskan oleh Nana. Aku pun pasti
akan melakukan hal yang sama. Ini semata-mata bukan melulu kenangannya saja, tapi
melihat senja tanpa halangan apa-apa sangatlah indah. Kita seperti dibawa pada
kebesaran Tuhan, ketika bola merah kekuning-kuningan itu bergulir perlahan. Cuma
beberapa saat saja keindahan itu berlangsung. Lalu semuanya berubah jadi kegelapan.
Ketika kami sedang asyik menunggu saat senja tiba, kami dikagetkan oleh
suara langkah kaki. Kami tak bisa berkata-kata begitu tahu seorang lelaki gondrong
bertampang bohemian berdiri dengan rasa bersalah.
"Aku nggak tahu kalian ada di sini," katanya pelan. Suaranya tertahan di
tenggorokan. "Kalau kamu keberatan, aku akan pindah ke tempat lain."
Nana menggigit bibirnya.
"Sebaiknya aku pergi," kataku tidak enak.
Tapi Nana menahanku. "Temani aku," bisiknya. "Ini terlalu cepat bagiku."
"Lebih baik kamu di sini menemani Nana," katanya padaku.
Aku mengangguk dengan segan.
"Aku besok mau ke Jakarta. Aku dapat kabar dari Uzi, bahwa ada pekerjaan di
bar tempatnya bekerja."
Aku menyikut Nana.
"Semoga perjalanan kalian di Baduy menyenangkan," dia berjalan.
"Mau ke mana, Eri?" akhirnya suara Nana terdengar.
Eri berhenti seperti patung. Dia membalik, "Aku mau duduk di sana. Masih
dilarangkah aku menikmati senja, Nana?" nadanya menyindir.
Nana tersenyum getir.
Aku menengahi, "Duduklah bersama kami, Eri."
"Aku cuma mau menikmati senja beberapa saat saja. Ini adalah kenangan
paling indah yang aku miliki. Aku tak ingin melewatkannya," suaranya berat dan
bergetar.
"Eri," Nana mendekatinya.
Eri tampak gelisah.
"Betul kamu nggak akan mengantar kami ke Baduy?" kini Nana sudah bisa
menguasai emosinya.
Episode 20
Senja di Selat Sunda
***
Episode 21
Senja di Selat Sunda
Kabut di Selatan 1
Ada enam lelaki dan empat perempuan -termasuk aku- berdiri di pinggir jalan.
Mereka sudah sepakat untuk melewati jalan lolongok, pintu belakang dari arah selatan
tanpa Eri. Toh, nanti bisa tanya sama orang-orang, begitu pikir mereka. Keinginan
mereka ini sudah lama terpendam: pergi ke Baduy menyusuri Pegunungan Kendeng.
Selama ini mereka cuma melewati rute turis, masuk lewat pintu gerbang Ciboleger
atau pintu samping Ciranji-Kroya.
Nana, Rini, dan Yayah menyetopi truk. Mereka mengumbar senyum pada para
supir, yang siapa tahu mau mengangkut kami ke Malimping, jauh ke selatan. Kaum
lelaki bersembunyi di warung. Dengan taktik seperti ini, biasanya suka ada supir truk
yang rela mengangkut para petualang cewek. Kasih umpan cewek, yang nongol para
begundal! itu pepatah mereka.
Tiba-tiba kami melihat seorang lelaki gondrong berlari-lari. Aku melihat
reaksi Nana, yang sukar sekali ditebak. Aku harus mau mengangkat jempol, karena
Nana bisa begitu cepat menguasai emosinya. Entahlah kalau ini terjadi padaku. Dan
orang-orang berseru girang.
"Masih ada tempat buatku?" Eri tersenyum dan saling berjabat tangan. Dia
tersenyum padaku dan Nana. "Sorry, telat!" dia tertawa.
Aku membalas senyumnya, tapi Nana cuma mengangguk.
Yanto meninju bahunya.
