Anda di halaman 1dari 16

“Siangnya Bolong”

Karya : Gisela Silvaina Algazira


XI IPA 2
Siangnya Bolong

Penokohan
ARNO, Laki-laki yang Kamala suka. Ramah, suka bercanda, dan romantis.
KAMALA, Perempuan yang Arno suka. Blak-blakan, baik.
IBU, Ibu dari Kamala. Seorang yang penyayang namun juga blak-blakan.
BAPAK, Bapak dari Kamala. Sosok ayah yang tegas, tapi sayang pada Kamala.
MBAH TIYEM, seorang nenek tua yang merupakan tetangga Kamala. Hidup
sebatang kara, dan sudah menganggap Kamala sebagi cucunya sendiri.
MAS AJI, Kakak dari Arno. Mempunyai sifat yang ramah.
Naskah
Panggung menggambarkan sebuah teras rumah di sebuah desa, pada pagi hari di tahun 90-an.
Terdapat 2 kursi rotan dan 1 meja rotan di teras. Ada beberapa jenis bunga. kolam ikan di sebelah
kanan panggung. Suara kokok ayam dan cicitan burung tetdengar, menandakan waktu pagi baru saja
datang.
Ketika sandiwara dimulai/layar panggung di angkat, tampak kamala baru saja keluar dari
rumahnya dengan gaun putih di bawah lutut. Tampak menikmati suasana pagi di sana, sesekali
merenggngkan badan yang terasa pegal. Dari kejauhan, nampak Mbah Tiyem menghampiri kamala
sambil membawa tas anyaman plastik.
MBAH TIYEM (Tersenyum lebar)
“Ndok!”
“Oalah! Tambah ayu kowe, yo! Sek eling mbah, ora?”

KAMALA (Balas tersenyum ramah)


“Mana mungkin saya lupa dengan, Mbah.”
(Memperhatikan barang bawaan Mbah Tiyem) “Habis dari pasar, Mbah?”

MBAH TIYEM
“Iyo , ndok! Piye kabare?”

KAMALA
“Alhamdulillah baik, Mbah. Mbah, sendiri?”

MBAH TIYEM (Nampak sedih)


“Yo sek ngene ae, ndok.”

KAMALA (Mengusap punggung Mbah Tiyem)


“Yang sabar, Mbah. Rapopo, Mbah, Mbah enggak sendirian. Ada saya, ada Ibu sama Bapak. Jadi,
jangan sungkan kalau mau minta tolong. Kita kan sudah seperti keluarga, Mbah.”

MBAH TIYEM (Balas mengusap lengan Kamala)


“Iyo, cah ayu. Dongak no ae, Mbahmu iki, yo.”

KAMALA
“Itu sih sudah pasti, Mbah. Yowes, saya mau jalan-jalan dulu, Mbah. Sudah lama ndak pulang,
kangen jadinya. Mbah mau saya bawain gethuk?”

MBAH TIYEM (Dengan candaan)


“Nggawa ne bojomu ae, ndok.”

KAMALA (Tersipu)
“Doakan saja, Mbah.”

Mbah Tiyem keluar dari panggung. Kamala berjalan, melihat lingkungan di sekitarnya. Tak
lama, Arno datang menghampiri. Pakaian Arno baju kaos berwarna hitam dengan celana di bawah
lutut.

ARNO
“Permisi!”

KAMALA (Melihat Arno dengan penuh tanya)


“Iya? Ada apa?”

ARNO (Mengulurkan tangannya)


“Kamu masih ingat saya? Saya Arno, saudara Mas Aji. Kita bertemu tadi malam di acara
pernikahannya.”

KAMALA (Balas uluran Arno)


“Tentu saja saya masih ingat. Saya Kamala, panggil saja, Ala.”
ARNO
“Senang berkenalan denganmu. Tadi malam saya ingin menyapa, tapi kamu sudah terlanjur pergi.
Tapi beruntung kita bertemu kembali pagi ini.”

KAMALA
“Begitu. Saya sebenarnya juga ingin menyapa, tapi mata saya sudah terlanjur berat. Jadi saya
memutuskan untuk pulang.”
“Memangnya kenapa ingin bertemu, saya?”

ARNO
“Tak apa, hanya ingin berkenalan saja. Ngomong-ngomong, bagaimana ceritanya kamu kenal Mas
Aji?”

KAMALA (Tersenyum malu)


“Konyol ceritanya! Sangat memalukan!”

ARNO (Nampak tertarik)


“Tak apa! Ceritakan saja.”

