Anda di halaman 1dari 5

Abadi. Sendiri.

Apa yang sedang kamu lakukan jika kamu bisa hidup panjang? Menyaksikan anakmu
tumbuh kembang? Menantikan kelahiran cucu pertamamu? Cicit pertamamu atau menyaksikan
sebuah pergantian satu era ke era yang lain? Apakah itu semua menyenangkan?

Pertanyaan-pertanyaan di atas agaknya terlontar oleh Sungging Raga dalam buku


terbarunya Apeirophobia. Sunging Raga mungkin sedikit tersenyum kecut saat mendengar
salah satu lagu dari Jikustik – sekarang dipopulerkan oleh Tulus yang berjudul seribu tahun
lamanya --. Sungging Raga menuliskan di kata pengantarnya bahwa ia memiliki rasa takut yang
berlebih pada keabadian atau dikenal dengan istilah apeiropohobia. Setelah saya membaca
kalimat tersebut, pikiran liar saya membayangkan kalau Sungging Raga saat ini sudah hijrah
mendalami agama dan akhirnya berpikir bahwa hidup ini sia-sia jika tidak melakukan hal-hal
yang baik dan pada akhirnya khawatir semakin lama dia hidup semakin banyak keburukan
yang akan ia perbuat. Pernyataan saya mungkin agak benarnya tapi mungkin juga salah karena
dibantahkan olehnya dengan kalimat di kata pengantar buku ini, “Kedua, karena sebagian
cerpen di buku ini adalah semacam tribute bagi seorang musisi yang juga takut dengan
keabadian.” (hal 5).

Saya mengenal Sungging Raga saat karya-karyanya cukup sering bermunculan di


sejumlah kolom cerpen koran minggu berbarengan dengan teman seangkatannya, Guntur
Alam, beberapa tahun lalu. Ditiap karyanya Sungging raga punya ciri khas dalam setiap cerita
yang dibuat, ia selalu menceritakan tentang kereta. Kereta baginya sama seperti senja atau
kunang-kuang bagi Agus Noor yang eksotik, yang punya cerita setiap kedatangannya dan
terakhir ada rasa kehilangan ketika ia melaju pergi. Ciri khas beberapa tahun lalu masih bisa
ditemukan dalam beberapa judul di buku ini antara lain: Arsitektur kesunyian, Cikampek –
Tanjungrasa. Cirahayu dan judul-judul lain yang tentunya kamu harus cari tahu sendiri.

Cerita-cerita yang disajikan oleh Sungging Raga pada buku ini tidak bisa kita temukan
atau kita bandingkan dengan karya dia yang sebelum-sebelumnya. Kita perlu menyiapkan
sebuah keimanan alih-alih ketenangan dalam membaca karena dengan membaca tiap cerita
yang ia tuturkan, kita seperti dibisiki untuk ikut merasakan keheningan, kesunyian, kesendirian
atau sisi gelap dari Sungging Raga. Jika kamu terlalu fokus membaca, saya khawatir phobia
pada keabadian ikut menular kepadamu.
Seperti yang telah disinggung oleh Sungging Raga bahwa kumpulan cerita ini hadir
sebagai sebuah tribute atas musisi Italia yang selama hidupnya penuh dengan kesendirian,
sebagaimana ia rasakan dan ia pun mengemas hampir seluruh cerita dengan memiliki nama
tokoh yang sama, yang membuat pembaca merasa mengenal lebih dalam dengan sosok Salem.
Semua itu membuat pembaca serasa dibawa oleh Sungging Raga ke dalam kamar-kamar Salem
yang sedang menyetel lagu. Di mana setiap kamar yang Sungging buka, kita menikmati alunan
lagu dan lirik yang berbeda tapi penuh dengan nuansa kemurungan tentunya.

Kamar Pertama

Cerpen pertama di buku ini, Sungging Raga menyajikan cerita berjudul “Selamat, aku
membencimu”. Keliaran imajinasinya mampu mengantarkan bahwa kita tidak perlu khawatir
dengan orang-orang yang membenci kita. Kita tidak perlu takut dengan perasaan-perasaan
bersalah jika ada orang yang membenci kita. Dia menyampaikan pesan bahwa jadilah diri
sendiri hingga yang membenci kita pada akhirnya adalah orang-orang yang sebenarnya kita
benci. Kalimat yang sulit? Tapi apa yang coba disampaikan dari cerita pertama ini, menurut
saya sebuah bentuk ketidakberdayaan tokoh Salem atas hidupnya yang selama ini dijalani yang
diperkuat dengan tutur berikut, “Lelaki itu lalu berdandan, disemprotkannya pengharum
ruangan ke bajunya seperti biasa. Ia pun bersiap pergi dan mengucap harapan seperti
biasa.”Satu hari lagi dalam hidupku yang tidak pernah berarti apa-apa,” katanya.” (hal.16)