Kami termasuk beruntung juga ketika ada truk langsung mengangkut ke
Malimping. Dari kota kecamatan ini kami terus ber-liften ke Cikotok, tambang emas
di Banten Selatan. Menjelang senja kami tiba di Cikotok.
Tambang emas, yang mulai dibuka oleh perusahaan Belanda, NV Mynbouw
Maatschapij Zuid Bantem, 1936, adalah sebuah desa bertampang kota. Rumah
penduduk tumbuh di bukit-bukit hijau yang indah, seperti anak tangga yang disusun
teratur oleh seniman Agung. Udaranya yang sejuk dan nyaman semakin mendukung
panorama alami ini. Penduduknya kebanyakan pendatang.
Setelah minta izin pada penguasa setempat, kami membuka tenda di tanah
lapang. Untuk meneruskan perjalanan sudah tidak mungkin. Esok pagi kami akan
melanjutkan lagi. Ada jalan sepanjang 10 km yang masih bisa dilalui kendaraan roda
empat.
Keesokan paginya kami tetap beruntung lagi, karena ada kendaraan tambang
yang mengangkut kami sampai kampung Ciusul, batas terakhir yang masih bisa
dilalui mobil. Kalau naik angkutan umum, perorang kena seribu lima ratus perak.
Setelah itu kami berjalan naik-turun bukit.
Ketika meniti jembatan gantung yang sudah tua dan miring, aku merasa deg-
degan juga begitu melihat sungai di bawahnya yang kecoklatan. Apalagi ketika
beberapa orang bergurau, dengan menggoyang-goyangkan jembatan. Terutama Eri.
Tampaknya dia berusaha ingin melihat ada orang yang terjatuh ke sungai.
Kalau aku perhatikan sepanjang perjalanan, Eri memang termasuk jail. Doyan
iseng. Biang keributan. Mulutnya tak mau diam dan dia bisa bergerak ke depan dan ke
belakang rombongan tanpa kenal lelah. Perjalanan memang jadi tidak membosankan.
Tapi dia tampaknya tidak berani lagi mengisengi Nana, karena jarak sudah terbentang
memisahkan mereka.
"Kalau nggak kuat, biar aku gendong," Eri sudah berjalan di sampingku
dengan cengiran nakalnya.
Aku tersenyum.
"Bawain ranselku, mau?" aku berharap.
"Hey, siapa yang mau jadi porter cewek Yogya!" teriaknya kurang ajar.
"Lumayan lho, go ceng perjam!" tawanya menggema.
Orang-orang tertawa.
Tiba-tiba Eri dengan sangat tidak sopan membuang ingus di depanku.
Menyadari reaksiku yang jijik, dengan tenang dia bilang, "Sekaranglah saatnya kita
melakukan pelepasan. Membuang segala tata krama, basa-basi yang biasa kita
lakukan di kota.
"Mari kita back to nature! Kembali jadi orang tak beradab!" teriaknya ngawur.
Nana menoleh ke arahku. Lewat isyarat matanya, dia seperti menanyakan
apakah aku baik-baik saja. Aku mengangguk, walaupun kadang putus asa melihat
tanjakan yang harus aku daki.
Aku betul-tul tercecer. Nana dengan setia menemaniku istirahat. Aku jadi
tidak enak pada yang lainnya, karena sudah menghambat perjalanan. Ketika aku
betul-betul tertinggal, Eri menyuruh Yanto untuk berjalan di depan. Si gondrong yang
betul-betul jadi tidak tahu tata krama ini mengambil tempat di belakang. Aku tahu dia
berjaga-jaga kalau aku tertinggal.
Nana yang merasa serba salah aku beri isyarat untuk terus saja berjalan. Dia
beberapa meter di depanku. Yang lainnya sudah jauh di depan. Nana pun lama-lama
sudah tak kelihatan lagi.
Aku duduk beristirahat di bawah pohon. Minum sebanyak-banyaknya.