KAMALA
“Jadi waktu itu saya sedang mencari inspirasi untuk menulis cerpen di taman. Tiba-tiba perut saya
terasa sakit, ingin kentut. Karna waktu itu suasana taman sedang sepi, jadi yah saya kentut saja.”
“Lah tapi siapa tahu, ternyata Mas Aji dan Mba Sri waktu itu sedang lari pagi. Waktu mereka
melewati tempat saya duduk, ya pas-pasan saya lagi kentut. Saya pikir mereka bakal marah, eh tau-
taunya mereka malah terbahak, waktu saya lihat mereka, mukanya sampai merah.”
“Ya sudah, dari situ langsung kenalan. Eh ternyata juga, Mba Sri kerja di tempat yang sama kaya
saya.”

ARNO (Terbahak)
“Saya ingat, Mas Aji pernah cerita bertemu perempuan ajaib di taman. Ternyata kamu?”

KAMALA (Meringis malu)


“Ah sudah, saya malu.”

ARNO
“Tak apa. Jadi, kamu seorang penulis?
KAMALA
“Yah.. Kurang lebih seperti itu.”

ARNO
“Kamu asli orang sini?”

KAMALA (Berkata tanpa melihat Arno)


“Iya, tapi saya merantau. Jadi, yah.. Sudah lumayan lama tidak pulang. Sampean sendiri, orang
mana?”

ARNO
“Saya asli Ardhakana, La. Tapi ya.. Sebelas duabelas denganmu. Pergi merantau ke kota orang.”
“Mumpung kamu asli orang sini. Barangkali berminat menemani saya mengobrol sambil
berkeliling?”

KAMALA (Menjawab dengan candaan)


“Tentu saja. Nasi jagung bisa menjadi ongkosnya.”

ARNO (Tertawa)
“Baiklah, nanti saya belikan.”

.........

Suara kicauan burung semakin terdengar. Arno dan Kamala berjalan keluar panggung. Tirai
di tutup. Pada saat tirai kembali di buka, beberapa bulan sudah berlalu. Kamala dan Arno semakin
dekat, walaupun sekarang Arno sedang ada di luar kota. Kamala sedang ada di dalam rumahnya
sambil membaca buku. Kebetulan dirinya sedang cuti. Terdapat beberapa sofa dan meja kaca. Ada vas
bunga di atas meja. Beberapa foto terpajang di dinding. Tiba-tiba suara dering telepon rumah
terdengar. Kamala beranjak dari sofa dan mengangkat telepon.

KAMALA
“Halo?”

ARNO
“Halo, yang sedang membaca buku. Apa aku mengganggumu?”
KAMALA (Tampak girang)
“Tau darimana aku membaca buku? Tidak tentu saja.”

ARNO
“Mana mungkin aku tidak tahu kebiasaanmu?”

KAMALA
“Berhenti membual! Ada apa menelepon?”

ARNO (Dengan nada menggoda)


“Aku sedang rindu, masa tidak boleh menelepon?”

KAMALA
“Bukan begitu! Ah sudahlah, kau sangat menyebalkan!”

ARNO (Tertawa)
“Aku paham, sayangku. Siapkan dirimu, sebentar lagi aku akan datang ke rumahmu!”

KAMALA (Tampak bingung)


“Jangan berbohong!”
“Bukannya kamu sedang ada pekerjaan?”

ARNO
“Sudah selesai, La. Sudah ya, bilang juga kepada orang tuamu aku ingin menemui mereka.”

KAMALA
“Ya sudah, akan kusampaikan. Hati-hati di jalan!”

ARNO
“Iya, La.”

Sambungan telepon terputus. Kamala memanggil kedua orangtuanya.


KAMALA
“Ibuu, Bapakk!”

IBU
“Ada apa, ndok? Mbok jangan teriak-teriak gitu, kamu kan anak perempuan.”

BAPAK
“Ada apa? Kenapa tersenyum seperti orang gila begitu?”

KAMALA (Tampak bahagia)


“Maaf, Bu. Ala hanya terlalu merasa senang. Arno ingin datang ke rumah, katanya. Ingin menemui
Ibu sama Bapak.”

BAPAK
“Sepertinya, dia ingin mengambilmu dari bapak.”

KAMALA (Tampak sedih)


“Bapak ini bicara apa, sih?”

IBU
“Sudah, ndak usah dipedulikan. Bapakmu lagi ndak jelas.”
“Kalau pun dia memang ingin melamar kamu, Ibu bakal dukung. Ibu percaya Arno laki-laki baik.”

BAPAK
“Ya tapi Bapak ndak dukung, Bu. Baru aja rasanya bapak gendong Kamala kemaren, lah sekarang
kok dia mau di ambil orang.”

IBU (Agak kesal)


“Terus Bapak mau bagaimana? Masa Bapak mau anaknya jadi perawan tua?”

BAPAK
“Ndak gitu juga to, Bu!”

ARNO
“Assalamu’alaykum!”

Ketiganya menjawab salam.

IBU
“Ala, sana buka-kan pintunya.”

KAMALA
“Iya, Bu!”

IBU
“Tuh, Pak! Calon mantumu wes teko. