Anda di halaman 1dari 160

Antara Aku, Kau & Hujan

Muhammad Anhar

Copyright © 2013 by:


Muhammad Anhar
Editor:
[sigmAksara]
Desain Sampul & Layout :
Caca Kartiwa
http://crimsonstrawberry.wordpress.com
Diterbitkan oleh:
Najwa Publisher
e-mail:najwaindiebook@gmail.com
Cetakan Pertama, Maret, 2013
Partner POD:
nulisbuku.com
Hak cipta dilindungi undang-undang.

All Rights reserved

2
Daftar isi
1. Antara aku kau dan hujan__________________________7
2. Janji Haikal________________________________________15
3. Ihwal Kenangan___________________________________21
4 Hujan yang Membawaku___________________________29
5. Pilihan Hari________________________________________35
6. Mengeja Relung Nayla____________________________45
7. Rumah Hira________________________________________49
8. Menunggu Lara___________________________________55
9. Tanya yang Tak Tereja____________________________59
10. Dialog Dua Jiwa___________________________________63
11. Ti________________________________________________67
12. Sebingkai Cerita__________________________________73
13. Kembalinya Si Baen_______________________________79
14. Pak Uban________________________________________87
15. Catatan Sahari___________________________________99
16. Lelaki yang menunda damai______________________105
17. Pada Sebuah Perjalanan_________________________111
18. Aku dan Lelaki Sore Itu____________________________117
19. Malam Peramu Mimpi_____________________________123
20. Aku dan Mimpi yang Kutemu_______________________127
21. Labirin Mimpi_____________________________________133
22. Pak Yunyi________________________________________137
23. Semua Tentang Kita______________________________143

3
Membaca cerpen-cerpen seorang Anhar seperti membaca
kehidupan lebih dekat dan lebih erat. Saat itu pula, ia seperti
mengajak pembaca bertualang dalam dunia yang telah lama ada
tapi dengan cara yang berbeda. Tak ragu saya menyatakan, Ia
adalah cerpenis yang piawai meramu kehidupan dalam tiap
ceritanya. Cerpen-cerpennya adalah potongan-potongan
kehidupan yang sayang jika tak dibaca….
~Fitri AB ( Penyair, Mahasiswi Pasca sarjana Unimed)

Cerpen-cerpen Anhar memadukan realita dengan sentuhan


imajinasi, perpaduan ini membuat cerpen-cerpen Anhar kaya akan
nilai estetis tanpa harus kehilangan kontekstualitas zamannya.
Cerpen-cerpen Anhar perlu dibaca semua pecinta sastra, dan
menjadi renungan bersama.
~Jones Gultom ( Redaktur Sastra Harian Medan Bisnis)

Santun, kesan pertama saya ketika mengenal seorang Anhar.


Tulisannya terkesan ringan, tak perlu mengernyit dahi untuk
menikmatinya, tapi selalu mampu membawa saya “berhenti” dari
rutinitas berfikir untuk sejenak hanyut dalam alur ceritanya. Dan
sepertinya lelaki penyuka hujan ini romantis… hehehe. “hujan
adalah seribu tangan yang menjulur membawa kotak-kotak cerita,
maka ceritakanlah hujanmu…”
~Seroja white (Seorang Ibu, Pendidik & Penulis)

“Kurindui” karya yang tercipta dari seorang pujangga si peramu


mimpi. Kata-kata indah namun sederhana. Setiap cerpennya
memiliki roh, yang akan menghipnotis jiwa-jiwa yang kosong
akan cerita-cerita imajinatif.
~Tri Periwi (Pecinta sastra, Mahasiswi UMN AW Medan)

Kekuatan cerita-cerita seorang Muhammad Anhar adalah terletak


pada cara Ia mengubah sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu
cerita yang sulit ditebak, misterius, namun mengesankan!
~Irwansyah (Ketua KOMA Medan)

4
Sering kali menyayat, meski tak luput atas besarnya rasa cinta.
Sederhana, punya ciri khas yang tidak luput dalam tiap cerita-
cerita yang ditulisnya…
~Ernisa Purba (Mata Pena NBC Medan, Owner Aeki T-Sirt)

Anhar itu sahabat yang sejak dulu kukenal baik & sederhana. Dia
adalah pemimpi tingkat tinggi yang tak pernah mau kehilangan
api semangatnya untuk mewujudkan mimpi-mimpinya itu. Salut
buatmu Anhar, semoga semua mimpi-mimpimu terwujud. Tetap
sederhana ya!
~Azrina Purba (Mahasiswi Pasca sarjana Unimed, Guru)

Melukis jejak lewat kata, itu lebiasaanmu. Kata demi kata


mengalir apa adanya, tapi kali ini kumaknainya sebagai sesuatu
yang sederhana & menghanyutkan. Teruslah berjejak lewat kata,
aku menantinya…
~Lisa (Mahasiswi B.Inggris UMN AW, penulis)

Hanya satu kata yang tepat saya katakan, “Indah!” karya yang
mampu memberi kesan tersendiri bagi pembacanya. Pemilihan
diksi yang manis dan romantis, selalu memaksaku untuk terus
mengikuti alur cerita hingga aku terperangah di tiap ending cerita
yang dibuatnya!
~Ayu Sundari Lestari ( Mahasiswi, Cerpenis Medan)

Membaca tulisan Bang Anhar, tak ubahnya menikmati secangkir


kopi. Belum akan berhenti sebelum tandas tegukan terakhir.
Setelahnya juga tak henti, menyulut rasa penasaran, tentang siapa
sebenarnya tokoh dalam cerita.
~Ulfa Zaini (Prosais, Mahasiswi Bahasa Indonesia
Unimed)

Berbicara tentang Anhar, tak lengkap jika tak bersinggungan


dengan cerpen-cerpennya yang selalu khas, mengalir serta ending
cerita-ceritanya yang menarik itu. Mantap!
~El Surya (Penggagas KOMA Medan)

5
Kumpulan cerita yang sangat menarik dengan bahasa yang indah
membuat pembaca hanyut ke dalamnya. Sastranya amat terasa
dengan ciri khas seorang Anhar”
~Venny Mandasari, Cerpenis)

Membaca cerpen-cerpen Bang Anhar, ibarat memakan durian.


Tak cukup sekali, pun harum baunya.
~ Maulana Satrya Sinaga (Penyair )

Alur cerita-cerita yang dibangunnya begitu bagus, diksinya juga


memumpuni. Secara keseluruhan sangat imajinatif.
~Tiflatul Husna (Penyair, )

Seperti tengah menikmati hangatnya suguhan teh di sore hari


yang basah. Menentramkan jiwa. Filosofi hidup dan cinta yang
diolah secara sederhana namun sarat makna. Salute to
Muhammad Anhar! Good job. Proud of you!
~Setiawati (Entreprenuer, Penulis)

Muhammad Anhar, adalah penulis dengan kejernihan hati,


kesederhanaan jiwa. Semua itu terasa dalam cerita-cerita yang ia
tuturkan.
~Abdillah Putra Siregar (Guru, Novelis)

Segala mimpi akhirnya menjadi nyata, “Bravo kak Anhar!”


~Wulandari Persiani, Guru TK Khalifah, penulis)

Saya mengenal Mas Anhar dari blognya. Saya suka membaca


tulisan-tulisan Mas Anhar karena gaya bahasanya memang bagus.
Buku ini sangat menarik, saya harus punya buku ini.
~Din Afriansyah (Penggiat IT, Blogger Sumut )

Tulisan adalah saksi bisu sejarah, meski ia bisu, nyatanya ia


berbicara lebih ketimbang lisan. Begitupula dengan buku ini.
~Nurmayani (Mahasiswi Bahasa UMN Medan)

6
Gerimis masih menggaris di
etalase toko.Sama sepertiku yang
kini menggarisi rindu. Ya, rindu
padamu, perempuan pecinta
hujan.

7
Dulu, kerapkali kudengar senandungmu tentang hujan
dan seperti biasa aku pun larut di dalamnya. Sungguh, suaramu
dan hujan adalah paduan suara yang indah, teramat indah.
Sesuatu yang indah diingatan, setidaknya hingga hari ini.
“Maaf,” Sepotong katamu saat itu terangsur. Aku tahu,
dari gurat wajah yang mengeras, dari jari manismu yang kini
telah terlingkar cincin sakral. Aku tahu, telah tertutup sudah
asa untuk memilikimu.
Ah! Segalanya seperti mimpi. Andai engkau sudi
berkisah tentang lelaki pilihan keluargamu itu, tentu aku
berlega hati dan bisa menerima kata maafmu, setidaknya saat
ini.
Kau, perempuan berparas manis datang sore ini ketika
gerimis bertandang. Tepat ketika aku pulang dari kantor dan
berteduh di emperan toko. Berdiri bersama tubuh-tubuh yang
terjebak garis-garis hujan. Di sini, aku menunggu bus atau
becak yang akan mengantar ke tempat reparasi sepeda
motorku.
Di tempat ini pula, kita bertemu, aku senang kamu
datang. Hanya ulas senyum yang tersungging, tak ada tingkah
lain. Hanya diam dan kagum yang menyemat. Betapa merasa
sangat beruntung menemukanmu lagi di tempat ini.
Perempuan bertubuh cahaya, gumamku. Dalam diammu
yang dingin, kamu menyihir korneaku untuk senantiasa
melirik. Oh! Mata berpelangi itu sangat magnetis! Batinku.
Aku beruntung, mungkin lebih tepat dikatakan takdir.
Baru tiga detik yang lalu, seorang ibu tua dengan bawaan
banyak menabrakku. Kini ibu itu meminta maaf, berkali-kali
seraya menyumpah-nyumpah dirinya yang kurang awas.
Tangan yang keriput itu mencoba membersihkan kemejaku
yang terkena saus dagangannya.
Tanganku segera menahan. Pelan, sopan. Kurasa tidak
pantas sesosok tua memperlakukanku begitu, apalagi bukankah
ini tidak sengaja dilakukan. Aku bergumam, risih.

8
Sambil tersenyum teduh, aku membantu ibu tua itu
mengemasi dagangannya. Tanpa disangka, kamu
memerhatikan, turut jongkok mendengarku yang berceloteh
ringan menghibur si ibu tua. Mata kita sempat beradu, ada
beberapa detik, semacam magnet yang menahan kedipan.
Selesai. Sebelum ibu itu beranjak, masih sempat aku
selipkan beberapa lembar rupiah ke dalam lipatan daun pisang
dagangannya, sembari menitip pesan agar lebih berhati-hati.
Mataku masih mengekori sosok itu. Ah! Betapa aku
tersentuh. Masih kutatap langkah ringkih itu hingga di tikungan
pertokoan. Ibu tua berhenti dan menggelar dagangan di sudut
emper yang terlindung dari tempias hujan. Sebentar saja,
berkerubung pembeli. Pelangggannya mungkin, gumamku.
Aku tak sadar, entah sejak kapan mata yang sesejuk hujan
itu memerhatikanku. Aku melihatmu. kamu berpaling, aku
pura-pura menyembunyikan wajah di balik koran. Selang
beberapa waktu aku memejamkan mata. Meredup sejenak.
Ada yang dingin merambat, mengalir lembut, suara itu.
Perlahan kuturunkan koran. Sempat aku ingin melonjak saat
wajahmu yang tiba-tiba menyembul di balik lembaran koranku.
Berlagak kalem, sempat kuangsur tanya. Kau menjawab
dengan seulas senyum bijak.
”Maaf bang, korannya kebalik!” katamu yang serta merta
membuat wajahku pias.
Tak mau berlama menanggung malu, bergegas kutembus
hujan sembari mendekap tas yang berisi beberapa lembar
tulisanku.
Engkau memanggilku. Tepatnya memanggil namaku.
“Hari! Kamu masih menulis cerpen?” Bait tanya menyerbu bak
hujan, menimpa-nimpa kepala. Kamu mengejarku lalu
mengimbangi langkahku yang cepat.
“Masih,” jawabku pendek

9
“Ehem! Apakah masih menulis tentangku?” sambungmu.
Aku menatap, kamu membulatkan mata, lucu.
Aku menggeleng. Rambutku yang lumayan lebat
membuat beberapa percik air membasahi wajah putihmu.
“Eeh! maaf,” Ujarku gugup melihat ulah yang kubuat
sendiri.
“Sudah ada yang lain ya? Maaf kalau begitu, nggak apa,
tapi aku suka lihat kamu bantu ibu tua tadi, jarang ada pemuda
seperti itu,”
“Oh... Iya, makasih,” sambungku datar.
“Kau tahu, aku selalu bahagia saat hujan turun seperti
ini,” Ujarmu seraya mendongakkan wajah. Tangan
kaurentangkan seolah ingin memeluk hujan.
Ah! Perempuan yang aneh. Bukankah bedak di wajahmu
akan luntur? Tapi, hei! Aku tidak melihatnya menyeka wajah
karena itu. Wajahmu benar-benar polos, tak merias muka.
Masih ada perempuan sebegini cantik? Tanpa poles kosmetik?
Gumamku sambil tetap memandangi wajah yang masih juga
menengadah itu.
Tubuh kita kian basah. Tulisanku yang baru saja kuketik
pun akan bernasib sama. Entahlah! itu tak kupedulikan. Kurasa
amat sayang meninggalkan saat-saat bersamamu. Sungguh,
aku mencintaimu lagi dalam waktu sesingkat ini, dalam debur
hujan yang kian deras.
Kamu masih juga berceloteh. Tentang kisah hujan. Masih
seputar hujan. Masih saat hujan. Rambutmu yang ikal itu kini
lurus mengikuti air yang mengalir membasahi baju merah
mudamu.
Kamu mengajakku berlari, sesaat kita berhenti untuk
melepas sepatu. Aku kerap berpesan agar hati-hati, kamu
mengangguk sembari tertawa riang. Aku tak tega menahan,
kuikuti larimu yang kini menuju lapangan.

10
Tampak sekerumunan anak kecil, kau mengitari mereka
dan ikut larut bermain kecipak air. Anak-anak itu tak terusik
sama sekali, mereka semakin riang bermain dan saling
melempar lumpur.
Kamu menarikku, mengajak turut berkecipak dalam satu
kubangan. Aku terpeleset, kamu terkekeh sehingga
menyembulkan deretan gigimu yang serupa awan terang.
Ah! matamu yang serupa telaga membuatku urung
menasehati, aku malah tertawa lepas. Aku mengejar, dapat!
Tanganmu sempat kutangkap, tapi karena licin akhirnya
pegangan itu terlepas dan kamu tergelincir, jatuh dalam
genangan air yang bercampur guguran dedaun.
Kamu meringis seraya merengek memintaku menarikmu
bangkit dari kubangan itu. Aku iba, lekas kujulurkan tangan.
Ow! Aku lengah, curang! Kamu membalasku. Kini kita berdua
tercebur dalam kubangan itu. Kemeja kotak-kotakku kian
lamur, celana flanelku pun bersimbah lumpur.
Kamu menatapku. Dalam. Sekejap tersenyum, tapi licik!
Kedua tanganmu menciduk air dan menyiramnya ke arahku.
Tak pelak wajahku semakin tak karuan. Aku membalas. Kita
berbalasan. Kita tergelak, bebas, bahagia.
Ah, Ulahmu barusan tidak lantas buatku marah, kamu
memang seumpama hujan, menyejukkan dan mengail rindu
untuk menemuimu. Ya, perempuan hujan, aku memanggilmu.
Walau kadang menyebalkan, engkau selalu kurindukan, benar-
benar persis seperti hujan.
Hujan bersalin gerimis. Sebentar lagi pasti akan reda dan
senja yang merona merah saga itu akan menyapa kita. Kini
kulihat wajahmu, tanganmu, tubuhmu, bibirmu, memucat. Aku
tanya mengapa, kamu hanya membisu. Kedua bola matamu
malah asyik menekuri rinai hujan yang masih membasah di
rambutku.
“Aku harus pergi,” ujarmu

11
“Ya, aku juga, pakaian ini sudah kotor sekali,” balasku
mencoba mengeja jalan pikiranmu
Gerimis mulai kudengar. Ya, kali ini gerimis itu mengalir
darimu.
“Mungkin kita sudah cukup bersama...” ujarmu yang
perlahan mendaratkan usapan halus di wajahku. Aku terdiam,
terpejam, sebentar.
Perlahan kubuka mata. Semua masih sama, genang air
masih kecoklatan. Rinai hujan masih setia membasah kepala,
pakaian masih berlumur lumpur, juga sekawanan anak kecil
bertelanjang dada yang kini menyambangi. Senyum mereka
potret bahagia. Sembari memeras baju yang bau lumpur,
mereka mendekat.
“Bang! Enak kan main hujan sama kami?” sapa mereka
polos
“Oh eh, iya dek, kesinilah...” panggilku masih dengan
wajah celingukan mencarimu. Mereka melingkar, merapat.
Aku menatapi mereka satu persatu.
“Abang boleh nanya nggak?” tanyaku sembari
mengeluarkan beberapa bungkus gula-gula dari tas. Tanpa
kutawari, semua sudah berpindah ke mulut-mulut kecil itu.
Aku tersenyum melihat binar polos mata mereka saat
mengulum gula-gula pemberianku.
”Abang mau nanya apa tadi?” tanya seorang anak kecil
berkepang dua. Aku tersadar.
”Eh, kakak cantik yang bareng abang tadi mana ya?
Kalian tahu kemana dia pergi?”
”Kakak cantik? Cewek abang ya?”
”Iya benar, ada lihat?”
”Nggak ada, dari tadi kan kita main hujan cuman sama
abang”

12
”Beneran?”
”Masak kami bohong?”
Gerombolan anak itu meninggalkanku. Sayup senandung
mereka tentang hujan lirih mengalir.
Aku terenyuh. Apa mungkin kualami halusinasi sebegini
dalam? Ya, tepatnya setelah kamu berkabar akan menikah
dengan lelaki yang tak lain sahabat dekatku sendiri!

(Basah di kotamu, Januari 2011)

13
14
Janji Haikal O

Tidak sahabatku, tidak saja pada kenangan, tapi juga pada


dirimu, seutuhmu. Aku berjanji! Pada ibumu yang dzuhur tadi
barusan saja disemayamkan, yang tanahnya masih merah bata,
masih basah. Aku berjanji dalam genggaman tangan keriput
ibumu yang kian melemah kemarin, pada suara yang makin
merendah itu. Aku akan menjagamu, membawamu ke sudut
sempit kota tua ini. Aku berjanji sahabat, redakan raut lara itu,
tenanglah. Masih kurengkuh wajah sayu itu, yang tangisnya
seperti bocah.

15
***
Sahabatku, kamu masih ingat kan? Ketika kita kecil dulu,
selepas mega ditelan malam, selekas suara kaset mengaji
menggerayang telinga, menyeruku yang masih telanjang dada
berendam di tepian sungai yang dangkal, yang berkali-kali
menyerumu yang masih saja pamer salto belakang dari pohon
jambu biji yang dahannya menjorok ke sungai.
Para bangau di pematang sawah melintas di atas kepala,
meninggalkan kita. Kepak sayap mereka pulang ke sarang,
membawa sejumput rezeki hari ini. Saat itu juga, kita sudah
berlari-lari, membawa belut-belut gemuk yang menggantung,
terikat pada seutas tali dari ilalang tua. Kita menyusuri jalan
setapak dengan hati-hati, karena kaki kita masih basah, karena
jalan sudah serupa warna tanah yang disepuh merah pucat
senja.
Sambil sesekali berlari, kita memeras baju yang berbau
lumpur, memutar-mutarnya seolah baling-baling helikopter.
Kita cekikikan sampai di rumah untuk berganti sekenanya,
lantas aku bergegas menyambar sarung yang mulai pudar
warnanya, sangit baunya.
Sambil memengunyah singkong goreng yang sedari tadi
aku kantongi dan mengenakan sarung dengan gulungan yang
asal jadi, mulutku yang penuh makanan itu memanggilmu dari
halaman rumah. kali ini teriakanku disahuti omelan emakku,
“nggak tahu maghrib Kal?”
Untung saja emak masih sibuk dengan kepingan emping
belinjo yang dari siang tadi dihamparnya di teras rumah. Oi,
tentu saja kamu mendengarku, karena tiba-tiba sosokmu
melesat, melompat dari daun jendela tak berjeruji dengan
sarung melingkar, seperti maling saja kurasa, makin komplit
gelar itu karena kamu dengan wajah cemas menenteng selop
butut cunghai. Haha, itu kan selop bapakmu, selop awet! Aku
berani bertaruh, kamu pasti baru saja memutuskan selop untuk
ke-3 kali dalam seminggu ini.

16
“Parah benar kamu Wan, kakimu itu lasak bukan main
ya!” ledekku yang tak kau gubris saat itu.
“Wusss…!” Seperti angin kau meninggalkanku
beberapa meter, dalam sekejap.
“Woiii…!” seruku, yang tanpa ba-bi-bu mencincing
sarung layaknya orang bercelana kedodoran. Beberapa saat
kemudian kita berebut jalan setapak, jalan yang hanya bisa
dilintasi satu-satu. Kamu selalu saja mendahuluiku,
mengalahkanku dalam kecepatan.
Sesampai di gerbang masjid, berdua kita buru-buru ke
arah pancuran bambu guna mengambil wudhu. Di seberang,
tepatnya di dekat beduk yang tiap Idul Adha diganti kulitnya
itu, Pak Leman sudah berkacak pinggang, bulunya yang lebat
terpamer di lengan, juga menyembul di bidang dadanya,
sedikit. Buntelan sarungnya begitu menonjol dan membuat
perutnya yang melar itu terlihat tambah gendut.
“Wan, kayaknya balon di perutnya udah seperti orang
hamil 7 bulan saja ya…” bisikku. Kamu membalas bisikanku
dengan tawa lepas, memamerkan gigimu yang sekuning
pepaya setengah masak itu.
“Hei! cepat kelien dua!” pekik lelaki itu ke arah kami
dengan nada yang serak-serak basah. Ah! Pak Leman,
rambutmu yang keriting hampir sebahu, berewok yang rapi
dengan jambang terpelihara itu, membuatmu seperti artis
idolamu, kau memang mirip (tepatnya dimirip-miripkan)
dengan penyanyi yang lagunya jadi lagu wajib anak muda saat
digelar keyboard pesta di kampong ini, lagu Begadang-nya om
Haji Rhoma Irama.
“Oke Bang Roma!” sahutmu seraya melambai tangan.
Aku menyikut, takut si lelaki itu tersinggung, marah. Tapi,
sosok yang disebut begitu malah menyungging senyum, khas,
senyuman meradang ala Bang Haji Oma. Ganteng versi jadul.
Alamak!

17
Berwudhu dengan air berbau lumpur membuat ktia lekas-
lekas meninggalkan pancuran dengan wudhu satu menit, lalu
kita masuk ke barisan sholat yang masih diawasi oleh Pak
Leman. Kamu berakting kalem seraya menyodorkan mulut ke
telingaku “Sudah kayak securiti Tuhan lama-lama beliau ni
lah!” keluhmu, aku hanya nyengir dan bertakbir mengikut
imam.
Selepas Isya, selekas mengaji alif-ba-ta dengan Ustad
Yono. Kita bermain-main di tanah lapang, menjunjung obor
dari buluh bambu bersumbu kain perca. Tangan kita berayun
naik-turun, kanan-kiri, menyabungnya dengan angin agar api
tak kalah oleh dingin.
Dan seperti biasa, kamulah jagoannya, yang paling berani
memulai, menghasut aku dan anak lelaki lainnya untuk
mengekor di belakangmu yang berdiri paling depan. Niat
utama pasti untuk mengganggu, menakut-nakuti gerombolan
anak perempuan, terutama Delisa, anak guru ngaji kita yang
tersohor paling cantik di antara kawanannya, yang juga baik
perangainya. Padahal kau tahu, besoknya pasti akan dijewer
sama Ustad Yono sampai kupingmu memerah kulit rambutan
masak.
“Psst! Kal, kau jangan kasi tau ya sama yang lain”
Bisikmu, aku mengangguk cepat.
“Apa itu?” sahutku tak kalah berbisik,
“Sebenarnya aku suka sama Delisa!” sahutmu makin
pelan. Aku mencium bau tajam dari mulutmu. Ah, ya! Tadi
sore kan kita baru saja makan pakai rendang jengkol. Lha,
hahaha… pantasan tadi Ustad Yono nutup-nutup idung gitu
pas giliran kita nyetor hafalan surat pendek. Terkekeh aku
mengingat itu. Sumpah! Kau pede habis! Haha.
“Apaa? Gak denger lah?” tanyaku beberapa saat, pura-
pura tak mendengar, kamu merengut, melipat kening di
wajahmu yang kian dewasa.

18
“Sip! Rahasiamu aman…” sahutku kemudian, kamu
dengan sumringah mengacung jempol ke arahku.
“Udah kau bilang ke dia?” bisikku ke telingamu. Kamu
mematung, memainkan mata. Aku menerka,
“Belum ya?” kamu mengagguk.
“Kenapa? Kau kan ganteng…”
“Iyalah aku ganteng…”
“Tapi gantengan aku lah!” godaku dan kita berkejaran,
lagi-lagi aku kalah. Rambutku siap-siap saja dikucel-kucel
olehmu.
Pernah kubilang, “kalau kau suka sama Delisa, janganlah
kau bikin dia takut gitu Wan!”
Tapi, kamu tak menggubris, tak peduli, kamu selalu
senang saja, karena berhasil membuat gerombolan gadis kecil
itu bertubruk ketakutan, berlari tak beraturan, saat itu kau
selalu menceritakan ihwal hantu-hantu yang berkeliaran di
rimbunan bambu yang terkenal angker itu, membuat
sekerumunan anak gadis itu ketakutan.
Wan, Kamu adalah keberanianku di kali sepuluh, bahkan
lebih dari itu Wan. Sejak kecil, aku kagum padamu, kamu
banyak menjadi perisaiku, dari gangguan anak kampung
sebelah, yang banyak mengajariku menjelajah tiap sudut
kampung, yang mengajariku berenang di bendungan,
menangkap belut, naik sepeda onthel, juga membuat perangkap
burung pipit dari batangan yang serupa rotan.
“ Kau tentu masih ingat kan Wan?”
Beranda ini sepi. Hanya rona oranye di barat yang masih
setia menemani. Segerombolan bangau putih melintas, entah
dari mana mereka, tapi yang pasti mereka seperti halnya hati,
terkadang hati akan kembali, meski lama, meski dengan
bentuk yang berbeda, “bukan begitu Wan?”.

19
Aku terus berbicara pada lelaki yang duduk di kursi
roda tua itu. Lelaki yang tidak saja kehilangan fungsi kedua
kakinya, tapi juga ingatannya. Komplikasi saraf di otaknya
membuatnya jadi pendiam yang akut, trauma kecelakaan pun
kerapkali merenggut ingatan sadarnya, hingga kini, kumasih
berusaha mengembalikan ingatanmu. Aku akan membayar
apapun untuk itu Wan, aku berjanji atas nama persahabatan
kita yang indah, atas nama kekalnya baikmu padaku.
Aku masih terus bercerita tentang masa lalu, padamu, saat
senja kian mengiring kita pada pekat. Aku terus menguak
memori kita, hingga, sebuah panggilan membuatku berhenti,
sosok bersuara lembut itu menghampiri kita,
“Mas, sudah mau petang, masuk saja yuk… ”
Wanita itu berdiri di depan kita, tepat membelakangi
senja. Wajahnya teduh, kepalamu menegak. Matamu
memicing. Mulutmu tergerak-gerak, mengucap sesuatu,
terbata. Yang kudengar kau berkata,
“De… li…saa….”

Tanah deli, 02 april - 10 mei 2012.

20
Ihwal Kenangan
Seperti biasa. Aku, kau dan pagi dengan
dua cangkir biru yang masih mengepulkan
aroma coklatnya. Di sini, seperti biasa, kita
bersila di depan meja kayu bundar, tempat kita
kerapkali mengintip pagi dan arakan awan yang
bergulung-gulung di timur.

21
Ini jumat pagi, sisa gerimis subuh tadi masih menempel di
dedaunan. Ya, ini hari libur kita, saat kita bisa “bermalasan”.
Kamu dan aku memang bekerja di rumah- SOHO (Small
Office House Office). Ya, di beranda ini resmi kita buka
tempat usaha masing-masing, kamu dengan dunia Craft dan
fotografi, sementara aku dengan seabrek dunia kepenulisan.
Sedari awal, kita sepakat memberi nama usaha dari nama
kedua anak kita. Kamu sempat menolak, tapi akhirnya
mengangguk, setelah teringatkan bahwa “Bukankah anak itu
pembawa rezeki?”
***
Seperti biasa pula, tiap pagi, selalu, ada saja kisah yang
kita cakapkan. Di sini, kamu begitu bersemangat bercerita
ihwal asyiknya kemarin sore saat berbecek-ria di Pajak
Sukaramai. Takjub dengan pemandangan pajak yang turut
diramaikan anak-anak kecil penjaja plastik kresek berukuran
besar, takjub merasai bagaimana serunya berjingkrak-jingkrak
melintasi jalan yang becek penuh kubangan di sana-sini sambil
tawar-menawar dengan para penjual yang ramah-ramah.
Ceritamu selalu mengalir, ya, kadang, sesekali aku yang
bercerita, tapi tak pernah seseru dirimu. Kamu pencerita ulung
di tiap pagi kita. Kejadian Ini terus kita lakukan, tiap hari, tiap
pagi. Kita tahu, ini guna mengikat tali-tali hubungan kita agar
tak terlepas sedikitpun. Tentu percakapan di beranda ini akan
bermula, selepas kita beriring berjalan kaki pagi, mengantar si
kembar Rai dan Najwa ke TK-nya yang tak lain TK milik
Bu’de mereka, Bu’de Zulaika.
Sejam lebih. Masih di beranda. Tangan yang selalu
lembut itu menjulur. Memeluk punggung tanganku. Mata kita
bertubrukan. Jelas, Ada bening di sana, dalam, sangat dalam.
Sesuatu yang membuatku yakini, ada lara yang menyinggahi
perempuanku ini, mahluk yang seumpama malaikat, sosok
yang buatku selalu lekat. Ya, setahun berada serumah, dan
masa-masa memintal rasa selama dua tahun lalu, buatku paham
betul apa yang terjadi pada wanita di depanku ini.

22
Ya, ini tepat tahun yang ke-5 lelaki terhebat dalam
hidupmu telah lebih dulu menuju surga. Aku sangat percaya,
Air mata perempuanku bukan mengalirkan rasa sedih, tapi,
sungguh sebuah kebahagiaan karena memiliki kerinduan yang
hebat, karena bahagia, bangga , karena mempunyai rindu itu.
Ya, kerinduan pada lelaki yang dalam diamnya berbicara, yang
dalam diamnya menyayangi wanita yang sangat dijaganya,
wanita yang kini kucintai.
Di sini, kita. Masih di meja bundar. Lekat kutatap
perempuanku, masih ada bulir air melandai di pipimu, bulir
yang ditimpa kilatan bias mentari itu.
Diam jadi teman. Celotehmu yang biasa menggemericik
membincang: “mas, enaknya menu makan siang nanti apa
ya?” atau Tentang kritik tulisan-tulisanku yang habis kamu
baca, tentang kebiasaan aneh Rai dan Najwa yang buat kita
saling selidik: “ini nurun dari siapa?”, tentang kerjamu,
tentang, tentang dan tentang segala hal yang membuatku selalu
merasa teduh, larut, tenggelam dalam ceritamu, tenggelam
dalam tatap beningmu, tapi kini kamu diam.
Aku bangkit. Masuk rumah dan kembali dengan
membawa sebuah buku tebal, semacam diary. Kusodorkan itu
padamu.
“Ini apa?” tanyamu pelan, halus, nyaris bergumam.
“Bacalah” kataku. Perempuanku hanya menatap kosong,
ada tanda tanya, namun ia penasaran, apa sebenarnya buku
bersampul hijau turkis itu? Tangan itu ragu menjulur. Aku
lebih mendekatkan buku itu dan berkata, pelan sekali.
“Ini diary tentang kita, yang kutulis diam-diam sejak
awal kita ketemuan,” aku menatap sumber beningmu, ada
cahaya,
“Sudah saatnya kamu membacanya, mungkin ada yang
terlewatku” sambungku sembari menyentuh lembut lenganmu.
Kamu menatap, aku mengangguk, Kamu pun mengangguk.
Ulas senyum tipis pun beradu.

23
01 Maret 2010
Di toko buku Sembilan wali. Aku berniat menuju kasir,
membawa sebuah buku mungil hasil mengubek-ubek tumpukan
buku yang berlabel diskon 30%. Dalam hati kutertawa, konyol
rasanya berjam-jam berkubang buku, eh! Yang diboyong
Cuma sebiji, kecil pula, murah lagi… ck ck ck.
Selesai membayar, aku mau cepat-cepat pulang. Tapi, tak
sengaja lenganku menyenggol sejumlah buku yang digenggam
seorang gadis berperawakan sedang, berjilbab pink.
“Oooh!” hanya kata itu yang meluncur dari bibir
tipisnya. Matanya membulat, menaikkan bulu matanya yang
lentik. Sisanya, yang terdengar adalah suara buku yang jatuh
kelantai.
“Braakk!” sejumlah orang melihat. Sekilas. Lalu
berpaling dan kembali beralih pada kesibukanannya.
“Eh, oh, anu…” aku tergagap, “ Em, maaf, maaf…”
kataku terburu meminta maaf. Ada diam di raut itu, tapi tak
keruh, sungguh! Ia mempesona dalam sederhananya. Benar-
benar sosok yang sederhana.
“Enggak papa…” balasnya datar, dingin. Aku berinisatif
memunguti buku-bukunya, dan aku mematung pada sebuah
buku. Gadis itu pun mematung heran, lantas ia bertanya.
“kenapa dengan buku itu? Ada yang aneh?” tanyamu.
“nggak… nggak… aku cuman suka sama novel ini”
sahutku seraya menyodorkan kembali buku tebal bercover
Sembilan padanya. “aku sudah baca, 3 kali” sambungku.
“Oh ya? Kan bagus bukunya?” tanyanya
Begitulah, dan pembicaraan pun mengalir, deras seperti
air sungai, seolah pembicaraan ini seumpama itu, terus
bergerak, menandakan ada yang sama, hidup, rasa, yang kian
tumbuh.

24
2 april 2010.
Sebuah kutipan dari salah satu novel kesukaanku.
"...Cinta itu harus diungkapkan, kecuali oleh orang yang
terlalu mencintai dirinya sendiri..."
Boi! Aku belum bisa ngomong apapun.
***
Kamu menutup buku, lantas tersenyum. Seolah beberapa
lembar laramu menguap.
“Abang masih ingat saat aku cerita tentang keluargaku,
seluruhnya?” selidikmu seraya menatapku lekat-lekat. Aku
mengangguk, meraih buku itu, lalu sibuk membolak-balik
halaman dan menunjukkan satu lembar kusam di bagian
pertengahan. Perempuanku lekas-lekas membacanya.

10 mei 2011
Kita sudah jadian. Dan sumpah! Sepertinya caraku
mengutarakannya sangat konyol.
Gadis itu mulai terbuka. Banyak ceritanya yang kian
membuatku kagum, percaya, bahwa dilembutnya ada kekuatan
yang luarbiasa, kekuatan seorang wanita, kekuatan yang
dibangun dengan hati, dan cinta.
Barusan ia bercerita tentang rinai hujan yang kerap
menyapa beranda rumahnya, tempat ia dan lelaki terhebatnya
khidmat menikmati pemandangan kolam mungil yang tak jauh
dari rumah. Saat itu, ikan-ikan bermunculan kepermukaan dan
menyuguhkan tarian terindah mereka, seolah merayu untuk
ikut serta menikmati basahnya hujan. Saat-saat seperti inilah,
senyum lelaki terhebatnya tersuguh begitu bersahaja, namun
melihatnya begitu, itu cukup menghangatkan hatiku. Tuturnya
lirih.
Saat itu aku hanya mengangguk dan kagum dengan
kedua anak-beranak ini. Pada ikatan yang ada pada mereka.

25
Lantasku bertanya lagi, “ada lagi yang berkesan?” Tanyaku
pelan, seperti berbisik. Gadis itu mengiyakan dan mengalirkan
ceritanya yang lain.
“Saat itu aku masih SMP, lebaran sebentar lagi tiba,
berhubung bunda kerja, sekolahku juga tak libur, jadi kami
sekeluarga belum sempat buat roti lebaran. Sore itu tercetus
ide antara aku dan bunda untuk buat roti, dan yang paling
menggembirakanku, ayah bersedia untuk ikut serta dalam
kerepotan kami. Aku bahagia sekali, soalnya ayahku adalah
sosok pria yang sangat...hem... pokoknya enggak nyangka mau
berpartisipasi dalam hal dapur. Anehnya lagi, besok ayah
memberi kejutan yang hingga kini paling aku ingat, ia belikan
mainan mobil – mobilan warna putih berukuran sedang,
mainan kesukaanku, saat itu aku sangat bahagia, sangat.”
Saat kau bercerita tentang itu, senja sudah mulai
tenggelam di barat. Meski kelihatan lelah, gadis itu masih
terus bercerita, seolah ia memang harus menumpahkan
semuanya, segala isi hatinya. Ya, hari ini tlah ada yang
mempercayakan hidupnya padaku, aku akan menjaganya,
gumamku.
***
Pagi ini. Masih kau rindui hujan itu? Basah yang
menimpa-nimpa kepala, memantulkan percikan kenangan?
Masih tergenang lara itu? Tempat berkaca, melihat masa lalu,
merindu, meski kita yakini masa lalu adalah sesuatu yang
hanya bisa kita miliki dalam bingkai kenangan.
Kita. Masih di meja bundar. Di sini, jam yang sudah pada
angka 10, langit sepi, udara pun enggan hilir-mudik membawa
udara yang masih juga mendung. Ah, cocok benar siang nanti
makan tempe mendoan dan sayur genjer khas buatanmu,
batinku.
Aku menatapnya lekat-lekat, mendekatkan wajahku dan
berbisik lirih “Ti, bahuku kan selalu ada untukmu. Selalu.”
Janjiku, kukuh.

26
Pagi sudah merangkak siang. Cuaca masih teduh. Kita
melangkah meninggalkan beranda, memasuki rumah. Tak
lama, celoteh riangmu terdengar, dari arah dapur.

DuniaKOMA, 17.32.11.4.12.

27
28
Hujan yang Membawaku
Aku mengamati bungkus permen transparan yang
menggelinding di trotoar ini. Bersama segerombolan daun
trembesi yang kering, menimbulkan gemerisik yang
menenangkan. Sapuan angin senja, terlihat malas-malasan
membawa aroma basah milik langit, aroma yang kini selalu
mengingatkanku pada satu sosok, gadis berkepang dua dengan
wajah oriental. Baju putih bermotif bunga lili merah yang
kamu pakai sepadan dengan yang di bawahnya, rok merah
marun.

29
“Manis,” pujiku.
Mendengar kuberkata begitu kamu merundukkan wajah,
persis sekali seperti perangai biji-biji padi yang mulai berisi,
menyembunyikan yang jelas-jelas terbaca sepertimu, dengan
raut merona merah-muda.
Ada sesuatu yang selalu buatku rindu. Lesung pipit di
kedua pipimu yang berisi. Tiap kali kamu tersenyum, ikut
menyipitkan dua matamu yang semula sipit menjadi semakin
sipit. Kuku-kukumu selalu rapi seolah pagar kerajaan yang
saban hari dirawat.
Kali ini kamu membawa sesuatu, sesuatu yang
mencurigakan di balik tubuhnya yang semampai. Oh, aku
menatap kakinya, kali ini ia memakai kets merah saga, di
punggung sepatu itu tali putih terpilin rapi, menciptakan bentuk
bulatan dan garis lurus. Aku membayangkan kedua sepatu itu
disatukan, “persis sayap kupu-kupu!” gumamku.
***
Sudah tiga hari aku duduk di sini, saat senja bertamu di
kota yang mulai mengantongi karbondioksida yang banyak.
Aku selalu duduk di sebelah timur taman kota, tempat yang
paling sudut, yang seringkali jadi tempat pasangan muda-mudi
kere melepas hasrat asmara mereka. Pertama kali menemukan
pasangan seperti itu, aku mendengus dan mendamprat mereka
dengan kata-kata serapah, aku beranggapan mereka telah
menodai tempat ini, tempat kita terakhir kali membahas
tentang sebuah legenda yang jarang didengar oleh manusia,
tentang hujan dan genangan yang dicipta di ceruk-ceruk
permukaan bumi, termasuk di tempat ini, ada ceruk sedang
yang selalu setia menjadi tempat genangan singgah.
“Kamu percaya… di sana ada kehidupan layaknya di
sini” katamu. Aku menatapnya lekat-lekat, namun lebih tepat
aku hanya memperhatikan bibir tipisnya yang bergerak-gerak,
mengingatkanku pada seputong rembulan yang pendar.

30
“Ah, masak? Nggak percaya aku, Na…” timpalku kurang
setuju sambil melonggarkan dasi yang sedari pagi mencekikku
dengan alas an aturan kantor.
Ia menatapmu, kali ini dengan mata yang benar-benar
bulat, hitam dan sendu.
“Suatu saat kamu pasti tahu, kenapa aku percaya ini…”
katamu sembari menyodorkan deretan gigi yang putih dan rapi,
tak lupa lesung pipitmu ikut muncul. Aku mengangguk
beberapa kali, sebenarnya belum mengiyakan, sebenarnya
masih mencerna, atau yang lebih tepatnya sebenarnya
menghargai keyakinannya. aku lalu duduk berbalik
menghadap ke arahmu, memindahkan sebelah kaki, menduduki
bangku taman seolah menaiki kuda pacuan,
“Emhh, ini kali ke tiga kita bertemu kan?” ujarku
mengalihkan pembicaraan, sementar wajah di depanku
menunduk, lantas mengangguk. Pelan. Untuk beberapa saat
aku menunggu jawaban yang lebih dari sekedar anggukan, tapi
Rahna tidak menjawab, kini ia malah menutup kedua wajah
dengan telapak tangan, bebrapa saat kemudian ia menoleh
dengan wajah yang digenangi air mata disertai sesengukan
yang sesekali. Dalam. menyayat perasaan siapapun yang
mendengarnya. Bening yang melandai di pipimu yang berisi,
yang kemudian jatuh membasahi rok marun, meninggalkna
bulatan kecil di beberapa tempat di sana..
Aku tertegun, segera aku meminta maaf dan menawarkan
untuk pulang saja, ia mengangguk. kuat. Aku memintannya
meredakan dahulu bening yang masih mengalir itu, ia
merespon dengan mengayunkan telapak tangan untuk
mengelapnya, pelan, di pipi dan dua kali di sudut matanya
yang memerah.
Seperti biasa kamu tak mau diantar, kali ini aku
menawarkan sampai empat kali, namun semua kau tolak halus
dengan alasan “tidak ingin merepotkan,” terdengar klise tapi
sedaya upayaku gagal karena kamu tetap tak bergeming
dengan sikapmu, akhirnya seperti dua pertemuan sebelumnya

31
aku menyerah dan menjejeri langkahnya menuju pintu barat
taman kota. segera setelah mengantarnya hingga di ujung jalan,
melihatnya hingga menghilang di sebuah tikungan salah satu
gang dekat tamam, dan kenyataan pahit yang terus kurasakan
saat ini adalah; hari itulah akhir aku bertemu kamu.
***
Ini hari ke lima selepas pertemuan terakhir denganmu,
hujan masih memberi tanda meski siang tadi sudah tiba dan
membuat sebal rekanku Giny dan Hawa, rencana hang-out
untuk merayakan proyek yang ‘gol’, makan siang di resto
ternama, gagal. hujan membuat maan siang mereka disertai
kerut dan lesu meski di hadapan mereka tersedia potongan
rendang, cap cay, soto dan sambal udang gala tersedia.
Mendung masih menggulung, menebal, angin terus
gelisah, mendesau, menimbulkan gemersik daun-daun trembesi
untuk saling berlaga dan menjatuhkan daun lain yang sudah
kecoklatan, juga beberapa yang kekuningan.
Hari ini aku meninggalkan tas kerja di lockerku, tepat jam
dua tiga ppuluh dua menit aku memutuskan ke tempat ini,
membiarkan pekerjaanku terbengkalai, juga beberapa surat
yang mesti ku urus ke kantor pusat kutinggalkan dengan
konsekuensi akan kena ceramah banyak dari bos keesokan
pagi. Beberapa miss call ku-reject, “telepon-telepon yang
memuakkan!” desisku.
“Hari…” seperti sebuah suara terdengar, itu kamu, ya!
Ya! Ya! Aku menoleh kanan-kiri, kenal betul pendengaranku
pada panggilan itu, suara yang muncul dari arah depanku tadi.
Jantung berdegup kencang, sangat kontras dengan gerakanku
yang lamban, sangat pelan guna melongok, menjorokkan
wajah ke sebuah ceruk trotoar di depanku yang berisi genangan
sisa hujan tadi.
“Owhh…!” seruku lantang, spontan.
Sial! Ini tidak seperti yang aku kira. Kenyataannya
adalah; Nihil. Tidak ada wajahmu di sana. Aku terpaku

32
beberapa saat, mengerjap, mengucek, lalu mencoba melihat
lagi, hasilnay tetap sama. Ah, Rahna, kukira kamu akan hadir
di sini, lewat genangan ini. Hati kian senada dengan mendung.
Aku teringat, Tyas, sahabatku yang kuliah psikologi,
“terkadang kita akan mengalami halusinasi yang berlebihan,
adiktif, disebabkan kerinduan yag begitu dalam”, aku coba
menepis kenyataan, berharap untuk kali ini aku tak salah. Aku
tajamkan pandangan, ahh… hanya melihat wajah ini, aku
sendiri yang kian menua dengan lipatan halus di beberapa
tempat di wajah.
Aku meremas telapak tangan, mengumpat sejadi-jadinya
di hati. Sebelum hujan jatuh, aku meninggalkan tempat ini
dengan memikul berkarung-karung rindu. Akal mengambil
kendali, bergegas aku melangkah menuju kantor, menemui
Mira. Ya, sebelum semuanya terlambat.
“Dan ketika kerinduan itu sudah diikhlaskan, maka sisi-
sisi imajiner itu akan hilang dengan sendirinya” terngiang
ucapan Tyas di lain waktu.
***
Di sebuah tempat, di mana langit berwarna kuning
keemasan, di salah satu sudut, di sebuah kamar yang bening,
ada sebuah cermin yang terbuat dari air hujan, ada satu sosok
yang memunggungi langit dan bercerita sendiri sambil
sesengukan.
“Har, maafkan aku, lupa memberitahumu satu hal
penting, bahwa kau baru bisa melihatku, bila ada air mata yang
jatuh di genangan itu…”

Medan basah, 2013

33
34
Pilihan Hari
Entah sudah beberapa kali aku harus
mencarikan cara agar emak tak sesering ini
menanyakan, kapan berakhir statusku, duda
beranak satu ini.

35
“Kapan kau kawin Har? Kau jangan mikirin dirimu
sendiri, anakmu itu butuh seorang ibu, lho!” sembur emak saat
baru saja kuluruskan kaki di dipan, mengurangi penat di
perjalanan tadi.
Emak yang notabenenya sudah lama menjadi single
parent, paham betul bagaimana keadaanku setelah ditinggal
Elis empat bulan lalu.
“Lha, badanmu sendiri aja masih Mbok Tugi yang
ngurusin!” sambung emak menyindir. Ya, alasan apapun yang
kuberi, wanita yang dua minggu lagi usianya genap enam
puluh tahun itu, sangat ulet meneror. Kukuh memintaku untuk
segera menikah lagi.
“Yang kayak mana sih yang kau suka, Har? Nanti mamak
carikanlah buatmu, apa kayak...”
“Mak, nggak usahlah. Hari lagi nyari kok, cuman nggak
secepat inilah mak” potongku cepat sambil melempar
pandangan ke pekarangan, melihat Rai yang kegirangan
mengejar serombongan ayam kampung peliharaan emak.
“Kayaknya Belum ada yang cocok, Mak,” kataku lagi.
Wanita tua itu hanya geleng-geleng melihatku. Dalam
pikirnya, betapa mudah bagi duda yang mandor kelapa sawit
dan masih berusia tiga puluh dua tahun sepertiku ini untuk
dapatkan istri lagi.
”Atau kau belum bisa lupakan Elis?” tanya emak
menginterogasi sambil memotongi kangkung di tampahnya.
Aku diam, menghela nafas. Elis, meski sudah tiada,
nyatanya ia masih menyita hatiku. Biar bagaimanapun, Elis itu
cinta sejatiku. Dulu alumnus psikologi itu benar-benar
membuatku nekat menolak tawaran keluarga besarku untuk
menikah dengan Helda yang tak lain paribanku.
Oh tuhan! Wanita di depanku ini terlalu sulit untuk
kubohongi.

36
“Iya, Mak,” aku mengaku dengan mata bening berkaca
karena mengingat kecelakaan itu.
“Kasi Hari waktu ya, Mak?” suaraku begitu serak, seperti
ada yang mengganjal di kerongkongan.
“Yaudalah, mamak bukannya memaksamu. Cuman
kasian sama Rai, biar bagaimanapun anak itu butuh kasih
sayang seorang ibu!” terang emak panjang lebar.
Aku mengiyakan, seraya mereguk tandas teh tubruk
sidamanik yang sudah tak panas lagi.
***
Rencananya, seminggu ke depan Rai akan tinggal di
rumah neneknya. Mumpung Playgroup tempatnya belajar
sedang libur, mumpung juga aku sedang sibuk dengan
pengiriman sawit ke kilang pengolahan dan sebenarnya,
memberi kesempatan Rai untuk bermanja dengan neneknya.
Toh begitu, sejumlah bekal, susu dan pakaian sudah kusiapkan.
Mbok Tugi pun kusuruh turut tinggal. Ah, rasanya tak sampai
hati membiarkan emak mengurus sendiri cucunya itu.
Ya, aku besok pagi-pagi buta sudah harus kembali ke
Laut Tador, sebuah daerah perkebunan di Batubara dengan
perjalanan tiga jam dari kota Siantar. Kerjaan di perkebunan
yang tak kenal istirahat, membuatku harus pintar-pintar
mengatur waktu. Di sini hanya cuti yang ada, itupun dalam
setahun hanya dijatah seminggu tiap orang.
Dalam hati aku sudah berencana menghabiskan sisa jatah
cuti nanti untuk lebaran tahun ini. Lebaran di kampung dengan
harapan sudah didampingi pengganti Elis. Harapan untuk
melihat senyum bahagia di wajah emak yang sudah berlipat
merangkum waktu. Ya, lebaran yang tak kan sudi
kutinggalkan. Kapan lagi kami sekeluarga bisa ngumpul
lengkap dengan dua saudaraku yang berjanji akan datang dari
pulau
***

37
Bulan bundar. Langit mendupa asap. Awan berarak lekas-
lekas. Sepertinya hujan akan jatuh petang ini. Semua lelap.
Hanya binatang malam yang berkeliaran di pekatnya malam.
Aku bermimpi. Ya, sepasang tahi lalat di kedua jemari
manisku hilang! Aku panik dan ketakutan. Sepotong ucapan
wanita yang kutemui di mimpi itu terdengar jelas. Sangat jelas!
Aku terbangun. Hanya kerik jangkrik dan kecipak air
pancur yang kudengar. Kuseka keringat yang membanjir di
kening. Rai masih terlelap kelelahan di sampingku. Amat lasak
tidurnya malam ini, kecapean sepertinya, batinku. Pelan-pelan
aku melepas kaki Rai yang melintang di perutku. Aku duduk di
pinggir dipan dengan tangan menopang wajah yang bertumpu
di kedua pangkal pahaku.
***
Aku masih ingat jelas. Dulu, emak sering berkata, ”Tahi
lalat di tubuh itu ada maknanya masing-masing,” Seperti Bang
Rimba yang tahi lalatnya di punggung, kelak ia bakal menjadi
pemimpin. Kenyataannya sekarang, meski bukan skala besar,
abangku itu sukses dan punya sebuah pabrik pengolahan jamur
di Bogor. Abangku yang satu lagi, Bang Timur yang punya
tahi lalat di bibirnya, dibilang emak bakal jadi orang yang
berpengaruh. Terang saja, sekarang abangku yang satu itu jadi
pengacara dan bermukim di Jogja.
Nah, kalau aku, yang menonjol dan unik itu ada tahi lalat
di kedua jari manis tanganku. Kata emak itu pemanis. Semula
aku tak percaya, tapi kata-kata emak selalu mengiang mistis,
”Kelak, itu menunjukkan mudahnya kamu dapat kepercayaan
dari siapapun,” Dulu, begitu mendengar takwil tahi lalatku,
langsung hidungku kembang-kempis, kupingku memerah. Aku
bahagia.
Lantas kini, entah karena memang do’a orang tua itu
lekas dikabulkan, atau memang karena mitos tahi lalat itu, atau
kombinasinya, atau entahlah, yang pasti, berkaca pada
perjalananku yang begitu cepat dan mulus menjadi mandor,

38
rasa-rasanya aku harus percaya. Setidaknya sampai detik ini.
Makanya, mimpi kali ini begitu membuatku kalut. Ya, ini
mimpi yang sama, seperti malam saat akan berangkat ke rumah
emak. Persis. Sumpah!
Aku terus terjaga. Mataku sulit sekali untuk mengatup,
hingga sayup kokok ayam menggedor telinga. Saat itu pun aku
belum bisa melanjutkan tidur. Kucoba memicingkan mata,
merapatkan kelopak mata. Memaksa untuk terpejam sekejap
saja, tapi rasa takut akan mimpi yang sama itu terulang lagi,
membuatku urung untuk tidur kembali.
Alhasil, pagi ini mataku sembab. Kelatnya kopi Kok Tong
di meja makan hanya membuat terjaga sejenak. Ah! sebelum
berangkat, aku harus ceritakan tentang mimpi ini pada emak.
Ya, harus! Gumamku.
Emak yang sedang menjerang air di perapian, terbatuk-
batuk saat asap dari kayu bakarnya mengepul hebat dari tungku
bata. Beberapa kali semprong yang dibuat dari buluh bambu itu
ditiupnya guna memantik api menyulut kayu bakar. Ah,
kompor gas yang kubelikan empat bulan lalu rupanya tak
terpakai, teronggok di atas bufet.
”Mak, Hari bisa ngomong sebentar?” tanyaku sembari
menggeser diri menduduki kursi kayu di sampingku. Sesaat
terdengar keryit kursi yang kududuki.
”Eeh, jangan kursi itu yang kau dudukin, itu mau patah!”
seru emak yang seketika membuatku berdiri lagi. Ah, padahal
aku ingin sekali duduk di kursi yang dulu selalu kurebutkan
bersama dua saudara lelakiku. Ya, dulu kami memang begitu,
karena jatah kursi sedikit, maka yang tak kebagian pasti harus
rela duduk sila di lantai tanah, beralas tikar pandan.
Aku berpindah menduduki sofa di sebelahnya. Sofa yang
kubeli patungan dengan kedua saudaraku itu. Sofa empuk yang
kuyakin jarang diduduki.
”Mau ngomong apa?” Tanya emak sembari menyodorkan
sepiring emping belinjo yang barusan digorengnya. Kuseruput

39
kopi sembari menatap lekat wajah emak, aku menceritakan
mimpiku tadi malam.
Hening. Emak diam. Wajahku tegang, apa emak mengerti
ihwal mimpi yang kualami ini? Berkelebat tanya di pikiran.
Hatiku bergemuruh.
”Emak tahu makna mimpi itu, Mak?” kejarku tak sabar
”Ceritakanlah, Mak!” wajahku berubah menjadi Rai yang
merengek meminta dibelikan permen warna-warni.
Emak menatapku lurus. Lekat-lekat.
”Kau benar-benar memimpikan itu?” emak mencoba
memastikan. Aku menganguk cepat.
Emak menghela nafas dalam-dalam, lantas mengatakan
sesuatu yang membuatku semakin sulit untuk segera menikah.
Ough!
***
Sore. Di kantor.
Usman sahabat dekatku sesama mandor menyodorkan
sebuah foto.
”Dia Rani, adik kandungku. Bulan kemarin baru lulus di
UI ekonomi, sekarang dia sedang di Medan, bagaimana
menurutmu? Aku sudah sedikit cerita tentangmu, dia sih nggak
milih-milih, cuman dia ingin ketemu dulu, kalo cocok, bisa
lebih serius,” papar Usman sembari menepuk-nepuk pundakku.
Aku diam. Berfikir ulang. Bukan sekali ini saja Usman
menawarkan calon untukku, meski semuanya kandas, karena
belum juga aku menemukan kecocokan atau mungkin masih
dibayang-bayangi wajah almarhumah, entahlah. Kini, ditambah
lagi perihal takwil emak akan mimpiku itu. Semakin tipis saja
kurasa peluang untuk segera menikah lagi.
”Duh, cemana mana ya Us, aku segan kali sama kau. Kau
udah banyak bantu, tapi sampai sekarang belum juga ada yang

40
sreg dari calon-calon yang kau kasi itu,” ulasku agak sungkan,
merasa serba salah.
”Halah! Macam bukan kawan aja kita. Udah, yang
penting ikhtiar aja, oke?” Usman meyakinkanku. Nah, kalau
kau pengen cepat jumpa, cocok kali! Sabtu ini si Rani datang
ke rumah, cemana?” sambungnya bersemangat.
Aku merasa kurang yakin. Memang, sekilas dari foto,
Rani adalah gadis yang cantik, dan lebih cantik lagi saat kulihat
jelas tahi lalat di kiri atas hidung. Foto itu kuletakkan di
samping Foto Elis. Ada Kemiripan, gumamku sembari terus
mengembangkan keyakinan.
***
Hari yang ditunggu tiba.
Sesuai rencana, saat jam makan siang, aku diundang
Usman makan di rumahnya. Di perjalanan, dalam Jeep, aku
sempatkan menghubungi emak.
”Oi mak! Minta doa restu dia bah!” Ledek Usman sambil
terkekeh, tangannya mengelakson sapi-sapi ternak di depan
kami supaya minggir.
”Haha, dasar kau!” sikutku, tapi tak kena. Aku tak
melanjutkan obrolan dengan Usman, karena kini aku sudah
terhubung dengan emak. Berbincang serius.
Akhirnya, kami sampai. Di halaman rumah sudah cukup
ramai. Wita, istri Usman sibuk melap beberapa piring porselen.
Seorang perempuan muda ikut menata gelas-gelas di nampan.
Usman mengelakson beberapa kali. Seolah
mengisyaratkan ia sudah pulang. ”Narsis!” Gumamku. Kami
turun dan turut bergabung.
Takjub! Saat aku mengenali perempuan muda yang
sedang menata gelas. Gadis itu lebih cantik dari yang kulihat di
foto. Tapi sungguh! Aku tak akan lupa misiku, janjiku pada
emak, yakni untuk melihat tanda yang sesuai dalam mimpi itu.
Gusar, tentu saja. Harapan ada itu terus kusulut, ada yakin yang

41
meroket, saat kulihat wajah oriental gadis itu memiliki tanda
seperti yang kucari. Ada getar yang menjalar. Ough!
Acara makan besar rupanya sengaja digelar, karena
beberapa kerabat Usman yang tinggal di perkebunan pun turut
berdatangan. Maklumlah orang kampung, sedikit-banyak
dirasa bersama. Makanya, sengaja Istri Usman menggelar
makan bersama itu di halaman agar lebih leluasa. Membentang
tikar pandan dan duduk melingkar di bawah naungan dua
pohon jambu air yang tumbuh subur di dua sisi rumah, rasanya
pilihan yang tepat ketimbang berjejal di dalam rumah.
Usai makan, aku nimbrung dengan kerabat Usman yang
kerja di perkebunan yang sama. Sembari mengupas dan
mencicipi buah markisa, sesekali gelak tawa terdengar.
”Har, kemarilah!” Panggilan Usman dari dalam rumah
menyitaku. Aku permisi sembari beringsut membungkuk-
bungkuk badan melewati orang di depanku. Sesampaiku, hanya
ada Usman dan adiknya, Rani.
”Nah, biar enak, saling kenalanlah kelen,”
Hampir setengah jam berlalu, aku dan Rani saling
bertukar cerita, beberapa kali Usman nimbrung sembari
meledekku yang menurutnya kaku di hadapan adiknya itu.
”Saat minum nanti, itu yang kutunggu. Dengan
menjulurkan tangannya, aku pasti bisa melihat tanda itu dengan
jelas,” gumamku dalam hati.
”Hei! Kok pada diam? Ayo diminum sirupnya,” Usman
menyela sambil menyambar gelasnya.
”Ayo Bang, silahkan...” tangan Rani menyodorkan gelas
ke arahku.
Aku melihatnya. Jelas sekali! Oh, nihil! Kecewaku
meluap. Surut sudah asa. Meskipun lekas-lekas aku
menyembunyikan kikuk dengan menyeruput sirup dan
menyembunyikan gelisah di balik gelas yang kuteguk. Sempat
kulirik jam di dinding, sudah mendekat ke angka dua sore.