"Jangan terburu-buru minum," Eri sudah tiba. "Pelan-pelan saja. Nanti dada
kamu sakit," katanya lagi sambil mengkuliahi, bahwa suhu badan kalau sedang panas
jangan langsung kena air. Berilah tempo untuk menurunkan suhu badan.
Akhimya aku sependapat setelah aku batuk-batuk.
Akulah yang paling terakhir datang di tempat beristirahat, di pinggir sungai
berbatu-batu. Matahari hampir menggelincir. Eri beberapa belas meter di belakangku.
Aku tahu kalau dia sengaja menjaga jarak, walaupun tetap menjaga keselamatanku.
Nana tersenyum menyambutku. "Eri mengganggu kamu?" dia melihat Eri
yang baru tiba dan langsung membantu mendirikan tenda.
Aku menggeleng. "Aku berani bayar berapa pun, Nana, kalau ada motor
ojek!" aku mengeluh.
Nana tertawa lucu.
Kami yang perempuan, kebagian mengurusi dapur. Aku agak kikuk juga
ketika ikut memasak. Untung mereka membiarkan aku istirahat. Aku tertidur pulas di
hammock, yang diikat di antara dua batang pohon rindang.
Aku dibangunkan setelah makan malam tersedia. Sebetulnya aku agak risih
juga melihat nasi dan mie rebus yang diciduk langsung dari panci dan kadang saling
berebut, piring-piring yang tampak kotor, serta cara makan mereka yang buatku jorok.
Episode 22
Senja di Selat Sunda
Untung aku sudah mempersiapkan makan malam yang lain. Roti, keju, dan
coklat. Tapi sialnya, selera makanku langsung hilang begitu Eri duduk di sebelahku.
Dia makan tanpa menggunakan sendok. Malah dengan sengaja piring itu diangkat dan
didekatkan ke bibir. Dia langsung menyeruputnya!
Perutku memberontak.
"Enak lho makan kayak gini," dia menjilati piringnya sampai licin. "Ini bisa
jadi obat penawar stress!" tawanya meledak. "Selera makanmu hilang? Boleh minta
rotinya? Buat cuci mulut!"
Aku sodorkan bungkusan roti. Eri pun berteriak pada yang lain. Dalam
sekejap rotiku pun amblas. Untuk mengganjal perut, aku cuma makan coklat dan
makanan kecil yang sudah aku persiapkan. Tapi perbekalan darurat ini pun cepat
menipis, karena aku harus membagi-bagikan pada rombongan cewek.
"Kayaknya acara makan berikutnya, kamu harus mau bergabung, ya?" Nana
tertawa senang.
Aku mengangguk lemah.
Kami berkumpul mengelilingi api unggun. Saling tukar cerita. Banyak
pertanyaan terlontar padaku. Terutama soal kehidupanku, yang menurut mereka
sangat berbenturan dengan kehidupan mereka. Aku memang paling "berbeda" di
antara mereka. Tidak segesit dan sekuat mereka. Aku cenderung "dilayani" dan
"diistimewakan" oleh mereka. Lalu beberapa lelaki menawarkan membawakan
ranselku.
Ini ide bagus. Ranselku dibongkar. Barang-barangku dibagi-bagi kepada
mereka. Kecuali barang-barang "perusahaanku" saja, yang tetap aku bawa. Kini
ranselku terasa ringan.
Tapi ketika kami melanjutkan perjalanan lagi keesokan harinya, ransel itu
tetap saja membuat punggungku sakit. Aku sadar bahwa setiap saat kondisi badanku
semakin lelah, sehingga barang yang semestinya ringan tetap terasa berat. Mungkin
yang paling bagus, aku tidak usah membawa apa-apa.
Menjelang tengah hari, langit berubah gelap. Angin menderu-deru. Aku cuma
melihat punggung seseorang di depanku. Lalu hilang di tikungan. Aku menunggu Eri
muncul dari belakang. Aku merasa takut sekali ketika gerimis mulai turun.
"Kenapa?" Eri menadahkan tangannya. "Bakalan gede nih hujannya!" katanya.
"Siniin ranselmu!"
Tanpa hanyak omong aku serahkan ranselku. Punggungku terasa ringan sekali.
Aku menarik napas lega. Aku berjalan cepat-cepat. Eri tetap di belakangku. Ranselku
disandang di dadanya.
Gerimis semakin rapat. Aku hampir putus asa ketika sadar, bahwa kampung
itu ada di atas bukit. Aku harus melalui tanjakan berbatu-batu yang panjang. Aku
berlari semampuku.
Hujan mulai deras. Tubuhku basah kuyup. Eri membantuku menaiki tanah
menyerupai anak tangga. Aku betul-betul putus asa dan menyesal sudah ikut ke sini.
Aku betul-betul ambruk ketika sampai di perkampungan.
"Kamu baik-baik saja, Tina?" Nana menyambutku. Dibawanya aku ke rumah
kepala kampung, di mana orang-orang sudah bermalas-malasan di bale-bale-nya.
"Aduh, Nana," tanpa merasa malu aku merebahkan badan di bale-bale.
Beberapa orang memberi tempat yang luas padaku. "Sebaiknya bajumu diganti dulu,"
Nana membangunkan aku.
"Badanku kayaknya remuk," aku bangun dengan malas.
Setelah berganti baju dengan yang kering, aku langsung meringkuk di sleeping
bag di pojok. Hujan tak ada tanda-tanda mau berhenti, malah semakin besar saja.
Perjalanan terpaksa dilanjutkan esok hari.
Kami bermalam di kampung ini. Aku perhatikan suasana kampung ini sangat
terisolir. Mustahil bisa dimasuki mobil sampai tahun 2000. Tapi aku merasa trenyuh
sekali melihat penerimaan tuan rumah, yang sangat ramah dan manusiawi. Segala
yang ada di dapur, dihidangkan pada kami. Buat orang kampung, kedatangan tamu
dari kota memang sebuah kebanggaan.
Sebelum kami pergi meringkuk, Bapak Kepala Kampung memberi nasihat,
tentang pantangan di leuweung kolot, hutan Baduy yang penuh misteri. Untuk sampai
Baduy Dalam, kita memang harus menembus leuweung kolot. Yang membuatku ngeri
adalah ketika bapak itu mengabarkan tentang tiga orang perampok dari
Rangkasbitung, yang melarikan diri ke wilayah Kanekes.
Aku berbisik pada Nana, "Jangan-jangan kita ketemu mereka."
Nana cuma tersenyum menghiburku.
Keesokan harinya langit cerah. Kami melanjutkan perjalanan lagi; naik turun
bukit. Menjelang senja kami melintasi sebuah sungai kecil berbatu-batu. Lagi aku
selalu tiba paling akhir. Eri tetap setia di belakangku. Seharian tadi dia tidak
menggodaku.
Sungai berbatu-batu ini perbatasan alam wilayah Kanekes, yang memisahkan
dunia "luar" dengan alam Baduy. Setelah itu leuweung kolot menjulang di depan
kami. Dan kampung Baduy ada di sana.
Aku duduk dan membuka sepatu. Merendam kedua kakiku. Aku basuh
wajahku dengan air sungai yang jernih. Terasa segar, walaupun kulit wajahku terasa
perih terbakar.
Nana menghampiriku. "Hebat," katanya tertawa kecil. "Ternyata kamu masih
kuat jalan. Aku kira udah digendong Eri."
Aku semprot Nana dengan air sungai.
Nana membalas.
"Kita bermalam di sini aja!" Eri muncul di balik semak-semak. "Daripada
kemaleman di leuweung kolot!"
Yanto mengiyakan sambil menyuruh beberapa orang untuk mencari tanah
agak lapang.
Aris, Toni, Ato, dan Maman membongkar ranselnya. Mereka mendirikan
tenda. Peralatan berkemah berhamburan. Sebuah flysheet, lembaran gantung, mereka
rentang dan diikat di dahan-dahan. Ini bisa jadi atap tenda jika hujan turun nanti.
"Mestinya anak Yogya ini masak buat kita-kita!" Eri berteriak pada yang lain.
Nana melirikku sambil mengulum senyum. Aku jadi serba salah. Nana tahu
kalau aku paling tidak bisa masak. Di rumah segalanya dikerjakan oleh pembantu.
Paling-paling aku cuma bisa merebus mie. Sialnya aku kebagian memasak nasi. Aku
meminta pertolongan Nana. Ini seperti kiamat buatku.
"Aku ajarin deh," Nana menarik aku ke sungai.
"Eri cuma mau mempermainkan aku saja," bisikku.
Episode 23
Senja di Selat Sunda
***
Episode 25
Senja di Selat Sunda
Kabut di Selatan 2
Petualangan besar buatku pun dimulai. Satu per satu kami memasuki
leuweung kolot, hutan Baduy di pintu selatan. Aku tahu bahwa masuk ke Kanekes
lewat jalan lolongok sangatlah tabu, karena dikhawatirkan akan "menginjak" tanah
larangan, Arca Domas, yaitu titik awal yang dipercaya orang Kanekes sebagai tempat
bumi ini mulai mengeras. Tempatnya di Bukit Pamuntuan, di hulu Ciujung pada
ujung barat Pegunungan Kendeng. Namun lokasinya sangat dirahasiakan. Cuma puun
Cikeusik dan beberapa orang kepercayaannya saja yang tahu.
"Bagaimana kalau kita 'nginjek' tanah larangan?" bisikku khawatir pada Nana.
"Tanah larangan itu ada di dalam hutan," Nana meyakinkan. Tambahnya,
"Sepanjang kita nggak keluar dari jalur jalan setapak, aman deh!"
Tapi beberapa kali kami berpapasan dengan orang Kanekes, yang panamping
atau tangtu. Wajah mereka seperti berkesan tidak suka. Mereka cuma melintas apa
adanya saja. Moga-moga ini cuma perasaanku saja.
"Ati-ati nya, aya rampok! (Hati-hati, ada perampok!)" aku mendengar
seseorang dari mereka memperingatkan.
Eri menerangkan, bahwa seorang dari perampok itu sudah tertangkap basahdi
perhatasan leuweung kolot. Terus terang saja, selain lelah, hatiku tetap saja didera
ketakutan yang tidak enak. Selain akan serangan dari perampok yang tiba-tiba, juga
"kualat" karena melanggar tradisi setempat terus membayangiku.
Sepanjang perjalanan Eri mencoha mengusir rasa takutku dengan joke-joke-
nya. Aku tertawa juga. Misalnya Eri melucu tentang seorang Baduy yang salah
makan. Maksud hati mengunyah sukro, apa daya kamper yang dimakan! Anekdot
yang lainnya lagi, ketika seorang Baduy keheranan melihat tamu dari kota memakan
sabun (baca: keju).
Hatiku agak terhibur juga. Apalagi ketika orang-orang ikut tertawa ketika
melewatiku. Kedengarannya mereka bergembira. Tapi ketika melihat Nana yang
tersenyum simpul, aku jadi curiga. Pasti ada sesuatu yang tidak beres padaku.
Nana membalik. Berjalan ke arahku. Dia mengambil sesuatu yang
menggantung di ranselku. Huh, kerak itu! Wajahku betul-betul panas dan merah. Bagi
seorang wanita, ketahuan tidak bisa masak sangat memalukan! Apalagi kepergok nasi
yang ditanaknya hangus! Aku tahu siapa biang keroknya! Aku pelototi Eri. Agak aneh
anak ini. Ketika orang-orang was-was dengan para perampok, dia masih sempat untuk
berbuat iseng. Tapi si brengsek itu cuma cengar-cengir. Aku ambil kerak itu. Aku
lempar sekeras-kerasnya pada dia.
Eri menghindar sambil tertawa ngakak.
