Anda di halaman 1dari 5

December 11, 2019 kalamkopi Kalamsastra, Uncategorized

Sopir dan Maut


Oleh Nur Azis

Napas Mario terengah-engah, tangan dan kakinya gemetar, setelah hampir satu jam berada di
atas atap, mengganti genting yang bocor. Padahal, hanya ada satu genting yang pecah. Namun
ketika sampai di atas, dia harus mengganti tiga atau empat genting lain. Oh, itu pekerjaan yang
amat berat bagi dia.

Jika membaca cerita Mario itu, barangkali kau akan menganggap dia lelaki tak berguna. Sekadar
mengganti genting pecah, ceritanya sudah seperti tentara hendak berperang saja. Kalau menurut
bahasa anak sekarang, jelas itu lebay. Bukankah itu pekerjaan yang sangat biasa bagi seorang
laki-laki? Lantas mengapa harus dia tulis menjadi cerita yang dramatis?

Kau tahu, setiap cerita yang kautulis nanti akan dibaca ratusan atau bahkan ribuan pembaca.
Meski tidak meninggalkan jejak, seperti komentar atau sekadar like, mereka sejatinya membaca.
Menikmati karya-karyamu. Jadi, tolong usahakan tulislah cerita bermutu. Cerita yang mampu
membangkitkan inspirasi bagi pembaca. Cerita yang selalu menjadi kenangan. Seperti cerita
tempo hari, kisah cinta seorang sopir truk dengan mbak cantik penjaga warung.

Tak ada cerita semenarik itu. Kau begitu pintar menggambarkan seorang sopir truk. Padahal, kau
tak pernah menjadi sopir. Bahkan ke mana-mana kau tak pernah naik mobil pribadi bukan? Kau
lebih senang naik motor atau bus atau kendaraan umum lain. Katamu, kepalamu mendadak
pusing jika naik kendaraan yang bagus. Apalagi kendaraan yang dibeli dari hasil korupsi. Kau
punya semacam insting, hingga kau akan mual dan muntah.

Cerita sopir truk itu sama persis denganku. Aku malu saat membacanya. Wah, bagaimana jika
cerita itu dibaca istriku, anakku, mertuaku, atau penjaga warung makan itu? Kau memang pintar.
Apalagi cerita saat sang sopir rela membayar berapa pun demi bisa mencium pipi si penjaga
warung itu. Wah, benar-benar mirip sekali. Kau memang hebat.

Seharusnya tema seperti itu yang kautulis. Agar para istri tidak melulu menuntut sang suami
membelikan ini dan itu. Agar mereka, para istri, juga tahu perjalanan mengantar barang dari sini
menuju ke luar pulau itu bertaruh nyawa. Harus membayar pungutan di setiap pemberhentian,
memperbaiki mesin rusak di tengah hutan, dipalak oleh pencoleng sekitar, tabrakan, dan segala
macam ancaman.

Itu, itu yang seharusnya lebih kautekankan. Jika soal perempuan penjaga warung itu, aku sih
tidak munafik. Memang iya, aku mengakui. Namun ibarat menonton televisi, itu ibarat iklan saja.
Bersifat sementara, pengusir penat dan lelah.

Asal tahu saja, aku juga tidak pernah sejauh itu. Ya, paling hanya cium pipi. Tak lebih.
Meskipun mereka sering kali memancing-mancing. Namun aku tak mau mengkhianati kesetiaan
istriku di rumah. Dia perempuan yang baik. Meskipun cerewet minta ampun. Apa-apa dia
komentari. Apa-apa selalu saja salah di matanya. Namun dialah perempuan paling penurut.
Apalagi pas di atas ranjang.

“Maaf, Mas, jika sejak tadi aku bicara terus. Jika diam, aku takut mengantuk. Bahaya bukan?”

“Tidak apa-apa, Kang Bardi. Saya malah senang. Makin sampean banyak bicara, itu berarti saya
mendapat banyak inspirasi.”

“Wah, jangan begitu, Mas. Inspirasi apa? Memang ada inspirasi dari seorang sopir seperti aku?
Bahkan di sekolah anakku, saat ditanya apa cita-cita mereka saat besar nanti, tak ada Mas yang
ingin jadi sopir truk antarprovinsi.” Aku tertawa. Bukan karena lucu, melainkan karena ingin
menertawakan pekerjaanku saja.

Jika ada Hari Guru, ada Hari Buruh, ada Hari Pahlawan, dan hari-hari lain, lantas kenapa tidak
ada Hari Sopir? Padahal, profesi sopir jelas tak kalah bermartabat dari profesi lain. Bayangkan,
siapa yang mengantar semua barang yang diperlukan sehari-hari? Ada beras, minyak, gula, sapi,
kambing, dan semua kebutuhan manusia. Sopir! Ya, kami inilah yang mendistribusikan semua
barang kebutuhan manusia itu.

Seharusnya profesi kami dilindungi. Bukan malah dipalak di setiap tempat pemberhentian.
Memang pendapatan kami berapa? Jika sudah dipotong pihak ekspedisi, beli solar, rokok, kopi,
makan, termasuk tips untuk mbak penjaga warung, sisa berapa? Sisa tak seberapa itulah yang
dinanti-nantikan istri kami di rumah.

“Mas, kita nanti berhenti dulu di Rumah Makan Sederhana, baru setelah itu kita lanjutkan
perjalanan.”

“Oh, siap, Kang.”

“Eh, Panjul, bangun!” Aku membangunkan Panjul, kernetku, yang duduk di ujung, di samping
Mas Nasir, yang selama perjalanan terus terlelap. Mungkin dia kecapaian, karena usai mengganti
ban belakang.

“Kita sudah sampai. Kerja kok tidur melulu.”

“Iya, Pak. Ini sudah bangun,” jawab Panjul setengah sadar.

Dan kau hanya tersenyum melihat Panjul yang tampak setengah sadar. Mulutnya selama
perjalanan terus menganga, sehingga air liurnya menetes hingga membasahi baju. Aku tahu, kau
merasa tak begitu nyaman dengan baunya. Memang begitu, Panjul paling malas mandi. Maka tak
ada satu pun perempuan penjaga warung yang mau dengan dia. Kecuali, dia mau memberikan
semua upahnya.

Kita sudah sampai di rumah makan. Istirahat sejenak. Sekadar melepas lelah, sebelum
melanjutkan perjalanan lebih panjang. Perjalanan melalui hutan Sumatera. Kanan-kiri adalah
pepohonan. Jalanan sepi, naik menanjak, dan turun menerjun adalah medan yang akan kita lalui.
Namun tenang saja, kau tak perlu khawatir. Kami, para sopir, sungguh sudah menyerahkan nasib
kami pada Sang Pencipta.

Sampai di rumah makan, Panjul segera menuju ke kamar mandi. Mukanya terlampau kusut. Dan
barangkali, sudah sejak tadi dia menahan kencing. Dia memang tak pernah berani minta izin
untuk sekadar buang hajat, kecuali aku menawari.

Dan kau duduk di meja dekat colokan listrik. Seperti biasa kau buka laptop itu. Sambil
menikmati menu yang kaupesan, kaulanjutkan kegiatan mengetikmu. Entah apa yang kautulis.
Aku juga tidak tahu. Namun semoga saja kau tidak melanjutkan cerita tentang Mario, laki-laki
penakut yang hanya mengganti genting pecah saja tidak berani.

Lebih baik kautulis saja cerita tentang Neng Mariska, perempuan berbadan sintal yang malam ini
sedang menemaniku. Kau bisa menulis tentang pengalaman hidupnya. Bagaimana dia bisa
sampai di tempat ini. Bukan paksaan. Namun lebih karena keterpaksaan.

