Yang Politis Dari Perbaikan Jalan

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 7

November 19, 2017 kalamkopi Artikel Bebas, Uncategorized

Yang Politis dari Perbaikan Jalan (Bagian I)


Oleh Bagas Yusuf Kausan

Pengantar
Sekitar bulan Maret tahun 2013, saya bersama beberapa teman, berkesempatan menyusuri jalur
selatan Jawa Barat. Kami menyusuri jalur yang menghubungkan antara Pantai Pangandaran dan
Pantai Batukaras. Sebenarnya ini bukan rute yang teramat jauh. Mungkin hanya sekitar 30 KM,
yang dapat ditempuh dalam waktu 1 jam perjalanan.

Di luar dugaan, waktu tempuh dari Pangandaran ke Batukaras, ternyata meleset dari apa yang
direncanakan. Kondisi jalan saat itu sungguh memprihatinkan. Jalanan beraspal, berubah
menjadi kubangan dengan diameter yang cukup besar. Lebih parahnya lagi, kubangan jalan tadi
terisi oleh air berwarna kuning kecoklat-coklatan, yang sepintas justru menyerupai sebuah kolam
ikan. Kenyataan tersebut, sedikit banyak, telah merangsang munculnya perasaan kesal dalam diri
saya dan teman-teman. Maka tanpa perlu diberi aba-aba, aneka umpatan segera membuncah
secara bergantian.

Rasa kesal melihat kondisi jalan, ternyata tidak hanya dirasakan oleh kami yang hanya secara
kebetulan melintas. Warga di sana, juga merasa kesal dengan kondisi jalan yang turut
menghambat aktivitas mereka. Bentuk kekesalan warga, tergambar dengan jelas melalui aneka
seruan, cacian, hingga ancaman yang tertulis di media seperti papan, kertas, dan juga spanduk.
Sependek ingatan saya, salah satu protes yang tertuang di dalam seruan warga ialah tentang
keberadaan truk pengangkut pasir besi. Hanya saja, pada saat itu, pertanyaan dari dan akan
dibawa kemana pasir besi tersebut, sama sekali belum terlintas di dalam pikiran.

Tiga tahun berselang, tepatnya pada bulan Febuari 2016, saya kembali menjajakan kaki di pantai
selatan Jawa Barat. Kali ini saya berkunjung ke Pantai Madasari, yang terletak di perbatasan
antara Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Tasikmalaya. Di Pantai Madasari, saya bertemu dan
kemudian berbincang, dengan seorang pemilik warung yang terletak tidak jauh dari bibir pantai.
Dari obrolan dengan pemilik warung tersebut, akhirnya saya dipaksa untuk kembali mengingat
kejadian tiga tahun sebelumnya, yaitu ketika saya mendapati kondisi jalan yang berlubang antara
Pantai Pangandaran dan Pantai Batukaras. Pemilik warung tersebut bercerita bahwa banyak dari
masyarakat sekitar Pantai Madasari, yang menjual tanahnya untuk membeli truk pengangkut
pasir besi. Bahkan tak jarang, ada pula masyarakat yang meminjam uang ke bank, lalu kesulitan
untuk membayar, hanya karena mengikuti tren bisnis pengangkut pasir besi, seperti yang banyak
dilakukan tetangganya.

Sembari mendengar deburan ombak, saya pun menikmati obrolan dengan bapak pemilik warung
yang saya singgahi. Diketahui pula bahwa pasir besi yang diangkut menggunakan truk-truk
berukuran sedang, berasal dari penambangan pasir besi di daerah Cikalong, Kabupaten
Tasikmalaya. Dari sana, pasir besi dibawa ke daerah Cilacap, Jawa Tengah, melalui jalur yang
menghubungkan antara Cikalong dan Pangandaran. Sesampainya di Cilacap, pasir besi tersebut
diangkut menggunakan kapal tongkang, entah dengan tujuan kemana. Disinyalir, tingginya
volume truk yang melintasi jalur Cikalong-Pangandaran itulah yang membuat kondisi jalan di
sana, rentan dan cepat rusak. Bapak tersebut melanjutkan ceritanya bahwa di beberapa titik,
warga sepanjang jalur Cikalong-Pangandaran, banyak yang memprotes truk pengangkut pasir
besi tersebut. Disamping mempercepat perubahan bentuk jalan menjadi kubangan air di musim
hujan, membuat berdebu ketika musim kemarau, keberadaan truk pengangkut pasir besi yang
kerap berjalan beriringan dengan jumlah lebih dari 10 mobil, telah membuat warga kesulitan
menyalip ketika berpapasan di jalan.

Penjelasan demi penjelasan yang diberikan pemilik warung tersebut, pelan-pelan membuat saya
paham mengapa pada tahun 2013, ketika saya melintas, terdapat banyak sekali spanduk
kekesalan di sepanjang jalur antara Pantai Pangandaran dan Pantai Batukaras. Di salah satu
daerah, menurut penuturan bapak pemilik warung, bahkan sempat terjadi pemblokiran dan
penghentian paksa truk-truk pengangkut pasir besi yang hendak melintas.

Sebenarnya, kondisi jalan yang pada tahun 2013 luar biasa rusak, ketika saya kembali
melintasinya pada tahun 2016, telah berganti rupa menjadi beton dengan kualitas yang lumayan
baik. Bahkan lebih ke arah barat lagi, yaitu sampai daerah Kalapa Genep, Kabupaten
Tasikmalaya, juga telah berubah menjadi jalanan beton. Setahun sebelumnya, yaitu pada tahun
2015, saya pun berkesempatan menyusuri jalur selatan Jawa Barat dari daerah Ujunggenteng,
Kabupaten Sukabumi, hingga ke daerah Cidaun, Kabupaten Cianjur. Dalam perjalanan kali ini—
terkecuali di daerah Agrabinta, Kabupaten Cianjur—jalan raya pun telah berupa jalanan beton.
Itu artinya, hampir mencakup keseluruhan jalur selatan Jawa Barat, yaitu dari Kabupaten
Sukabumi di sebelah barat hingga Kabupaten Pangandaran di sebelah timur, mayoritas jalan
telah dibetonisasi. Hanya di beberapa titik saja, jalur selatan Jawa Barat yang belum beralih-rupa
menjadi jalanan beton.

Meski ini seolah pertanda baik, atau pertanda bahwa pemerintah mulai memperhatikan kondisi
jalan di pesisir selatan Jawa Barat yang kerap (dianggap) terisolasi, terpinggirkan, dan jauh dari
pusat perputaran ekonomi di Jawa Barat, namun saya rasa, ada beberapa hal yang patut
diperhatikan dari kenyataan semacam ini. Terutama tentang motif apa yang ada dibalik mulusnya
jalur selatan Jawa Barat.

Redefinisi Jalan dan Posisinya dalam Ekonomi Politik

Dalam pengertiannya yang paling umum, jalan/jalanan, kerap diartikan sebagai sebuah tempat
untuk lalu-lintas manusia dan juga kendaraan, serta perlintasan dari suatu tempat ke tempat lain.
Pendefinisian jalan semacam ini, tidak sepenuhnya salah. Namun dalam konteks-konteks
tertentu, pendefinisian seperti ini bukan hanya cenderung apolitis, ahistoris, dan netral, namun
kerap jatuh menjadi aksioma yang terus dibudi-dayakan. Oleh karena itu, di tengah gencarnya
pembangunan infrastruktur yang, turut menyeret jalan/jalanan sebagai salah satu produknya,
maka pemaknaan atas jalan/jalanan, perlu ditarik ke medan yang lebih politis.