Nana menyuruhku untuk melanjutkan perjalanan lagi. Dia berada di
belakangku, bermaksud untuk melindungiku dari gangguan Eri.
Aku cuma menggigit bibir dan tersenyum saja ketika menyadari sedang berada
di "dunia kecil" yang masih mempunyai aturan hidup sendiri. Desa Kanekes ini
luasnya sekitar 5000 Ha. Terdiri dari tanah perkampungan dan pertanian (2000 Ha),
serta sisanya tanah tutupan (hutan lindung). Ada 46 kampung Baduy, termasuk tiga
kampung tangtu, Baduy Dalam.
Leuweung kolot sudah kami tinggalkan. Pohon-pohonnya tidak terlalu besar,
tapi cukup rapat. Kami mesti hati-hati ketika menyusuri jalan setapak yang ditutupi
akar-akaran. Atau juga menyusuri aliran air yang berbatu-batu. Serba licin dan
berlumut.
Beberapa kampung panamping, Baduy Luar, kami lewati. Di kampung-
kampung Baduy, pada siang hari penduduknya pergi menggarap ladang atau mencari
kayu bakar. Paling-paling wanita tua dan bocah-bocah saja yang tinggal di rumah.
Tapi untuk menjaga keselamatan kampung diserahkan pada petugas ronda.
Orang panamping sudah termasuk yang mau menerima kebudayaan modern.
Hal-hal yang ditabukan seperti radio, pakaian yang lebih dari dua warna (hitam dan
putih), peralatan dapur dari gelas dan logam, memakan binatang berkaki empat, sudah
merasuki keseharian mereka. Tapi apa pun perubahan yang terjadi di sini,
kesederhanaan masih terpancar jelas di wajah-wajah mereka. Kesederhanaan dalam
pola pikir dan hidup.
Walaupun mereka sudah meninggalkan tradisi leluhur, yang masih
dipertahankan oleh saudara-saudara mereka di tiga tangtu; Cikeusik, Cikartawana,
dan Cibeo, mereka tetap tidak rakus. Mereka cuma memenuhi sekadar kebutuhan
hidup saja. Kesederhanaan itu bukanlah dikarenakan oleh ketidakberdayaan ekonomi,
melainkan ajaran hidup yang dianut. Bagi mereka kesederhanaan merupakan
kewajiban yang harus diwujudkan dalam kegiatan sehari-hari.
Berbeda memang dengan orang tangtu. Mereka berupaya memenuhi
kebutuhan hidup dan ekonominya di bidang pertanian secara tradisional. Mereka
bertani dengan sistim slash and burning, berpindah-pindah dalam siklus sekitar 4 -6
tahun, karena secara tradisi perputaran kembali ke ladang semula harus terjadi dalam
jangka waktu yang ganjil. Jika mereka berpindah ke tempat yang lain, peremajaan
hutan sudah dilakukan. Menggarap lahannya pun tanpa cangkul, tapi menggunakan
arit, karena buat mereka bumi tidak boleh "dilukai".
Persis tengah hari kami sampai di Cikeusik. Yang paling menarik, sebelum
memasuki tangtu, di setiap utara kampung selalu ada leuit. Pada tiang-tiangnya dibuat
lempengan papan seperti piring. Gunanya untuk mencegah tikus nakal naik ke
lumbung.
Aku terperangah, begitu memasuki kampung tangtu pertama ini. Rumah-
rumah berdinding anyaman bambu ini masih serba baru dan ada sisa-sisa bekas
kebakaran. "Agustus 1993 lalu, kampung ini kebakaran," Yanto menerangkan.
"Semua rumah musnah dilumat api!" sambung Eri.
"Kecuali rumah puun," Nana menunjuk ke titik selatan dan agak terpencil.
"Rumah puun memang kebal!" seseorang berdecak kagum.
"Puun 'kan orang sakti!" tambah yang lain lagi.
