Anda di halaman 1dari 8

Camar Biru: Cinta Tak Selalu Tepat Waktu

by Nilam Suri

Ini cerita tentang sebuah bujursangkar, yang dulu pernah begitu solid namun kini terpecah karena sebuah tragedi.

Ini cerita tentang Nina, salah satu sisi bujur sangkar yang tersisa. Sang putri gulali dengan warna pastel yang
berubah jadi manusia kelabu berhati biru. Nina yang hidup dalam kurungan kenangan masa lalu. Nina yang
sekadar "bertahan" untuk hidup namun juga ingin menghilang.

Ini juga cerita tentang Adith, sisi lain yang tersisa dari bujur sangkar. Adith memang bukan pangeran tampan
berkuda putih-nya Nina, tapi Adith adalah pangeran yang selalu setia di samping Nina. Adith yang tidak
membiarkan Nina menghilang.

Berawal dari pemenuhan sebuah janji yang terucap sepuluh tahun lalu, kini Adith dan Nina belajar untuk
memaafkan masa lalu, berani menapak masa depan dan menerima satu sama lain dalam hati masing-masing.

Pertama kelar baca buku ini, saya bengong sesaat. GIMANA CARANYA BIKIN REVIEW BUKU INI SECARA FAIR
TANPA CURCOL???

Well...anyhoo this is my attempt. Mudah-mudahan sih fair dan gak jadi curcol. Dan mudah-mudahan juga gak ada
spoiler. Tapi kalo pun iya, you've been told before :p.

Satu, saya suka sama penggalan lagu-lagu yang ada di tiap bab, fits my taste. Terutama buat lagu "Paint It
Black"nya The Rolling Stones yang pernah jadi soundtrack hidup saya dan "Blackbird"nya Beatles yang masih
menjadi soundtrack saya.

Dua, saya kurang nyaman dengan gaya bahasa loe-gue yang dipake di buku ini. Saya ngerti kalo percakapan antar
tokoh pake gue-loe, ato ketika yang bernarasi adalah tokoh pria, tapi saat semua tokoh menggunakan gue-loe,
maka yep...saya terganggu.
Dua, saya kurang nyaman dengan gaya bahasa loe-gue yang dipake di buku ini. Saya ngerti kalo percakapan antar
tokoh pake gue-loe, ato ketika yang bernarasi adalah tokoh pria, tapi saat semua tokoh menggunakan gue-loe,
maka yep...saya terganggu.

Tapi saya salut. Walopun pake bahasa gue-loe, percakapan antar tokoh di buku ini berbobot. Bahasa ringan yang
digunakannya membuat pesan yang ingin disampaikan jadi "kena". Saya juga suka analogi-analogi yang
digunakan oleh Nilam. contohnya percakapan mengenai Dufan berikut ini :

"Lo tahu nggak kenapa gue bilang tempat ini sebagai tempat kebahagiaan semu?" "Karena menurut gue, orang -
orang yang sedang menaiki wahana ini sebenarnya sedang setengah mati ketakutan. Mereka sebenarnya sedang
setengah mati ketakutan dan berusaha menutupinya dengan tawa."

Tiga, masih soal gaya bahasa. Sama kayak mas Tomo, saya nggak ngerti kenapa Sinar membahasakan diri dengan
"saya" ke Nina. Mereka sangat akrab bukan? Kenapa nggak pake "gue-lo" aja? Ato paling nggak "aku-kamu" lah.
"Saya" itu kesannya resmi banget untuk seorang istimewa yang dikenal selama 20 tahun lebih.

Empat, saya nggak nyaman dengan multi POV yang dipake buku ini.
Don't get me wrong. Saya suka kok baca cerita yang pake POV 1 ato POV berapa pun itu. Saya juga suka kalo
cerita pake multiple POV 1 yang membuat setiap tokoh utama ber-narasi seperti yang terjadi di Perfect
Chemistry-nya Simone Elkeles ato Antologi Rasa-nya Ika Natassa. Fine with that.

Tapi ketika sebuah buku mengambil multiple POV 1 lalu beralih ke POV 3 dan balik lagi ke POV 1, then I have a
problem with that. Penulisnya berasa Tuhan yang bebas mengatur nasib para tokohnya.

Lima, sama seperti sebagian besar reviewer, saya juga gak suka dengan bagian epilog itu. Cerita ini akan lebih
nendang kalo ditutup di bab sebelum epilog. I prefer a story that tied with a red ribbon but not too tight please.

Enam, saya suka dengan analogi asap rokok di buku ini.

"Gue selalu percaya permintaan itu akan dikabulkan kalau dia bisa terbang semakin tinggi, nggak tahu kenapa.
Mungkin kalau dia semakin tinggi, dia akan semakin mudah didengar. Karena nggak mungkin gue harus terus-
terusan naik pesawat setiap kali punya permintaan, jadi jalan lainnya adalah dengan asap."

Seseorang juga pernah mengajarkan hal serupa pada saya. Namun bukannya menggunakan rokok, beliau
menggantinya dengan balon gas. Saya sempat lupa dengan ajaran tersebut dan membaca bagian asap rokok
membuka kenangan saya akan beliau. Thank you, Nilam, for bringing back that sweet memory.

Tujuh, uhm...jujur...saya kurang suka dengan covernya. Cantik sih, tapi gak secantik cover Gagas lain. Emang cover
designer-nya bukan favorit saya ternyata.
Tapi itu gak penting.
Yang penting adalah : kok gambar yang ada di cover itu bangau kertas biru sih? Kan judulnya camar biru?
#SebenernyaIniJugaGakPenting
Apa karena Gagas gak punya stok gambar camar kertas biru? Ah enggak kookk. Halaman dalam buku ini dipenuhi
gambar camar kertas

Delapan, bosen rasanya harus bilang ini lagi dan lagi *sigh*, tapi saya gak suka banget deh dengan blurb di buku
ini. Tipikal Gagas banget sih yang suka kasi blurb sok puitis berisi curahan hati salah seorang tokohnya tapi gak
bakal dipahami maksudnya sama orang yang belum baca novel ini (Dan kenapa bahasa gw ribet giniii??)

Jujur aja, kalo saya lagi di toko buku, ngeliat cover buku ini dan baca blurb di back cover, saya gak bakal tertarik
beli buku ini. Blurb-nya gak menjual. In fact, yang bikin saya ngeh sama buku ini adalah nama penulisnya dan
review Mas Tomo.

Sembilan, hmm...twist di buku ini sebenarnya udah ketebak bahkan sejak awal. Dari sejak bab 5 ketika Nina
bernarasi seperti ini :

"Dengan tetap menyisihkan malam penuh kabut lainnya, kabut mengerikan, yang juga dari sepuluh tahun lalu.
"Dengan tetap menyisihkan malam penuh kabut lainnya, kabut mengerikan, yang juga dari sepuluh tahun lalu.
Alasan sebenarnya kenapa gue membiarkan Adith membuat sumpah konyol itu, dan alasan kenapa gue
menyetujuinya sekarang."

Lain kali coba clue-nya jangan ditaro sejak awal buku, mbak Nilam. Jadinya ketebak. Akan lebih bikin penasaran
kalo cuma tokoh Adith aja yang berprasangka dan menebak-nebak sendirian. Biar pembaca (saya sih tepatnya)
ikut menebak bersama Adith.

Sepuluh, saya suka dengan chemistry antar tokohnya, terutama chemistry Adith-Nina. Kerasa banget transisi
perasaan mereka dari sahabat lama yang kemudian belajar membuka hati. Saya suka gimana Nilam perlahan
membangun chemistry mereka hingga keduanya sadar bahwa mereka butuh yang "lebih" dari hubungan mereka
selama ini.

Sebelas, saya berharap buku ini bisa lebih tebal sehingga Nilam bisa mengeksplorasi karakter Nina lebih dalam.
See...Nina has some wrecked past yang mengubah karakter keseluruhannya. Saya berharap Nilam bisa
menggambarkan perasaan dan trauma Nina lebih dalam lagi, tentang bagaimana dia mengatasinya atau
bagaimana perjuangan dia untuk menerimanya.
Tapi saya juga paham kok perjuangan psikologis Nina bukanlah topik utama kisah ini. Dan saya juga paham kalo
279 halaman tidaklah cukup untuk mengeksplorasi hal tersebut, belum lagi ditambah cerita tentang Adith-Nina di
masa sekarang.

Dua belas, saya suka analogi persahabatan bujur sangkarnya. I know it so well.

Saya pernah punya sebuah persahabatan seperti itu dalam hidup saya. Sebuah dekagon yang begitu solid dan
bertahan 20 tahun lebih.
Tapi 2x campur tangan Thanatos dan sebuah "persilangan hati" meretakkan dekagon kami.

Beberapa memilih seperti Sinar, yang pergi menjauh namun tak bisa benar-benar lepas dari jaringan sisi dekagon
yang tersisa.
Beberapa seperti Nina yang berusaha keras mempertahankan apa pun yang tersisa dari sebuah ikatan yang sudah
retak, mengubahnya jadi oktagon bila perlu.
Saya?
Saya seperti Adith yang hanya diam dan menikmati sisi mana pun yang tersisa dari dekagon kami. Sama seperti
Adith, saya tak berusaha menjauh, namun juga tak berusaha merekatkan apapun.
Dan karena itu, I feel Adith. Saya ngerti concern-nya ke Nina, juga rasa pahitnya pada Sinar yang memilih pergi.

Tiga belas, saya suka kalimat ini dari halaman 269 :

"Kadang, saat kita nggak mampu melepaskan orang yang terlalu kita cintai, berarti kitalah yang harus pergi.
Mungkin membalikkan badan dan berlalu lebih mudah dibanding berdiri diam menatap punggung seseorang
(atau dalam kasus gue, menatap batu nisan) yang berjalan menjauh."

I did that once.


Sayang saya gak seberuntung tokoh-tokoh dalam buku ini. Karena saat kembali, saya masih terjebak dalam same-
old-brand-new problem. Should I go again? (woooiii....kok jadi curhat wooiiii? XD)

Empat belas, saya mempertanyakan maksud kalimat yang ada di halaman 4 : "Si Kunyuk itu pecandu kopi akut dan
cuma mau kopi Sumatra-nya Starbucks".

Apa maksud "akut" pada kalimat di atas? Apakah Si Kunyuk baru-baru ini saja suka kopi? Ah nggaaakk kookk. Dari
ceritanya jelas ditunjukkan Si Kunyuk sudah lama suka kopi.
Mungkin maksud Nilam adalah "kronis"?
Ato mungkin maksud Nilam, Si Kunyuk adalah pecandu kopi kelas berat?
Apa sih makna "akut" yang dimaksud?
Apa sih makna "akut" yang dimaksud?

Dan kenapa saya segitu bawelnya sama satu kata doang?

Simpel sih, karena saya liat banyak banget penggunaan yang salah pada kata "akut". Entah kenapa banyak yang
berpikir "akut" artinya sudah parah. Sehingga saat saya bilang ke client saya kalo penyakit mereka adalah tipe
penyakit yang akut, yang ada mereka jadi pucat dan panik.
Padahal akut kan merujuk pada suatu hal yang baru terjadi. Belum tentu jelek.

Dan sebelum saya salah kaprah sama maksud Nilam, mending saya tanya dulu kan?

Lima belas, kenapa saya kasi bintang 4 untuk novel ini?


Balik ke definisi goodreads dan definisi saya aja. Karena saya suka banget sama buku ini dan bakal saya baca
ulang someday. Terutama kalo saya lagi mood untuk buku ringan yang beraura beautifully sad dan sadly beautiful
kayak buku ini.

Fyuh...finally nemu juga buku terbitan Gagas yang bisa saya sukai dan tidak membuat saya merasa tertipu oleh
covernya.

Enam belas, ini sih buat Sulis doang. Liiisss, ada buku Gagas bagus yang layak masuk koleksi niihh. X)

Udah ah. So far sih cuma 16 point ini yang keingat ("cuma" loe kateee, wiii?"). Kapan-kapan kalo masih ada yang
perlu ditambah, ditambahain aaahh.
Reserved to be edited sometimes later yaaaa #berasaKaskus

=======================================

Gimana caranya nulis review ini tanpa jadi curcol? Hmmm...biarkan mengendap dulu deh|Saya harus
memberitahukan bahwa review ini sangat banyak menampilkan spoiler bagi anda yang sangat benci mengetahui
sesuatu sebelum saatnya. So beware!!! Jika anda termasuk kategori tersebut, segera tinggalkan review ini dan
segera pergi ke toko buku terdekat untuk membeli buku ini. (#titipan promosi dari Nilam) :-).

Pertama harus saya sampaikan, saya kenal dengan penulis buku ini, Nilam, tidak sebegitu dekatnya sehingga
nama saya bisa masuk ke ucapan terima kasih di buku ini, namun juga tidak sebegitu tidak kenalnya sehingga dia
bisa bilang: "Tomo? Tomo yang mana ya?".

Kedua, saya sudah memutuskan semua buku yang dikarang/ditulis oleh teman-teman saya TIDAK akan
mendapatkan review 1 bintang dari saya. Mereka pasti akan mendapatkannya dari orang lain, jadi mengapa saya ,
sebagai teman mereka mesti menambahkan hal tersebut. Jadi sebelum baca, saya sudah memutuskan paling tidak
buku ini akan mendapat 2 bintang.

Ketiga, ternyata saya sangat suka tokoh-tokoh di buku ini. saya juga sangat suka upaya Nilam membuat pembaca
tidak bosan dengan menempatkan 2 POV secara bergantian dan terkadang menyelipkan kejadian masa lalu, misal:
kecelakaan lalu lintas yang dialami sang tokoh wanita, Nina, bersama kakaknya, kejadian masa kecil Nina bersama
Adith di rumah pohon, dsb. dan bahkan ada satu bab yang diperuntukkan e-mail Sinar kepada sobatnya Naren
(alm.) yang secara cerdik mengisi kekosongan pendapat pribadi Sinar, yang selama ini hanya kita ketahui dari
penuturan sang adik (Adith) dan gadis yg memujanya (Nina). Menurut saya aliran cerita cukup lancar, dan
penuturan setiap POV konsisten dengan sifat mereka yg berusaha ditampilkan.

Keempat, Gangguan yang sangat mengganggu saya yang sudah jadi trademark saya adalah saya benci jika buku
berbahasa Indonesia dengan tokoh orang Indonesia mulai berbicara bahasa Inggris. Saya sudah
mengomentarinya di review saya tentang Cintapuccino: http://www.goodreads.com/review/show/...
di butir No. 2. Namun paling tidak di buku ini saya melihat Nilam berusaha tetap konsisten dengan menjadikan
Sinar dan Danish sebagai yg paling sering nyerocos dalam bhs Inggris, lebih karena kebiasaan krn tinggal di LN
dan urusan pekerjaan, dan mungkin sedikit sifat snob mereka. :-) Sedang yang lain hanya terkadang nyerocos dlm
bhs Inggris, hanya utk sekadar menunjukkan "saya bisa bhs Inggris juga lho".
Sinar dan Danish sebagai yg paling sering nyerocos dalam bhs Inggris, lebih karena kebiasaan krn tinggal di LN
dan urusan pekerjaan, dan mungkin sedikit sifat snob mereka. :-) Sedang yang lain hanya terkadang nyerocos dlm
bhs Inggris, hanya utk sekadar menunjukkan "saya bisa bhs Inggris juga lho".

Kelima, saya sangat tidak suka cara Nilam mendzholimi POV pria, Adith. Bayangkan, sudah penampilannya biasa,
kecerdasan juga biasa, 22 tahun harus menanti gadis pujaannya untuk akhirnya memilih dia (setelah 20 tahun
dijadikan "keset"), punya kakak yang sangat ganteng, keren, cerdas. Man! dan yang lebih parah dari 5 tokoh
utama, sepertinya hanya dia yang ditakdirkan menjadi orang biasa. Kejaaam!!!!

Keenam, saya tidak bisa memahami mengapa Sinar selalu membahasakan diri dengan "saya" kepada Nina.
Padahal di situ mereka digambarkan sangat akrab. Saya, sebagai contoh adalah pemakai bhs Indonesia sbg
mother's tongue, karena Ibu saya melarang saya ngomong "gue/loe" dalam kehidupan sehari-hari (shg saya
menyebut "aku" kepada para teman/sahabat, "saya" kepada orang yg dihormati atau belum dikenal atau untuk
keperluan seperti ini (menulis), dan "Tomo" kepada keluarga saya). jadi mengapa Sinar tdk menggunakan "Aku"
atau "Sinar" ke Nina, itu masih jadi misteri buat saya.

Ketujuh, dari seluruh bab di buku ini saya paling tidak suka dengan bab 2 (kalau saya tidak salah) yang berusaha
menceritakan kejadian yang menyebabkan mengapa mereka sampai harus bikin perjanjian seperti itu (perjanjian
seperti yang ada di film My Best Friend's Wedding, namun tentu saja yang terjadi kebalikannya). Adegan itu
begitu kartun, komikal dan apa ya, sehingga menurut saya sangat tidak tepat diceritakan melalui POV orang
pertama. Tapi mungkin ini memang ide Nilam tentang adegan kartun dalam sebuah cerita romance. Kemudian
saya ketika sampai halaman-halaman terakhir sepertinya jadi merasa agak lelah, eh tapi ini mungkin karena faktor
U dan kebiasaan saya membaca komik yang tidak banyak halamannya. hehehe. oke lupakan.

Kedelapan, saya suka cara Nilam menempatkan setiap bab dengan diawali teks/lirik lagu penyanyi-penyanyi
tertentu, yang berusaha menggambarkan kejadian yg akan terjadi bab itu. Penggambaran paling tepat tentu saat
tertulis lagu "Wouldn't It Be Nice" dari Beach Boys, yang menurut saya menggambarkan harapan yang mungkin
menjadi kenyataan. Walaupun tentu saja ada beberapa ada bab yg saya bingung mengapa harus dicantumkan
teks lagu itu.
Tentu saja di sini, Nilam berusaha "pamer" selera musiknya. Semua penyanyi yg ditampilkan adalah penyanyi yg
ngetop namun tidak pasaran. Belle & Sebastian, anyone?:-) Tidak ada penyanyi Indonesia, kecuali Efek Rumah
Kaca (yg juga tdk komersil). Padahal beberapa bab menurut saya lebih cocok jika diawali dengan teks/lirik lagu
lain, misal: lirik lagu "Oops... I Did It Again" dari Britney Spears sangat cocok ditempatkan di bab... hadeh, ini kritik
saya berikutnya, saya tidak menemukan nomor bab di buku ini. Oke nanti saya cek bukunya langsung, sekarang
lagi tidak dibawa. :-)

Kesembilan, saya sangat suka penempatan lagu "To Make You Feel My Love" dari Bob Dylan pada saat adegan
kecelakaan yang menewaskan Naren. Mantap sekali. Apalagi pada saat kecelakaan baru saja terjadi dan
diceritakan lagu tersebut mengalun lamat-lamat. (Tentu saja saya lebih suka versi remake dari penyanyi favorit
saya, Billy Joel, yang menurut saya suaranya lebih jantan dari Bob Dylan, yg menurut saya menyanyi seperti jika...
maaf... "biji"nya kejepit sesuatu). Tapi it's okay, itu masalah selera.
Tapi sayangnya adalah pada adegan itu Naren akhirnya tewas, sayang sekali. Karena saya belum sempat
menanyakan kepada Naren, merek dan tempat dia membeli cd player mobilnya yg sudah terbukti kuat
menghadapi guncangan saat mobil berguling-guling saat kecelakaan. Sayang sekali! :-)

Kesepuluh, sebagai seorang optimist sejati saya tidak begitu suka adanya epilog "2 tahun kemudian" di buku ini.
Harusnya buku ini diakhiri cukup di bab perpisahan di bandara. kita sudah tahu kok pasti Nina akan kembali untuk
Adith. Sepertinya ini atas permintaan dari penerbitnya, eh atau bisa juga bentuk perhatian Nilam terhadap
pesimist reader-nya, eh atau ini pesanan dari suami Nilam (yang tentu saja namanya diawali huruf A --- jadi jelas
kan mengapa Nina memilih Adith dan bukan Sinar :-)). Bisa saja ada sih. Tapi menurut saya ceritanya lebih kuat
tanpa epilog tambahan.