Selain itu, mengartikan jalan/jalanan sebatas hanya sebagai produk material, yang hanya dapat
dibuat, dirancang, dan dikaji dalam disiplin ilmu eksak seperti Ilmu Geodesi, Teknik Sipil,
Arsitektur, Planologi, Teknik Bangunan dan lain-lain, juga menjadi persoalan yang perlu ditinjau
ulang. Sebab, dalam sejarahnya, pembangunan jalan juga menyangkut relasi sosial, kepentingan
ekonomi-politik, serta kerusakan ekologi dibalik setiap pembangunan sebuah jalan raya. Contoh
yang paling familiar, dekat, dan melekat dalam rentangan sejarah kita ialah tentang
pembangunan Jalan Raya Pos dari Anyer sampai Panarukan, pada masa Kolonialisme Belanda.

Seperti yang kita ketahui, pembangunan jalan paling ambisius dan berdarah-darah yang
dilakukan oleh Gubernur Deandels, tidak serta-merta dibuat untuk memenuhi dan mempercepat
kebutuhan masyarakat pribumi akan akses penghubung antara daerah satu dengan daerah
lainnya. Jauh panggang dari pada api, pembangunan Jalan Raya Pos sejak semula memang
diperuntukan untuk kepentingan pertahanan dan kontrol militer atas wilayah jajahannya. Selain
itu, pembangunan tersebut juga diniatkan memang untuk mempercepat distribusi komoditas hasil
perkebunan kolonial, agar dapat lebih cepat sampai di pelabuhan-pelabuhan ekspor kolonial
seperti Semarang, Surabaya, Batavia, dan juga Cirebon (Muhammad Ridha, 2016).

Hal yang sama, sebenarnya berlaku pula dalam hal pembangunan jalan kereta api. Sejak awal,
pembangunan jalan kereta api merupakan bagian integral dari tumbuh-kembangnya perusahaan
perkebunan kolonial. Serupa dengan pembuatan Jalan Raya Pos, pembangunan jalur kereta api
merupakan bentuk upaya mempercepat distribusi hasil bumi Hindia Belanda, agar dapat segera
masuk ke dalam pasar komoditas global. Maka tak heran, izin permohonan konsesi pembuatan
jalur kereta yang pertama, dilakukan oleh W. Pool. A. France dan E. H. Kol dalam kapasitasnya
sebagai pengusaha swasta. Keuntungan bisnis perusahaan kereta, dari data tahun 1874-1899 saja
misalnya, NISM sebagai perusahaan kereta swasta, mendapat keuntungan sejumlah £
2,066,309.58 (Tim Telaga Bakti Nusantara, 1997). Maka, pembangunan jalan kereta api, sedari
awal memang tidak diperuntukan bagi kepentingan manusia. Terlebih bagi masyarakat pribumi,
pada masa itu.

Dari dua contoh di atas, terdapat satu benang merah yang perlu dicermati yaitu bahwa
pembangunan sebuah jalan—baik berupa jalan raya atau jalan kereta—, merupakan penunjang
bagi akumulasi kapital. Sebagai penunjang dari kapitalisme, sebuah pembangunan ataupun
perbaikan jalan merupakan bagian dari apa yang disebut David Harvey sebagai built
environment of capital, atau sebagai bagian dari upaya membangun lingkungan yang kondusif
dan baik bagi akumulasi kapital (Muhammad Ridha, 2016).

Mengapa bisa demikian?

Dalam rumus mendasar kapitalisme, produksi kapitalis diilustrasikan dalam skema M-C-M’.
Pertama-tama, uang atau modal (M) perlu diubah menjadi komoditas (C), agar selanjutnya dapat
berubah menjadi uang yang lebih banyak (M’). Ketiga tahap ini dibingkai dalam apa yang
disebut dengan nilai, yang kemudian terbagi menjadi tiga; nilai lebih, nilai tukar, dan nilai guna.
Maka dalam sistem produksi kapitalis, secara sederhana (semoga tidak dimaknai mereduksi
kerumitan teorinya wkwk), seorang kapitalis mengeluarkan uang (M) untuk merekrut pekerja
dan membeli alat-alat produksi, kemudian menjual output yang dihasilkan/komoditi (C) untuk
menutup pengeluaran awalnya/modal dan memperoleh keuntungan lebih (M’).

Skema yang lebih mendetail dari corak produksi kapitalis, dapat digambarkan sebagai berikut:

M—C…P…C’—M’

Dari skema di atas, M adalah kapital-uang; C adalah kapital-komoditi dalam bentuk input
produksi; P adalah kapital-produktif; C’ ialah nilai dari komoditi yang setengah jadi dan pabrik
serta peralatan di ruang kerja, dan lagi-lagi, kapital-komoditi dalam bentuk persediaan komoditi
yang menunggu untuk dijual; M’ ialah uang yang kembali (lebih) setelah melalui penjualan
komoditi yang diproduksi (Gerald Dumenil & Duncan Foley, 2015).

Guna merubah dan/atau menjual barang-barang yang telah diproduksi (C’), sistem produksi ini
membutuhkan distribusi yang baik agar barang-barang yang telah diproduksi tersebut, dapat
segera sampai ke pasar komoditas. Jika telah sampai di pasar komoditas dan terjual, maka skema
sirkulasi kapital akan sampai di tahap yang terakhir, yang berarti bahwa uang-kapital (M) telah
kembali ke tangan kapitalis dalam bentuk uang dan uang lebih (M’). Agar sirkuit kapital seperti
ini dapat terus berjalan, sistem produksi ini perlu mengekspansi ke wilayah lain dan
mereorganisasi ruangnya agar corak produksi kapitalistik dapat meluas secara geografis.
Munculnya Kolonialisme, dapat dijadikan contoh gamblang sifat produksi kapitalis yang
ekspansionis dan selalu membutuhkan ruang-ruang yang baru.

Sebagai penunjang sistem produksi yang bersifat kapitalistik, maka posisi jalan raya ataupun
jalan kereta, memiliki peranan penting untuk mendistribusikan secara lebih cepat, efektif, dan
efesien, hasil produksi kapitalisme tersebut. Dalam konteks hari ini, pendistribusian
komoditi/barang, tentu tidak lagi hanya berupa komoditi seperti kopi, teh, karet, dan lain-lain.
Dalam hal ini, termasuk pendistribusian uang dan tenaga kerja secara lebih cepat (Noer Fauzi
Rachman, 2014).

Disamping itu, ekspansi ruang dalam corak produksi yang kapitalistik pun, juga sangat
tergantung dengan keberadaan infrastruktur seperti jalan raya yang baik dan jalur kereta yang
banyak. Maka tidak mengherankan jika akhir-akhir ini, pembangunan infratruktur, termasuk
pembanguan ruas jalan tol baru, perbaikan jalan nasional, reaktivasi jalur kereta lama, jalur
ganda kereta api sepanjang Pulau Jawa, merupakan satu hal yang terus digenjot oleh pemerintah.
Dengan begitu, maka pembangunan baru ataupun perbaikan sebuah jalan, hemat saya,
merupakan instrumen nyata dari penciptaan iklim yang kondusif bagi akumulasi kapital, seperti
yang dinyatakan David Harvey di atas.

Di bagian selanjutnya, saya akan coba mengkontekstualisasikan paparan di atas, dengan


membaiknya kondisi jalan lintas selatan Jawa Barat.

Bagian selanjutnya: Dari Perbaikan ke Ancaman (Bagian II)

November 24, 2017 kalamkopi Artikel Bebas, Uncategorized

Dari Perbaikan ke Ancaman (Bagian II)


*Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan Yang Politis dari Perbaikan Jalan (Bagian I)

Oleh Bagas Yusuf Kausan

Membaca Ulang Pesisir Jawa Barat


Sekilas, jalan beton nan mulus yang membentang dari Kabupaten Sukabumi hingga Kabupaten
Pangandaran, merupakan suatu itikad baik yang dilakukan pemerintah, dalam hal membangun
infrastruktur guna kepentingan keselamatan dan kesejahteraan masyarakat sekitar. Namun dalam
kesempatan kali ini, saya akan coba untuk bersikap suudzon, ketika melihat membaiknya kondisi
jalan tersebut.

Di dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat Tahun 2009-2029, jalan
yang membentang di selatan Provinsi Jawa Barat tersebut, masuk ke dalam program
pembangunan infratruktur strategis (infratruktur jalan) dengan biaya yang ditanggung oleh
APBD Provinsi dan APBN, yang dilaksanakan oleh Dinas Bina Marga, Kementrian Pekerjaan
Umum. Proyek ini dimulai sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2014/2015.

Masih dari dokumen di atas, beberapa wilayah dan kawasan di sepanjang jalur selatan Jawa
Barat, mendapatkan porsi khusus. Atau mendapat zonasi khusus yang diperuntukan sebagai
rencana strategis pembangunan di masa yang akan datang. Sebagai contoh, Kabupaten Sukabumi
dan Kabupaten Pangandaran, masuk ke dalam apa yang disebut dengan PKNp (Pusat Kegiatan
Nasional sistem Provinsi). Dalam dokumen tersebut, PKNp Kabupaten Pangandaran akan
berfokus pada pengembangan fasilitas bisnis pariwisata berskala Internasional, dengan Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan sebagai pelaksananya, serta didanai oleh APBD Kab/Kota, APBD
Provinsi, APBN, dan sumber dana swasta. Sementara PKNp Kabupaten Sukabumi, berfokus
pada pengembangan bisnis perikanan, dengan Dinas Perikanan dan Kelautan sebagai
pelaksananya, serta disokong pendanaan yang serupa dengan PKNp Kabupaten Pangandaran.

Tidak hanya itu, daerah Sindang Barang, Kabupaten Cianjur, serta daerah Pamempeuk,
Kabupaten Garut, juga masuk ke dalam sistem zonasi tersendiri. Kedua daerah ini termasuk ke
dalam Pusat Kegiatan Lokal (perkotaan) dengan fokus pada pembangunan infrastruktur dan
sarana prasarana. Satu daerah lain yang masih berada di jalur selatan Jawa Barat, yaitu wilayah
Rancabuaya, Kabupaten Garut, dalam dokumen RTRW, masuk ke dalam zonasi yang disebut
dengan PKWp (Pusat Kegiatan Wilayah sistem Provinsi). Zonasi ini berfokus pada
pembangunan infrastruktur seperti terminal, pasar, dan juga rumah sakit.

Satu sistem zonasi selanjutnya ialah tentang Kawasan Strategis Nasional (KSN) dan Kawasan
Strategis Provinsi (KSP). Beberapa KSN yang berada di jalur selatan Jawa Barat ialah: Fasilitas
Uji Terbang Roket dan Stasiun Pengamat Dirgantara di daerah Pamempeuk, Kabupaten Garut,
serta Kawasan Strategis Nasional Pangandaran-Kalipucang-Sagaraanakan-Nusakambangan
(Pucangsanak) di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Sementara untuk KSP, dua daerah
yang menjadi ujung barat dan ujung timur jalur selatan Jawa Barat, masuk ke dalam sistem
zonasi ini. Di sebelah barat, terdapat Kawasan Strategis Provinsi (KSP) Sukabumi selatan dan
sekitarnya. Sementara di sebelah timur, terdapat Kawasan Strategis Provinsi (KSP) Pangandaran.
Di dalam dokumen RTRW, disebutkan bahwa program utama zonasi KSP ini ialah penanganan
dan pertumbuhan ekonomi. Sayangnya, di dalam dokumen RTRW Jawa Barat 2009-2029, tidak
disebutkan pertumbuhan ekonomi seperti apa, melalui apa, dan siapa yang mendulang untung
terbesar dari rencana pertumbuhan ekonomi tersebut.

Dari paparan di atas, sebenarnya ada satu pertanyaan yang dapat kita ajukan, yaitu; mengapa
pesisir selatan Jawa Barat?