42
Tiba-tiba muncul dari balik gorden kamar, tepat di
atasnya tergantung jam di dinding yang barusan kulihat.
Perempuan yang persis mirip Rani. Aku hampir tersendak. Air
sirup sedikit tertumpah ke kemejaku. Aku segera melap dengan
sapu tangan, dan tanpa sadar, aku mencuri pandangan
mengikuti arah perempuan itu yang ke dapur.
Usman terkekeh, ia menangkap keherananku, lantas
memanggil sosok itu.
“Oh, iya, aku lupa ngasi tau ke kau, kalau Rani ini punya
saudara kembar. Ini dia, Rena . Sekarang lagi nyusun skripsi
dia. Payah kali membedakan mereka berdua ini, ayo kenalan
jugalah kelen!” Usman mengisyaratkan Rena.
Aku terpaku melihatnya. Mataku tak lepas dari tangan
gadis itu yang bertangkup sepuluh jari di depan dadanya.
Adapun gerak gerikku mengamati itu, membuat Rani dan Rena
heran dan tersenyum geli. Aku mematung. Pikiranku
berkelebat mengingat mimpiku.
“Bang, jika di jemari manisnya ada tanda itu, tanda yang
sama dengan tanda milikku dan milikmu. Maka, dialah wanita
yang layak menggantikanku,” kata wanita yang kedatangannya
dalam mimpi membuat sendiku serasa lepas itu. Sosok yang
begitu kukenali, dia Elis.
Aku tak sabar, kedua telapak tangan Rena kutarik paksa
dan kubuka lebar-lebar. Mataku liar menyusuri jari manisnya.
Semua tercekat! Usman menggoyang-goyangkan badanku,
kurasa ia mengira aku kerasukan jin.
Aku melempar senyum padanya. Senyum yang pastinya
kan mengambang juga di wajah emak.
”Tuhan, semoga ini bukan mimpi!” pekikku.
(Rumah mimpi, Rainy September 2011)

43
44
Mengeja Relung Nayla
Jika diejakan, maka ini tak akan selesai dalam kurun
sebulan, mungkin lebih, sebab menyusuri jiwamu kurasa
memerlukan investigasi, analisis, persepsi, lantas mengambil
sample dan akhirnya membuat asumsi-asumsi sebelum
mengambil pendapat yang mendekati tentang apa yang kau
rasakan kini, Adinda Nayla.
Duhai Nayla, pagi ini kamu mengguyurku dengan desah
keluh, sebenarnya itu hal sepele yang tak semestinya kau
tujukan kepadaku, sebuah kecemburuan tanpa alasan, tanpa ada
hal yang bisa dibuktikan. Semua bermuasal dari asumsi yang
berhulu dari cemburu buta.
Beberapa hari kemudian. Aku tak tahu apa yang
mengapitmu hingga begini? Aku juga kurang paham dirimu,
kebersamaan kita masih berkisar sebulan sejak bertemu di
pertokoan waktu itu. Bila kau sadari, aku masih baru dalam
hidupmu, lantas apa yang buatmu begitu percaya aku akan

45
meluruhkan semua masalahmu itu? Terlalu memercayaiku
yang belum lama kamu kenali itu berbahaya Nayla. Maaf, aku
hanya mengingatkanmu.
Mungkin aku akan tahu bila mampu mengeja denyut
waktumu, aku akan paham jika mendekam dalam temaram
hatimu. Tapi aku hanyalah aku yang hadir di dekatmu jika
lelah menggelayut, jika mata indahmu meredup dan jika malas
menunggang dengan culas.
Terkadang ingin aku berkata, “Nayla, baiknya tuangkan
saja semua ke dalam catatan harianmu,” kurasa itu lebih baik
ketimbang kamu mengadu padaku yang tak akan menjawab
semua tanyamu. Tapi jika itu ternyata bisa menyurutkan
amarah, meluruhkan resah dan menyeka gundahmu, baiklah
tak mengapa.
Tadi kedua matamu berkaca, kamu mengadu tentang hati
lelaki yang kau cintai, nyatanya telah bercabang, kau tersakiti.
Ah ah, Itu wajar Nayla, bukankah hidup ini proses? Pacaran
juga -bagi sebagian orang- adalah proses untuk menanjak ke
jenjang yang lebih serius, pernikahan.
Jadi, menurutku tak mengapalah dirinya menemukan
tambatan hati yang lain, bukankah pacaran -seperti yang
pernah kau tuturkan- adalah jalan menemukan yang terbaik.
Lantas, jika ada yang lebih baik kenapa tidak beralih ke situ?
Ini bukan untuk tidak setia, tapi lihatlah, mengapa bertahan
sementara hatimu telah berpindah ke yang lain.
Tapi ini tidak berlaku bila sudah ada ikatan pernikahan,
tolong kau garis bawahi ini, aku tak ingin menjadi orang yang
mendukung gonta-ganti pasangan pernikahan, ah! Ini baru tak
setia namanya. Makanya, mencintai itu sebaiknya dari sifatnya,
bukan sekadar fisik, gelar atau kaya semata, terus -itu tadi-
butuh proses untuk mengenal dan memahami. Ah, terlalu klise
itu Nayla.
Malam ini kau menghubungi seseorang, berkali-kali tak
diangkat, wajarlah, waktu telah menanjak pagi, mungkin ia

46
sudah larut dalam bekap mimpi. Kau mendengus dan bercakap
padaku bahwa lelaki itu memikatmu, lelaki yang mulai
menyibak jalan hidupmu yang samar akan sebuah makna
kehidupan, makna yang sebenarnya, yang hakiki. Lelaki yang
membongkar sekat makna tentang arti kaya, memaknai
kembali arti kaya dan bahagia yang sesungguhnya.
Menurutku lebih baik kau coba berlabuh padanya,
setidaknya untuk beberapa waktu ke depan gurat senyummu
akan tergores selalu, dan hanya itulah yang ingin kulihat bila
kau hadir dalam hidupku. Ingin aku bisikkan ”Kau cantik bila
terus bahagia,” jadi cobalah kau pikirkan saranku.
Mungkin aku terkesan mengajarimu, mendiktemu atau
apalah terserah. Dirimu punya penilaian sendiri pada siapapun
atau atas apapun, termasuk aku. Tapi, jika kau hadirkan dan
memercayai aku sebagai peraduanmu, maka ijinkan aku
menyampaikan saranku, semoga kau mendengar.
Kalau kamu tak dengar, itu juga wajar. Aku tahu betapa
sangat sulit memahami perkataan yang terhembus dari diri
yang kaku ini, sulit menyerap makna yang tersirat dari sinar
mataku yang tak hentinya menatap ke sudut pintu, memang
sulit bagimu, kumaklumi itu.
Nayla, kamu berhak menentukan garis hidupmu, tapi
bagiku mengadu pada diriku seperti mengadu pada dinding
mati, tak bergeming. Jadi kurasa baiknya kau menemukan
peraduan yang lain, yang bisa menyelipkan aroma bahagia ke
sukma, yang suka melejitkan semangatmu, atau setidaknya
suka menyisihkan waktu mendengar keluh kesah yang kerap
menghinggapimu.
Nayla, aku tahu. Lelaki itu masih menunggumu, walau
pada dirinya keraguan kini menyelimuti, karena kau terlalu
tinggi untuknya, kau terlalu indah untuk mengecap sedikit
pahitnya kenyataan hidup yang akan dihadapi bila kamu
bersamanya, ia masih meragukan kesiapanmu. Tapi
percayalah, hingga kini ia masih larut di sudut gelisahnya,

47
menimang dan mengenang kebersamaan kalian yang sejenak
itu, aku yakin ia lelaki yang setia.
Tapi sebentar, apakah rasa itu sama kamu rasakan? Kalau
tidak, ya untuk apa aku meneruskan ujarku ini? Sudah,
bergegaslah kamu temukan sosok lainnya. Tapi kalau iya,
apakah dirimu sadar ini tak akan selamanya? Karena menanti
adalah sesuatu yang sangat melelahkan jika kau sadari. Bisakah
kamu siratkan padanya, sedikit saja pendar cintamu untuk
menguatkan asanya, karena cinta itu seperti magnet, tarik
menarik. Kelihatannya asyik juga ya? Entahlah.
Ah, Nayla. Kenapa denganmu malam ini? Apa kamu
marah padanya? Tapi kenapa jadinya kau membantingku? Apa
salahku? Apa? Aku mau marah padamu, tapi kurasa itu tidak
menyelesaikan masalah, bahkan ini akan menambah
masalahmu. Tapi coba pikirkan sejenak? Aku tempat
curhatmu, tapi kamu perlakukan aku seperti ini? Mana laku
manusiawi yang kau rapal dalam untaian waktumu itu? Mana?
Ah ah, maaf jika aku mengajarimu. Tapi coba
renungkanlah kembali apa yang kusampaikan ini. Mungkin
kamu akan menertawakanku saat kamu membaca ini,
menyadari yang menyampaikan semua ini adalah sesuatu yang
tak kamu anggap hidup. Tapi pernahkan kamu memaknai
pepatah ”Jangan lihat siapa yang menyampaikan, tapi apa yang
disampaikan,”
Maaf Nayla, aku tak bisa berkata langsung padamu, tapi
hanya gurat kata ini yang bisa kulayangkan padamu, karena
aku hanyalah sosok bisu di kamarmu, aku bukan sepertimu
yang bisa berpikir dan bertindak, aku cuma barbie-mu.
Hilir Mei, 2010

48
Rumah Hira
“Kota boleh mengubah kalian jadi apa saja nak,
boleh beranggapan apa yang mengubah kalian
itulah yang terbaik, tetapi sebaik apapun yang
kalian bawa, Ayah tidak ingin itu mengubah
rumah kita…” kata-kata mendiang ayah, dua
tahun silam kembali terngiang-ngiang di
telingaku.
***

49
Senja berbalut mendung, membaur dengan deru kereta
api. Di sini, di gerbong tua yang mengantarku menuju kota
kelahiran. Beberapa hela nafasku menghempas. Terasa benar
ada beban yang tertanggung. Rasanya, lalu-lalang pedagang
asongan yang menawari aneka rupa makanan dan minuman
seakan tak ada. Sepi. Sendiri dengan pikiran yang melayang ke
satu panggung kehidupan yang endingnya harus kuselesaikan.
Selepas ayah dan Ibu wafat, ada satu hal yang terus jadi
masalah dalam setahun terakhir ini. Perihal rumah yang
menjadi hak waris bersama. Kakakku Citra, Kak Dila, Aku dan
Alfi. Kami berempat adalah pemegang waris rumah tua yang
letaknya tepat di bibir jalan desa, terletak di tanah yang
berbukit, menjorok ke dalam dengan pohon-pohon
bertumbuhan di sekitarnya.
Kami semua sudah menikah. Kak Citra ikut suaminya di
Kutacane, Si bungsu Alfi tinggal di Kota Siantar, dan Aku
menetap di Medan. Jadi, rumah tua itu hingga kini dirawat dan
dihuni oleh Kak Dila dan suaminya.
Ini kali ke sekian aku pulang dengan masalah yang sama.
Kali ini tanpa istriku, Rahna yang telah kunikahi dua tahun lalu
tak bisa ikut serta, ia sedang membawa anak-anak muridnya
meramaikan pagelaran sastra di pusat kota.
Sebelum berangkat, aku berjanji padanya, bahwa urusan
di kampung bakal kelar malam ini, jadi esok siang aku sudah
sampai di Medan. Begitupun, Aku belum yakin masalah ini
akan selesai dalam waktu semalam, mengingat kabar dari Kak
Dila yang mengatakan Alfi sudah mendatangkan mesin keruk
tiga hari yang lalu untuk meratakan tanah berbukit di sekitar
rumah.
“Ah, tapi kucoba menguat-kuatkan di hati, harus selesai
dengan baik-baik. Ya, biar Ayah dan emak tenang di sana!”
Gumamku.
***

50
“Kota boleh mengubah kalian jadi apa saja nak, boleh
beranggapan apa yang mengubah kalian itulah yang terbaik,
tetapi sebaik apapun yang kalian bawa, Ayah tidak ingin itu
mengubah rumah tua ini…”
Perkataan ayah terngiang lagi di kepalaku. Bingung,
selaku anak lelaki paling tua, aku berkewajiban menjaga
keutuhan keluargaku, di satu sisi ada pesan dari almarhumah.
Aku bangkit dari duduk, beranjak menuju pintu kereta
dan duduk di siku besi di sana, menghabiskan sisa rokok
sembari menatap rimbunan rambung yang terus bergantian
menemani. Aku masih di situ, sampai kereta berhenti, tepat di
stasiun tua.
***
“Rumah ini telalu luas bang, kalau kita bongkar, paling
tidak delapan ruko akan terbangun megah! Oi, keluarga kita
akan lebih dipandang bang!” ujar Alfi, tangannya menyambar
sebuah kertas, berbentuk denah rumah toko, “ini lihat, abang
nggak pernah ngerti sih, tengoklah di sekitar sini! Desa kita
sudah berubah bang, sudah maju! Harusnya abang bangga...”
terang Alfi panjang lebar.
Ya, kampung memang sudah mulai berubah, sana-sini
dibangun perumahan minimalis, yang di depan jalan sudah
pasti disulap jadi ruko. Sebuah bisnis yang menggiurkan.
“Abang nggak akan pernah bangga kalau ini bikin kita
ingkari janji pada almarhum ayah Fi!” Aku langsung berdiri,
darahku naik, Kak Citra memegang pergelangan tanganku,
menahan agar tidak terjadi adu fisik.
“Dek, disini kan masih ditinggali sama kak Dila, jadi kek
mana nanti mereka tinggal?” tutur kak Citra coba menengahi.
“Kak, justru karena itu, biar kak Dila tempatnya lebih
permanen, lebih bagus!” ujar Alfi berargumen. Aku menatap
Kak Dila, ia hanya diam, ia tak berucap apa-apa, ia pernah

51
bilang, ia percayakan semuanya padaku, anak lelaki terbesar
keluarga ini.
Aku menatap sekeliling, tiang-tiang berbalut cat coklat ini
masih kokoh, tiang-tiang tempat dulu kakak-kakakku mengikat
tali yang terbuat dari karet gelang. Tiang tempat kami bermain
alip-cindong, Tiang tempat kami bermain kejar-kejaran. Ah!
Masa lalu yang indah itu melintas lagi.
“Lagipula, kalaulah jadi, darimana kamu akan dapat uang
sebanyak itu?” selidikku, “membangun rumah sekarang bukan
puluhan, tapi ratusan juta dek!” tekanku.
Alfi membuka-buka map berwarna merah darah,
tangannya menyodorkan lembaran fotokopian ke aku dan
kakak-kakakku. Keningku berkerut. Aku dan Kak Citra
berwajah pias, Alfi menghela nafas sebentar lalu berkata,
“Juragan Rebo bersedia mendanai… ia hanya meminta
jatah satu ruko dari delapan ruko yang dibangun, bagus
bukan?” aku sontak berdiri dengan tangan menuding,
“Kamu melakukan sejauh ini sendiri tanpa kesepakatan
dari kami?” teriakku marah, mengepal tangan, “ abang sampai
kapanpun nggak setuju!” sambungku seraya tangan
mencampakkan kertas yang menyatakan bahwa adikku yang
selama ini bekerja sebagai Kontraktor di kota itu menjadi pihak
satu dan Juragan Rebo jadi pihak ke dua, sementara nama
kami, abang dan kakaknya tertera sebagai saksi yag berarti
menyetujui kesepakatan itu.
Kopi-kopi sudah tandas. Malam pun bergegas lari,
menuju pagi. Tapi di rumah tua itu masih saja beradu argumen,
hingga, tak ada kata mufakat, Alfi bahkan mengancam tetap
akan menggadaikan surat tanah esok hari dan memulai
pembangunan rumah secepatnya.
***
“Brengsek!” gerutuku seraya meninju telapak tangan
sendiri. Raut tenang rembulan tak mampu menyusutkan

52
amarahku yang sedari tadi menggelegak. Di anak tangga ini
aku terduduk. Menopang dagu, berdialog dengan diri sendiri,
hingga tanpa sadar kak Citra menyentuh pundakku,
“Belum tidur Hira?” tanyanya,
Aku menggeleng, “kamu kecapean itu, tengok kantung
matamu hitam begitu… ini minum teh dulu biar agak
tenang…” tangan itu menyodorkan secangkir besar teh. Ia tahu
kesukaanku. Ini teh tubruk.
“Sidamanik?” tebakku saat menyambut cangkir berisi teh
itu,
“Nggak, teh biasa, dari warung…” ujar kakakku. Aku
tersenyum kecut. Sekilas ingat kata seorang sahabat yang
tinggal di Sidamanik, bahwa penggundulan kebun teh besar-
besaran terjadi di daerahnya beberapa tahun lalu, diganti pohon
sawit.
“Kita nggak bisa terus-terusan bersikap begini pada Alfi,”
ujar kakak yang duduk menyebelahku. Wajah itu menunduk,
kutahu ada bening yang membulir di sana.
“Mungkin dengan menyepakatinya, kita bisa membantu
proyek Alfi, barangkali dia memang butuh proyek, juga buat
kakakmu Dila, akan bisa memperbaiki ekonominya, bisa buka
kedai, atau apalah nantinya…”
Aku menatapnya lekat-lekat. menghela nafas. Dalam.
Sangat dalam.
Hening. Hanya suara jangkrik dan burung hantu yang
terdengar.
“Yah, setelah aku fikir-fikir, ada benarnya kata kakak,
tapi …” ujarku sambil menunduk.
“Ayah di sana pasti tahu akan ini, dan dia pasti berharap,
anak laki-lakinya yang paling besar, bisa bijaksana…” ujar
Kak Citra sambil tersenyum teduh, tangannya menepuk-nepuk
bahuku. Meninggalkanku yang memikirkan esok pagi akan
mengambil keputusan seperti apa.

53
“Ini masalah jangan berlarut-larut,” gumamku.
***
Pagi di kereta api. Aku menatapi pohon-pohon rambung
yang berjejer tertanam di pinggir rel yang kulintasi. Meski
tumbuhnya pohon-pohon itu tidak pernah lurus, selalu
bercabang, tetapi akarnya tetap menjalar dan menyatu di suatu
tempat yang tak terlihat, hanya ada bagi yang merasakannya,
meyakininya, bahwa seperti halnya rambung-rambung ini, kita
hidup dari dan oleh sejarah.
Aku menggerayangi saku, menemukan ponsel dan
mencari-cari nomor seseorang.
“Halo, Bang Nano, maaf ini pagi-pagi nelpon,” aku
menggantung sebentar, mengatur nafas “gini, tentang rumah
aku itu, besok rencananya ada yang mau kurombak, nanti
malam bisa aku kasi gambaran sketsa nya bang?”
“Oh itu, beres mas! Kita kan memang ikut rencana
sampean toh…” ujar suara di seberang. Setelah mengucap
terima kasih, sambungan kuputus.
Di gerbong tua yang bergerak lamban ini, aku memilih
untuk tidur, larut dalam mimpi, melemparku ke sebuah rumah
yang menyimpan jutaan kenangan.

U20.K3-2/3B, Hilir Desember 2013.

54
Menunggu Lara
30 November 2011

Secangkir cappuccino hangat menyentuh bibirku yang


pucat. Ya, sedari tadi jemariku tak henti memainkan cangkir
yang bergagang separuh love di depanku ini. Cangkir yang
kalau bisa berekspresi mungkin akan cemberut melihatku yang
terus memutar-mutarnya hingga kepul uap miliknya menjadi
mengawang liar. Ya, ini persis seliar pikiranku saat ini, pikiran
yang sedari tadi terbang entah kemana, pikiran yang membawa
tumpukan luka mengenangmu pada tiap lesatan anganku, Lara.
Di meja ini kulihati potretmu yang sedang duduk manis.
Ya, sesosok yang duduk di meja bundar coklat bernomor 13,
sama persis dengan meja yang kududuki. Di dalam gambar,
kau tampak duduk menyilang kaki, mengadu lipatan jeans yang

55
kaupakai. Ada gusar di sana. Ya, gusar yang melekat pada dua
kelopak kejoramu. Kau tahu? Melihatmu begini, aku lebih
gusar. Aku merasa menjadi orang paling bersalah. Ah!
“Srrruuuff…” kuredakan gelisah dengan menyeruput
kopi.
Berniat menyulut kretek, namun lekas-lekas kuurungkan.
Seketika ingat, ruang kubus ini berAC, gumamku. Kini hanya
jari yang menari-nari di atas keyboard laptop merah marun.
Sesekali menerawang, menghela nafas lantas menunduk,
mengetik. Acapkali Melihat sekitar, menunduk, mengetik lagi.
Begitulah, sampai waktu merangkak maju ke garis merah di
barat, mengiring sepotongan kenangan yang ditelan malam.
Ya, Sejak coffe shop ini dibuka tadi pagi, aku telah hadir
lebih dulu daripada para karyawannya. Ya, mereka tentu
memaklumi, sudah hapal dan mengenaliku sebagai pelanggan
tetap, makanya aku dibiarkan duduk manis di meja itu
sementara di waktu yang sama, para karyawan menyapu,
mengepel dan mengelapi meja serta tiap sudut kafe ini.
Mereka maklum, ini sudah kali ke lima aku begini, duduk
dari pagi hingga petang di tempat dan meja yang sama, sebuah
cerita sedih yang mengantarku begini, menjadi buah bibir bagi
mereka. Ya, telah lima tahun jarak merentang. Aral yang
malah melipat cinta dan rinduku. Rasa yang menyakitkan,
karena aku tak bisa menemukanmu, hingga lima tahun terakhir
ini.
Kau mungkin marah besar saat itu, ketika aku tiba-tiba
saja membatalkan pertemuan kita di kafé ini. Aku tak tahu
kalau pertemuan itu sangat penting.
“Argh!” aku mengepal rambutku yang sudah tak pada
sisirannya. Aku telah mengecewakanmu, Lara. Aku egois,
memilih terbang ke Singapura berbekal mimpi dan dokumen
perjanjian proyek perusahaan.
Marah! Ya, sekarang aku marah pada diriku saat
mengingat selembar kertas yang kau titipkan ke seorang
writers yang berbaik hati, berjanji memberikannya padaku.
Selang dua hari aku ke kafé ini dan mendapati kertas

56
bertandatangan dirimu berada di genggamanku. Kau tahu? Aku
hilang kesadaran saat itu.

Dear Harry,Aku harus memutuskan, sore ini adalah


pertemuan terakhir kita. Tidak, tidak, aku tidak konyol dengan
memilih bunuh diri atas kekecewaanku, tidak Harry, aku masih
waras. Harry, meski aku putuskan kita tak sehaluan, kau harus
percaya, dimanapun udara menyapamu, kau harus yakini,
doaku ada untukmu, larut pada udara yang kau hirup, turut
dalam impian-impian yang kau raut. Sukses selalu untukmu
Harry.
Rian. Ia menemaniku hari ini, kau tentu terkejut, ya, aku
sudah menceritakan semua padanya dan ia begitu bijak, ia
bisa saja dan rela membatalkan pernikahan kami asal memang
engkau benar-benar menjamin akan menjagaku dan
mencintaiku melebihi cintanya padaku.
Kau tahu Harry, aku menangis, deras sekali, sama
seperti hujan yang hadir sore ini, aku seolah menyatu dengan
hujan, lama, sangat lama gerimis itu Harry. Ah, padahal
sebenarnya hari ini adalah saat yang tepat bagiku
mengenalkanmu padanya dan mengatakan kita saling
mencintai, sehingga pernikahanku lusa dengan Rian bisa
dibatalkan. Tapi, kautelah mengingkarinya.
Saat ini, saat engkau membaca tulisan ini, aku sudah
menjadi halal bagi Rian. Harry, jangan menyalahkan ia, oh!
Adakah mungkin ini takdir? Tentang kita yang tak akan
pernah bisa mengajari Tuhan untuk berpikir? Semoga, tak kau
sia-siakan wanita pendampingmu kelak, wanita yang
menggantikanku.

Jangan mencariku,
Salam terhangatku dari Melbourne.
Larasati Ourora

57
“Krieeekk…”

“Dreeettt…”

Bunyi itu menyadarkanku dari lamunan. Kutatap


sekeliling, para karyawan sudah merapikan kursi dan meja,
membersihkan tiap inci ruangan ini. Tiba-tiba, ada sesuatu
yang mengaliri tubuhku, halus sekali, sesuatu yang
menyadarkan. Nafasku naik-turun.
“Maaf, Mas. Mas masih lama lagi?” tanya si pelayan hati-
hati.
Aku tak bergeming. Pelayan tentu heran, mungkin ia
mengira aku kerasukan setan.
“Terimakasih,” akhirnya kata itu meluncur memecah
keheningan, kata yang sungguh-sungguh dan bulat dariku.
Semua terkesiap dan serta-merta menghentikan pekerjaannya
guna menyimak kata-kata selanjutku.
Mataku hangat, dalam hati aku berkata-kata,
“Terimakasih kawan-kawan, kalian mengajarkan satu hal
padaku, kalian membersihkan tempat ini tiap hari, tempat yang
acapkali melekat kenangan-kenangan indah dan sedih! Kalian
mengajarkan aku bagaimana cara menyapu kenangan, lalu
menjadikan diri seperti ruangan yang bersih dari kenangan-
kenangan sedih itu sendiri!” Semua menatapku, benar-benar
teduh dan seolah mengiyakan kata-kata yang kugumamkan
barusan. Mata mereka masih memerhatikanku.
“Lara, aku harus melupakanmu,” gumamku.
Ya, aku hidup untuk masa depan, bukan malah terjebak
pada kenangan, pada masa lalu, batinku. Sepotong foto dan
suratmu telah terkepal dan berpindah ke tong sampah.
Bergegas kukemasi barang-barangku dan berjanji tidak
akan pernah ke tempat ini lagi. Janji!

Dunia KOMA, 30 Rainy Nopember 2011

58
Tanya yang Tak Tereja

Ada tanya yang terpendam, tak terejakan. Tanya


yang kerap hadir saat garis senja terbenam.
Bait atau syair gelisahmu itu menjalari malam
yang menyibukkanku. Rerimbun tanya dan
tanya yang tidak akan terjawab, sebab angin
melarikan tanya dan pekat menyisipkan jawab,
di saku mimpi.

59
Udara begitu menusuk. Sinar rembulan meredup terbalut
pekatnya kabut. Jiwamu yang tersapa hampa kian gelisah oleh
kata-kata yang sedari tadi tumbuh di mimpi. Kini, senyap
mulai semai ribuan puisi kerinduan, tapi penuh kemayaan.
Mengejaku, mengajak dirimu tersudut di siku malam
yang sunyi. Mengejaku, membuat dirimu menuang ribuan
tanya yang tak tereja. Tanya yang kerap meluncur untuk
memahamiku. Inilah sebuah keentahan yang entah bagaimana
lagi harus kukatakan. Sebuah keanehan yang terpelihara.
Sengaja aku menabung tanyamu, perlahan menyudutmu
dalam kebisuan, ketidakpastian yang akan amat maha dahsyat
menerpamu. Mungkin sudah kaurasakan, iya kan?
Akan kubiarkan begitu. Kubenamkan dirimu. Bukan
inginku sebenarnya, namun mengejakan semua yang kulalui,
tentu akan menenggelamkan dirimu dalam jejak nisbi yang
semakin pekat. Aku katakan sejujurnya, aku sulit kaueja,
jejakku terlalu terjal, jiwaku terlalu liar untuk kaususur.
Namun, bila keingintahuan itu begitu maha dasyat
membanjiri hatimu, keinginan untuk mengejaku, maka aku
persilahkan kauikuti waktu yang telah kugurat, lihatlah jejakku.
Dan tatkala kaumasih juga belum mengenalku, coba lihat
saat debu menimbunku, coba kauangsur tanya pada mereka
yang dekat denganku. Mungkin bisa jadi referensi untuk
mengenaliku. Setidaknya aku ada dalam warna hidup mereka,
mungkin beberapa tanyamu akan terjawab dari mereka,
semoga.
Namun, jika belum juga kautemukan jawab itu, maka
katupkan mata, susurlah malam berjelaga, mimpi-mimpi
fatamorgana akan kautemukan. Labirin dengan sekat putih
akan menyapamu. Saranku, gunakan hati nurani agar tak
tersesat saat mengenaliku.
Bila sudah berada di sana, lekaslah menujuku. Iya, Di
pucuk itu. Tataplah sedalam engkau tatap telaga, dan marilah
bercengkrama, menandaskan tanyamu yang belum juga tuntas

60
itu.Tapi tolong, jangan tanya siapa diriku, karena aku akan
hilang terbalut kabut, tolong jangan tanyakan hal itu. Bisakah?
Mungkin engkau akan beranjak meninggalkanku, tapi
sebentar, sekadar berkabar, nyatanya aku tak bisu, aku bisa
menalar apa yang engkau katakan. Sungguh! Ini bukan peran
gila yang kulakukan, aku ingin jadi diriku sendiri, dan kamu
menemukanku seperti manusia yang hilang ingatan. Ah! Maaf,
betapa tidak mengertinya dirimu.
Aku mengunggumu di sini, mengeja bahagia yang
kaucari, entah dan dengan keentahan yang bagaimana lagi aku
akan mengejakan itu padamu, sebuah tanya yang kerap melesat
dari bibir basahmu, ”Engkau sudah menemukannya?”
Baiklah, mungkin akan terurai jika aku mengatakannya
lewat deretan kata ini. Aku sudah menemukannya, tanpa
terejakan olehmu! Aku menemukan di atas rubuhnya pagi, aku
menemukannya di atas timpangnya sendi hidup ini, aku
meraihnya saat berpeluk dengan sedih, aku mendapatkannya
dan aku bahagia dengan segala hal yang tidak akan terejakan
olehmu, entah sampai kapan dan dengan keentahan yang
bagaimana engkau akan berkelana hingga ruh dirimu meregang
dan jasad berbalut kafan. Semoga sebelumnya engkau dapati
itu. Semoga.
Dan sekarang masih kautanyakan makna itu? Masih juga
belum tereja olehmu? Sudah aku katakan, mengeja tanya itu
butuh perhatian yang tak sedikit, butuh rimbun tanya yang
terbit. Butuh sabar yang menjalar.
Tapi begitupun, aku hanya akan menanggalkan jawab itu
bila semua semesta rela atas apa yang kurasa. Saat itu aku akan
menanggalkan makna ini, akan kutinggalkan keramaian dan
menyudut di sepi, merapal sujud kesyukuran yang tak terperi,
karena kautelah menemukan jawab atas tanya yang
membayangimu, selama ini.
Namun, lihatlah kerut terlipat yang semakin berlipat.
Rentang yang kian panjang itu menjauhkan titik temu antara

61
dua sisi kehidupan. Entahlah, hati yang melindap itu kerap
menyundutku dengan untaian tanya dan tanya yang selalu
menghiasi malam. Aku tak terganggu atas itu. Sungguh!
Engkau berkaca di saat hujan, ketika rinai-rinai
menimpamu. Kesejukan yang menghanyutkan harapan atas
tanyamu yang ingin gegas tertunai. Memang, tetes hujan akan
menandaskan dahagamu, tapi itu sementara saja. Sedangkan
yang engkau butuhkan lesapnya dahaga untuk selamanya, iya
kan?
Baiklah, aku tak ingin berlanjut, aku ingin harimu
berdenyut kembali seperti semula, sebelum engkau mengeja
dengan puluhan tanya yang mengejarku. Aku lelah, baik,
sekarang meringkuk dalam selimutmu. Larutlah kamu dalam
mimpi, nah kamu melihat aku kan? Sekarang yang harus kamu
sadari sesadar-sadarnya adalah bahwa aku adalah bayanganmu.
(Dunia KOMA, Medio 2010)

62
.

Dialog Dua Jiwa


Semula biasa saja, aku dan dirimu sudah terbiasa. Tidak
ada yang istimewa mengikat hati kita. Hanya sepotong kata
yang kerap menjadi bahan obrolan, itu pun sekadar, sungguh
tidak ada yang istimewa. Namun kini, setelah kejadian itu, kita
semakin jauh berlayar dari pandangan yang kian hambar.

63
Malam itu, engkau menemuiku disaat malam masih
basah. Ketika bulir hujan masih menempel di dedaunan.
Sosokmu menemuiku dengan tangis yang pecah, dibarengi hati
yang koyak.
Akh, adinda mengapa begini? Siapa yang tega
mengalirkan air mata beningmu? Siapa? Ah!
Kau mengangsur jawaban, mencoba menggurat senyum
walau kutahu itu menyesak di hatimu. Aku paham, jauh di
sudut hatimu ada luka yang menganga lebar. Butuh waktu
untuk menyembuhkan luka itu, walau kuyakin setelah sembuh
pun bekas luka itu akan tetap ada.
Aku tertunduk lusuh mendengar guyuran resahmu. Apa
yang kamu ujar ibarat membuka lembar masa lalu. Sesuatu
yang sempat kusimpan rapi di laci hati, berharap menjadi
kenang sejarah yang cukuplah segelintir saja yang
menyimpannya rapi. Tapi, ketika kau ujar perihmu, saat kurasa
gundahmu, aku tak kuasa, aku terbawa, tercabik, tertipu. Ah!
Sebenarnya semua itu bermula dari perasaan.Yah, jangan
pernah menyalahkan perasaan orang lain terhadapmu, tapi
harusnya orang lain pun harus menghargai perasaanmu. Harus
imbanglah.
Adinda, ingatkah akan tawaran sepotong hati yang sempat
tertolak olehmu? Sadarkah, kini ia merentang jarak, mungkin
samar atau tidak terlihat bagi yang lain, tapi tidak oleh kita,
terutama kau. Yah, sekali lagi kita belajar untuk tidak
mengajari orang berpikir dan bersikap, tapi cukuplah sekadar
mengajaknya bercermin. Walau begitu, biarlah waktu yang
mengejakan. Toh, jika kita baik tentu akan tetap baik di mata
yang baik dan yang Maha Baik. Bukankah dengan begini kita
akan jadi yang lebih baik?
Embun menggantung di dedaunan. Pagi yang
menakjubkan! Mataku masih berat terkuak tatkala telingaku
terguyur ajakanmu untuk menyambung dialog yang sempat
terputus oleh mimpi. Kembali-dan selalu kita beradu ujar serta

64
menyemat bahagia di relung masing-masing. Terimakasih telah
bijaksana menjadikanku anugrah terindah itu, tempat yang kini
kamu pilih untuk jadikan dermaga atas kapal resahmu.
Yah, kusadari benar. Bahwa dermaga lain sering
mencibirmu yang kerap memilih berlabuh di dermagaku.
Sempat tidak engkau dengar? Selentingan kabar berujar,
akulah dermaga yang lupa pasak. Ah! Tapi begitupun
syukurlah engkau meyakiniku tidak begitu, dan nyatanya
memang tidak bukan? Bagiku pasak tetaplah pasak. Ia menjadi
pondasi dalam kehidupan sebuah dermaga, tetapi sadarkah?
Tidak layak rasanya bila pasak diletakkan di permukaan
dermaga. Bukankah ini akan menjungkal semua yang ada?
Akh, adinda. Perkenalan kita memang masih cambah,
bahkan sangat pagi. Sekadar mengenal satu sama lain saja
masih mengeja, dialog kita kerap berbuntut tanya yang tak
berujung, tapi lihatlah betapa kita menikmati tiap detik
kebersamaan ini. Ah! aku bahagia melihatmu menyuguhkan
senyuman. Benar-benar pelepas penat yang kerap menyengat.
Kadangkala, hingga pagi menelan malam kita masih
larut dalam dialog-dialog yang berujung dengan dengkur di
kamar kita masing-masing. Lantas, tatkala garis pagi
menyembul dan azan membangunkan kita, kembali
mengingatkan akan dialog yang belum juga usai tadi malam.
Dialog yang mungkin tidak penting, tapi bisa jadi penting.
Adinda, gundah yang menyemat di hatimu tidak akan
luruh jika kapalmu masih terombang-ambing di laut
kehidupan. Bila belum juga kamu pastikan dermaga dan
menambat kapalmu, tentu dermaga yang lain akan mencari
kapal lain yang masih terombang-ambing di lautan, setidaknya
berkuranglah.
Kini, banyak mercusuar menyinarkan lampunya ke
arahmu. Dengan kerlip yang terang. Menyorotmu dengan
cahaya yang berbalut kabut. Ada berkas sinar yang keras,
lembut dan samar. Hmm, Banyak benar pilihanmu untuk
berlabuh. Aih! Enak betul.

65
Siang merambat. Peluh melekat di keningmu yang putih.
Sepasang mata di sudut pintu menatap kita yang sedari tadi
tidak menyadari keberadaannya. Sepasang mata yang tidak
asing. Hei! Lihatlah, sinar itu lain, entahlah sinar apa yang ia
pancarkan, sinar yang dingin dan menyelusup ke tulang.
Tak menunggu lama, seperti tersihir kita melihatnya.
Yah! Sepasang mata itu menyiratkan api. Hei! Baru kusadar itu
api cemburu. Aih! Sepasang mata itu cemburu? Gawat!
Senja merapat, lamat waktu merambat ke barat. Yah, baru
kusadar sepasang mata itu adalah dermaga yang turut
menyorotmu kemarin. Tak hanya ke arahmu, tapi juga ke
dermagaku. Engkau tentu telah merasakan keras pendar
sinarnya bukan?
Sekarang, sekalipun dialog kita masih berlanjut, sesering
apapun kita meraut rindu, seperti yang sudah kukatakan sedari
awal, biarlah waktu mengejakan, aku tidak mengikatmu
dengan ikatan yang terlalu kuat, aku juga tidak ingin lagi jadi
dermagamu.
Lihatlah, bila aku bersikukuh menjadi dermagamu,
bukankah kita dipisahkan oleh pijakan? Dan aku pun riskan
akan lepasnya ikatan oleh sayatan tajam pada tali penambat
kita atau putusnya rantai jangkarmu. Jadi, ijinkan aku jadi
selimut abadimu.

Dunia KOMA, 2010

66
Ti
Ti, dimanapun udara menyapamu. Kau harus yakini,
doaku ada di sana. Larut pada udara yang kau
hirup, turut dalam mimpi yang kau raut.

Ti, sunyi siang ini mengantarku untuk menatapmu. Ya,


titik-titik gerimis mengantarku menujumu yang kini berpayung
sendu. Ah, mengapa harus di saat begini kita bertemu. Saat lara
menyemat di dirimu. Ketika gerimis hadir melandai di

67
cembung pipimu yang kuning langsat. Ingin kuseka bening itu,
tapi ah, aku riskan.

Ti, sedari tadi kulihat kamu di sini. Kau membawa


selembar kain berwarna biru laut. Sapu tangan yang pernah
kuberikan dulu kah? Mengapa tak kau gunakan menyusut alir
air yang mengalir deras dari matamu.

Ti, maaf, aku tak bisa melihatmu begini. Engkau tahu?


Aku tak bisa melihat wanita menangis di dekatku, itu
kelemahanku. Apa inginmu kini? Katakanlah, kiranya aku bisa
bantu surutkan masalahmu.

Ti, mengapa engkau diam saja? Bukankah seperti yang


kau ujar dulu, air mata tak selesaikan masalah. Ya, sekalipun
lelaki, aku pun kerap mengadu lara dalam tangis. Ya, air mata
memang dicipta sebagai peraduan rasa yang ada pada tiap
manusia, kau pun juga bukan?

Ti, Engkau telah mengenalku. Meski sekejap memang.


Rasanya kita bisa saling menjaga rahasia. Percayalah, apa
aduanmu nanti tak kan pecah di mulutku. Tolonglah, aku tak
bisa melihatmu begini terus.

Ti, mengertilah. Sejak jam tiga tadi kita hanya


mengapungkan diam. Hanya isak dan derak nafasmu yang
sesak naik turun. Aku tak mengerti lagi akan berbuat apa, aku
bingung. Bisa kau beritahu aku harus apa?

Ti, jawablah tanyaku, engkau kenapa? Bantulah aku,


lihat! Kini semua penjuru mata di tempat ini menatapku
dengan tatapan menghakimi. Mereka mengira aku yang
membuatmu menangis sebegini lama, sebegini dalam. Ah,
manusia slalu saja melihat dari satu sisi. Apa karena aku
memang salah? Ah, rasanya mencintaimu dan memendamnya
hingga kini bukanlah sebuah kesalahan. Jadi, bisakah berhenti
dan tumpahan padaku semuanya? Ayolah.

68
Ti, Senang melihatmu mau berdiri dengan wajahmu
tegak. Meski dengan kantung mata yang hitam dan sembab, ah,
yakinku sedari tadi pagi matamu basah dan mengalir landai di
kedua sisi pipimu yang memerah. Kau menatap kearah langit
sendu. Bibirmu yang merah muda pucat berkali-kali kau
kulum. Kau menunduk lagi. Kau diam, kita diam.

Ti, maaf jika aku memegang bahumu. Aku harus


menguatkanmu, seberapapun rapuhnya dirimu, seberapapun
terpuruknya dirimu. Aku tahu, tiap orang akan menemu
masalah dalam hidupnya, toh, kita faham, itulah pembeda yang
hidup dengan yang telah mati bukan?

Ti, dengarlah aku. Segelap apapun waktu yang kau jalani.


Setinggi apapun tanjakan hidup yang kau jejaki. Tumpahkan
saja padaku, aku rela menjadi peraduanmu.

Ti, kau tentu bingung mengapa aku begitu


perhatikanmu? Ah, apa kau lupa? Pada malam-malam yang
pernah kita isi dengan pesan-pesan pendek. Ya, dulu, saat kau
belum berlabuh pada dermagamu. Kau bilang pesanku terlalu
romantis, padahal, balasanmu yang kau tulis kerap
menginspirasiku untuk menulis puluhan puisi di sini. Kata-
katamu bak amunisi, lesatkan imajinasiku kau inspirasiku
dalam melahirkan sejumlah buku. Maka itu aku peduli
padamu.

Ti, kalau boleh aku jujur. Dulu, aku lelah menunggumu.


Berkali engkau berganti dermaga, pun tak sekali aku berpaling,
mungkin konyol bagiku yang terlalu memilihmu. Membiarkan
diri terbenam cemburu saat melihatmu dengan yang lain.
Menolak tawar cinta dari sejumlah jiwa yang secara terang
merapatkan kapalnya. Aku setia padamu, bahkan di saat ini,
sekalipun kau tak menyadari itu.

69
Ti, engkau pernah berkisah tentang kesederhanaan yang
kau ingini. Kebahagiaan yang hakiki. Meski kuyakini itu hanya
basa-basi. Oooh, nyatanya kau mengagungkan kemewahan
hidup. Bahkan di tempat seperti ini pun engkau berdandan ala
ibu pejabat, padahal... Ah! maaf, aku ngelantur dan malah
menceritakan burukmu, maaf.

Ti, mengapa engkau melepas penutup kepalamu itu? Apa


yang kau lakukan? Seumur hidupku baru kali ini kulihat kau
begini, rambut ikal sebahumu tergerai uapkan aroma pandan
melati. Kau tak seharusnya sebegini putus asa, Mengertilah,
tuhan punya rencana padamu.

Ti, telah cukup lama kita diam dalam keheningan.


Kebekuan kata yang kau eram dalam mulutmu masih juga kau
jaga. Hari sudah mulai gelap, bentar lagi senja akan ditelan
malam. Kau masih ingin di sini? Tempat ini semakin sepi, kau
tak takut?

Ti, bukannya aku ingin mengusirmu dari tempat ini, tapi


mengertilah, berhenti di sini dan terbalut lara bukanlah pilihan
yang tepat. Kau pintar, kau bisa mencerna tiap pelajaran yang
terselip dari masalah-masalahmu. Tak hanya itu, kau cantik.

Ti, kulihat tanganmu mengepal, kepalamu mengangguk.


Engkau mendengarkan ujarku rupanya, ah, syukurlah, aku
senang lihat kilat semangat di matamu. Sedikit, tapi terlihat
olehku, ya!

Ti, bangkitlah, berjalanlah ke arah cahaya mimpimu.


Waktumu terlalu indah untuk kau habiskan larut dalam duku.
Percayalah, dimanapun langit menyapamu. Yakini dengan
sungguh-sungguh, doaku tergantung di sana, doa yang larut
dalam arakan awan dan hujan, doa yang ikut serta pada
langkah yang kau arah. Percayalah, aku ada di tiap waktumu.

70
Ti, tersenyumlah. Karena senyumanmulah yang kerap
mengkanvas halaman-halaman putih di notes dan layar
komputerku. Tersenyumlah seperti saat kau berbahagia
melihatku berada di kerumunan desak orang berebut
tandatangan di bukuku. Tersenyumlah sewaktu kau membaca
tulisanku, tentang aku yang menulis diriku, dirimu di
dalamnya, tentang kita. Tersenyumlah, ingatlah hal-hal yang
menyenangkan saat lalu itu.

Ti, di sini basah. Dingin. Tanahnya masih merah dengan


uap aroma bunga pandan dan melati. Ya, sedari tadi kita
memang berrada di sini, di depan pusara lelakimu. Aku turut
berduka. Ia kemarin tewas tertembak aparat saat merampok
seseorang yang tak berdosa. Ia salah, tapi kesalahan yang fatal
juga ia lakukan, meninggalkanmu yang sedang mengandung.

Ti, kini lelakimu berbaring dalam tanah bersebelahan


dengan orang yang dibunuhnya. Ah, dunia orang mati ternyata
lebih damai dan penuh keakraban, mungkin juga lebih bahagia
dibanding duniamu yang katanya lebih hidup.

Ti, lihatlah, di sini bersanding jasad pembunuh dan yang


terbunuh, koruptor dengan yang dikorupsi, pemimpin dengan
rakyat, kiai dengan umat, juragan dengan pembantunya. Oh,
semua tak seperti di duniamu kan?

Ti, kau tentu belum tahu, atau mungkin terlalu sibuk


berurusan dengan aparat. Tak apalah bila harus aku yang
memberitahukan ini padamu, tentang lelaki yang dirampok
lelakimu kemarin. Sungguh benarlah adanya, lelaki itu adalah
aku.
(tanahbasah, 030711)

71
72
Sebingkai Cerita
Cerita di balik jendela

Dulu, aku adalah salah satu penikmat jelitamu. Betapa


tidak? Akulah yang pertama sekali kamu sentuh kala pagi, saat
mentari masih malu-malu berselimut kabut. Akulah yang
mengetahui curahan hatimu yang kau tulis di meja tepat di
depanku. Akulah yang paling leluasa menatap tubuhmu kala
senja telah ditelan malam. Begitu seterusnya, berhari, berbulan,
bertahun. Hingga kini semua berbalik seratus delapan puluh
derajat.

73
Hanya aku dan kamu. Di sini, terperangkap di kamar
yang pengap. Beruntung ada aku. Ya, sebingkai jendela yang
kini berjeruji besi vertikal sebanyak enam buah. Benda yang
memberikanmu potongan-potongan film tentang perjalanan
waktu.
Dulu kamar ini tak berjeruji. Angin sesuka hati
menerobos, menyibak tirai kamar. Kini, jeruji-jeruji itu
membuatmu tak bisa meloncat ke luar rumah. Sungguh! Aku
sangat ingin membiarkanmu keluar dari ruangan ini.
Melepaskanmu dari ruang pengap 6x4, memburu kebebasan,
meski kamu harus mafhum, karena aku tidak akan pernah
mampu.
Sebenarnya kamu masih beruntung. Kenapa? Sebab
kamarmu tepat berhadapaan dengan latar yang di seberangnya
adalah jalan raya desa yang beraspal. Di sebelah rumah
orangtuamu ini terdapat bangunan yang juga jadi warung serba
ada milik Bi Tugi.
Maka, tiada pernah sepi telingamu mendengar transaksi
jual beli, celoteh ibu-ibu bergosip sembari memilih sayur-
mayur atau lauk pauk, juga rengekan anak-anak yang meminta
dibelikan jajan. Setidaknya, sepimu akan pergi mendengar
semua ini. Ya, bukankah kamu telah bosan bila hanya
mendengar deritku?
Hanya angin dan suara riuh anak-anak yang bisa
menerobos ke kamarmu. Pintu, hanya tiga kali dibuka. Itupun
bukan ibumu. Seorang perempuan yang lebih tua dari ibumu,
datang membawa sepiring seng nasi yang berlauk itu-itu saja,
daun singkong dan sebutir telur bebek rebus yang ditambah
sejumput cabai diulek kasar. Kurasa lidahmu pun sudah mati
selera, namun perut yang berkeriuk memaksa tanganmu yang
kurus itu menyuapkan nasi ke mulut.
Kamu, yang selalu menggigit bibir hingga sering
berdarah, yang sering melonjak girang saat melihat anak kecil
yang bermain engklek, cindong atau gobak sodor di halaman
depan. Saat seperti itu, akan ada senyum mengambang di

74
wajahmu, meski tanpa kamu sadari ada bulir-bulir yang
menuruni pipimu yang kian susut, dan tes! tes! Beberapa
beningmu pun jatuh ke lantai.
Dari balik jendela. Entah kenapa kini kamu meronta.
Lengkinganmu mengalahkan celoteh di kedai dan riuh anak-
anak yang bermain di pelataran rumah orangtuamu. Sontak,
berlarianlah anak-anak meninggalkan latar rumah yang luas.
Cerita itu selalu datang kembali, tanpa diundang ia berkelebat
dan menggerogoti senyummu yang sempat terkanvas tadi.
Cerita yang membuatmu dikurung dalam kamar, sejak dua
bulan lalu.

Cerita Sepetak lapangan


Tiga bulan lalu.
Orang memanggilmu Juwita. Gadis kampung
berperawakan tinggi yang periang. Wajah oval bersih, kulit
seputih awan cerah. Tubuhmu yang sintal berisi acapkali
mengenakan busana mini. Ah, rambut ikalmu yang sebahu itu,
selalu saja kamu ikat ekor kuda. Dulu rambut itu selalu
menebar aroma segar mawar. Mata beningmu dengan tahi lalat
pas di bawah bibir kiri memastikanmu salah satu gadis
termanis di kampung ini.
Hobi pada voli membuatmu digadang-gadang, lantas
direkrut salah satu perusahaan rokok ternama di kota.
Bermodal tubuh setinggi seratus tujuh puluh delapan
sentimeter dengan lompatan setinggi pembatas net.
Kemampuanmu dalam passing yang terarah, smash yang
terukur dan cara blocking serangan lawan sangatlah dikagumi,
sempurna. Maka tak heran, tim volimu masuk ke final yang
akan ditandingkan tiga minggu kemudian di kota.
Sempat, waktu itu. seusai bertanding, datang beberapa
sodoran kontrak kerja dari perusahaan-perusahaan sponsor.
Tentu menggiurkan bagi seorang gadis yang baru saja
menamatkan SMK-nya. Meski begitu, dengan tegas ia

75
meninggalkan wajah-wajah itu membatu melihatmu
mengatupkan tangan, isyarat ketidakinginan.

Cerita suatu malam


Malam itu. Belum reda sorai-sorai seusai kemenangan tim
volimu di final. Seharusnya engkau mengikuti saran Rina
sahabatmu untuk bertahan hingga jam sepuluh nanti. Saat itu
engkau menepis, pesta perayaan kemenangan yang seharusnya
dirayakan olehnya meski disudahi, mengingat semenit yang
lalu ia mendapat pesan singkat dari ayahnya.
Wita, segera pulang, jantung ibu kambuh. Begitu pesan
itu terbaca.
Tanpa membuang waktu kau cari Gino, manager tim voli.
Berbincang sebentar, lantas uang sekitar dua juta rupiah telah
berpindah ke saku jaket merah jambumu.
”Aku tak ijinkan kamu pulang sendirian,” ujarnya seraya
menahan langkahmu ”Ayo, aku antar,” sambungnya sembari
pamit sebentar mengabari yang lain kalau ia akan kembali lagi
setelah megantarmu pulang.
Uang bagianku ini tentu cukup untuk membawa ibu ke
rumah sakit. gumammu di teras halte. Tanganmu mencoba
menghubungi nomor ayahnya. Masuk, tapi tidak diangkat.
Kamu semakin cemas.
Gino datang dengan membawakan helm untukku.
”Pakailah, biar aman,” sarannya
Rx King distarter dan menembus pekat. Malam ini udara
begitu beku, seolah paham akan hatimu yang gundah. Sesekali
Gino menenangkan dengan mengatakan, ”Kamu tenang, semua
baik-baik saja,” kamu hanya nyengir ragu. Berharap lekas
sampai di rumah.

76
Cerita sebuah tikungan
Rx King itu melaju 80 kilometer per-jam. Kira-kira,
sampai di kampung masih sekitar tiga kilometer lagi. Pohon-
pohon rambung yang menjuntai ke jalan seolah memekatkan
dan mempersempit jalan.
Tiba-tiba dari arah berlawanan, dua sepeda motor yang
dinaiki tiga sosok berperawakan tegap menghambat dan
menodongkan pistol. Gino mencoba berkutik, tapi naas sebuah
tembakan mengenai bahunya. Gino mengerem mendadak.
Mereka oleng dan jatuh.
Baru hendak bangkit. Naas, dua orang mencengkeramu.
Kau meronta, melawan, meski kini tanganmu diikat tambang
dan mulutmu disumpal sobekan bajumu. Sesosok lagi sudah
sedari tadi, melompat mencengkeram Gino dan membenamkan
sesuatu ke perutnya. Gino Ambruk. Semua sepeda motor
dibenamkan ke semak-semak untuk menyamarkan keadaan.
Dan kini, kau dimangsa mereka. Tepat di sebelah mayat Gino.

Cerita sebingkai jendela


Masih terbuka lembaran-lembaran diarymu. Angin seolah
bersekutu denganku, menjumput potongan-potongan dan
menarik simpulan dari catatan yang kau tulis dulu. Masih
terputar dalam otakmu. Episode-episode saat tiga bajingan
yang menelan bulat lekuk tubuhmu yang kemudian
menegubahmu dari kembang ranum menjadi liar.
Sepotong berita pada koran kusam menempel di lembar
catatan terakhirmu,
”...Gino (27 tahun) Ditemukan mati mengenaskan
dengan dua tusukan pisau di perut bagian kirinya. Sementara,
Juwita (19 tahun) ditemukan dalam keadaan traumatis.
Diduga kuat, korban telah... ”

77
Sebingkai Cerita yang tak sempat sampai
Sebenarnya, di malam itu ada satu rahasia yang sampai
kini belum terkuak. Di warung Bi Tugi yang lagi sepi
pegunjung. Leo menguap, dari mulutnya mengeluarkan aroma
minuman keras. Tanpa sengaja ia menemukan sebuah hp di
meja dekat dispenser. Segera ia cek phonebooknya, ternyata
milik Marno-Ayah Wita. Sekilas niat buruknya menggelegak.

”Halo, Bento, James...”

( Pulang ke rumah, 10 Mei 2011)

78
Kembalinya Si Baen
Dia akan kembali! Kabar itu melesat bagai anak panah
yang terlepas dari busurnya. Siapa tak kenal sosok itu?
Kisahnya sewaktu di lapo tuak Amang* Togi seakan tak
pernah putus, semacam dongeng. Secuil kisah itu sudah
cukup menyurutkan nyali preman-preman di seantero
kampung, bahkan di kotaku, Siantar.
Baen, Begitu ia dipanggil. Sebab ia bergelar Baen
kabarnya saat ngobrol, kerap meluncur kelebat kata ”Baen
ma*!” dari bibirnya yang menghitam. Dijuluki begitu Ia tak
ambil peduli, baginya panggilan itu cocok juga untuk dirinya
yang berprinsip: berbuat dahulu berpikir belakangan,
berprinsip cemana* nanti ketimbang nanti cemana? Nah, lho?

79
Rambut keritingnya tergerai memanjang sebahu,
membaur dengan selembar singlet yang membungkus tubuh
gempalnya. Beberapa gelang bertuliskan aksara Simalungun
melingkar di tangan kirinya, manis. Gelang itu senada dengan
kulit kecoklatannya yang menyamarkan beberapa gurat bekas
luka. Dan satu hal yang kerap menyerta adalah kilat mata yang
selalu nyala penuh kesangaran.
Mencari sosoknya mudah saja. Cukuplah tiap sore
bertandang ke lapo tuak di pojok-pojok kampung. Memang
wajib baginya bertandang ke lapo tuak. Bergantian, dari lapo
yang satu ke lapo yang lain. Inilah waktunya membunuh
kesepian, membaur dengan orang kampung. Walau begitu tak
ada ia tinggalkan hutang, tak pernah pula mabuk, baginya
minum tiga-empat gelas itu cukuplah!
Sesekali akan terdengar suaranya, kiranya tak
menyakitkan telinga. Nada serak-serak basah itu kerap
mengudarakan lagu-lagu Panbers dan lagu wajibnya ”Mengapa
harus jumpa,”
”Kek mana? mainkan lagi bang?” tanya Ronal yang
masih memeluk gitar.
”Baen ma!” tukasnya seraya bernyanyi sembari berjoget
mempertontonkan pahatan tato yang melingkar di sekujur
tubuh dan kedua tangannya.
Jarang ada yang bersapa padanya. Walau sungguh, ia
kerap menebar senyum bila keluar rumah. Tapi wajarlah orang-
orang takut bertegur padanya. Lihatlah, senyum yang
diguratnya itu malah menjelma seringai yang mendirikan bulu
roma siapapun yang memandangnya.
Sekilas tak ada yang terlalu istimewa darinya. Tak
sedikitpun bergaya parlente layaknya seorang preman kelas
kakap. Namun, satu kisahnya yang melegenda, cukup
menenggelamkan syarat itu. Satu cerita itu merayapi telinga
warga di penjuru kampung dan Siantar.

80
Adalah sewaktu di lapo tuak Amang* Togi beberapa
tahun lalu. Ramses, pemuda kampung lagi tenggen, ia berkoar
seenaknya, sesekali anak muda itu memancing amarah
peminum yang lain. Baen ada di situ, lama memerhatikan
lantas mengajaknya duduk bersama.
“Mantap kali kan, Lae*?” ujarnya seraya menuangkan
tuak ke gelas Ramses. Sosok di depannya mengangguk penuh
kesombongan. Baen hanya tersenyum.
“Tuak amang Togi memang lain pulak rasanya,” seru
Baen berseloroh seraya mereguk kembali gelasnya
”Mantap kali bah!” tukasnya seraya menyeka tetes tuak
yang menggantung di tebing dagunya.
Merasa tertantang, Ramses turut menenggak gelasnya,
nikmat sekali. Namun, tanpa disadarinya sebuah tangan bertato
melesat mendorong pangkal gelas yang sedang berlabuh di
bibirnya. Sontak kedua tepi mulutnya terkoyak beberapa senti.
Putihnya tuak bercampur darah yang mengental.
”Amang oi!” pekik orang-orang di sekitar.
Seketika riuh menguak. Desing koar mengumbar diselingi
lolong ketakutan Inang Lamhot-istri Amang Togi. Kini lapo
tuak disesaki ocehan, tapi berselang tiga menit tempat itu jadi
membisu, tatkala Baen menghardik yang lain agar diam.
Ramses dengan wajah menegang tak kuasa menarik gelas yang
menempel di mulutnya. Getah darah mengaliri dagu, lantas
menganak sungai ke leher dan merembes di kaos oblongnya.
Baen menandaskan tuaknya, seraya menghela nafas
merayapkan langkah ke sosok itu dan menyelipkan pesan.
”Unang parjagoan ho*!” hardiknya dengan mata senyala
bara. Segera ia beringsut menjauh. Meninggalkan sketsa
menakutkan yang membekas di liang jiwa.
Tiap mendengar cerita itu aku pasti menahan nafas,
tegang. Orang kampung tak henti berdecak kagum dan takut.
Kagum, karena keberanian Baen pada Ramses si biang onar.

81
Dan takut, bila kiranya tersangkut masalah pada sosok yang di
akte kelahirannya bernama asli Brilian Sibarani itu.
Sejak kejadian saat itu sering berhembus tanya para
warga desa, merasa keheranan. Karena lelaki itu tak pernah
berulah tak sopan di kampung ini, barang mencolek anak gadis
pun tak pernah, mengompasi apalagi, mengganggu biduan di
tempat hajatan pun tak sudi dilakoni. Bisa dibilang bertolak
belakang dengan karakter Ramses dan kawan-kawannya. Maka
bila boleh jujur, selama ia masih ada di sini, kampung Tambun
akan lebih nyaman dihuni.
Adalah kabar yang turut tak lapuk digunjing warga.
Ketika menjamurnya lapo tuak di tepi jalan kampung. Ini tentu
menyulut emosi pemuka agama di kampung ini. Tapi, tak
kurang seminggu lapo-lapo tuak itu serentak merangsek
mundur menjauh ke rerimbunan rambung yang sepi. Kabar
berhembus Baen berfatwa pada semua pemilik lapo tuak itu.
”Awak juga penikmat tuak, Amang,” ujarnya seraya
menenggak tuaknya tandas. ”Tapi baiknya lapo-lapo ini jauh
dari anak-anak,” sambungnya. Sepenggal cerita itu langsung
menimbulkan pro-kontra.
Ajaibnya, tak menunggu dua hari. Semua pemilik lapo
tuak pinggiran jalan itu membongkar lapo tuaknya dan
memutuskan pindah ke rerimbun rambung yang benar-benar
sepi. Alamak! Fatwa ustadz kampungku selama ini nyatanya
tak lebih mujarab dari fatwa Baen. Bah!
Baen tak suka berkoar. Namun sepatah katanya adalah
komando bagi anak buahnya. Dan jujur, bila meluncur tanya
semisal siapa yang berhak berkuasa dari segi keamanan di
Pasar Horas, maka kami para pedagang Pasar Horas akan
memilihnya, mutlak. Pasalnya pasar akan aman, setidaknya tak
lagi berkeliaran pungutan liar dan pencopet. Cukup uang
keamanan saja. Sehari tiga ribu rupiah, cukuplah.
Tapi bila tanpanya, maka pungutan bisa membengkak
berkali lipat akibat ulah dari anak Punk hingga oknum petugas

82
yang kerap menyambangi pedangang dengan kutipan yang tak
rasional. Apapun, syukurlah saat ini masih dia yang megang
Pasar Horas.
Khusus pada keluargaku, secara pribadi sangat
berterimakasih pada sosok itu. Setidaknya ia telah membantu
menyelesaikan sengketa dengan tetanggaku, Mas Wandi yang
waktu itu membuka warung tuak di samping rumahnya. Istriku
yang sedang hamil tua selalu uring-uringan bila malam, saat
koar suara kian lepas, saat uap tuak menerobos lewat daun
jendela rumahku. Jujur, istriku paling eneg mencium bau tuak.
Tapi syukurlah, setelah mendengar fatwa Baen, mau tak
mau, suka tak suka, Mas Wandi pun bergegas menutup lapo
tuaknya itu. Kini, keluargaku terbebas dari semerbak tuak yang
-maaf- memualkan itu.
***
Telah kupesankan Mira agar menyiapkan makanan
kesukaan Mas Baen hari ini. Aku tahu ia suka makanan itu.
Sebab, sebelum bersengketa dengan aparat berpangkat yang
membuatnya mendekam di terali besi, kami sempat bertemu di
pasar. Waktu itu kami berjumpa tak sengaja, lantas ia
mengajakku makan, meneraktir malah. Saat itu ketahuanlah ia
pecandu berat makanan aneh itu.
”Mantap kali!” ujarnya padaku di sela-sela ia
menyisipkan potongan makanan kegemarannya itu ke
mulutnya.
”Iya, Mas. Nambah lagi nasinya, Mas,” tawarku melihat
nasinya yang tinggal sedikit.
”Ha, baen ma!” sambutnya seraya menciduki nasi, ”Ayo!
ayo kau juga nambah,” sambungnya seraya menyodorkan
tempat nasi ke arahku.
Kuterima tawarannya. Jujur, kusadari betapa sangat supel
sosok itu. Hingga tak terasa waktu mengabarkan untuk
berpisah.

83
Maka, hari ini dengan niat baik, aku bernazar di hari
pertamanya keluar dari penjara akan kujamu dia makan malam
di rumahku. Makan malam yang sederhana, tapi setidaknya
nazarku terbayarkan. Menu malam itu tentunya dengan menu
kesukaannya, rendang Jengkol.
Siang berkabar. Beberapa pemuda kampung sibuk
memasang tratak, membuat pentas acara penyambutan sosok
itu. Keyboard sudah datang, Biduan seksi dengan rok sebelas
senti di atas lutut sudah dijemput, tak tanggung-tanggung,
empat biduan seksi akan beraksi mulai malam nanti hingga
pagi.
Senja menelan siang. Para pemuda masih menanti.
Berpuluh tanya merayapi mereka yang lama menanti Sang
Legenda. Kabar kurang enak menyapa, beberapa orang yang
ditugaskan ke penjara menjemputnya, barusan lewat telepon
berkabar bahwa Baen sudah pulang beberapa jam yang lalu.
Tapi, hingga matahari membenam di garis jingga, sosok itu
belum juga terpajang di depan mata. Kesabaran tersulut
gelisah.
Malam menjemput gelap. Tarian erotis biduan tak
meliurkan birahi. Hentakan musik bagaikan angin sepi. Di
sudut hati mereka masing-masing merasa kehilangan.
Kehilangan sesuatu yang berharga, keberanian di atas
keberanian. Sesuatu yang hanya mereka temukan pada sosok
Baen. Kesepian menyelimuti keramaian mereka.
Seketika semua terhenyak, saat raungan sirine
mengguyur telinga dan iringan kendaraan memasuki
perkampungan. Suatu hal yang tak biasa terjadi di kampung
yang terpelosok ini. Merasa ada sesuatu, maka segala aktivitas
pemuda kampung itu terhenti. Segera mereka berburu tanya
seraya meraungkan beberapa Rx King menguntit kendaraan
yang baru masuk itu.
Iringan kendaraan itu memasuki pelataran rumah Pak RT.
Menguap asa, apakah iringan kendaraan itu membawa sosok
yang mereka kagumi itu? Sosok bangkai bagi sebagian orang,

84
tapi bagi sebagian lagi adalah pahlawan? Atau malah
membawa kabar lain tentang kenakalan apalagi yang diperbuat
kawanan Ramses? Ah! Ingin segera terbayar semua tanya yang
mengangkasa ini.
Nyatanya, memang malam ini Baen telah kembali. Kini
ia di sisi Bang Slamet -ketua RT- yang serius berbincang
dengan beberapa orang berpakaian dinas.
Baen memang telah kembali, tapi kini dengan tubuh
terbaring dan kepala berlubang. Samar kabar menguar, sosok
itu tewas ditembak orang tak dikenal sewaktu keluar dari
penjara tadi sore. Entah kenapa, tiba-tiba gerimis menetes di
sudut desaku. Entahlah!

Dunia KOMA, 15 Maret – 06 Mei 2010

85
86
Pak Uban
Sosoknya tak layak dipanggil kiai, ustad atau mualim.
Selalu berkaos oblong dengan blangkon yang setia menutupi
rambutnya yang memutih. Raut wajahnya yang bersahaja tak
menampakkan secuilpun pertanda bahwa ia punya pemahaman
agama yang dalam.Tak seorangpun tahu nama sebenarnya,
tiada juga tahu siapa keluarganya, yang orang tahu ia disapa
Pak Uban.
Kehadirannya belum genap setahun, tapi di Kampung
Meranti Ia sangat berarti, sumbangsih ilmu agama yang
mendalam membuat warga desa yang buta agama mulai
merasakan hangatnya nikmat sang pencipta. Maka, sekejap saja
sosoknya menjadi salah satu tokoh penting di kampung ini.

87
Namun, ada satu hal yang mulai berubah, saat Ustad
Thalib – anak Haji Bajuri – pulang dari kuliahnya di luar
negeri. Ustad muda ini menganggap ajaran Pak Uban merusak
nilai-nilai keislaman, bahkan cenderung keluar dari ajaran.
Maka dengan segera Ustad Thalib membangun kekuatan untuk
melumerkan tiap-tiang pemahaman yang sudah dibangun Pak
Uban beberapa bulan yang lalu.
Ia adalah telaga bagi para pencari cahaya, sosok yang
mewarisi sifat-sifat nabi ini dikenal dengan jargon “ Sugih tanpo
Bondo, Digdoyo tanpo Aji, Ngaluruk tanpo Bolo, Menang
tanpo Ngasorake” – di tiap-tiap ceramahnya. Sosok yang
berbuat dahulu baru menyuruh, sosok bersahaja yang tak suka
berkubang harta. Ia tak pusing memikirkan biaya hidupnya.
Konon, anaknya ada yang berhasil di kota, acapkali mengirim
uang untuknya.
Ketika ditanya, mengapa ia memilih tinggal di desa, ia
akan bercerita tentang keasrian alam yang belum terjamah
tangan-tangan kotor, sejuknya udara, ramahnya warga desa
yang selalu tenggang rasa, andaipun dibelikan istana di pusat
kota, ia akan tetap berkeras tinggal di desa.
” Orang seumurku ini sudah tak layak tinggal di kota
yang sumpek, penuh polusi lagi” ujarnya .
***
Namun, dunia selalu berputar, sekarang banyak warga
menjauhinya. Sebabnya Ustad Thalib menyebutnya sosok yang
murtad, barangkali warga sudah lupa dengan jasa Pak Uban
berbulan-bulan yang lalu. Sosok muda jebolan universitas
ternama di mesir telah menyihir warga desa.
Sikap ustad muda ini juga diamini ayahnya, Haji Bajuri.
Dengan tegasnya kepala desa dan juragan tanah ini melarang
ibu-ibu pengajian mendekati sosok itu. Bahkan Haji Ucok,
dermawan yang semula mendukung Pak Uban, terang-terang
berbalik arah mengancam tidak membantu warga yang belajar
agama pada Pak Uban.

88
Tapi itulah Pak Uban, dengan segala keanehannya.
Acapkali membuat orang mendekat untuk mengenal lebih jauh
sosok misterius ini. Walau sudah segenap pemuka desa
berfatwa, tak surut langkah pak uban untuk berdakwah,
mengajak amar ma’ruf nahi munkar. Bahkan diam-diam tersiar
kabar ada sejumlah pengusaha dan mahasiswa nyantri kalong
padanya.
Setelah dirasa tak bisa dengan kata-kata, Ustad Thalib
bergegas ke kota, meminta doa dan bantuan sahabatnya semasa
di mesir. Ternyata di kota, nama Pak Uban sudah dikenal
sebagai sosok ulama yang dikagumi.
“ Wah..bahaya !” batinnya.
***
Pak Uban berada dilingkaran itu, tepatnya saat wirid-an di
rumah Haji Ucok. diseberangnya Ustad Thalib sedang
memimpin yasin. Pak Uban duduk menggelosor, kaosnya
mulai dihinggapi keringat, blangkonnya tampak melorot
menuruni dahinya. Kedua matanya mulai temaram diikuti
senyap kedua mulutnya.
Gelagatnya bukan tak menarik perhatian, Ustad Thalib
acapkali melirik sesekali berdehem. Sementara hadirin saat itu
menunggu debat apalagi yang terjadi selepas wirid nanti.
Disela senda gurau, Ustad Thalib bersuara :
“ Sesungguhnya, kits harus menghargai Allah dengan
berpakaian yang sesuai syariah”
“Berpakaian seperti apa ustadz ?” tanya satu jamaah
“ Yah, bisa menggunakan gamis atau koko dan lengkap
dengan sorban atau kopiah, kalau bukan kita siapa lagi coba
yang menghargai islam ?” jelasnya.
Pak Uban berdiri, tangannya menggenggam sebuah
pisang. Ratusan pasang mata menatapnya.

89
“ Sesungguhnya pisang ini yang dimakan adalah isinya,
bukan kulitnya “ ujarnya
“ Maksud pak Uban ?” tanya seorang jamaah
“ Nggak perlu dipaksakan berpakaian begitu, jauh lebih
penting yang di dalam ini, hati!”
“ Tapi gamis kan dipakai para nabi dan rasul ?” ujar
Ustad Thalib
“ iya benar, gamis memang dipakai nabi dan rasul, tapi
kita kan tahu, karena mereka tinggal di daerah bergurun.
Celana yang menggantung sesungguhnya untuk menghindari
kotoran dan debu, sebab saat berjalan kaki akan tenggelam
sekian senti ke dalam pasir “ . terang Pak Uban.
“ Ooooh, gitu tho,“ sambung Mang Slamet si tukang
baso.
“ Tapi ada satu hal yang Pak Uban harus tahu, bahwa
orang yang berpegang pada kebenaran itulah yang dijamin
masuk surga ! “ Sambar Ustad Thalib
“ iya… setuju. Asal kebenaran itu bukan pembenaran”
seulas senyumnya tersuguh.
Haji Ucok langsung memalingkan wajahnya seraya
mengepul-ngepulkan asap putih dari mulutnya. Ustad Thalib
tampak gelisah mengelus-elus jenggotnya yang mulai tumbuh
liar.
“Sebaiknya kita kajilah islam lebih dalam. Masuki gua
kegelapan, agar tahu bahwa kita masih kekurangan cahaya “
tambah Pak Uban dingin.
Ucapan itu tak digubris potongan-potongan nyawa di
sekitarnya. Serta merta Haji Ucok melempar kopiahnya ke arah
pak Uban.
“Sesat! Enyah kau dari rumahku ini! “ amarahnya mulai
menggelegak. Ustad Thalib menendangnya dengan umpatan

90
“ Murtad ! pergilah engkau dajjal ! “ refleks tangannya
meraih gelas berniat memanahkannya ke wajah sosok di
depannya, Seorang jemaah menahannya. Semua menyinarkan
mata panahnya mengusir Pak Uban . dengan gontai sosok itu
merambat menjauh ke tepi desa.
***
Beberapa kali ia merasa terbanting dalam pergumulan
logika. Sosok itu begitu membuatnya terpana dan kehabisan
kata-kata. Saat pertama berjumpa, mereka berdua sudah
bersengketa. Ketika Ustad Thalib mewajibkan jemaah harus
bisa melagu dan menghafal Al-Qur’an. Dengan nada ditekan
bahwa bahasa arab adalah bahasa terbaik di dunia, karenanya
layak untuk dipelajari walau harus membuang umur di majelis
khusus.
Pak Uban ada di situ. Ia sosok yang tidak menggurui,
sinar matanya bak telaga, bahasanya membumi, suaranya
ringan tidak diberat-beratkan tapi selalu membuat hati berkelip,
seakan ingin mengais-ais mutiara yang ada di relung jiwa.
“ Sebelumnya maaf Ustad Thalib, bagi saya pribadi yang
paling penting adalah pengamalan dari Al-Qur’an itu “
“Jelasnya …? “ Ada nada angkuh yang meluncur dari
bibir ustad muda itu.
“ Apalah artinya, hafal dan pandai melagu Al-Qur’an, tapi
nggak diamalkan, membuat riya bahkan sering jadi alat politis.
Apalah guna ? “
“Anda keliru, bukankah dalam Al-Qur’an sudah jelas ? ”
“Ada penjelasan: bisa membaca yang tersirat dan tersurat
dari Al-Qur’an lalu mengamalkan pada diri sendiri, lalu bisa
melagukannya, menyampaikan dengan indah, agar keluarga
dan umat islam turut mengamalkan, ini gimana? ”
Yang terjadi saat itu, adalah pengusiran Pak Uban oleh
jemaah yang dikomandoi syafei, centeng sang juragan tanah
yang tak lain ayah Ustad Thalib.

91
Sejak saat itu, genderang perang sudah ditabuh, kini Pak
Uban tak lebih seekor nyamuk yang kemunculannnya bagaikan
malapetaka, pembawa penyakit ! Haji Ucok mewanti-wanti
pengurus masjid agar mencoret pak uban dari daftar
penceramah.
Walau selama ini ceramahnya tak terbukti menyesatkan
atau berbau terorisme, tapi demi kelangsungan pembangunan
masjid yang baru setengah jadi, maka mat mun selaku ketua
pengurus masjid ketar-ketir dan memutuskan memblacklist
sosok itu. Sebagai ganti, Haji Ucok rela menggelontorkan
ratusan ribu untuk mendatangkan ustad kota yang lidahnya tak
pernah menjamah embun dan senja desa ini.
Puncaknya, sehari sebelum idul fitri. Saat membayar
zakat, tak sengaja kaki pak uban menyenggol Al-Quran –
mungkin ada yang meletakkan sembarangan – . Sontak mata
mat mun melotot sejadi-jadinya. Merasa cukup bukti,
langkahnya mengayun menuju kumpulan laki-laki berjubah
putih-putih.
Diantara yang disambanginya adalah dua tokoh besar
kampung meranti. Keduanya sudah menimbun amarah pada
sosok itu. Mendengar pengaduan mat mun, segera mereka
mencampakkan makian .
“Tak dimana ..! disini pun kau hinakan agama !” sembur
Haji Bajuri
“Bah…! sudah sinting rupanya kau Uban gila !” sumpah
Haji Ucok
Pak Uban tetap duduk tenang, guratan senyum dibibirnya
menyiratkan untuk bersuara dengan lembut.
“ Bapak, maaf sekali lagi. Saya tak bermaksud lancang,
tiada sebersitpun niat di hati untuk menghinakan agama
sendiri, saya tidak tahu kalau ada Al-Qur’an di situ... “
“ lantas apa pula kau sepak Al-Qur’an, Hah …!!” erang
Haji Ucok .

92
Orang – orang berkerumun mengelilingi seolah
menyaksikan pengadilan seorang maling. Pak Uban tampak
angkat bicara lagi.
“ Lagipula, Hadirin pasti tahu, buku yang saya pegang ini
– tangannya mengangkat buku catatan mat mun- dibuat dari
bubur kertas, dicampur zat kimia dan bahan tertentu, diproses
dan akhirnya jadilah kertas-kertas ini ! “
“Maksud kau apa lagi? Kurang ajar! “ maki Haji Bajuri
“Yang tak sengaja tersepak ini adalah fisik saja, tapi
pernahkah kita fikirkan umat islam yang selalu menendang-
nendang ajaran Al-Qur’an untuk kepentingan diri dan
kelompoknya? Pernahkah? Atau diantara kita ada salah
satunya? “
Ujaran terakhirnya menyekat kerongkongan semua
hadirin.
Tiba-tiba berkelebat syafei.
“ Aaaah ! banyak cing-cong kau ! “ sambarnya.
Lalu bertubi-tubi tinjunya bersarang ke wajah dan tubuh
pak uban. Setelah puas menebar nafsu amarah, ia menyeret
sosok lemas itu.
“ Haram tempat ini oleh orang sepertinya !!” sumpah Haji
Bajuri
Dan, tubuh itu dibiarkan terkulai layu. Bersimbah darah
di pelataran masjid. Tak ada yang berani menolongnya,
ketakutan pada sosok penguasa membuat rasa iba mereka sirna.
Akhirnya, pak uban merasa semua warga
memunggunginya, hanya satu-dua yang masih mau bertegur
sapa. Ia sadar pengaruh orang ternama punya andil besar
mengucilkan dirinya.
Ia seolah seongok bangkai yang bernyawa, berbau busuk
dan membuat siapa saja yang melihat akan memalingkan muka
lalu memuntahkan kata-kata yang jauh lebih menusuk dari

93
semerbak bangkai. Tapi begitupun, ia tetap menyemai senyum
dan menebar keteduhan.
***
Sosok itu menerobos semak ilalang yang meninggi,
topeng menyamarkan sosok dibaliknya. Sarung hitamnya
tampak membungkus sesuatu. Dikejauhan, puluhan nyala obor
timbul tenggelam mencoba menepikan gelap. Samar terdengar
teriakan .
“ maliiiiiiing…maaaaaliiiiiiiiiing ! “
Sosok itu terhenti di sebuah rumah tua, ia menyelinap di
belakang rumah, mencongkel jendela dan masuk tanpa disadari
pemiliknya. Sementara pekikan warga mengguyur telinga yang
sedang tertidur, termasuk pak Uban. Ia terkesiap dan membuka
jendela mata. Ia menanggalkan kantuk dan menajamkan
telinga. Lamat-lamat mendengar suara-suara langkah dari arah
dapurn, semakin dekat menuju ke arahnya, dan….
Bayangan itu membuka pintu kamarnya, nafasnya
tertahan saat bayangan itu meluncur ke bawah tempat tidurnya.
Dalam diamnya, pak uban memutar otak, mengatur strategi
bagaimana keluar dari ancaman maling ini. Kembali ia
picingkan mata, selang beberapa menit, ia bangun dan menebar
sajadah. Dikenakannya sarung, lalu melangkah perlahan
berniat mengambil air wudhu. Sampai di pintu, secepat kilat ia
mengayunkan tangan dan menguncinya.
“TRRAK…!!
Samar terdengar suara mengaduh dari dalam kamar. Pak
Uban sadar, yang dihadapinya adalah maling amatir, mungkin
karena desakan ekonomi. Yang pasti, maling untuk kebaikan
sekalipun itu haram. Bukan ala Robin hood, tapi ala Ukhuwah
Islami. Terngiang ia pada sepenggal khutbahnya beberapa
bulan lalu.
Fajar menyingsing, pak uban menunggu dua sosok yang
masih mau berkabar dengannya, walau sembunyi-sembunyi,

94
Irul dan Hamdan melakoninya, mereka masih percaya pada pak
uban.
Selang tak lama, penantian Pak Uban berakhir. Langsung
ia menceritakan duduk kejadian malam tadi. Mereka sepakat
meringkus maling itu bersama-sama. Masing-masing
memegang linggis dan besi panjang. Mereka memeriksa di
balik pintu, bawah tempat tidur, belakang lemari….. nihil !.
Seketika mata mereka bertubrukan. Salah satu langit-
langit kamar pecah..! praduga mengintai lubang itu. Hamdan
mengancam akan memanggil warga lebih banyak bila maling
tak mau turun. Pak Uban menghampiri lubang itu.
“Bersikap baiklah pada tamu yang datang. Anakku, kamu
tak akan dipukuli, saya jamin. Secepatnya akan kami lepaskan,
tapi dengan syarat, barang yang bukan hak-mu itu
kembalikan ! “.
“Kalau kamu warga desa ini, pasti kenal saya, Pak Uban.
Tak pernah kutarik kata yang sudah terlepas ! “ sambungnya.
Maling itu bimbang, lebih baik sebagaimana yang
diusulkan bapak itu, bisa malu ia bila warga lainnya tahu siapa
malingnya !. Perlahan tapi pasti,sosok itu muncul dan
melompat bersama barang curiannya. Tanpa membuka
topengnya, ia menyerahkan hasil curiannya.
“ Apa yang kau curi …?” Tanya Hamdan dengan tangan
masih siaga dengan linggis.
“ Ee…e... se..see..semua ada dalam sarung ini “ ujar
maling lirih, tangannya menyodorkan sarungnya.
Saat dibuka, kelihatan perhiasan – perhiasan yang
lumayan banyak.
Pak Uban bangkit dari duduknya, tak lama tangannya
menyanding teh hangat dan beberapa potong roti . Disodorkan
ke maling itu, dengan cekatan tubuh yang terbungkus lapar itu
menyambar. Ia mulai mau terbuka, ceritanya mulai mengalir
menjernihkan dugaan yang ada.

95
“ Barang yang kucuri ini sebenarnya mahar yang sudah
kuberikan ke keluarga wanita…, e…eee.. aku geram betul pada
keluarga yang membuat tarif mahal pada putrinya, mereka
lebih condong pada harta ketimbang agama, sungguh bila tak
terbuai kemolekan putrinya tak mungkin aku rela begini…”
“Lantas, mengapa kau ambil lagi mahar yang kau beri ? “
tanya Irul heran.
“Perhiasan ini sebenarnya aku pinjam dari sahabatku di
yang kebetulan punya toko emas, besok adalah janji buat
kembalikan barang-barangnya “ terang maling itu parau.
Setelah tahu duduk perkaranya, Pak Uban menanyakan
nama dan alamatnya yang bisa dihubungi. Irul memeriksa
sakunya , menemukan KTP dan mencocokkan dengan yang
ditulis Pak Uban.
“awas….!! Aku akan cari kau, jika ceritamu bohong !! “
ancam Hamdan dengan besi melintang.
“BRAAK..!! , dan tak ada ampun untuk kedua kalinya
…!! “ Irul menyambung seraya memukul meja
Pak Uban angkat bicara.
“Ada dua hal yang kami inginkan dari kamu, yang
pertama tobatlah sebenar-benarnya. Dan yang kedua batalkan
pinanganmu itu ! “
“ bagaimana, kau setuju? “ Hamdan menegaskan.
Maling itu menyanggupi, itu pemikiran yang bijak
baginya.
Tangan itu membungkus perhiasan dengan sapu tangan,
lalu menyerahkan ke maling itu.
“ Kembalikan ke sahabatmu, ini miliknya. Pendamlah
dalam-dalam kejadian malam tadi, lalu taburi benih kebaikan
di atasnya, sebanyak-banyaknya “ saran Pak Uban.
Maling itu mengangguk berkali-kali, belum pernah ia
jumpai sosok searif ini, di mesir sekalipun ! batinnya.