Kesebelas, di akhir pembacaan buku ini saya bingung apakah saya akan memberikan bintang 4 atau bintang 3?
Tapi akhirnya saya memutuskan, bintang 4 saja, lebih karena saya suka banget dengan tokoh2 ciptaan Nilam.
Lelucon mereka sangat sesuai dengan selera saya (Saat Adith bilang ke Danish yg sedang menangis: "make upmu
pasti mahal sekali karena tidak luntur". atau e-mail Sinar ke alm. Naren "kali ini gue bersyukur loe sudah mati, Ren,
dsb). Jadi saya putuskan 4 saja deh. Saya pikir "I really like it", jadi 4 lah bintangnya.
Lelucon mereka sangat sesuai dengan selera saya (Saat Adith bilang ke Danish yg sedang menangis: "make upmu
pasti mahal sekali karena tidak luntur". atau e-mail Sinar ke alm. Naren "kali ini gue bersyukur loe sudah mati, Ren,
dsb). Jadi saya putuskan 4 saja deh. Saya pikir "I really like it", jadi 4 lah bintangnya.

Keduabelas, adegan kecelakaan yg membuat Nina trauma dijadikan salah satu bab. Mengapa adegan
perkosaannya tidak, Nilam? hehehe Mengapa? Mengapa? (#titipan permintaan Aki-Aki penggemar EA). :-)

Review ini ditulis dengan tanpa memegang buku termaksud sehingga tidak bisa dilakukan konfirmasi. Maka jika
saya menemukan kesalahan di kemudian hari, saya akan merevisinya lagi sesuai keadaan sebenarnya di buku
tersebut.

NB:
Tips untuk membedakan apakah anda optimist sejati atau pessimist sejati.
Tonton film Lost In Translation, terutama adegan akhirnya saat Bill Murray membisikkan sesuatu (tidak terdengar
oleh kita, para penonton) kepada Scarlett Johansson.
Jika anda menyatakan bahwa Bill Murray memberitahukan alamat atau nomor telepon atau petunjuk untuk
bertemu kembali dengannya, maka anda adalah "OPTIMIST SEJATI".
Jika anda menyatakan bahwa Bill Murray mengucapkan kata perpisahan dan hiburan, maka anda adalah
"PESSIMIST SEJATI"

|** spoiler alert **


Dari gaya bercerita, sebenarnya ini bukan tipikal novel favorit saya. But, surprisingly, I like it. Really like it. :)

Pengen curhat dulu, hehe. Akhir-akhir ini, saya sepertinya salah membeli novel. Seperti biasa, saya selalu baca
beberapa review di Goodreads baru beli novelnya. Tapi saya sadar, segede apa pun ratingnya, kalau bukan selera,
ya nggak bisa memaksakan diri untuk suka. Dan itulah yang terjadi pada saya. Beberapa novel yang saya baca
akhir-akhir ini bukannya jelek, tapi biasa aja. Saya tipikal pembaca yang suka konflik yang bikin deg-degan atau
heartbreaking-lah--walaupun saya jarang sekali terbawa ketika membaca. Intinya, novel-novel yang saya baca
akhir-akhir ini lumayan aja. Konfliknya ada, tapi melempem. Saya nggak bisa nemu klimaknya. Dan sudah begitu
saja. :(

Jadi ketika saya beli novel ini, saya berharap novel ini bisa bikin saya nggak salah beli buku lagi. Saya kangen kasih
rating 4... Saya kangen kasih rating 5...