Guna sedikit mengurai pertanyaan di atas, saya hendak mendekatinya dengan dua hal, yaitu:
Krisis dan Reorganisasi Ruang. Kedua hal ini penting disebut dan juga memang saling terkait.

Ancaman di Pesisir Selatan Jawa Barat


Dalam sebuah pidato pembukaan CEO APEC di Nusa Dua, Bali, tahun 2013, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan bahwa:

“Untuk mempercepat pembangunan, pada Mei 2011, kami meluncurkan Master Plan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI). Dalam
waktu 14 tahun ke depan, kami menargetkan 460 miliar US $ untuk investasi di 22 kegiatan
ekonomi utama, yang terintegrasi dalam delapan program, yang mencakup pertambangan,
energi, industri, kelautan, pariwisata dan telekomunikasi….Akhirnya, dalam kapasitas saya
sebagai Kepala Pemasaran Perusahaan Indonesia (chief salesperson of Indonesia Inc.), saya
mengundang anda untuk memperbesar bisnis dan kesempatan investasi di Indonesia” (Noer
Fauzi Rachman, 2013).

Melalui proyek MP3EI itulah, sependek yang dapat saya ketahui, gong penciptaan koridor,
zonasi, dan kawasan ekonomi khusus tercipta dalam konteks tata ruang Indonesia, hari ini.
Dalam skala yang lebih luas, sistem penciptaan zonasi suatu wilayah pun berlaku dalam konteks
regional Asia dan Asia Timur, melalui apa yang kemudian disebut dengan Comprehensip Asia
Development Plan (CADP) dan Master Plan Asean Conectivity (MPAC). MP3EI, berdiri sebagai
anak kandung dari kedua dokumen tersebut. Dalam skala yang lebih kecil, sistem zonasi tersebut
juga dijiplak dan diterapkan oleh pemerintah provinsi dan juga pemerintah daerah. Masuknya
beberapa wilayah di sepanjang pesisir selatan Jawa barat sebagai zonasi khusus, merupakan
turunan dari sistem zonasi yang lebih luas skalanya. Dan semua itu, terbingkai dalam upaya
untuk mempercepat, memperluas, dan menumbuhkan perekonomian.

Pertanyaannya; mengapa perlu dibuat sistem zonasi? Dan perluasan, percepatan, dan
pertumbuhan ekonomi untuk siapa?

Di bagian sebelumnya, saya telah sedikit menyinggung tentang sirkuit sistem produksi
kapitalisme. Sebagai sebuah corak produksi, sistem kapitalisme ternyata memiliki ancaman krisis
yang inheren di dalam tubuhnya, serta pasti akan terjadi secara periodik. Depresi ekonomi tahun
1930an dan krisis ekonomi tahun 2008, adalah sedikit contoh bagaimana kapitalisme selalu
terjerat oleh krisis yang menubuh di dalamnya.

Krisis di dalam kapitalisme, berkisar pada krisis yang diakibatkan oleh Over Akumulasi. Krisis
ini dapat tampil dalam berbagai bentuk seperti; overproduksi komoditas, yaitu ketika
berlimpahnya barang-barang dan komoditas di dalam skema pasar; jatuhnya tingkat keuntungan;
surplus kapital, yaitu melimpahnya uang-kapital yang tidak dapat diinvestasikan kembali serta
ketiadaan kesempatan bagi uang-kapital memperoleh keuntungan dari proses produksi; surplus
tenaga kerja, yaitu melimpahnya tenaga kerja yang tidak dapat diserap dalam proses produksi
dan atau berupa meningkatnya level eksploitasi (Noer Fauzi dan Dian Yanuardy, 2014).