96
“ Lho pak, bukannya di kembalikan ke…“ Tanya Irul
keheranan
“Saudara ini dan sahabatnya yang sesungguhnya sedang
kehilangan, kehilangan ahlak mulia yang diwarisi nabi “
potong Pak Uban
Maling itu tertohok mendengarnya, seolah ada batu besar
yang mengganjal dadanya. Irul dan Hamdan tampak setuju
dengan kata-kata pak Uban barusan.
Pak Uban menyilakan sosok itu bergegas pergi, tapi
sebelumnya ia memberinya sebuah peci.
“ Buat kenang-kenangan ya !” ujar pak uban sambil
tersenyum arif.
Sosok itu membalas malu, matanya mulai panas, bulir-
bulir bening mulai menuruni wajahnya. Dibuka topeng, lalu Ia
kenakan peci. Dipeluknya erat-erat Pak Uban, sosok yang
begitu mengkerdilkan dirinya. Ia salami Hamdan dan Irul, lalu
bergegas meninggalkan rumah sunyi itu. Kini sosoknya lebih
mirip seorang guru ngaji yang baru pulang dari masjid.
Malam menjelang, terdengar takbir bersahut-sahutan.
Hujan turun satu-satu, angin menularkan hawa pagi, awan
hitam mengepul berarak mengikut titah angin. Lalu
membentuk layar hitam raksasa, menelan bintang dan sang
dewi malam.
Di teras masjid, sosok itu duduk menyendiri. Terbuang
dari kumpulannya. Samar ia mendengar keluh -kesah jemaah
yang menyesalkan batalnya hajatan besar di kampung mereka.
Tersiar kabar, tunangan kepala desa membatalkan
pinangannya, selepas keluarga orang terpandang itu
kemalingan perhiasan kemarin malam !
“PERSIS..!!” gumamnya.
Karang Sari, 02:40 /22-09-2009

97
98
Catatan Sahari
Pukul 11.17 WIB
Siang menelan pagi. Kusandarkan tubuhku pada
pepohonan di pinggiran jalan raya. Sudah seminggu ini ada
sesosok yang begitu menarik perhatianku. Sebenarnya tiap hari
aku melihatnya, tapi entah kenapa belakangan ini serasa otak
investigasiku berkerja lebih, hingga sosok itu masuk dalam
daftar penelitianku.
Bukan, bukan sosok Medina Kamil yang ingin ku kenal
lebih dekat, bukan. Juga bukan sesosok avonturir yang hobi
parkour . Ini begitu lain, entahlah… agak sukar menjelaskan
untuk kau – aku : kita. Dunia kian hari kian membingunkanku
sobat.

99
Ceritanya bermula saat aku pergi dan pulang kuliah.
Selalu kulintasi ia. Sosok yang masih tetap begitu, berhari,
berbulan, bertahun.
Hingga kini, saat aku hendak menyesaikan kuliah
magister psikologi, Ia tak bosan dengan gaya nyentrik layaknya
sebuah arca.
Maka demi menandaskan rasa penasaranku, hari Minggu
ini, ku khususkan waktu untuk mengenalnya lebih jauh.
Tapi untuk originalitas data yang kudapat, akhirnya
kuputuskan utuk mengamatinya dari jarak yang cukup aman
dan tak mencurigakan.
Pukul 12.56 WIB
Kuambil notes dari ranselku. Kutuangkan sosok itu dalam
kata-kata. Wajahnya lusuh terbenam menghujam ke aspal
yang ia duduki. Bulir matanya tak pernah bertatapan dengan
sosok-sosok di sekitarnya. Sedetikpun ia tak mendongakkan
wajahnya. Sementara puluhan lalat yang setia menemaninya
dibiarkan menghinggapi tubuhnnya.
Sebuah handuk hijau kecil melingkar di lehernya. Tangan
kiri masih membentuk siku 90 ? . Ujung tangan itu membentuk
mangkuk kecil yang tersusun dari ruas jemari berkuku panjang
dan kotor.
Ia hanya bercelana pendek dan bertelanjang dada,
sehingga jelas terlihat pahanya yang tak mulus dan tubuh yang
menonjolkan tulang-tulang berhiaskan koreng. Sebuah busa
bekas yang kumal dan berlumur debu mengalasi duduknya.
Sosoknya terhidang di gerbang sebuah pusat perbelanjaan
dan bioskop ternama di Medan, tempat yang strategis untuk
mendulang iba dari lalu-lalang sophaholic dan movieholic.
Itu pun bagi yang iba, seringkali gadis – gadis genit
berdandang eksotis mengamit-amit diri sambil meludah,
memalingkan muka dari realitas yang tersuguh di dekatnya.

100
Siang kian melekat, mentari mulai tergelincir ke barat.
Sosok itu bagaikan patung, tak peduli dengan ganasnya mentari
membakar kulitnya yang hitam kelam.
Pukul 13.14 WIB
Waktu terus mengalir, tak satupun dari ribuan orang di
sana mengetahui bahwa di seberang sana, di balik rerimbun
pagar bonsai ada dua sosok yang sesekali memperhatikanku.
Seorang pria bertopi kuning lusuh yang menyanding
rokok dengan kepulan yang tiada henti dan seorang pria
bertubuh kekar penuh tato dengan botol-botol hijau yang
berserak di dekatnya. Keduanya meliarkan matanya yang
memerah padaku. Tapi aku tak sadar akan hal itu.
Pukul 14.45 WIB
Awan menangis. rintik gerimis satu-satu menimpa.
Beberapa sophaholic tampaknya tergesa, takut tersentuh tetes
bening hujan atau takut baju mahalnya basah. Ah.. orang
sekarang kian sulit dipahami.
Kutatap sosok itu, masih tak bergeming. Tangannya
mengapit kantung dari karung plastik. Ia bagaikan tembok
yang tak peduli akan hingar-bingar lagu yang berhulu dari
tenda-tenda berisi puluhan kaset CD bajakan di dekatnya.
Kukira dunia sudah tak ada arti baginya, begitu pahitkah
hidup ini?, hatiku miris juga teriris.
Pukul 15.13 WIB
Gerimis berganti hujan lebat. Sosok bertopi yang duduk
di rerimbun pagar bonsai itu bergegas menghampiri sosok itu.
Ia berbicara sepatah kata, mengambil karung plastik milik
sosok itu dan segera ia menuntun lelaki itu.
“Ah…! sosok itu buta!” malang nian kau pak tua jeritku
dalam hati.
Keduanya berjalan sangat cepat, pria bertopi menarik
sosok tua itu dengan tarikan – tarikan paksa. Aku ingin

101
menghampiri, tapi kufikir apa aku ada hak atas itu?. Maka aku
urungkan niat, lebih baik kuselesaikan investigasiku dengan
membuntuti keduanya lewat selasar Mall.
Pukul 15.57 WIB
Hujan kian lebat. Seorang ojek payung menyumpahi
sesosok wanita yang tak memberinya uang walau ia sudah
ojekin ke mobilnya.
“Bah ! pelit…. barang gopek sekalipun tak kau kas !“
umpatnya ditengah guyuran hujan.
Kedua sosok itu berteduh di emperan ruko. Aku tak mau
kehilangan momen, segera kuturut membelah hujan menguntit
dan bernaung tepat di ruko sebelah kedua sosok itu.
Sesekali kucuri pandang ke kedua sosok itu, lelaki bertopi
lusuh itu tampak mengaduk-aduk karung goni mereka. Sosok
tua dan buta itu hanya menggulung tangan mencoba
mengibaskan dingin yang mulai menusuki kulit dan
mendirikan bulu kuduknya.
Pukul 16.18 WIB
Mobil-mobil bermandikan air hujan. Begitu rapat seolah
tak menyisakan celah untuk tak tersentuh ruang hampa. Angin
masih mendesir. Keduanya masih berdiri tegak di emper ruko.
Lelaki bertopi lusuh itu mengambil sesuatu dari sakunya, lalu
ia duduk nongkrong sambil menikmati batangan tembakaunya.
Seorang pria yang berteduh di situ, memberinya
segenggam rambutan yang – sepertinya- ia beli. Lelaki bertopi
lusuh itu menerimanya dan menyimpan semua rambutan itu.
Sejurus kemudian ia mengambil sebuah, lalu ia kupas
untuk si lelaki buta.
“ Amang oi….!, si buta itu tak beralas kaki…. duh…!”
jerit hatiku.
Pukul 17.56 WIB

102
Hujan mereda. Air menggenang. Hanya tersisa titik-titik
halus yang sekedar mampu membelai dan meninggalkan jejak
embun di rambutku.
Aku terduduk di halte sebuah kampus swasta yang
posisinya tepat di belakang Mall.
Ratusan sepeda motor berjejer rapi. Kedua sosok itu
melintasi kampus ini, bergegas keduanya menuju satu gang
sempit.
Di depan ruko, pada lorong yang sunyi. Si pria bertopi
membuka karung plastik, tangannya sibuk menghitung
penghasilan hari ini. Puluhan lembar ribuan dan keping ratusan
ia jumput dari dalam kantung itu.
Mulutnya menggumam. “Seratus tujuh puluh enam ratus
…!“ . ada nada tidak puas meluncur dari bibirnya. Matanya
semakin memerah saga. Adrenalin memuncak menimbun
emosi di ubun-ubun. Ditatapnya sosok tua itu. Tiba-tiba
sesuatu yang tak kuduga terjadi.
“Bug…!, Plak…!, plak…!“ Tinju dan tamparannya
mengena pas di wajah tua itu. Darah muncrat dari hidung.
Sosok buta itu juga berkumur darah. Satu giginya tanggal.
“Kau…! biasanya dua ratusan lebih….!! ini kurang?,
mana kau sembunyikan sisanya…. ?”
“Mana …. ? hah!“ Lelaki bertopi lusuh itu masih
membabi buta menanyainya.
Sementara sosok buta itu sudah tersungkur, memeluk
tanah basah.
***
Dari balik tembok kulihat sosok tua itu tergolek kaku.
Hatiku berontak memaksa untuk segera bertindak.

“Sahari, kuatkan keberanianmu lekas kau tolong pria tua


itu “

103
Tapi, baru selangkah kakiku terayun. Sebuah cengraman
kasar menyentuh pundakku. Aroma bahaya menyeruak dalam
diriku. Tanpa berfikir panjang segera ku berbalik dan mencoba
menepis tangan kekar itu. Berhasil…! aku bisa lepas dari
cengraman sosok itu.
Tapi terlambat, tubuhku oleng dan sosok itu tak
membuang kesempatan. Dengan seringai bengisnya, bertubi-
tubi ia daratkan kepalan tinju ke wajah dan perutku. Terakhir ia
membenamkan sesuatu ke dadaku. Aku bersimbah darah.
Pandanganku gelap. Alam mengirim sepi, angin menjemput
amis. gerimis kembali hadir.

Dunia KOMA UMN, 15 – 22 Januari 2010


Keterangan :
Parkour : olah raga kemampuan melintasi medan/rintangan
sulit,seperti melompat dari satu gedung ke gedung lain .
Sophaholic: orang yang kecanduan belanja
Movieholic : orang yang kecanduan nonton

Dimuat di Medan Bisnis, 31 Januari 2010

104
Lelaki yang menunda damai

Jika keterusterangan ini membuat


hatimu pekat, baguslah. Bila gurat yang
menyapamu ini menyayat, baik juga. Agar
tersemat rasa bersalah di lindap sukma,
agar tak terulang bila esok fajar tiba.

105
Sebaiknya aku katakan padamu, bahwa jiwa ini larut
dalam duka yang mencengkram. Aku sadar, berhembusnya
gelisah ini menguap dari realitas yang terhidang di hadapku.
Aku mau bilang apa? orang yang kuanggap mulia ternyata
menyimpan sesuatu yang mengerikan!
Bagaimana tidak? di tangan merekalah kini terjadwal
segala masalah mahasiswa tingkat akhir. Aku tak yakin bisa
selesai secepat yang lain. Karena hatiku miris, melihat
sekawanan ternak itu, tahukah kau? Isi kantongku sudah
rompal untuk segala macam urusanmu yang semakin tak logis.
Tak tahukah kau? biaya kuliah kuperoleh dari menjerang peluh
sendiri? Ah, tak kau hargai itu. Sedikitpun.
Dan kini, aku semacam dalam labirin, tatkala sebuah jalan
tol terhampar luas secara terbuka digaungkan, dengan iming-
iming cepat selesai dan tak dipersulit. Tentunya ini
mengundang liur mahasiswa yang memang kusadari tak
memahami arti siapa dirinya.
Belum lagi shock therapy yang dibuat beberapa dosen di
semester akhir macam sekarang ini. Sosok -yang katanya
simbol- akademisi itu kerap mencekoki dengan cara halus
tentang pemahaman ”sogok-menyogok” berdalih ucapan
terimakasih. Terlebih Pak Bakti, wajahnya yang sangar benar-
benar dimaksimalkannya untuk menciutkan nyali kawan-
kawanku, termasuk Yadi dan Mulia, ah!
Aku tahu ini kawan, aku dalam dilema antara idealisme
dengan keterdesakan, aku juga sadar, ingin segera menapak
kehidupan baru dengan sebuah embel-embel: S.Pd. Tapi apa
harus dengan cara sepertimu?
Berkelebat argumen Yadi, sahabat dekatku pemilik suara
merdu tatkala mengumandangkan adzan, sosok yang tidak
pernah tinggal sholatnya – Paling alimlah di mata kawan-
kawan.

106
”Kita harus ngejar penerimaan PNS akhir tahun nanti…”
dalihnya. Dan entah mengapa, sebentar saja beberapa orang
mendukungnya -ah, entah kenapa bisa begini?
Mulia, mahasiswa yang loyal dan selalu mengingatkanku
untuk membagi waktu kuliah dan kerja, jagonya diskusi panel,
bahkan sempat jadi pembicara seminar yang diadakan kampus,
pun sepakat dan ikut mengambil jalan ini.
”Nanti dipersulit, kalian tahu kan aku ke kampus
menghabiskan tiga puluh ribu untuk ongkosku” Mulia mulai
menguapkan alasan ”lagi pula bila cepat aku tamat aku bisa
segera mengurus sertifikasi dan nantinya…” ah, ujarannya tak
lagi kudengar. Hanya cerecau tanpa makna yang kulihat dari
bibirnya.
Kutatap nanar sekeliling kelas. Sepi. Nada kegetiran
menyeruak, aku tahu ini akan menular ke yang lain, aku harus
berbuat sesuatu, tapi apa? Mengandalkan lobi UKM? kujamin
tak ada yang berani, walau menggunakan dalil yang benar
sekalipun! Kurasa sama saja UKM di sini, obral kata-kata
manis semacam:
”Kamilah yang mengayomi mahasiswa, kamilah yang
peduli dengan Masalah, bakat dan kreatifitas mahasiswa,
kamilah pembela…” bah! kata-kata itu semakin ”lugu” bila
diucap oleh orang yang merasa dirinya benar itu.
Atau lewat jalan lain? Mengadu ke presma atau gubernur
fakultas? Ah, sama saja! mungkin lebih parah. Bagaimana
tidak? urusan internal mereka saja tak becus diurus. Konon
pula bila harus bertolakbelakang dengan kepentingan penentu
kebijakan itu. Entah makian apalagi yang akan aku lontarkan!.
Hari beranjak, waktu terus melangkah. Aku hanya
menggumam, larut dalam kesenduan yang nisbi. Lebih dari
setengah kawan-kawan di kelasku akhirnya menyerah -atau
tergiur?- ikut memesan. Aku tahu, argumen Mulia dan
kefasihan sosok Yadi -yang membenarkan cara itu- turut
meyakinkan yang lain. Apalagi selentingan kabar kudengar

107
mereka berdua selaku penanggungjawab di ruanganku,
tentunya ada kompensasinya, mungkin mereka digratiskan atau
minimal bayar setengah. Ah, kabar itu saja sudah cukup
menikam begitu dalam di ulu hatiku.
Tak apa, tak jadi masalah. Apalagi, sempat kudengar
tatkala Mulia mulai mengorek cerita tentang orang tua kami
yang ada di kampung, mereka ingin anaknya cepat selesai,
diwisuda dan cepat dapat kerja.
” Udah ikut saja, aku dan Yadi sudah sepakat ikut ini…”
tutupnya dengan disambut beberapa tepukan tangan
bergempita, seolah dirinya adalah penyelamat mereka. Aku
hanya terdiam, tak ada guna aku mengguyur nasehat atas jiwa
yang kerdil itu. Mungkin yang bisa aku lakukan hanya
memaku diri. Memaki dalam hati sosok akademisi yang tak
mematut diri pada arti sebuah hidup.
Seminggu berlalu, aku dan segelintir mahasiswa yang
masih insaf harus berjuang, bergumul dalam lautan idealisme
yang seperti telur di ujung tanduk ini. Sebenarnya muak, serasa
ingin aku menendangi orang-orang yang menggantungkan
mimpi ”cepat selesai dan cepat bekerja” itu dengan umpatan
yang akan menjungkalkan paradigma mereka sendiri seraya
meraba gelar mereka yang – mungkin – mereka beli itu!
Aku kian gontai, melihat masa depan orang yang akan
digugu dan ditiru ini. Aku juga miris melihat mereka yang
dengan nada dan tatapan sinis sering mencibirku ”sok idealis!”
Ah, tak tahukah kau kawan aku merantau bukan untuk
mengejar angka di atas lembaran transkip nilai itu, pun juga
bukan pada selembar kertas keramat bernama: Izajah!
Mimpiku jauh dari sekedar itu! Aku ingin jadi seorang
lelaki yang tak pernah berdamai dengan kegelisahan, lelaki
yang terus belajar pada alam, lelaki yang meninggalkan
jejaknya di dunia lewat kemuliaan dan seorang yang bergelar
S.Pd, bukan malah jadi SPD ( Sarjana Pengumpul Diktat ).

108
Waktu merayap, hingga tak tersadar sebulan telah berlalu.
Sore ini kususur jalanan kampus. Keringat mengaliri dahi,
kuseka dengan ujung baju. Serta merta langkahku terhenti, di
depan sana mendadak ramai, ada apa ini? gumamku. Batinku
bergumul tanya.
”Ada apa? apa yang terjadi?” tanyaku bertubi-tubi.
“Tabrakan!” ujar seorang pemuda di dekatku. Ringkas.
”Laga kambing, sepeda motor sama truk” lanjutnya
seraya menatapku ”kedua pengendara motor langsung tewas”
tambahnya lalu kembali berdesakan di kerumunan itu.
Wajahku menegang. Bulu kudukku meremang seraya
menggurat senyum prihatin. Sebenarnya aku ingin turut serta di
situ, sekedar mengarak mayat ke ambulan yang pasti sebentar
lagi datang. Tapi aku harus bergegas ke tempat kost, seraya
menyiapkan diri buat mengajar nanti malam. Lantas, aku
bergegas meninggalkan tempat itu seraya menggantungkan doa
pada korban kecelakaan itu.
***
Mendung menyapa pagi. Kampus berduka. Tak kuasa
kubendung air mata, saat nama itu parau kudengar, mengapa
begini? Inikah pelajaran dari tuhan itu?.
Berkelebat bayangan argumen mereka di kelas tentang
PNS, tentang orang tua di sawah, cepat dapat kerja, cepat
diwisuda, lantas ter- flashback kejadian kemarin sore.
Sepasang tubuh yang terbujur kaku kemarin itu, mereka
ternyata….
( DUNIA KOMA, Medio Mei )

*DSAS : thanks untuk inspirasinya karib.

109
110
Pada Sebuah Perjalanan
Mentari merangkak, teriknya belum sempurna. Berpuluh
langkah aku dan Sukma mendaki waktu. Menuju ranah yang
akan kami huni. Di tengah perjalanan, kendaraan
melambat.Terhenti. Ada iringan lain yang menyekat jalan.
Sempat kudenguskan kesal. Tapi kutepis seraya merayapkan
mata.
Sebuah tembok kokoh meninju langit terhampar
membatasi pandangan. Rasa penasaran menggelitik. Sukma

111
menggeliat, aku segera mengedarkan pandangan. Dari celah
sempit terlihat deretan rumah berdiri. Mewah.
Tempat yang dikelilingi perkampungan ini hanya
menyisakan beberapa jengkal tanah. Tak mungkin
memperluasnya, kecuali andil tangan raksasa tentunya.
Mungkin.
“Rumah orang ternama ya?” Tanyaku memastikan,
Sukma mengiyakan.
“Kelihatan gak?” Sambungku. Sukma tak menanggapi.
Kini ia turun menuju kerumunan yang ramai itu.
”Huh, dasar kampungan!” ejekku dalam hati. Sukma tak
menggubrisku, langkahnya kian menjauh, terkayuh mendekati
bibir gerbang yang kokoh.
Rantai sebesar kepalan tangan yang melilit gerbang sudah
terurai. Seketika gerbang menganga menyambut sebuah
kendaraan mewah yang memasuki jalanan beraspal. Mulus.
Gelombang massa berebut masuk bak amuk demonstran.
Dua orang penjaga tak kuasa membendungnya. Beruntunglah,
Sukma cukup sigap mencari celah dari desak-desakan itu. Ia
pun turut terbawa arus kerumunan itu.
Panas mulai terjerang. Gelombang manusia yang tadinya
liar kini terpajang rapi. Beberapa orang berkemeja hitam-hitam
menyodorkan secarik kertas- semacam kupon.
“Nanti sehabis acara baru kelien tukar, oke!” ujar salah
satu pria berkemeja itu.
“Oh...” Sukma menggeleng. Kepalanya mendadak berat.
Dengan gontai kakinya mulai menjauh dari kerumunan itu.
“Hahaha... jangan heran gitulah!” tukas seseorang dari
balik kendaraan itu. Sukma tahu, sosok itu berbicara padanya.
Seorang pria beruban turun dari mobil mewah yang baru
masuk tadi. Sosok itu mendekat dan mengenalkan diri.

112
“Saroha,” ujarnya singkat seraya menjulurkan tangannya
yang putih dan gempal. Nama itu menalarkan imaji untuk
mengenali sesosok pengusaha ternama. Sukma menyambut
hangat dan mencoba merajut percakapan.
“Pastinya enak, bisa tinggal di komplek semewah ini,”
puji Sukma. Sosok itu menyuguhkan senyum. Bangga.
“Ya, ini impian banyak orang, betul tidak?” ia tersenyum,
memastikan.
Sukma membalas senyum. Pandangannya menyapu
kesekeliling. Lelaki di hadapan masih angkat bicara,
“Lihatlah! keramik lengkap dengan batu giok ini dan… “
“Maaf, Pak. Gak takut dicuri?” Potong Sukma sopan.
“Ah, keamanan disini terjamin, apalagi asuransinya ada,
santailah,” sanggahnya masih dengan melambungkan congkak.
“Eh, belum kau tengok plang rumahku?” tanyanya
seraya menepuk pundak Sukma ”Ukiran khas Bali, sangat
eksotik!“ Saroha mengumbar puji pada batu yang bertuliskan
namanya.
Sukma mengeja nama di plang itu, Drs. Ekron Saroha
Tambunan. Merasa tertarik, matanya menyusur rumah yang
lain. Batu ukir berbalut hijau turkis, Ir. Lamhot Sirait, M.A.
Yang lain? ah... matanya sebentar mengatupkan. Ia
menggumam sendiri melihat rumah-rumah mewah itu.
“Oh ya, sebelum kemari udah nanya gak ke tetangga,
Pak?” selidik Sukma mengalihkan pembicaraan.
Belum sempat sosok di depannya menjawab, tiba-tiba
berkelebat bayangan yang berasal dari rumah sebelahnya.
“Lamhot?” seru Saroha terkejut.
“Iya ini aku, bohong bila kami nyaman di sini!” tuturnya
parau, nada sedih jelas tergurat. Saroha terperangah.

113
“Hei! Maksudmu? Jangan main-main kau Lamhot!”
Sembur Saroha meninggi. Tak terima rasanya ia atas ucapan
Lamhot barusan.
“Kau belum alami, merasakan kesepian dan terlupakan,
selamanya,” ujar Lamhot beku, seraya menunjuk dua anak
kecil dan seorang wanita yang berkerudung kain hitam.
Lamhot menepuk bahu Saroha dengan seringai yang tak
terlukiskan.
“Mereka akan lupa, sama seperti istri dan anakku!”
tambahnya.
Wajah putih di depanku kian pucat, tak bisa berucap.
Kebekuan menyelusupi relung hatinya. Lamhot
mengisyaratkan untuk meninggalkan Saroha yang mulai
khusyuk menabung gelisah.
Mentari mulai menjungkal di atas kepala. Sembilan menit
sudah, rombongan kami belum juga bisa melintas. Terhambat
sepeda motor yang parkir sesukanya. Lamat kudengar langkah
Sukma yang kian mendekatiku.
“Bah, beruntung kali dia!“ semburku tak puas. Sukma
menatapku, helaan nafasnya berat menyiratkan sesuatu. Aku
menunggu. Sukma duduk sebentar, menggeleng, lalu
membaringkan tubuh di dekatku. Bibirnya mulai bergetar.
“Ada sekat, di sini keheningan menyentuh tiap penjuru,”
tuturnya berat.
Aku terdiam. Menekuri tiap kata yang meluncur dari bibir
sukma. Lama. Keheningan membungkusku. Lantas, setelah
bergulirnya waktu dan pikiran, akhirnya dapat juga sebuah
keputusan.
“Ah! benar juga kau, Lae!” pekikku, lantang.
“Nah, tak mungkin betah kau disini...!” Pukau Sukma.
Aku mengangguk setuju.
“Jadi lanjut?” tanya Sukma menggantung.

114
“Baen ma!” teriakku lantang.
Akhirnya kendaraan terkayuh meninggalkan kompleks
mewah itu. Kini kami dihadapkan pada jalanan berbatu cadas
dan terjal. Medan yang cukup sulit dan berisiko besar. Kami
bisa saja tergelincir lalu jatuh ke lembah curam di kanan-kiri
jalan. Tapi, untunglah semuanya selamat.
Langkah-langkah terhenti. Sukma bergegas turun dan
mengamati sekeliling. Firasatku berkata, sudah sampaikah?
Hatiku berdegup tak beraturan. Galau.
Udara segar berkabar. Di depan kami terhidang
kerumunan rumah yang bertabur tak teratur. Berdinding bata
berbalut lumpur. Plang di tiap rumahnya sederhana. Dibuat
dari kayu murahan yang kerap dimamah rayap. Rerumputan
liar. Bertebar. Pohon-pohon kekar. Menjalar. Semrawut.
Tapi ada sesuatu yang langsung membuatku betah di sini.
Begitu terasa. Ya, itu dia! Tak ada sekat dan seperti tersengat
listrik aku mencium suasana yang begitu aku kenal. Seraya
menggumam,
”Ini kan tempat aku sering menggembala kerbau opung?
Benarkah?” tanyaku penuh ragu. Sukma mengiyakan.
Berkelebat memoriku mundur ke beberapa hari yang lalu.
Kerap ada musafir berteduh di kampung ini, sekadar
menanggalkan lelah. Juga para pengais rezeki yang berburu
burung, jangkrik, ular bahkan kalajengking acap kali menjerat
tangkapannya di sini.
Dan tak lupa pula hewan gembalaanku. Mereka bebas
menggasak rerumputan yang terhampar di sekitar sini. Bahkan
kawanan itu kerap berhajat seenaknya, bau memang. Tapi
begitupun, tak ada luapan marah. Yang ada, seakan alam
mengabarkan tentang makna tenggang rasa, hidup bersama,
damai dan bahagia. Ah, betapa harmonisnya kampung ini,
gumamku senang.

115
Arakan putihnya awan membalur mentari. Terik
sementara bersembunyi. Kini tepat di sebuah rumah yang
sederhana. Pintu utama terbuka, dengan tergesa empat sosok
pemuda membuka penutup kendaraan. Terlihat oleh mereka
seonggok tubuh di dalamnya, bersidekap menyuguhkan seulas
senyum penuh kelegaan. Wajah-wajah bertatapan, keheranan.

Punggung KOMA, 28 Januari – 4 Juli 2010

116
Aku dan Lelaki Sore Itu
Aku tahu. Sedari awal lelaki yang di depanku ini
berbohong. Terlihat sekali gelagatnya. Oh, tapi demi tatap
sendu itu, melihat uban yang menjamur di kepalanya, aku tak
tega. Iba tiba-tiba menyergap, masuk menyusup ke rongga
dada.
Padahal biasanya aku hanya mengibaskan tangan
pertanda penolakan. Terlalu banyak tipu daya di kota besar
seperti ini. Terlalu banyak kepura-puraan yang membuatku
harus waspada.