Dan, saya nggak salah beli novel. Saya suka novel ini. Saya suka ide ceritanya. Saya suka janji dua sahabat itu--dan
saya selalu suka kisah persahabatan. Saya suka sekali ketika mereka melakukan flashback ketika mereka masih
kecil--kenangan manisnya terasa sekali. Dan meskipun gaya menulisnya menggunakan bahasa sehari-hari, saya
masih merasakan unsur manis, galau, ceria. Dan, konfliknya dapet, nggak melempem. Klimaksnya juga sampai
menyentuh puncak. Meskipun saya nggak sampai terbawa (saya heran kok saya susah sekali terbawa ketika baca
novel), tapi saya sangat bisa memahami perasaan Adith dan Nina. Sangat bisa. Kejadian-kejadian terjadi dengan
alasan yang jelas, nggak ditaruh begitu saja, sehingga saya jadi percaya mengapa reaksi tokoh bisa seperti ini-itu.
Semuanya jelas dan wajar dan penyelesaiannya oke banget.

Dan, endingnya... meskipun saya sudah tahu mereka akan bersatu, tapi saya pengen di ending mereka
mengungkit lagi tentang kenangan mereka, tentang Naren, tentang janji mereka, dan camar biru...

Mengapa saya menyimpan satu bintang lagi, itu karena saya belum menemukan tokoh favorit saya di novel ini.
Dan ketika saya menutup buku ini, lalu melanjutkannya beberapa jam kemudian, saya suka lupa... ini Nina atau
Adith ya yang ngomong? Mungkin hanya saya aja yang merasa 'suara' mereka sama. :p

Intinya, saya sangat menanti novel Mbak Nilam ini dan menanti novel berikutnya. Semoga Mbak Nilam menulis
kisah remaja dan sesuatu yang berhubungan dengan persahabatan. Semoga. :D|Cerita cinta yang berawal dari
persahabatan? Biasa, udah banyak banget novel yang cerita itu. Okay, gue setuju. Namun, tema cinta mana lagi
sih yang belum pernah dituliskan. Jadi buat gue, bagaimana cara penulis menuturkan cerita menjadi penting.
Tema boleh sama tetapi tidak dengan gaya penulisannya. Gue suka dengan cara Nilam bercerita. Begitu santai,
persahabatan? Biasa, udah banyak banget novel yang cerita itu. Okay, gue setuju. Namun, tema cinta mana lagi
sih yang belum pernah dituliskan. Jadi buat gue, bagaimana cara penulis menuturkan cerita menjadi penting.
Tema boleh sama tetapi tidak dengan gaya penulisannya. Gue suka dengan cara Nilam bercerita. Begitu santai,
tidak terlalu terburu-buru dan tapi tidak membosankan, pas. Dialog yang wajar dengan menyelipkan kata-kata
manis di saat yang pas. Karakternya bukan orang yang terlalu sempurna untuk menjadi nyata. Atau berupaya
menjadi karakter anti-mainstream, yah lagi-lagi pas. Intinya, tidak berlebihan.

Semua serba pas. Hingga waktu di mana gue membaca buku ini pun pas. Ada seorang sahabat gue yang
mempunyai cerita yang mirip dengan di buku ini. Apa gue tadi sudah bilang cerita ini memang terasa pas dengan
kenyataa dan tidak berlebihan? Yah, begitulah..begitu pas dengan cerita teman gue. Seorang lelaki yang selalu
ada di samping sahabat perempuannya. Seperti Adith kepada Nina. Mungkin posisi gue sebagai Danish yang
sudah tahu bahwa memang Adith selalu mencintai Nina sejak lama.

Salahkah Nina yang tidak tahu kalau Adith suka sama dia? Yah, menurut gue tidak juga. Memang kadang
seseorang yang terlalu dekat dan sudah terbiasa dengan seseorang. Pandangannya terhadap orang tersebut tidak
lagi jernih, bias. Atau karena Nina memang kurang sensitif? Terlalu egois? Entahlah, tetapi jangan sekali-sekali
memperdebatkan tentang keegoisan. Siapa lebih egois daripada siapa. Semua orang pernah berlaku egois. Yah,
gue percaya itu.