Guna mensiasati ancaman krisis tersebut, maka kapitalisme perlu melakukan siasat keruangan,
dengan melakukan ekspansi ke ruang-ruang yang baru. Hal ini yang kemudian disebut dengan
reorganisasi ruang, yang dalam catatan Noer Fauzi (2015) mencakup; (a) ruang imajinasi dan
penggambaran, termasuk perancangan teknokratik yang diistilahkan master plan, grand design,
dan sebagainya; (b) ruang material dimana kita hidup; (c) praktik-praktik keruangan dari
berbagai pihak dalam membuat ruang, memanfaatkan ruang, memodifikasi ruang, melenyapkan
ruang, dalam rangka berbagai upaya memenuhi keperluan, termasuk mereka yang berada dalam
posisi sebagai bagian negara, korporasi, atau rakyat.

Dalam catatan David Harvey (2008), strategi keruangan yang dilakukan oleh kapitalisme disebut
dengan spatio-temporal fix, yaitu sebuah siasat keruangan guna memperpanjang nafas
kapitalisme, dengan cara memperluas ruang-ruang baru produksi dan sirkulasi kapital ke dalam
pasar-pasar komoditas baru (Muhammad Ridha, 2016). Meski demikian, strategi keruangan
tersebut tidak dapat menghilangkan krisis internal yang dimiliki oleh kapitalisme. Catatan kritis
yang dinyatakan Hilma Safitri (2014), dengan sangat menarik menjelaskan fenomena tersebut:

“Solusi ruang-waktu atau spatio-temporal fix ini juga mengandung kontradiksi internal. Harapan
yang ingin diraih dengan ekspansi geografis adalah membebaskan kapital yang terbelenggu di
tempat lama ke tempat yang baru. Sayangnya, hal itu hanya bisa diperoleh dengan
memenjarakan kapital itu, secara ‘fix’, di tempat baru, yakni melalui investasi dalam bentuk
pembangunan infrastruktur (jalan, pelabuhan, jembatan, rel kereta api) dan telekomunikasi yang
ditempatkan di wilayah itu dan tidak mungkin dipindah-pindah”.

Menyuntikan investasi di ranah infrastruktur, dalam hal ini, sudah barang tentu merupakan upaya
untuk menggerakan komoditi, tenaga kerja, dan juga uang, ke wilayah yang baru secara lebih
cepat. Seperti yang dinyatakan David Harvey (2003) bahwa transportasi, komunikasi, dan ragam
bentuk infrastruktur itu tidak lain ditujukan untuk ‘memadatkan ruang dan waktu’ (time space
compression) atau mereduksi biaya dan meningkatkan efisiensi waktu dalam menggerakan
kapital secara geografis (Muhammad Ridha, 2016).

Maka dengan begitu, baik sistem zonasi yang termaktub dalam Comprehensip Asia Development
Plan (CADP), Master Plan Asean Conectivity (MPAC), MP3EI, ataupun dalam spasial yang
lebih kecil seperti dalam RTRW Provinsi Jawa Barat, merupakan bagian dari siasat keruangan
yang sedang diciptakan kapitalisme. Krisis yang melanda Eropa tahun 2008, dijawab dengan
upaya ambisius untuk membuat jaringan perekonomian dan spasial baru di wilayah Asia dan
Asia Timur, melalui proyek CADP dan MPAC-nya. Sedangkan MP3EI, yang diperhalus
sekaligus dirubah namanya menjadi RPJMN di masa Presiden Joko Widodo, disamping
merupakan anak kandung dari regionalisme CADP dan MPAC, juga melakukan siasat keruangan
dengan mendesain Indonesia menjadi 6 koridor, yang masing-masing memiliki perbedaan
aktivitas dan target ekonomi yang hendak dicapai. Hal serupa pula, yang terjadi di dalam RTRW
Provinsi Jawa Barat 2009-2029.

Maka semakin terang bahwa semua, berawal dari krisis yang menubuh di dalam kapitalisme,
yang menghendaki dirinya untuk mengekspansi (reorganisasi) ruang-ruang baru.

