Anda di halaman 1dari 5

March 18, 2019 kalamkopi Opini, Sastra

Menyulut Api Revolusi Kampus


Oleh Ardhiatama Purnama Aji

“Tulisan ini kupersembahkan sebagai ucapan terima kasih dan medium berdialog dengan
kawan-kawanku Rombel Ilmu Sejarah 2C, yang senantiasa berbuat kebaikan.”

Barangkali saya adalah mahasiswa yang aneh, banyak bacot, dan pembuat masalah. Menurut
saya kata-kata tersebut amat lumrah ditujukan untuk saya dan bisa saya mengerti. Iya! Saya
mencoba sebisa mungkin untuk mengerti kalian (baca: aqoeh). Perhaps, I’m really a trouble
maker for (all of) you. Masih segar di ingatan kawan-kawan tentunya, peristiwa di mana saya
secara brutal melayangkan pertanyaan-pertanyaan gatheli saat presentasi sedang kawan-kawan
sampaikan. Tapi hal semacam itu perlu bukan? Agar saya dan kawan-kawan bisa
mempersiapkan presentasi dengan (cukup) baik dan lebih waspada terhadap “serigala” lain.
Hehehehehe.

Baiklah, alinea di atas terlalu “lebay” untuk diucapkan secara eksplisit. Sebenarnya tujuan saya
menulis ini adalah, saya ingin berbagi sepenggal cerita kepada kawan-kawan tentang revolusi
kampus yang saya impikan terhadap para mahasiswa di Negeri Awan. Maka simaklah tulisan ini
jika kawan-kawan berkenan.

Apa Itu Revolusi?


Saya yakin kalian kerap mendengar kata “revolusi” sebelumnya. Lalu, apa yang dinamakan
revolusi itu? Di laman Wikipedia, dijelaskan bahwa revolusi adalah perubahan sosial dan
kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan
masyarakat. Namun banyak dari kita memahami revolusi sebagai perebutan kekuasaan dengan
kekerasan, dan berkonotasikan darah yang menggenang di jalanan, mayat-mayat
bergelimpangan, serta suara-suara pelor yang berdesing.

Gaes, revolusi tidaklah sesederhana itu. Revolusi berbeda dengan pemberontakan rakyat maupun
kudeta, keduanya bersifat tertutup dan tujuannya sangat berbeda dengan revolusi. Revolusi
dilakukan secara masif oleh masyarakat untuk mengubah keadaan struktural, sedangkan
pemberontakan rakyat dilakukan bukan bermaksud untuk mengubah keadaan struktural,
melainkan semata-mata kehendak rakyat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik secara
ekonomis dan kebebasan politis yang lebih luas. Alih-alih dilakukan oleh rakyat dari bawah
secara masif, kudeta hanya bertujuan untuk merebut kekuasaan negara dari pemerintah.

Penyebab Terjadinya Revolusi

Revolusi sendiri dapat terjadi karena dua faktor, yakni pra-kondisi objektif dan pra-kondisi
subjektif. Prakondisi objektif merupakan kondisi riil sosial-politik dan ekonomi yang
menimbulkan ketidakpuasan di masyarakat terhadap penguasa, misalnya: ketidakadilan dan
buruknya kinerja birokrat (khususnya korupsi).

Advertisement

Lalu bagaimana dengan pra-kondisi subjektif? Prakondisi subjektif penyebab revolusi


merupakan pematangan revolusi oleh organisasi-organisasi revolusioner dengan melakukan
langkah-langkah general sebagai berikut: Pertama, menyuarakan kondisi riil masyarakat secara
rinci dan menawarkan program-program politis melalui media massa; Kedua, menarik simpati
rakyat dengan membantu melalui aksi-aksi damai berupa pemogokan dan demonstrasi; Ketiga,
memanaskan suhu politik dengan cara memperjelas polarisasi politik antara penguasa dengan
massa.

Revolusi Kampus

Apakah revolusi di kampus diperlukan, Gaes? Kita harus lebih dulu mempertimbangkan kondisi
yang ada, baik yang dikondisikan oleh dhuwuran, maupun kondisi yang mana resonansi
masalah-masalahnya dapat benar-benar kita rasakan. Kondisi-kondisi tersebut boleh diduga akan
menjadi faktor penyebab revolusi di kampus.

Jika kita mengadopsi makna revolusi kaum sosialis Marxian, tujuan revolusi kampus adalah
menghapuskan kelas-kelas yang memberi jenjang di antara kita, baru kemudian kita melawan
musuh yang sama: ketidakadilan. Pada revolusi ini pula kita akan menguliti pembuat
ketidakadilan dan penindasan di kampus sampai ke tulangnya.

Jelas di dalam kampus saja, ada ketimpangan “modal” antara para aktivis kampus dengan para
mahasiswa “abai”. Aktivis-aktivis kampus jelas memiliki modal yang lebih berupa pemahaman
dan pengetahuan atas persoalan-persoalan yang ada, sedangkan mahasiswa yang abai tak
memiliki banyak akses untuk mendapatkan pemahaman dan pengetahuan tersebut.[1]

Pra-Kondisi Objektif Revolusi Kampus

Dalam konteks ini, otoritas kampus merupakan penguasa yang sedang mengatur dan
menjalankan roda perkuliahan, sedangkan kita adalah mahasiswa yang sedang menggali ilmu di
kampus. Tapi ilmu yang kita gali tidaklah gratis, setiap semester kita (mahasiswa non-bidikmisi)
diharuskan membayar UKT agar bisa melakukan input rencana studi demi mengikuti
perkuliahan pada semester tersebut. Menurut apa yang disampaikan beberapa kawan, beban
UKT yang harus dibayarkan bisa dibilang terlalu berat bagi mereka. Belum lagi mahasiswa yang
masuk ke universitas melalui jalur istimewa, mereka dikenakan uang pangkal yang jumlahnya
mencapai puluhan juta rupiah. Jalur masuk ini bisa saja hanya diperuntukkan bagi segelintir
orang dengan uang berlebih, dan barangkali rasa khawatir apabila tidak diterima di universitas,
membuat para orang tua calon mahasiswa harus berkorban lebih banyak. Apakah hal ini adil?