Aku mencoba berpikir rasional. Rumah puun letaknya di selatan, kondisi
tanahnya lebih tinggi, dan cukup jauh dengan rumah penduduk. Maka wajar kalau
tidak terjilat api. Kalau memang ada faktor-faktor di luar logika, entahlah itu. Tapi
aku harus percaya pada kenyataan sejarah yang ada, bahwa orang-orang natural; yang
menganggap "alam sebagai bagian hidup", selalu punya kekuatan gaib.
Nana menyambung bahwa mereka punya filosofi hidup, "Bumi haruslah
dipelihara. Jangan disakiti." Itulah sebabnya rumah-rumah mereka tidak
menggunakan paku. Antara tiang-tiangnya cuma diikat dengan akar-akar pohon dan
atapnya bukan dari genteng, yang bahan bakunya diambil dari bumi, tapi dari daun
kelapa. Serta dindingnya dari bilik, anyaman bambu. Air sungai pun tidak boleh
dicemari oleh limbah kimia. Mandi memakai sabun, atau mencuci dengan deterjen
dilarang keras!
Episode 26
Senja di Selat Sunda
Aku menangis menjadi-jadi. Aku pikir inilah kisah hidupku yang tragis
berawal di sini. Kisah-kisah seorang gadis korban perkosaan, yang sering aku baca di
mass media atau di film-film Amerika, sebentar lagi akan terjadi padaku.
"Apa-apaan kamu!" bentak si Brewok. "Kita nggak punya waktu untuk
begituan!"
Si Kumis bersungut-sungut.
Nana memelukku.
"Ayo, ikat lagi mereka!"
Setelah Nana, Yanto mengikatku. Aku tahu dia tidak tega mengikatku
kencang-kencang. Lalu Yanto pun diikat oleh mereka.
Kedua perampok itu dengan gerak cepat mengambil beberapa pakaian dari
ransel. Mencobai satu per satu, sampai dirasa ada yang cocok. Aku kira yang pas
dikenakan mereka adalah pakaian Eri dan Yanto. Tubuh mereka sama tinggi dan
besarnya. Lalu mereka mengobrak-abrik peralatan mandi. Di dalam keremangan
cahaya senter, mereka mencukur habis jenggot dan kumis!
Aku baru menyadari kalau mereka sedang mengganti penampilan. Mereka
menyamar menjadi seperti kami untuk menerobos keamanan. Aku semakin yakin
ketika mereka mengambil dompet kami dan memilih-milih mana yang cocok.
"Terima kasih, ya!" kata mereka tertawa puas meninggalkan kami. Dengan
ransel di punggung, penampilan mereka jauh dari perkiraan buruk. Mereka kini tak
ubahnya seperti para petualang seperti kami.
"Aduh, ranselku masih baru, tuh!" Yanto memaki, karena ranselnya diambil
perampok.
"Punyaku juga!" Aris menggerutu.
"Ransel lagi diributin!" Rini berteriak kesal.
"Pikirin nih, gimana ngebuka tali!" teriaknya lagi.
Eri meronta-ronta. "Kenceng amat sih ngiketnya, To!" katanya pada Yanto.
"Si Amat aja nggak kenceng-kenceng!" dia mencoba melucu.
"Nggak ada waktu buat ngelucu, tau!" Yayah kini buka suara. "Kapok aku,
kapok!" jeritnya.
"Tolong, toloong!"
"Berisik amat, sih!"
"Diem kenapa, sih!"
"Lagian siapa yang ngedenger?"
Aku cuma menggelengkan kepala. Dalam keadaan darurat begini, mereka
masih bisa adumulut. Aku kehabisan kata-kata. Aku cuma memejamkan mata, karena
sudah terbebas dari hal yang paling buruk tadi.
"Mendingan sekarang tidur ajalah," Eri mengusulkan. "Besok pagi pasti ada
orang Baduy ke sini."
Aku mengiyakan usul Eri tadi. Aku sentuh tubuh Nana. Aku lihat Nana pun
mengangguk. Kami akhirnya mencoba untuk pasrah; tidur meringkuk dengan tangan
terikat, menunggu sampai matahari terbit.