Pertumbuhan, perputaran, dan perebaran ekonomi di wilayah utara Jawa Barat, sebenarnya dapat
dijadikan pelajaran. Yaitu terkait kondisi sosio-ekologis di sana pasca bercokolnya industri-
industri besar di wilayah tersebut. Dampak dari itu semua ialah; alih fungsi lahan, degradasi
lahan, kurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH), kritisnya ekologi wilayah pesisir laut, sampah
dan pencemaran sungai, yang kemudian menjadi makanan sehari-hari di wilayah utara Provinsi
Jawa Barat. Hal ini semakin diperparah dengan masifnya pembangunan infrastruktur penunjang
aneka kawasan industri, seperti halnya jalan tol Cipali, Pelabuhan Cilamaya, dll yang juga secara
tidak langsung merubah landskap Jawa Barat bagian utara, sebagai daerah darurat bencana
ekologis (Dadan Ramdan, tidak diterbitkan).

Melalui zonasi yang termaktub baik di dalam RTRW Provinsi Jawa Barat ataupun RTRW
Nasional, arah pertumbuhan, perputaran, dan pembangunan ekonomi akan digeser ke sebelah
selatan. Pergeseran ini tidak terlepas dari krisis dan siasat keruangan yang telah dijabarkan di
atas. Sepanjang wilayah pesisir Kabupaten Sukabumi hingga Kabupaten Pangandaran, ke
depannya, barangkali akan mengulang jalan yang sama dengan kawasan Jawa Barat bagian utara,
pada beberapa tahun yang lalu: Kawasan Industri. Dan dampak ekologis yang menyertainya,
sudah tentu akan hadir sebagai konsekuensinya.

Menjadi jelas pula, bahwa yang akan mendulang untung besar dari penciptaan zonasi di wilayah
pesisir selatan Jawa Barat, tidak lain ialah aktor-aktor dibalik pencipta siasat keruangan yang
telah menggeser aktivitasnya ke wilayah Jawa Barat bagian selatan. Maka pembuatan jalan baru
dan/atau perbaikan jalan sepanjang pesisir selatan Jawa Barat, merupakan bagian dari itu semua.
Kembali belajar dari wilayah Jawa Barat bagian utara, yang kemudian kerap muncul dari
ekspansi (reorganisasi) ruang semacam itu ialah rentetan konflik agraria, seperti yang terjadi di
Teluk Jambe, Karawang, antara petani dengan pengusaha. Tidak menutup kemungkinan, hal
semcam itu (konflik agraria) yang akan terjadi di wilayah pesisir selatan Jawa Barat, di masa
yang akan datang.

Tidak menutup kemungkinan pula, bahwa sosok Bapak penjaga warung di pesisir Pantai
Madasari, hadir bukan lagi sebagai pencerita tentang boroknya industri ekstraktif di pesisir
selatan Jawa Barat. Namun nantinya, Bapak tersebut justru hadir sebagai korban dari keganasan
ekspansi ruang kapitalisme ke wilayah selatan Jawa Barat. Sebab hakikatnya, kapitalisme hanya
memberi tempat hidup dan insentif bagi semua komponen yang efisien, dan munghukum mati
atau membiarkan mati hal-hal yang tidak sanggup menyesuaikan diri dengannya (Noer Fauzi
Rachman, 2014).

Dengan kenyataan bahwa; Kabupaten Pangandaran yang sedang bergeliat menjadi Kawasan
Strategis Nasional berbasis pariwisata kelas Internasional, maka warung sederhana dengan
campuran kayu dan bambu sebagai material dasarnya, akan segera digilas oleh restoran pinggir
pantai yang lebih (dianggap) efisien dan mencerminkan suasana kawasan wisata berkelas
Internasional.

Maka, perlu ditegaskan sekali lagi bahwa perbaikan jalan di sepanjang pesisir pantai selatan
Jawa Barat, hadir sebagai penyokong perubahan besar yang akan segera terjadi di sana. Dan
perbaikan jalan tersebut, tidak serta merta bernilai positif. Dibaliknya, ada logika dan sirkuit
kapital yang hendak disuntikan di wilayah tersebut, dengan sederet ancaman krisis sosio-ekologi
sebagai konsekuensinya. ***

Gambar: citarum.org

Anda mungkin juga menyukai