“Setiap Warga Negara Berhak Mendapatkan Pendidikan”

Pasal 31 ayat 1 UUD 1945

Dalam perkembangannya, persoalan-persoalan di atas tidak lagi kita rasakan resonansinya


karena tertutup oleh masalah-masalah yang dianggap lebih penting, seperti: tugas-tugas kuliah,
kegiatan-kegiatan dalam atau luar kampus, perasaan mengkultuskan nilai, dan hal-hal lain yang
mungkin telah dikondiskian oleh dhuwuran.

Pra-Kondisi Subjektif Revolusi Kampus

Sekiranya prakondisi objektif tersebut belum mampu mencapai domain kepekaan grassroots
(mahasiswa “abai”). Penyebabnya beraneka ragam yakni: mahasiswa tersebut tak ingin mencari
masalah, keadaan ekonomi keluarga menuntut kehidupan yang lebih baik, tindakan represif
otoritas kampus, wacana yang dihegemoni oleh otoritas kampus, dan masih banyak lagi.
Pertanyaan pun muncul, bagaimana cara menghapuskan kedua kelas ini (aktivis kampus dan
mahasiswa “abai”) dan mematangkan revolusi?

Langkah-langkah pematangan yang saya pikirkan (secara garis besar) sebagai usaha-usaha dalam
melakukan revolusi kampus adalah sebagai berikut: Pertama, kita harus membentuk suatu
organisasi revolusioner. Kedua, organisasi revolusioner yang telah dibentuk harus merebut ruang
publik dan meresistensi wacana yang dihegemoni otoritas kampus. Ketiga, distribusi “modal”
(pengetahuan) harus dilakukan secara intensif dan masif melalui cara-cara yang baru, misalnya
diskusi di gazebo sebelum atau setelah kuliah berlangsung serta pendekatan-pendekatan secara
personal. Keempat, organisasi revolusioner bersama segenap mahasiswa melakukan pemogokan-
pemogokan kuliah dan demonstrasi-demonstrasi di kampus. Kelima, mengubah struktur kampus
dan mewujudkan perkuliahan yang egaliter juga adil, serta menciptakan perkuliahan dengan
kebebasan berpikir.
Sejatinya kita perlu memutar otak lagi terkait perumusan revolusi kampus. Masih banyak cara-
cara alternatif baru yang belum kita temukan, cara-cara yang lebih konkret, kontekstual dan
realistis.[2]

“Lenjapkan adat dan paham tua, kita rakjat sadar-sadar. Dunia sudah berganti rupa, untuk
kemenangan kita.”

Penggalan Lagu Internasionale Terjemahan Ki Hajar Dewantara

**

Advertisement

Tentu saja opini saya ini hanyalah imajinasi semata, hanya sepenggal “dongeng menjelang tidur”
yang ingin saya sampaikan kepada kawan-kawan Rombel Ilmu Sejarah 2C yang budiman. Saya
harap kawan-kawan terhibur oleh cerita saya ini. Saya juga meminta maaf atas keangkuhan saya
ketika di kampus, saya harap kawan-kawan memakluminya. Sekian dan terima kasih.

Daftar Bacaan:

Kresna, Arya. 2018. Revolusi: Marxisme Ortodoks vs Komunisme. Bantul: Lintas Nalar.

https://kalamkopi.wordpress.com/2018/07/04/masih-seputar-persebaran-hoaks-di-unnes/

https://kalamkopi.wordpress.com/2018/06/12/hantu-yang-membelenggu-demokrasi-kampus/

https://kalamkopi.wordpress.com/2018/06/15/masalah-uang-pangkal-di-unnes-masalah-
pendidikan-tinggi-yang-neolib/

Catatan Akhir

[1] Persoalan-persoalan ini saya sadari ketika berdiskusi dengan Mas Andre Wibowo (sekitar
pukul 02.00 dini hari, sambil menikmati omelette) di Burjo Boim, Patemon, Gunungpati, Kota
Semarang. (Dank je, Mas Andre Wibowo.)

[2] Perubahan-perubahan pada bagian “Pra-Kondisi Subjektif” saya lakukan agar tak seolah-olah
membatasi cara-cara pematangan revolusi kampus hanya terpaku pada lima poin di atas. (Terima
kasih atas usul dan kritiknya Mas Asep Syaeful Bachri, Mas Taufik Silvan Wijanarko, dan Mas
Nanang Rendi Ahmad. Ik hou van jullie.)
[3] Banyak kesalahan redaksional yang saya revisi. Dalam merevisi tulisan ini saya dibantu oleh
Mas Lukfi Kristanto pada Selasa, 19 Maret 2019 di Nir Cafe and Working Space, Patemon,
Gunungpati, Kota Semarang. (Thanks a lot, Mas Lukfi Kristanto)

Gambar: id.pinterest.com

Anda mungkin juga menyukai