Cerita klasik, ditinggal pergi suaminya bersama perempuan lain. Terpaksa membanting tulang
demi memenuhi kebutuhan hidup bersama kedua anaknya. Tak mudah mendapatkan pekerjaan
pada usia itu. Apalagi tak memiliki bekal pendidikan yang mumpuni. Ya, hanya dengan
melakoni pekerjaan seperti inilah dia bisa bertahan hidup. Dan membiayai pendidikan kedua
anaknya.
Atau jika tidak tertarik juga, kau bisa menulis tentang rambutnya yang panjang dan berwarna
kecokelatan. Atau tentang bibirnya yang merah merekah atau tentang… ah, jangan, jangan
kautulis tentang itu. Lagi-lagi aku takut jika sampai dibaca istri atau anak-anakku. Dia tak boleh
membaca cerita yang seperti itu. Bisa runyam nanti.

Kau teruslah menulis. Bukankah itu alasanmu ikut aku. Katamu, ingin mengetahui kehidupan
seorang sopir sepertiku. Setiap kali kuceritakan, katamu tak cukup. Kau selalu ingin merasakan
langsung. Ingin mengalami langsung perjalanan dari Jepara menuju ke Lampung.

Sebenarnya aku ingin juga kau mengalami hal ini. Seperti ini, saat Neng Mariska memijat
seluruh tubuhku di bilik yang sempit dan remang-remang ini. Namun tidak usahlah. Khusus hal-
hal seperti ini biarlah menjadi cerita yang tak perlu kautulis di laptopmu itu.

Hampir tiga jam kita habiskan waktu di tempat istirahat itu. Saatnya kita lanjutkan lagi
perjalanan. Tolong catat, inilah perjalanan yang menurut banyak sopir perjalanan akhirat.
Mengerikan bukan? Karena memang tak sedikit korban berjatuhan di jalan menanjak itu.

Dini hari kita melanjutkan perjalanan. Kuhidupkan mesin truk yang memuat berton-ton barang
ukiran mebel dari Jepara. Kau duduk di sampingku dan di sampingmu ada Panjul.

“Semua sudah beres, Njul?” Aku memastikan kondisi truk semua terkontrol baik.

“Sudah, Pak. Semua siap,” jawab Panjul meyakinkan.

Sepertinya semua sudah siap. Dan kita langsung melanjutkan perjalanan melintasi jalan lintas
Sumatera menuju ke Lampung.

“Bismillahirrahmanirrahim,” aku mengawali perjalanan dengan membaca basmallah.

Truk berjalan. Ya, seperti itulah truk bermuatan berton-ton berjalan pelan, 20 kilometer per jam.
Kau sepertinya mengantuk. Ah, jadinya tak ada yang mendengarkan ceritaku. Untunglah, Panjul
kali ini mampu terjaga. Memang beberapa kali melalui jalan ini Panjul selalu siaga.

Tak banyak mobil besar berlalu. Ada jarak sekitar lima puluh atau seratusan meter. Dari arah
berlawanan pun demikian. Motor juga demikian, dini hari itu sangat jarang melintas.

Akhirnya kita sampai di tanjakan Tarahan, Jalan Lintas Sumatera Km 21-22, Katibung,
Kabupaten Lampung Selatan.

“Mas, Mas!” Aku membangunkan Mas Nasir.

“Iya, Kang. Maaf tertidur. Kita sampai mana, Kang?”

“Sebentar lagi kita sampai tanjakan Tarahan, Mas. Jalan menurun tajam dan menukik. Nah, nanti
kalau sampai tanjakan itu jangan lupa berdoa sebisanya. Bisa ta, Mas?”

“Misalnya berdoa apa, Kang?”

“Ya apa saja sebisanya.”

“Selawat saja, Mas,” sahut Panjul sok tahu.

“Iya, selawat saja.”

“Siap, Kang”
Sekitar lima puluh meter lagi truk akan sampai di tanjakan Tarahan. Aku tak banyak bicara.
Terus membaca selawat serta doa-doa semampuku. Meski sudah berkali-kali melalui tanjakan
ini, aura keseramannya selalu membuat keringat dingin.

Sepuluh meter lagi. Di belakang, dengan jarak hampir lima puluh meteran, ada truk besar. Di
depan tak terlihat kendaraan melaju. Dari arah berlawanan hanya ada satu truk gandeng. Entah
bermuatan apa. Pandanganku fokus ke depan. Kaki kananku bersiap di atas kopling, sedangkan
kaki kiri bersiap di pedal rem. Tangan kiriku sesekali memegang setir dan sesekali memegang
tuas pengganti gigi.