Kami semua terjaga begitu suara pintu berderit. Mata kami terpicing, karena
cahaya terang dari pintu menyilaukan mata. Seorang lelaki Baduy berdiri memandang
kami dengan perasaan heran. Beragam suara pun berlompatan dari mulut kami.
Kehidupan mulai membias lagi di wajah kami.
Aku mengucap syukur dalam hati. Pertolongan pun akhirnya datang. Lelaki
Baduy ini seperti sudah paham apa yang terjadi. Dia menyuruh kami untuk berkemas.
Kami mengikutinya menuruni bukit dan menyeberangi sungai kecil. Beberapa kali
kami naik-turun bukit, lalu sampai ke panamping Kadu Keter. Kampung ini adalah
pos terakhir jika kita masuk lewat pintu utara.
Beberapa petugas keamanan dari Rangkasbitung menginterogasi kami. Ketika
kami menceritakan tentang kejadian semalam, para petugas itu tersentak. Mereka
memang sudah mendengar rombongan kami lewat handy talky, yang sudah
menangkap salah seorang dari ketiga perampok itu di wilayah selatan.
"Semalam dua orang dari kalian sudah keluar dari sini," seorang petugas
mengabarkan. "Mungkin mereka sedang menuju Rangkas sekarang."
"Mereka bilang terpisah dari rombongan," kata petugas yang lain. "Malam tadi
kami sedang ada di lapangan. Orang Baduy 'kan nggak bisa membaca surat
keterangan mereka," tambahnya.
"Aduh!" Eri memaki.
"Mereka perampok-perampok itu, Pak!" seru kami.
Para petugas itu memang sudah terkecoh. Mereka langsung mengirim kabar
lewat hatong ke Ciboleger. Mereka masih yakin, bahwa di Rangkas kedua perampok
itu akan dibekuk.
Tapi perjalanan buatku belum selesai. Masih satu jam perjalanan lagi untuk
keluar dari wilayah Kanekes. Masih banyak tanjakan yang harus aku daki sebelum
sampai di Ciboleger.
Tengah hari kami tiba juga di base camp. Kami terpaksa bermalam di sini,
karena kendaraan ke Rangkas cuma di pagi hari saja. Kami bermalam di rumah Pak
Askari, seorang penduduk yang sudah biasa menampung wisatawan nusantara yang
akan pergi ke Kanekes. Bahkan bapak berputra lima ini suka jadi guide amatir.
Tak ada yang kami kerjakan selain bermalas-malasan. Aku lebih suka duduk
menyendiri. Kadang kala kejadian semalam membayangi terus. Memberati pikiranku.
Kalau sedang begini, aku jadi ingat rumah; Papa, Mama, dan Robby.
"Ngeganggu?" Nana duduk di sebelahku.
Aku mencoba tersenyum.
"Sudah rindu Yogya?" Nana menyebutkan tanggal kepulanganku, yang tinggal
empat hari lagi.
Aku mengangguk. "Kamu ikut pulang dengan aku 'kan?" aku berharap.
"Eri mengajakku melihat senja di Selat Sunda," suaranya perlahan.
"Untuk apa?" aku keberatan, karena akan pulang sendirian.
"Eri memintaku untuk yang terakhir kali."
"Nanti malah menjadi beban kamu."
"Aku belum selesai ngomong."
"Pokoknya aku nggak mau pulang sendirian."
"Aku bilang tadi, Eri mengajakku. Aku 'kan nggak ngomong, bahwa aku mau
diajak Eri."
"Berarti kita pulang sama-sama 'kan!"
Nana mengangguk.
"Kamu sudah siap kehilangan dia sekarang?"
"Sejak dia pergi meninggalkan aku, sejak dia nggak pernah ngirim surat lagi,
aku sudah siap untuk kehilangan dia."
Episode 29
Senja di Selat Sunda
Selesai
ratu-buku.blogspot.com