117
Melihatnya sekilas membuatku teringat ayah yang di luar
kota. Ada getar yang menjalari nadi. Ah! Kali ini tak apalah
aku berbaik hati, gumamku. Lekas-lekas kuajak lelaki itu
menyeberangi jalan menuju satu ruko berarsitekstur rumah
gadang.
“Sreekk..!” kutarik kursi plastik hijau marmer di depan.
Lelaki itu sudah lebih dulu duduk. Tangannya dilipat. Matanya
jelalatan, wajahnya berbias cerah. Mata kami bertubrukan. Aku
mengangguk.
“Mau pesen pakai apa, Pak?” tanyaku sebelum
memanggil pelayan.
“Apa aja, Nak. Yang murah-murah aja,” jawabnya
dengan senyum, seolah berterimakasih yang sangat besar.
Kutatap lagi lelaki itu. Oh, Pak, hanya ini yang bisa kubantu,
bisik hatiku.
“Bang!” panggilku pada pelayan dan segera memesan dua
porsi nasi dengan lauk lele goreng, sambal hati dan sayurnya.
Aku menekuri meja. Wajahku berhadapan dengan lelaki
itu. Ah! Pak Tua,
“Dari pagi tadi Nak, Bapak belum makan,” ujarnya
bergetar, aku terdiam, padahal baru saja aku menghabiskan
dua potong bistik ayam yang kubeli di depan kampusku.
Kutatap matanya, ada keruh di sana. Aku menyabar-nyabarkan
hati agar jangan gerimis melihat ini.
Pesanan sampai, sebelum pelayan beranjak dari meja,
kupesankan dua porsi nasi putih lagi untuk tambahan.
Lahap sekali. Bahkan belum habis setengah nasi di
piringku, lelaki itu sudah menambah. Ia menatapku, segan,
mungkin. Aku mengangguk, mengiyakan, jangan sungkan-
sungkan Pak, batinku.
Dalam tiap suapan nasi aku masih berdiam,
menekuri, betapapun keadaanku saat ini, aku masih lebih

118
beruntung ketimbang lelaki itu. Hufh! Sebuah tarikan panjang
kuhela, lelaki itu melirik, aku tersenyum, melegakannya,
“Anak sudah kerja?” tanyanya ditengah prosesi makan,
“Nyambi Pak, pagi kerja siang kuliah…” jawabku
sesegeranya
“Kerja di mana, Nak?”
“Ngajar, Pak,” sahutku
“Wah, pasti gajinya besar ya… ada tiga juta?” Tanya
Bapak itu kalem,
Heks! Aku hampir tersendak. Tiga juta? Gaji guru di
mana itu? Batinku, aku mesam-mesem dan menjawab,
“Nggak sampai segitu, Pak,” balasku
“Jujur lho, sedari tadi bapak mengamati Anak, Bapak
lihat, Anak orangnya sosialnya tinggi, makanya Bapak berani
minta tolong, hmmm… Siapa tadi namamu?”
“Lilik, Pak,” sahutku
“Iya, Lilik, tapi maaf ya Lik, kamu itu sebenarnya nggak
cocok jadi guru,” unggah lelaki itu.
Druk! Hampir aku mendelik, tapi kutahan. Sial! Sungut
hatiku. Kenapa ada orang seperti ini. Ah! biar bagaimanapun,
sekarang aku sudah mengajar dan aku menikmati itu, batinku.
Aku mencoba mengalihkan percakapan kami,
“Jadi Bapak sendirian ke sini?” selidikku
“Iya, kemarin bapak dikabari kawan, ada lowongan kerja
jaga malam di…” katanya sambil menyebutkan satu nama
gudang besar di jalan H.M.Yamin ini, aku mengangguk
mengiyakan, meski tak tahu persis tempatnya.
“Terus…” tanyaku penasaran.
“Sayangnya tempatnya sudah ditempati orang lain,”
ujarnya lirih, sedih jelas tergurat di wajahnya yang pucat.

119
Hening. Hanya suara kipas angin yang seperti
berdengung-dengung.
“Sabar ya, Pak, belum rezeki sepertinya…” hiburku
seraya mengajaknya menyambung makan kami. Lelaki itu
hanya mengangguk. Aku mencoba tersenyum tapi gagal, hanya
bisa mengangkat separuh bibir menyiku ke kanan.
“Ya, walau gitu, besok-besok akan Bapak coba lagi.
Oya,Lilik anak keberapa?” tanya lelaki tua itu
“Saya anak ke empat, Pak. Nomor 2 dari belakang,”
balasku mencoba merenyah, setidaknya mencoba mengusir
angin gusarku.
“Bapak mau minum teh manis?” tawarku saat melihat
piringnya sudah licin, sementara matanya masih berkilat-kilat
seolah masih lapar. Lelaki itu diam. Mungkin sungkan. Aku
memutuskan memesan dua gelas besar teh manis hangat. Ini
tentu berimbas, kami akan lebih lama lagi di rumah makan ini
gumamku.
“Kok ngerepotin gitu, Nak?” tuturnya halus, halus sekali.
“Orangtua saya mengajari saya buat bantu siapa saja
selagi mampu, anggap saja saya sedang mengamalkan amanah
orang tua saya, Pak,” ujarku menenangkan pada lelaki itu
untuk tidak perlu sungkan-sungkan.
Sambil menyeruput teh manis obrolan terus mengalir,
seirama dengan mengalirnya orang-orang yang menyinggahi
rumah makan ini, sekilas kulihat tumpukan dus kotak nasi.
Kubaca: Rumah makan Restu Bunda. seulas senyumku
tersuguh mengagumi kata “Restu Bunda”
“Jadi Bapak tinggal sendiri?” sambungku prihatin setelah
mengetahui darinya bahwa ia sebatang kara.
“Iya, Nak, Bapak sekarang tinggal di…” lelaki itu
menyebutkan salah satu kawasan Medan Diski, aku
mengangguk, mengiyakan meski tak tahu menahu tentang
tempat itu.

120
“Anak-anak Bapak?” tanyaku kali ini berputar pada
keluarganya. Sesaat matanya berbinar, aku tersenyum, lelaki
itu sekarang tersulut semangatnya, meski sedikit.
“Anak sudah kerja semua, satu di … dan satu lagi di…”
ujarnya menyebutan dua pulau besar di seberang kota Medan.
Aku mengangguk.
“Istri Bapak masih…”
“Kami sudah cerai,” potong lelaki itu seraya menuduk,
Matanya menerawang, sayu. “Dia nggak tahan hidup denganku
yang masih luntang-lantung,” parau suaranya merambat ke
gendang telingaku. Menggeletarkan.
Aku menelan ludah. Sebegini pahitkah hidup?
Ketidakadilan seolah berada dekat dengan penciuman
hidungku, konyol sekali negeri ini! Sosok tua seperti di
depanku ini, seharusnya berada di lingkaran keluarganya yang
hangat, diperhatikan. Bukan seperti ini, terbuang dan mencari
sendiri sekadar menyambung sisa hidupnya. Miris, miris
sekali! Kuremas celana flanelku, kusut.
Ashar dalam gerimis. Azan sudah bersahut-sahut. Lelaki
tadi sudah kunaikkan ke sebuah angkutan menuju Diski, hanya
selembar dua puluh ribu yang bisa berpindah ke tangannya.
Selepas membayar makan tadi, uang di saku milikku tinggal
beberapa ribuan.
Banjir menggenangi aspal. Aku seolah bisa berkaca
melihat tubuhku yang basah kuyup diguyur hujan. Lekas-lekas
aku menyebrangi jalan. Selepas wudhu langsung kuamankan
ransel yang memuat laptop dan kamera tripod di dekat tiang
penyangga mesjid.
“Allahu akbar!” imam mulai membaca Al fatihah.
Khusyuk hingga tahiyatul akhir.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,”
Salam terakhir. Entah mengapa seketika bulu kudukku
meremang. Aku menoleh, terperanjat! Hampir saja aku

121
melompat dan berteriak saat mengenali wajah itu, wajah yang
seharusnya sudah pulang ke satu tempat di kota ini. Ada teduh
di wajahnya. Aku menatap lelaki itu tak percaya. Lelaki itu
kini bersorban dan memakai jubah putih, ia tersenyum, hanya
tersenyum, dan entah bagaimana, tiba-tiba dengan perlahan
sosoknya menghilang dalam kepulan kabut putih. Putih sekali.
Aku menganga tak percaya dengan apa yang kulihat.
Kususur sekeliling, semua sepertinya tak melihat sosok itu.
Bergumul tanya dalam hati. Berarti hanya aku yang
melihatnya? Getar bulu kudukku makin meremang.

(duniakoma, 20-11-2011)

122
Malam Peramu Mimpi
Bagi seorang manusia, malam berjelaga adalah kumpulan
kaca yang retak. Menyerak asa yang tersamar ke penjuru
hidupnya. Namun bagi peramu mimpi, malam adalah
kesenyapan yang mengabarkan ketenangan, menyelipkan
aroma bahagia selaksa di alam mayapada.
Kalau boleh memilih, maka aku ingin meletakkan
ramuan bahagia di tiap-tiap mimpi manusia. Tapi, aku tak
kuasa, sebab manusia itu makhluk terpintar di dunia yang bisa
memengaruhi, selain tentu mereka juga termasuk terbodoh di

123
dunia karena mudah dipengaruhi. Maaf, ini hanya penilaianku
sebagai peramu mimpi selama adanya manusia di muka bumi.
Ya, aku khusus menanak berbagai ramuan untuk mimpi-
mimpi manusia. Terkadang aku bingung, apa yang dirisaukan
manusia-manusia itu? Udara, tanah, air semua gratis, lantas apa
yang mereka pusingkan? Maaf , ini hanya pengamatanku dari
tiga abad yang lalu.
Apapun, meramu mimpi adalah sebuah keasyikan
tersendiri, setidaknya aku bisa membangun imaji, menyalakan
semangat, memantik gurat bahagia di liang sukma. Tapi, bisa
juga kebalikannya, terkadang aku menyurutkan nyali,
meredupkan senyum dan menjelagakan bias wajah mereka di
pagi harinya. Maaf, bukannya jahat, tapi bukankah manusia
lebih jahat? Entahlah.
Pernah aku keasyikan, saat seorang koruptor yang
hendak tenggelam dalam mimpi, di sebuah hotel berbintang
tentunya. Segera kuramu gelisah di sukmanya, dan lihatlah ia
akan berguling-guling tak tentu arah di atas tempat tidur,
semacam cacing kepanasan.
Tapi, walau geram menelingkupi, tak sampai hati juga
melihatnya tersiksa, maka kubiarkan ia lelap sekejap dalam
mimpi penuh kehampaan, lantas lihatlah gurat hitam yang
melingkar di bawah kelopak matanya di esok harinya. Nah!
bisa kau lihat sendiri kan siapa yang lebih jahat? Maaf, ini
pengalamanku kemarin sore.
Pernah suatu saat aku mendengar keluh, telingaku
terguyur setumpuk perih. Apalah mampuku? Saat aku harus
menitipkan mimpi pulas selepas manusia serigala memangsa,
juga pada seorang pejabat di dalam hotel ’merah’. Juga pada
kupu-kupu malam yang meringkuk di sudut-sudut remang,
apakah aku layak menitipkannya? Entahlah, entahlah dan
entahlah. Maaf, aku sebenarnya kecewa.
Selalu, hingga kini. Derap langkah-langkah itu
menghentak di reruang penuh dengan lampu warna-warni,

124
sesak dengan manusia yang bermandi keringat, meliuk- liuk
tubuh mereka dalam hentakan musik yang dimainkan DJ.
Kerap hingga pagi dan selepasnya semua berujung pada mimpi
yang terpaksa kuberikan, karena aku kasihan pada penelan pil
terlarang itu, sekaligus aku ingin manusia belajar dari hal ini.
Maaf, jika yang kulakukan salah menurutmu.
Kemarin, aku meramu mimpi untuk seorang lelaki tua
yang kerap kerkopiah kemana saja. Mimpi yang kusemat
untuknya mimpi naik haji. Semoga bila apa yang ia cita itu tak
kesampaian di alam nyata, setidaknya sudah ia rasa di alam
mimpinya. Maaf, hanya ini mampuku.
Saat ini, baru saja aku menuangkan mimpi pada sepasang
muda mudi yang kasmaran, mereka kupertemukan di alam
mimpi, entahlah, kuharap mereka lekas-lekas membangun
rumah tangga yang bahagia. Setidaknya di alam mimpi mereka
sudah merasakannya. Maaf, inilah aku.
Tadi sempat aku iseng, akan kubuat kesamaan antara
mimpi dengan nyata. Tadi sempat kulihat Dina menggantung
pakaiannya, kelihatannya pakaian untuk berangkat kuliah
besok pagi. Sebuah batik berwarna biru muda dengan padanan
rok hitam.
Dan kini dihadapanku adalah si Feri, pemuda yang
menimbun cinta pada si Dina. Di mimpinya, si Dina
menerima cintanya dengan berpakaian batik biru muda dengan
rok hitamnya, persis dengan pakaian yang akan dikenakan
Dina esok hari.
Hahaha, entah apa yang terjadi besok. Yang pasti Feri
akan terperanjat melihat sosok Dina. Hahaha! Maaf, beginilah
aku terkadang.
Tapi, satu hal yang buatku bahagia, tatkala masih ada
jiwa-jiwa malaikat di sekitarku. Ya! Merekalah manusia
malaikat, hati mereka begitu bercahaya, aku merasakannya.
Memang ada kelelahan menggelayuti mereka, setelah penat
seharian menabur benih makna, cita dan cinta.

125
Merekalah penikmat ramuan terbaikku. Ramuan berisi
kenikmatan akan sebuah mimpi, penuh dengan keindahan
mayapada yang akan memompa semangat mereka untuk
berbuat lebih lagi keesok hari. Jadi maaf, bila ramuan terbaikku
hanya untuk yang terbaik.
Kalau sedari tadi aku mengatakan kata ”Maaf”,
sebenarnya maaf itu untukmu kawan, kuceritakanlah padamu
waktu itu dirimu terselubung kegalauan, tersemat keresahan,
air matamu tak terbendung lagi, segera akan terderai gerimis.
Saat itu jiwamu retak. Maaf, aku menyesal tak
menuangkan mimpi indah di malam terakhirmu. Sekali lagi
maaf, karena aku hanya Peramu mimpimu, bukan peramu
takdirmu.
Dunia Koma, 10 Mei 2010

126
Aku dan Mimpi yang Kutemui

Masih menari. Ia menyatu dengan udara yang


beku. Dinding rumah basah bersela dengan riuh
dengkur. Geliat sore meredup, senja sedari tadi
membenam dalam malam. Ia masih menari-
nari, di kamarku.

127
Kini ia merayapkan kayuh kaki, lamat ia mendekat. Udara
seakan bersahabat dengannya, terlihat semilirnya membuatku
lekas membenamkan wajah ke bantal. Sebentar saja aku larut
dalam ramuannya. Entah apa yang kuimpikan, sesuatu yang
membingungkanku dan tentu saja akan membingungkanmu
bila aku menjelaskannya sekarang.
Ah, begini saja. Mau dirimu ikut bersamaku? Iya, di
kamarku ini, mau? Sebentar, kamu jangan berpikir aneh-aneh.
Aku hanya mengjak sebentar saja, merasakan mimpi yang
entah kenapa harus aku yang mengalaminya. Jika engkau
memahamiku, betapa sulit keadaan aku saat ini.
Jadi, bisakah engkau membantuku? Nah, kalau setuju
marilah ikuti aku. Aku menggamit tanganmu yang putih.
Seputih awan.
Kamar itu terletak di lantai tiga pada rumah tua di pojok
desa kita. Rumah yang penuh dengan sejarah. Betapa tidak! Di
sinilah pernah tinggal orang hebat yang namanya tidak pernah
terdengar atau sekadar tercatat dalam tinta emas perjuangan
kemerdekaan, tapi itulah yang dituai dari sebuah keikhlasan.
Nama yang tersapu oleh penguasa berjiwa materialis dan
oportunitis.
Hmm, namanya akan tetap aku simpan, karena masih ada
teka-teki atas dirinya dan karena memang aku masih ingin
mengejanya lebih jauh. Nanti suatu waktu engkau akan aku
beritahu.
Baiklah, kita sudah tiba di kamarku. Kawan, berbaringlah
di kasurku, biarlah aku di sini, merebah diri pada dipan kayu
berlapis tikar rotan. Tak mengapa kawan, semoga engkau
bergegas merasakan mimpi itu, mimpi yang sama aku rasakan.
Ah! Betapa sangat inginnya aku akan hal itu.
Derap langkah itu, seret ayunannya dan aroma wewangi
khas itu datang. Ya! Itu peramu mimpi, ”Dia datang!”
bisikanku samar. Tapi sebentar, lihatlah apa yang dibawanya
itu, mengapa lain dengan botol-botol yang kemarin?

128
Kenapa saat ini cairan itu berubah menjadi merah pekat?
ada prasangka mengudara, tapi masih kusimpan rapi hingga
jejak itu merapat mendekatiku. Ah ya! Kenapa ia
mendekatiku? Mengapa tidak dirimu kawan? Tanya
menyeruak memenuhi langit-langit pikiranku.
Seperti dalam rahim. Ini pekat. Tak ada cahaya, walau
kucoba memicingkan mata, masih juga gelap menyerta.
Namun, perlahan cahaya menyapa dan hei! Lihatlah itu! Wajah
yang bercahaya, bening, rapi. Tapi maaf, mengapa masih
begitu abstrak untuk aku katakan di sini. Entahlah, sulit
memang dilukiskan dalam kata-kata.
Begini saja kawan, jika esok pagi engkau masih berdetak,
maka lihatlah semburat mega pagi nanti. Benar, tepat ketika
hanya secercah yang menyingsing pekat, seperti itulah cahaya
si peramu mimpi ini. Bukankah susah engkau gambarkan?
Benar kan?
Sosok itu terus melangkah dan menempelkan bibir
botolnya ke pucuk tangannya. Air itu terpercik ke tubuhku.
Aku ambruk! seketika aku memulai lagi perjalanan mimpi
yang kemarin. Tidak! Ini bukan mimpi yang kemarin. Ini
berbeda, sangat berbeda!
Astaga! Terdampar di manakah aku? Kini aku duduk di
dalam kafetaria yang kurasa tak layak disebut begitu.
Bayangkanlah, di sini berserak sampah membusuk, remah-
remah makanan sisa pun masih jelas terlihat dari kacamata
minusku ini.
Apalagi di pojok sana, lihatlah! Tikus got pun ikut
memeriahkan malam ini. Hmm... Tapi dengarlah alunan jazz
mengalir di gendang telinga. Entah kenapa musik itu
menguapkan perasaan jijik pengunjung kafe ini, mereka
terlihat lahap, menikmati sekali. Tapi bagi aku? Ini
menyesakkan!
Tempat apa ini? Aku masih bertanya-tanya dan belum
bisa menjelaskannya padamu. Hei kawan! Kau belum beranjak

129
pergi kan? Baguslah, walau tak besertaku setidaknya engkau
mendengar kisahku ini, sebentar lagi.
Sosok yang pernah merasuk dalam mimpiku selama ini
kembali muncul, sosok samar itu kini dengan wujud manusia.
Dalam hatiku bergumul tanya ”Benarkah peramu mimpi itu
manusia juga?” tanyaku terus mengalir dan terus menabung
gelisah.
Lelaki itu, ia duduk di pojok kanan kafe. Sebentar
kemudian asap putih menyelimutinya. Rokok yang disulutnya
lekas menyebar tatkala sebuah kipas angin tua memutar.
Kencang.
Lelaki itu, ia memesan minuman. Tangannya memainkan
gelas yang tinggal setengah isi. Sepertinya ia gelisah, mungkin
ia menanti seseorang, atau jangan-jangan kekasihnya?
Namun entah kenapa tiba-tiba prasangka tertuang ke
tubuhku. Jangan-jangan ia ingin merencanakan rencana buruk,
tapi pada siapa? ”Ah!” Aku menepuk jidatku seraya
membelalakkan mata dan serta-merta memosisikan diri untuk
siaga. Aku sadar kini siapa yang ia tunggu.
Lelaki itu menyengir ke arahku. Lama. Manis tapi
sedingin es. Wajah samarnya tersapu sinar lampu bohlam, ada
gurat di pipinya. Oi mak! Matanya meneteskan darah. Aneh,
sungguh aneh. Semua pengunjung tak ada peduli. Ah! Bisa gila
aku!
Ingin aku menanyakan pada salah satu tamu tentang siapa
sosok itu, tapi selalu kuurungkan niat melihat wajah yang tak
bersahabat dari mereka. Aku masih gelisah, jujur penasaran
masih menggelayut, walau dalam hati meyakini memang
dialah peramu mimpi itu. Ciumlah aromanya yang masih
kurasa, ia sama dengan yang kurasa tatkala sosok itu beberapa
kali menyambangiku. Sosok yang kerap menuangkan mimpi
tak berkesudahan, ia si peramu mimpi itu!
Kesabaranku habis. Segera aku beringsut mengayuhkan
langkah menemuinya dan hei! Dalam beberapa langkah tiba-

130
tiba ada sesuatu, kenapa ini? Asap putih raksasa-kuyakin bukan
asap rokoknya- menyelubungiku dan entah kenapa tiba-tiba
sebuah jendela perak tersuguh di hadapku. Angin mendorong
tubuhku. Aku terpental masuk ke labirin yang serba putih.
Kemana aku? Entahlah, rupanya mimpi ini masih berlanjut.
( Di suatu subuh, 2010)

131
132
Labirin Mimpi
Aku kembali! Ya, setelah lama terkunci di
labirin mimpi akhirnya aku bisa menyentuh pintu
keluar. Syukurlah, batinku. Setidaknya mimpi-mimpi
aneh yang selama ini menggerayang dan pertemuan
dengan sosok-sosok aneh akhirnya bisa aku
tandaskan.

133
Aku di sini. Di sebuah tempat tidur dengan dipan
yang sudah puluhan tahun tak terganti. Dengan bantal
yang sudah susut. Aku meringkuk di sini sejak semalam.
Persis ketika sebuah celah terbuka dan aku melompat.
”Hup!” aku selamat, aku keluar dari labirin waktu itu.

Engkau tentu masih ingat saat peramu mimpi


bertandang ke sini membawa sebotol ramuan berwarna
merah saga. Aku meringkuk dibalik tirai. Bukan aku
sosok yang mereguk ramuan itu, bukan, tapi sahabatku,
Ya, berarti masih ada satu mahluk lagi yang terjebak di
sana, di ruang penuh imaji yang aku sendiri terkadang
takut terkadang takjub. Entahlah.

Kutatap celah itu. Masih menganga. Tapi entah


kenapa sosok yang satu lagi belum juga muncul. Aku
rindu padanya. Kami sudah terpisah sejak terseret ke
labirin ini. Hufh! Semoga engkau baik-baik saja di sana
sahabat.
Hmmm, sembari menunggu maukah engkau
mendengar kisahku? Ya kisah selama aku di sana. Mau
kan? Sip! Begini ceritanya, saat pertama aku masuk ke
labirin waktu itu aku menemui tempat yang indah.
Sungguh indah sekali. Rumput yang kupijak semacam
beludru. Udara yang kuhirup segarnya luarbiasa. Ah, sulit
aku menceritakannya padamu, tapi yang pasti aku dapat
makanan enak! Apa itu? Burung dara!
Kalau aku tidak mengingat sahabatku, tentu aku
akan menetap di situ, tapi mungkin naas juga, tatkala
kantuk menyergap dan saat mataku terkuak,
pemandangnan beda tersaji. Saat itu aku menemui sebuah
tempat semacam pemakaman.
Mencekam? Tentu. Takut? Pasti. Bagaimana tidak,
latar langit yang gelap, sementara sebentar-sebentar

134
guruh disertai kilat menyambar. Ya, saat aku terjaga itu
sepertinya waktu malam hari. Aduh! Sungguh aku takut.
Perlahan kakiku terayun ke sebelah gundukan tanah.
Masih merah. Tempat apa ini? Apa ada kehidupan lain di
dunia imaji ini? Argh! Kukepal rambutku yang telah
kusut masai. Selintas sempat kubaca pusara-pusara imaji
yang terpahatkan pada sebatang kayu persegi.
Tapi maaf aku tak mengerti aksara yang ditulis, tapi
sahabatku –yang tersesat di labirin ini pasti mengerti
maksud pajangan kata di papan pusra itu. Kelak, kau bisa
tanyakan ke dia.
Aku terus berjalan. Hinga puluhan kayuh masih juga
kutemukan pusara semacam ini, sepanjang jalan, setiap
sisi jalan. tubuhku lelah, mataku berkunang-kunang
lantas aku pingsan.
Aku terbangun! Mataku perlahan menahan sakit.
Ya, sinar yang terang menyergapku. Badanku yang
basah-seingatku-kini kering. Aku ada di sebuah kota.
Hiruk-pikuk orang bersliweran. Mereka sebaya dengan
sahabatku. Mataku sibuk ke sana-ke mari mencari
sahabatku itu. Tapi belum lama aku menyusuri wajah di
sekitarku, kini aku terpaku.
Ada yang aneh, pada sumber terang yang menyinar
kota ini, tidaklah bulat, tapi petak, persegi panjang
tepatnya. Aih! Benda apa pula itu? Aku mengucek mata
memastikan, tapi memang benar adanya, benda yang
berpendar terang itu adalah semacam matahari.
Lagi-lagi aku tersadar berda di alam imaji. Agak
dongkol aku menjerit. Tapi tak ada yang peduli. Ya, tak
ada yang peduli kecuali satu orang gadis kecil. Ia
meghampiriku. Senyumnya yang serupa seringai
membuatku takut-takut mendekat. Wajar, aku berada di
tempat yang aneh, maka aku harus senantiasa waspada.

135
Ia menawarkan sepotong rotinya, aku langsung
menyambarnya. Perjalanan dari kegelapan semalaman
tentu menguras tenagaku. Lekas benar kuhabiskan
sepotong roti itu. Ah, ternyata ada yang baik juga di sini.
Seseorang memanggil anak itu dengan bahasa yang
tak kumengerti. Gadis kecil membungkuk, menunjukkan
deretan giginya yang hijau sembari berujar sesuatu
padaku, mungkin berkata pamit. Ia melambaikan tangan
dan meninggalkanku sendirian.
Ingin rasanya aku ikut serta dengannya, tapi
bergegas kuurungkan niat mengingat aku harus mencari
sahabatku. Ya, sahabat dari dunia luar imaji ini, tentu ia
pun mengalami kejadian mengerikan yang sama. Merasa
terasing, kesepian dan menemukan kejutan-kejutan. Ah,
sahabat semoga engkau baik-baik saja di sana.
Nah, kawan. Itulah sedikit cerita singkatku.
Sebenarnya masih sangat banyak tempat yang aku temui,
tapi nantilah, suatu saat akan aku ceritakan semuanya,
aku janji. Sekarang ijinkan aku meringkuk lagi di sini.
Jujur, lelah masih menyemat di tubuhku. Biarlah sejenak
kuhapus gundah yang menggantung ini. Maaf sahabat,
aku harus isirahat dulu.
Jendela berderik. Suara dengkurku masih terdengar
samar. Entah dari mana, tiba-tiba sepotong tangan
berlendir lengket berwarna hijau pekat mencengkeram!
Aku melawan, menggigit, mencakar, tapi tiba-tiba tangan
itu melemparku ke dinding
Bugh!! ”Miiiaaaaaawww!” pekikku
Sosok itu menghampiriku. Aku sadar, aku harus lari,
tapi kakiku semacam patah. Tak lama sepasang
tangannya menyeretku ke lubang tempatku keluar
semalam.
(Gazebo Imaji, 2010 )

136
Pak Yunyi
“Tahu..tahu…” suara cempreng khas itu sayup terdengar,
pertanda sosok itu sudah memasuki perumahan tempatku
bermukim. Gerobak kayu bertenda hijau lusuh dengan
sepasang ban usang tiap hari memang mondar-mandir di sini.
Lelaki itu tinggal di rumah kontrakan tua di sudut perumahan
ini kembali menyusuri gang sempit tempat rumah kami tinggal.
Tak begitu peduli orang akan asal usulnya, apalagi nama
aslinya, yang penting bagi mereka adalah dagangannya murah
dan rasa tahu yunyi racikannya itu enak. Maka, tatkala
beberapa pelanggan menjulukinya Pak Yunyi, hingga kini ia
kerap disapa begitu. Tak ada yang tahu bahwa di akte
kelahirannya, sosok itu bernama: Abdullah Sudiono.