Truk melintasi tanjakan Tarahan. Jalan itu menurun dan menikung, hingga membentuk sudut
kemiringan 45 derajat. Awalnya truk menurun normal. Aku sesekali menginjak rem dan kopling.
Tuas pemindah gigi aku pindah ke nomor dua atau satu.

Aku menahan napas. Keringat membasahi sebagian wajahku. Tak sempat rasanya sekadar
berkedip. Di depan yang terlihat seperti jurang teramat dalam. Sementara itu aku harus
mengendalikan rem dan kopling truk dengan tepat.

Setelah hampir lima meter melalui turunan tajam itu, tiba-tiba truk lebih kencang. Seketika
jantungku berdegup sangat kencang dan peluh di sekujur tubuh makin deras. Tanganku gemetar.
Kaki kananku menginjak lebih dalam pedal rem. Namun sepertinya tak ada perubahan. Justru
truk makin kencang.

“Astagfirullah!” Aku berteriak.

“Ada apa, Kang?”

“Ada apa, Pak?”

Truk makin kencang, menuruni tanjakan Tarahan yang amat tajam dan menikung. Kufungsikan
rem tangan. Semoga bisa menahan laju kendaraan. Tak berfungsi. Rem tangan juga ambrol. Truk
melaju lebih cepat lagi. Seperti berlomba kecepatan dengan maut.

“Njul, buka pintumu!” Aku perintahkan Panjul membuka pintu.

Panjul membuka pintu. “Sudah, Pak!”

Truk makin kencang. “Astagfirullah, astagfirullah!” Saat situasi itu aku tahu kau sangat
ketakutan. Kau tak berani membuka matamu. Kau benar-benar penakut. Seperti tokoh Mario
dalam tulisanmu.

Makin kencang.

“Kamu loncat, Njul!!!”

“Loncat bagaimana, Pak?”

“Lihat ke samping.”

Saat Panjul menoleh ke samping, aku mendorongnya dengan kaki kiri. Melewati tubuhmu.
Hingga Panjul terjatuh, berguling-guling, entah mendarat di mana.

“Tidak, Kang!” katamu. Tanganmu memegangku erat.

“Jika tidak, kau akan mati. Lepaskan tanganmu!”

Laju truk tak tertahan lagi. Lebih kencang, melebihi laju mobil Formula 1.
“Sekarang!” kataku.

Kau antara takut dan berani. Kau hanya di pinggir pintu. Jelas kau tak berani. Hingga kudorong
dengan kaki kiriku dan kau terjatuh berguling-guling seperti Panjul.

“Ya, Allah!”

Laju truk itu sangat cepat seperti kilat. Tak hanya menuruni tanjakan, tetapi seperti ada kekuatan
besar yang mendorong. Terakhir kuingat, aku sempat mengarahkan kemudi setelah turunan
sangat tajam itu ke arah tanjakan yang dipergunakan bagi kendaraan yang mengalami rem blong.

Aku tak ingat semua. Tiba-tiba aku tersadar di sebuah rumah sakit. Kepala dan beberapa bagian
tubuhku diperban. Tanganku diinfus dan seluruh tubuh rasanya nyeri. Beberapa polisi sudah di
dalam ruangan. Sepertinya ingin menanyakan beberapa pertanyaan, tetapi teman yang satu
melarang.

Syukur alhamdulillah, kau dan Panjul selamat. Meski banyak luka, setidaknya Allah masih
memberikan kita kesempatan berbuat lebih baik lagi.

Di rumah sakit aku melihat surat kabar. Ada foto truk yang aku kendarai berada di atas tanjakan
dengan jurang di bawahnya. Sungguh, Allah masih memberikan kesempatan kepada kita.

Teman-teman sesama sopir banyak berdatangan. Mereka heran. Merasa aneh. Karena memang
jarang sekali ada yang selamat di tanjakan Tarahan.

Jepara, 16 November 2019

– Nur Azis, tinggal di Jepara, Jawa Tengah

Anda mungkin juga menyukai