Bahkan dengan mencintai seseorang terkadang merupakan tindakan egois. Lo tidak mau tahu apa seseorang yang
lo cintai itu merasakan hal yang sama atau tidak. Okay, lo tidak apa-apa kalau orang yang elo cintai tidak
merasakan itu. Asal lo mencintainya dan dia mau menerimanya. Menurut gue itu egois. Sama dengan seseorang
yang dicintai tersebut memilih untuk pergi. Jadi masih mau menerka siapa yang paling egois di antara semuanya?
Einstein benar, semuanya relatif. Tergantung bagaimana cara pandang lo.

Nilam, Cinta tak selalu tepat waktu? Kalau menurut gue cinta selalu tepat waktu. Waktu menurut cinta. Bukan
menurut kita. Hanya ego kita yang menyatakan cinta tak tepat waktu. Ah, lagi-lagi ego..

*********************************************************************

Tambahan review setelah abca review orang lain:


1. Gue sih termasuk orang yang suka baca buku dengan POV lebih dari satu. Menurut gue bisa menghindari
kebosanan. Lagipula gue orang yang punya cukup rasa ingin tahu tentang perasaan semua orang.
2. Di tiap awal bab memang ada potongan lagu dari band-band anti mainstream. Mugkin kalau bacanya sambil
dengerin lagunya bakal oke banget. Yah, entahlah. Kalau gue sih sambil dengerin lagu-lagu mellow-nya Sara
Bareilles. Enak juga, malah kadang bikin suasana tambah mellow yellow. Sigh..|Seperti yang semua orang tahu,
saya adalah penggila romance. Terutama contemporary romance yang light, gaya tulisannya kayak bahasa sehari-
hari, nggak mellow/sendu/sedih/galau dengan penulisan yang terlalu puitis dan nggak berusaha supaya quotable
banget. Sayangnya, contemporary romance Indonesia yang bagus dan memenuhi kriteria saya, jarang ditemukan
(atau saya kurang usaha nyarinya? Ya pokoknya gitu lah...). Ketika saya tahu bahwa Nilam menerbitkan Camar Biru,
tanpa ekspektasi apapun saya langsung beli.

Dan ternyata saya menemukan satu Indonesian contemporary romance yang saya suka. Huehuheu... Mulai dari
gaya bahasanya, setting, percakapan, dan segala hal yang berkaitan dengan kehidupan riil yang memang dialami
kita semua. Semuanya relatable dengan kehidupan kita.

Ceritanya sendiri tentang sepasang cowok dan cewek yang sudah bersahabat dari kecil dan sepuluh tahun yang
lalu mereka berdua saling berjanji, kalau sampai sepuluh tahun yang akan datang mereka belum nikah, maka
mereka akan menikahi satu sama lain. Eh sumpah deh, pas denger premisnya kayak gini, tiba-tiba saya tertawa.
Bukan apa-apa, tapi saya jadi teringat saya dan sahabat yang pernah melakukan janji yang sama waktu duluuuu...
Pas SMA. Janji yang nggak terpenuhi karena... Ya karena banyak hal.

Dan ternyata memang nggak sesederhana itu. Kedua tokohnya, Adith dan Nina (bukan salah saya kalo namanya
kebetulan samaaaa... Bukan terinspirasi dari saya jugaaaa. Harus ada disclaimer disini) menyadari bahwa untuk
menikah, mereka menghadapi banyak hal yang melibatkan hal-hal besar yang nggak mereka bagi satu sama lain
selama menjadi sahabat. Dan permasalahan mereka berdua (terutama Nina) lebih berat dari pada yang kelihatan.
Padahal yang kelihatan aja udah berat.
menikah, mereka menghadapi banyak hal yang melibatkan hal-hal besar yang nggak mereka bagi satu sama lain
selama menjadi sahabat. Dan permasalahan mereka berdua (terutama Nina) lebih berat dari pada yang kelihatan.
Padahal yang kelihatan aja udah berat.

Diceritakan dengan sudut pandang orang pertama dan orang ketiga secara bergantian bikin horizon dan
perspektifnya lebih luas. Ada kekurangan typo dikit disana-sini cuma masih oke kok. Banyak penggunaan bahasa
Inggris namun buat saya nggak masalah.

Sekali lagi, Good job, Nilam! Ditunggu buku berikutnya!

Anda mungkin juga menyukai