Kamar selanjutnya

Selesai membawa kita ke kamar pertama, Sungging Raga kembali menuntun kita sebagai
pembaca untuk ke kamar selanjutnya. Di kamar ini Dia akan mempertemukan kita dengan
Nalea – nama tokoh kedua yang seringkali muncul di setiap cerita selain Salem --. Kamar ini
berjudul “Kutukan Medusa”. Sebuah cerita yang teinspirasi dari judul lagu yang sama.
Diceritakan bahwa Nalea adalah seorang anak yang dibuang oleh Sukiyah karena hasil
pergumulan dia dengan seorang dukun. Namun, dukun tersebut tidak mau mengakui ketika
Sukiyah datang untuk memberikan anak tersebut kepadanya. Dukun tersebut mengusirnya dan
mengucap sebuah kutukan pada Sukiyah yang sedang mengandung Nalea. Di dalam cerita ini
Sungging Raga menunjukan kita sebuah cerita surealisme yang terasa lekat dengan kehidupan
kita selama ini. Kehidupan seseorang yang miskin, tidak merdeka atas kehendak-kehendak
yang mereka miliki. Mereka dianggap seperti bukan manusia yang dipakai kemudian dibuang
begitu saja dan semakin terpinggirkan ketika mereka berbuat hal-hal yang tabu atas nama
kepentingan masyarakat umum. Pada akhirnya kutukan dari Sang Dukun membuat warga-
warga yang mengusir Sukiyah hilang satu persatu menjadi ular. Menempel dikepala Nalea
layaknya seorang Medusa.

Kamar berikutnya

Sungging Raga menarik kita keluar dari kamar sebelumnya dan kembali mengarahkan
kita sebagai pembaca ke kamar berikutnya. Ia memasukan kunci kemudian membuka pintu
kamar cerita berjudul “Tidak, Saya sudah dijemput”. Di sini Ia menceritakan Salem kembali
namun sebagai seorang penarik becak. Saya berterima kasih pada Sungging Raga yang telah
membangkitkan memori kecil saya ketika naik becak saat mudik ketika lebaran tiba dan
mungkin anak-anak kita sekarang tidak pernah merasakannya kembali atau tahu becak itu
seperti apa kecuali dari lagu anak-anak yang mereka dengar. Penulis menghadirkan
romantisme antara Salem dengan terminal. Ia akan mendorong becak dan menawarkan jasa
pada penumpang yang turun dari bus dan kemudian memundurknnya kembali ketika mereka
menjawab sudah dijemput. Begitu seterusnya. Kalimat “Tidak, Pak, Saya sudah dijemput”
sudah didengarkan jutaan kali oleh Salem atau mungkin para penarik becak di dunia nyata.

Ketika banyak orang bercita-cita dari a sampai z, Salem hanya berkeinginan satu yaitu
ada orang yang menggunakan jasanya. Jasa yang semakin tergantikan oleh motor dan taksi
yang lebih murah, nyaman dan cepat bahkan sekarang bisa dipanggil dengan menggunakan
jempol. Ketidakkuasan dirinya menimbulkan sebuah pertanyaan empiris yang tidak bisa
dijawab oleh Salem maupun penarik becak lainnya sebagaimana saya kutip dari pertanyaan
Salem berikut, “Mengapa setiap orang yang turun dari bus selalu dijemput? Mengapa
penumpang itu lebih suka meminta keluarganya menjemput di terminal daripada bertemu di
rumahnya? Bukankah terminal lebih cocok untuk perpisahan daripada pertemuan?” (hal 105-
106).

Membaca keseluruhan cerita dari Sungging Raga di buku barunya ini, kita seperti
disuguhkan sebuah pilihan kamar mana yang ingin kita tempati. Ia paksa kita untuk
menikmatinya juga dan ia berhasil. Berhasil membawa pembaca duduk bersebelahan
dengannya. Mengamini kesedihannya, kesendiriannya dan sisi gelapnya. Mungkin sisi gelap
kita juga.
Data Buku

Judul : Apeirophobia

Penulis : Sungging Raga

Penerbit : Basabasi

Terbit : Cetakan I, April 2018

Tebal : 194 halaman

A. Mulyana seorang karyawan swasta kelahiran 1996 yang sekarang tinggal di bilangan
Tangerang Selatan. Bisa dihubungi di nomer 087858664524 atau akun twitter @ad_muly
dan honorarium dapat ditransfer di bank BCA atas nama Adit Mulyana dengan nomer
rekening 4060877349.
Dokumentasi Pribadi

Anda mungkin juga menyukai