137
Kini sosok itu berhenti di depan rumah bu RT. Beberapa
pelanggannya sudah mengerumuni dan segera memilah, lantas
membungkusnya di plastik seraya menebar gosip.
”Pak Yunyi, tahu di pasar naik lho? tahu bapak nggak
ikut naik kan?” sempat berkelebat tanya bu Karti, satu langgan
yang terkenal cerewet itu. Sosok itu hanya tersenyum, seraya
mengangguk
”Yo, iyo bu... kangge langgananku hargane tetep wae lah,
sepotong tetep tujuh ratus perak” ujar lelaki itu memastikan.
Mengusir kegusaran.
Ada kebahagiaan tersirat di wajahnya tatkala melihat
wajah-wajah cerah pelanggannya itu. Sungguh amat sulit
dilukiskan.
”Murahnya tahu yunyi ini sedikitnya bisa mengurangi
kerut dahi uang SPP yang belum terbayar, harga beras, minyak,
gas, tagihan listirik, air yang kerap melambung dari jangkauan
masyarakat pinggiran seperti mereka. Wah!, kehidupan di kota
besar ternyata tak seindah pesonanya” gumamnya dalam hati.
Begitulah, walau hasil yang ia dapat tak sepadan.
Kebahagiaan pelanggannya membuatnya tak mau beringsut
meninggalkan pekerjaan yang sudah berpuluh tahun ia geluti
ini.
***
Tahu buatannya selalu dikejar pelanggan. Bagaimana
tidak dikejar?, tahu yunyi buatannya terkenal enak, gurih.
Belum lagi harganya yang bisa jauh di bawah harga pasar.
Entah bagaimana ia menyiasati biaya produksinya, yang pasti
rasa tahu racikannya selalu enak dan buat pelanggannya
ketagihan.
”Pak Yunyi, pakai apa sih buat tahunya, kok lain sama
yang di pasar, enak” tutur bu RT di suatu pagi.
Mendengar tanya pelanggannya itu, pak Yunyi hanya
mengulum senyum.

138
” Tahu saya nggak pake pengawet bu” terangnya seraya
dengan cekatan membungkusi tahu ” Lagipula pewarnanya
asli, cuman pakai kunyit” tambahnya.
”Oh gitu tho?, tapi kalau nggak habis gimana itu?.”
Sambung bu RT.
”Insyaallah selalu habis bu” tukasnya
” Tapi kalau tak habis di makan sendiri bu, makanya
diboronglah tahu saya ini” tambahnya berseloroh.
Bu RT hanya tersenyum takjub, seraya tangannya
memasukkan beberapa potong tahu lagi ke plastiknya dan
membayarnya.
***
Beberapa hari ini tahu racikannya banyak tak habis.
Sebabnya lagi musim penghujan, dan bila hujan turun, maka
air akan meluap dari selokan. Ini pertanda ia harus mengurung
asa berjualan di kompleks yang selalu langganan banjir itu.
Bukan karena tak berani, tapi ia harus menyadari bahwa
gerobak satu-satunya tak akan sanggup menempuh jalanan
yang terendam banjir. Bisa-bisa gerobaknya karam dan tahu
yunyi buatannya akan melebur bersama lumpur selokan yang
menghitam.
Walau sering terjebak keadaan seperti itu, paling-paling
tahunya tersisa duapuluh potong.
Karena pelanggannya kerap menjemput ke rumahnya
dengan menembus hujan dengan tubuh berbalut jaket dan
bersembunyi di balik payung. Dan biasanya mereka akan
membeli lebih banyak,
”Sekalian buat cemilan di sela hujan” tutur mereka saat
ditanya.
Sebenarnya Pak Yunyi tak ambil pusing bila tahu
buatannya banyak tak terjual, karena ini jadi kesempatan untuk
menggorengnya, lalu dibagikan pada jemaah di masjid. Jangan

139
berfikir ia mengharap pujian, malah sosok itu tak pernah
mengatakan bahwa itu adalah pemberiannya.
Hingga saat ini jemaah masjid masih menganggap bahwa
tahu yunyi goreng yang disedekahkan ke masjid itu adalah
pesanan orang, Pak Yunyi sekedar pengantar.

***
Mentari menyibak pagi. Pak Yunyi masih meringkuk di
kamarnya. Entah angin apa yang membuat badannya
menggigil. Memang semalam sempat ia menembus guyuran
hujan ke kedai Koh Tong. ”Persedianku habis koh!” ujarnya
saat ia ditanya mengapa begitu nekat malam-malam ke kedai
tauke itu.
Tadi malam selepas isya ia dikagetkan saat sebuah avanza
terparkir di depan rumahnya, dan belum sempat ia mencampur
obat tahu ke adonan, pintunya sudah diketuk. Bergegas ia
membuka pintu dan melihat sesosok dengan penampilan orang
kantoran.
ia menyilakan tamunya itu untuk masuk dan menjelaskan
hasrat kedatangannya.
”Perkenalkan saya Heru, pemilik restoran Madinah”
ujarnya singkat ”Mungkin bapak pernah dengar” lanjutnya
seraya melirik ke sosok itu.
”Oh...” hanya itu yang meluncur dari bibir Pak Yunyi.
”Ehm, langsung saja ya pak” tuturnya ” Saya sudah
merasakan tahu buatan bapak, saya sangat suka” suaranya
terhenti sebentar ”Jadi maksud saya ke sini adalah mengajak
bapak untuk bergabung di restoran saya” tangannya
menyodorkan selembar kertas ”Bapak akan menjadi
koordinator dapur dan bila sudah setahun bergabung...” lelaki
itu menarik nafas lalu tersenyum dan melanjutkan ujarannya ”
Insyaallah selang setahun bapak akan naik haji” ucapannya

140
terhenti sebentar ” semua ditanggung dari perusahaan”.
tambahnya
” Bagaimana pak?” tanyanya lagi.
”subhanallah” desis lelaki tua itu. Allah memang maha
pembuka jalan, batinnya.
Lelaki tua itu menerawang, mulutnya masih terkatup.
Lesat pikiran tak terbang ke Baitullah, namun entah kenapa
malah memorinya memutar mozaik sewaktu berkeliling di
tengah panasnya mentari, saat telinganya yang menjadi wadah
keluh kesah pelanggannya.
Memori itu terus memutar gurat senyumnya, ketika
pekikannya mengguyur pelanggan untuk keluar rumah, saat ia
mendulang senyum mendengar pujian pembelinya yang
mengatakan tahunya enak, murah dan membantu mereka
karena nggak perlu repot ke pasar.
Tapi, bila ia menerima tawaran ini, siapa yang peduli
akan gemuruh oceh, gelak- tawa dan keluh-kesah
pelanggannya?, lantas bagaimana gizi anak-anak mereka ?.
Bilapun ada yang gantikan, apakah akan peduli
sepertinya? Apakah ia mau bersusah payah memarut kunyit
ketimbang pewarna sintetis? Apakah ia rela mendapat hasil
sedikit? apakah ia mengharamkan formalin pada tahu
buatannya?, dan apakah ia mau menyisihkan potongan tahunya
untuk mengganjal perut jemaah di mesjid?, ah!.
Sejenak ia menimbang, lantas mulutnya mengudarakan
sepatah kata. Setelah itu sosok di depannya menyambut dengan
senyuman sembari berpatah beberapa kata seraya bergegas
permisi dan melaju menaiki avanza biru.
Gigilnya mendadak menguap tatkala ia sadar sudah pukul
berapa. sekilas Jam ruangan sudah merapat ke angka sembilan,
Pak Yunyi megnenakan pakaian rapi, berkemeja dan memakai
celana baggy.
”mulai hari ini saya akan lebih rapi” gumamnya.

141
Bergegas ia mengeluarkan gerobaknya yang penuh
dengan dagangan. Disertai luapan gembira dan gurat senyum
bahagia ia menyusuri jalanan seraya meneriaki pelanggannya.
”Tahu...tahu...”.

( Dunia KOMA Medan 21 Sep ’09 – 05 April ’10)

142
Sebuah memoar putih abu-abu

Semua Tentang Kita


Siang itu begitu teriknya, teriknya mentari begitu mudah
melelehkan keringat. Suasana di SMU Teladan begitu tenang.
Kami sedang menyerap ilmu pengetahuan.
Bel berbunyi, tanda istirahat kedua. Anak-anak 2 Che
berhamburan berebut kertas ulangan bahasa mereka. Zul
dengan sigap membagi-bagikannya.
”Zul, kamu dapat berapa?” tanyaku pada Zul
”Lumayan, Delapan, kamu sendiri berapa?”
”Aku? Sembilan dong!” ujarku
”Iya deh, kamu memang jago BI, tapi tunggu tanggal
main MM ya!” kata Zul tak mau kalah.
Aku hanya tertawa seraya mengajak Zul keluar dari kelas
ke perpustakaan.
”Iya deh, kamu memang jagonya eksak, kayaknya Anak-
anak plus dapat saingan nih?!” godaku.
”Eh, bukan gitu maksudku, tapi tiap orang itu kan punya
keunikan sendiri!” bela Zul.
”He he, iya, karena ada makna di balik kelemahan dan
kelebihan manusia kan?” tambahku belagak bersyair.
”Maksudnya?” sambar Zul. Kami masih di jalan trotoar
yang pinggirnya ditumbuhi rumputan.

143
”Itu artinya, nggak ada manusia yang bisa memenuhi
kebutuhannya sendiri, karena itulah semua saling
membutuhkan! Sama kayak kita!” sambar Tyo yang tiba-tiba
dan entah dari mana muncul merangkul pundakku dan Zul.
”Bikin kaget aja!” serempak Aku dan Zul merutuk sohib
yang terkenal usil itu. Si Tyo malah nyengir tanpa dosa.
“O…bener juga ya!” gumam Zul, kepalanya manggut-
manggut.
”Memang bener…” Aku meyakinkan.
”Iya…iya…, aku sih setuju,” balas Tyo yang mulai ngos-
ngosan menaiki tanjakan beraspal.
Langkah kami melambat. Apa sebab? Tika, Yani, Chai
dan cs mereka, para “artis” lewat, alamat sayang tidak
menyaksikan mereka, meski sekadar jadi penonton, meski
sekilas pandang.
Sejenak aku berhenti, kedua sahabatku pun turut serta.
Sesosok berkuncir kuda yang pernah satu SMP dulu, tiba-tiba
melintas di depanku, Ima. Sekejap berdua mengurai tawa,
saling-sapa dan berpamit pisah.
“Cewekmu, Har? Cantik juga…” Tyo mulai dengan
usilnya.
”Kawan,” ujarku seraya menarik Zul mendahului Tyo
yang masih penasaran dengan cewek barusan.
Tak terasa langkah sudah merapat di perpustakaan. Kami
mengantri untuk mengisi daftar hadir. Setelah itu, berkeliaran
mencari buku favorit masing-masing.
Di meja yang panjang, di sudut kiri perpustakaan yang
dijejeri aneka rangka manusia. Kami bergabung dengan empat
sahabat lain yang ternyata sudah nyelinap duluan ke ruangan
itu, mereka si mahluk-mahluk cerdas, di meja kami sudah ada
Syah, Fiqri, Kusuma, Ical dan Aryo yang selalu jadi andalan
banyak teman saat ulangan.

144
”Zul, kau baca buku apa?”tanya Tyo setengah berbisik
sambil menunjukkan ensiklopedianya.
”Nih! Cara cepat penyelesaian soal-soal Matematika,”
balas Zul lebih pelan. Keduanya mengarahkan pandangan ke
aku.
”Ini…” aku menunjukkan sampul buku yang berjudul
”Rubuhnya Surau Kami”
Di seberang kami, duduk para peri yang kerap jadi juara
kelas dan umum sekolah ini. Mereka sudah lebih duluan
sampai dari kami. Lantas, langsung tenggelam dalam buku-
buku tebal yang kebanyakan eksak-sains. Ya, saat istirahat, rak
kimia, biologi dan cerita memang selalu jadi pilihan banyak
siswa.
Lihatlah, para juara itu: Dini, Sonta, Rena dan Reni.
Mereka memang selalu begitu, dahi muda mereka sering
berkerut menyerap ilmu. Bagi mereka, mudah saja memahami
serangkaian rumus kimia, molekular dan setumpuk bagan
siklus dalam pelajaran biologi.
Tapi, di balik wajah serius mereka yang tampak dingin
dan tak bersahabat itu, sesekali tertangkap senyum, yang
kubaca, mungkin mereka geli melihat soal yang gampang-
gampang, atau menemukan jawaban atas pertanyaan yang
mereka bangun dalam pemikiran mereka sendiri. Melihat
senyum mereka, melihat sederet gigi mereka, adalah
pemandangan yang langka, barisan senyum yang tulus, tidak
dibuat-buat, tidak kecentilan, tidak berlebihan.
Merekalah, satu hal penting yang membuat perpustakaan
sekolah selalu ramai, satu hal penting yang membuat kami-
siswa medioker- selalu punya alasan untuk menyarangkan
waktu istirahat di antara ribuan buku-buku, satu hal yang
memastikan kami tetap tertinggal oleh mereka.
”Mereka itu daya tariknya!” bisikku, Tyo dan Zul
mengangguk sambil mengamati para peri dari celah buku
ensiklopedi yang mereka baca. Syah, Fiqri, Kusuma, Ical dan

145
Aryo tentu mendengar, tapi mereka cuek bebek, meski kuyakin
saat lengah kami, mereka pun akan curi pandang ke arah para
juara itu.
Bel meraung-raung. Nadanya yang seperti terompet
raksasa itu membuat siswa di dalam kamar mandi di ujung
sekolah pun mendengarnya. Begitu juga di ruang pustaka ini,
semua siswa berhambur menuju kelas, keluar dari
perpustakaan dengan posisi ngantri, posisi yang memang
dikondisikan hanya satu per satu orang yang bisa melintasi
pintu keluar.
Penduduk Dua Che kembali berkumpul di kelas. Yang
masuk kali ini adalah Pak Khairul, guru geografi yang humoris
dan mempunyai pengalaman masa mudanya menjadi Tourist
Guide.
Pengalamannya yang banyak saat menemani wisatawan
melanglang buana ke se-antero nusantara bahkan ke
mancanegara seperti Malaysia juga China, membuat pelajaran
geografi jadi hidup dan begitu mengasyikkan, selalu saja beliau
mampu membuat kami terpana mendengarnya berkisah.
Waktu begitu cepat berlalu, bel berdentang tanda
pergantian mata pelajaran. Sejumlah penghuni 2 Che berpindah
tempat, berlomba ke belakang. Kebiasaan pelajar, berlomba ke
belakang, niat hati tentu ingin leluasa dengan opsi: main,
ngobrol dan tidur diam-diam. Yang tampak, Eky heboh
mencari bangku yang terdekat dengan pacarnya, si Ela.
Sekarang saatnya mata pelajaran yang gurunya ”rajin
nggak datang” Alhasil, mencatat di papan tulis sampai jam
pelajaran habis adalah yang selalu terjadi. Guru pengganti
datang, setelah menyuruh mencatat dan mewanti-wanti supaya
tidak ribut. si guru pun melengos pergi tak tahu ke mana
rimbanya.
Rades dan gank-nya bebas ber-bising ria. Sampai tak
terasa, sosok tegap berambut klimis tipis berdiri di depan kelas.
Mata elangnya memelototi Rades yang serta merta kembali ke

146
kursinya sambil mendiri-dirikan rambutnya yang sebenarnya
memang sudah selalu berdiri.
”Mana gurunya?” lontar lelaki itu. Hening, tak ada yang
berani buka suara. Gugun yang suaranya paling menggelegar
memberanikan diri menjawab, ”Keluar sebentar tadi, Pak!”
Andri, Heru, Erfan, Koko dan Tama mengiyakan.
”Begini ya, kalian itu sudah dewasa, seharusnya jangan
berkelakuan seperti anak TK, kalian kemari disekolahkan oleh
orang tua, maka jangan bla…bla…” lelaki itu terus dengan
pesan-pesan berawalan ”jangan” Beruntung, Vide anak kelas 2
a menjemput lelaki itu, karena beberapa anak-anak yang
dihukum jemur di lapangan pada keliaran.
”Baik, kalau kalian masih ribut lagi, akan tahu nanti
hukumannya! Supaya tidak ribut, lanjutkan membuat catatan
kalian, nanti saya periksa!” tutup lelaki itu dengan tegas.
”Kamu, catat yang rebut,” tambahnya sambil menunjuk
Ajrin yang duduk di belakang kami. ”Harus ada yang dicatat,
kalau tidak kamu yang saya kasi hukuman!” sambungnya.
Ajrin pias ”Iya, Pak,” ujar sahabat perempuan kami itu dengan
nada suara serak dan pelan.Lelaki itu pun bergegas pergi.
Selang beberapa menit, kelas kembali gaduh,
”Kamu sih, rese!” amuk Merry disertai anggukan teman
sebangkunya, Masita.
Rades yang nggak terima membalas ”Enak aja, dasar
nenek kecentilan!”
”Kamu kekanak-kanakan!” Sambar Masita mendukung
sahabatnya.
”Ye, biarin… wek! wek!” ejek Rades meliukkan
tubuhnya yang kutilang.
”Huh! Beraninya sama cewek!” ujar Deli nggak terima
teman satu gank-nya dihina.

147
”Hei! Apa-apaan ini?!” suara menggelegar dari sudut
jendela kelas. Itu suara milik lelaki yang beberapa waktu tadi
masuk dan menceramahi mereka sampai pening. Lelaki yang
rupanya sedari tadi mengintip tindak-tanduk kami dari sudut
jendela kelas sebelah. Kelas kembali hening.
Seperempat jam berlalu.
”Sudah siap kan? Kumpulkan semua catatan kalian!”
perintah lelaki itu. Ardha, Kumala, Ulan dan Yuyu berinisiatif
mengumpuli buku-buku anak yang lain.
”Mana Des, bukumu…” tanya Yuyu dengan suara
mendayu-dayu, yang kebagian mengutip di barisan Rades.
Yang ditanya malah pasang muka memelas, ”Sori Yu, aku
belum ada nyatat,” bisiknya. Yuyu pun berpindah ke meja yang
lain dan mengumpulkannya di meja guru.
”Baiklah, sebelum saya periksa, siapa yang tidak
mencatat?” dengan dingin lelaki itu memaksa kami jujur, toh,
tidak mengaku juga bakal akan ketahuan belakangan saat
nilainya dimasukkan.
”Kau tunjuk tanganlah!” bisik Rades sambil mendorong
pelan kepala Tama.
”Akh, jangan pegang-pegang kepala, ini udah dipitrah
tau!” sembur Tama nggak terima.
”Nggak tau lah yau!” balas Rades dengan cuek.
”Hei! Kalian berdua, kedepan!” ujar lelaki di meja guru.
Kedua sohib itu terkejut. Dengan lesu mereka ke depan diiringi
tatapan menang Heny cs. Keduanya disirami ceramah. ”Ikut
saya!” perintahnya pada kedua sahabat kami yang kutilang
pantai itu. Keduanya digiring keluar menuju kantor BP.
Lelaki itu kembali ke kelas, tanpa Rades dan Tama.
Hanya berselang beberapa menit, bel panjang terdengar, tanda
jam pulang. Anak-anak 2 Che gaduh membereskan bukunya.
Sesudah berdoa dan disiapkan dan tentu saja setelah lelaki
itu keluar, anak-anak berebut menuju pintu menuju stasiun

148
lemari rumah yang berisi amunisi untuk menetralisir lambung
yang para penghuninya sudah menjerit-jerit.
Oh ya, kemanakah Rades dan Tama? Kabarnya mereka
bakal telat pulang, keduanya diganjar membersihkan satu
lorong kamar mandi siswa yang terkenal sedap aromanya, di
bawah pengawasan langsung Guru BP.

[Terimakasih pada sobat-sobat yang beberapa waktu


kemarin menagih tulisan tentang sekolah kita dulu, thanks
juga atas obrolan dan inspirasinya-maaf tidak tertuang di sini
semua, semoga lain waktu bisa dituangkan dalam cerita lagi]

149
150
Segala Terima Kasih
Kepada Allah Sang Maha Segala yang mencintaiku
dengan cara sangat rahasia. Terima kasih atas segala yang
telah dan masih Engkau beri padaku. Kepada Rasulullah
Saw, yang menemani perjalanan hatiku dengan intim.
Terimakasih atas segala tamsil dan teladanmu.
Kepada Muhammad Husein-lelaki yang mengajari
bagaimana semestinya aku tersenyum. Terimakasih atas
cahaya cinta yang selalu memancur dari sepasang mata
beningmu. Cintaku selalu, Ayah. Selalu!
Kepada Siyami-perempuan paling ibu yang
menemaniku belajar tentang hakikat cinta dan kehidupan.
Terimakasih, Bunda, atas cinta yang selalu meruah dari
segala arah tanpa takar untukku. Yang entah dengan apa
dan bagaimana semestinya aku nyatakan. Rinduku selalu,
Bunda. Selalu.
Kepada yayuk-yayukku (Yuk Nur, Ika, Sofi) & keluarga
besar di Karang Sari, terima kasih sudah menanamkan
kebaikan, membekalkanku kelemah lembutan & kasih sayang
yang selalu tulus.
Kepada Pakde (alm) Ridwan, maturnuwun, ini nama
paling indah. Terimakasih memilihkannya untukku, dan
mengajariku menggambar dengan kapur-kapurmu.
Kepada El Surya-sahabat paling hebat yang terus
menemani dalam perjalanan dan mengingatkanku untuk
terus bermimpi. Sungguh, entah bagaimana aku jika kamu
tak ada semasa suka, semasa duka. Dan aku yakin masihlah
lebih banyak duka dari sukanya persahabatan kita. Kagumku
selalu, sahabat, selalu!

151
Kepada keluargaku yang berdiang di KOTAMAYA yang
kini dikenal KOMA: Husna, Dina, Maya, Farida, Tiwi, Zulfa,
Nanda, Ayu, Irwan, Ajeng, Dini, Wulan, Zuwi, Dwi, Lina, Irma,
Sumi, Lisa, Lia dan tunas-tunas baru: Esya, Ismayyuni, Tri,
Dewi, dan yang lainnya yang senantiasa meramu mimpi
bersama meski berdiang beralas rumputan dan beratap
awan dan dedaunan. Adakah yang lebih indah selain
kebersamaan kita di masa lalu, masa kini dan (semoga!) di
masa datang?
Kepada guru-guruku, Rasulullah, Emha Ainun Najib,
Joni Ariadinata, Buya Hamka, Kuntowidjoyo, Pramudya
Ananta Toer ,Umar Kayam, Sapardi Joko Damono, WS.
Rendra, Yanusa Nugroho, Akutagawa Ryunosuke, Rama
Dira, Ayu Utami, Dee, Andrea Hirata, Ahmad Fuadi, Indra
Tranggono, Bu Elvi, Pak Paisri, Bu J.Hutasoit, Terima kasih
dan takzim selalu atas segalanya.
Kepada semua yang menanam saham atas terbitnya
buku ini: El Surya (yang rela meluangkan waktu untuk
pelbagai diskusi tentang ide cerita), Caca Kartiwa (yang
mendesain dengan indah dan mengawali inspirasi
penentuan judul buku), SigmAksara (atas pindaian yang jeli),
Embem (yang selalu baik dalam sederhananya), Citra
Mardiati (yang menunjukkanku bahwa selalu ada jalan lain
ke Roma), Geng Skynet: Sony, Endit, Windu Nasution (yang
mengingatkanku untuk begadang yang bermanfaat :D), Evi
Andriani (yang mengajariku jangan pernah menyerah),
Azrina Purba, Ravina Zahara, Fatimah Saurina Purba, Justri,
Ivo, Herlinda Bertha, Chairani, Fadli Arif Rumapea, Dewi
Chairina, Dina Tritia, Syafrizal, Dou sejoli: Riki Andi & Nelva
Yuni Harahap, Zulfan Amri, Abdi Prasetia, Acep Sunarya,
Fikriansyah, Ali syahbanna, Ibnu, (betapa aku kangen kalian
kawan!). Kawan dan adik sepermainanku; Abi, Edi gunawan,
(alm) Wibi, (alm) Moteng, Fajar, Nardi, Rini, Fitri, Moko,
Joko, Caren, Nining, Inok, Bambang, Ican, Andi, Wita,

152
Lambok, Mansya, Wito, Karmiadi, Anti, dan yang lain
(sampai sekarang, aku tidak tahu bagaimana untuk
berterimakasih, sebab sedari dahulu, bersama kalian langit
bisa begitu berwarna )
Kepada semua yang berjasa pada lelaku
kepengaranganku: Hasan Al Banna (yang menyulut
keberanianku mengarang cerita), T.Agus Khaidir (yang
percaya aku juga bisa mengarang cerita), Jones Gultom, YS
Rat, Sunan Langkat, Suyadi San, Dewi Murni dan Jodhi
Yudono (yang sering melapangkan rubriknya bagi tulisan-
tulisanku), Nasib TS (yang melejitkan hasrat menulisku), Teja
Purnama (yang menyalakan nyaliku untuk mengirim karya
ke media), Afrion (yang memotivasi lewat event sastranya),
Seroja White (yang selalu menagih cerita-cerita terbaruku),
Nida Nafilah (yang pada matanya kutemukan keindahan
dunia yang lain), Julinar Sinaga (yang menuntunku
menemukan keindahan bertutur), M. Aan Mansyur (Yang
membisikkan keindahan puisi), Ilham Wahyudi (yang
percaya aku bisa nulis puisi), Rama Dira (yang membuatku
jatuh cinta dua kali pada cerita pendek), Benny Arnas ( yang
mengingatkanku pada bulan mei), Venny Mandasari ( yang
ikhlas menyemangati dengan cara sederhana), Rudi Hartono
Saragih (yang pertama kali memanggilku: Lae), Dani Sukma
(Aku, Kau, Kita; yang selalu bersemangat tanpa pamrih), Win
RG (yang meyakinkanku: Harus jadi yang terbaik, An!), Gol A
Gong (yang mengingatkan: kamu hebat!), Ria Ristiana Dewi
(yang tiada henti berkarya), Wahyu Wiji Astuti (yang cerita-
ceritanya memikat), Hesti Shartika (yang selalu manis puisi-
puisinya) Budianto dan Sri Rizki handayani (yang bahagia
karena kata-kata), Fitri AB (yang puisi hujannya selalu
indah), Ulfa Zaini (yang selalu doyan bercerita perjalanan),
Keluarga kecilku KOMA (yang jadi api semangat. Terima
kasih telah memberi energi ini), Sheila Gank ( kita kan selalu
bersama: lihat, dengar dan rasakan), NBC Medan, Blogger
SUMUT, Backpacker Medan (You’re never walk alone, salam

153
ransel!), Teman-teman penulis, di KOMPAK, KONTAN,
KOMPENSASI, FLP Medan, FOKUS, LRS Medan, betapa
sangat menyenangkan bisa mengenal pribadi dan rajutan
karya kalian.
Terimakasih pada Keluarga besar SMP AL-AZHAR. Bu
Hj.Oly Dhana, Bu Hj.Agustina Siregar, Pak H. Sudjono,
terimakasih banyak atas semuanya-yang tak kan terucap lagi
oleh kata. Pak Fahmi Ilham, K’ Santi & Jelita (trims
bimbingannya), Runa, Nila, Kang Hardi, Nisa, Uci, Bu Yulmi
(trims motivasinya), bang Udin & kak Endah (mauliate
bantuannya selama ini)
Terimakasih untuk Civitas Universitas Muslim
Nusantara Al-Washliyah Medan; Bapak Rahmat, Desril, Agus,
Syahnan, Anggi, Bunda Rosmawati, Nurhidayah, Aisyah,
(Alm) Rosdiana, Kawan berbagiku: Ilan Poel, Yusniati, Eva,
Jili, Mena, Madi, Siska, Yuli, Ifah, Marati, Tiwi, Wulandari,
Winda, Dwi, Rajab, para punggawa HMJ BSI UMN dan
Sumut, Lab. Komputer UMN, Deli Nasheed, BenerANbisa
fams! Dan Aeki T-sirt.
Kepada Keluarga besar Mantel Siantar & teman-teman
di Facebook yang pernah bersentuhan dan membaca
karyaku. Sungguh, tanpa kalian aku mungkin tidak akan
“getol” bercerita. Terima kasih, sungguh!

Pematangsiantar, hari gerimis, di bulan paling romantis, 2013

Salam hangat,

Anhar yang suka nulis

154
“Orang boleh pandai setinggi langit,

tapi selama ia tidak menulis,

ia akan hilang

di dalam masyarakat

dan dari sejarah.

Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

(Pramudya Ananta Toer)

155
Menggagas KOMA ( Komunitas Membaca dan Berkarya ) di
kampusnya-UMN Al-Washliyah Medan. Lelaki taurus yang suka
berimajinasi & membaca sejak kecil. Sejak medio 2009 intens menulis
cerita-cerita pendek di media cetak & elektronik.
Peramu mimpi, sebutan ini membuat dirinya terus
mengembangkan keyakinan untuk menjadi orang yang berani
bermimpi dan bersungguh-sungguh mewujudkan impian itu. Meski
(acapkali diawali) dengan keterbatasan, walau harus dengan berkali-
kali jatuh. Baginya, orang yang punya impianlah yang benar-benar
hidup.
Penyuka anak-anak & Hujan ini berprinsip hidup: Ada,
Bermakna dan Bahagia. Sangat senang bersahabat dengan orang
yang mencintai dunia berbagi dan kemanusiaan.
Silaturrahim bisa lewat facebook: muhammad anhar. Twitter :
@ardamahira. blog: http://Peramumimpi.blogspot.com. Ia selalu
mengingatkan pada adik-adiknya untuk terus berusaha, menikmati
tiap-tiap proses yang ada.
“Ikatlah Makna dan tinggalkan (sebanyak-banyaknya) jejak
nyatamu di dunia!”

156
157
158
Catatan:
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………

159
160

Anda mungkin juga menyukai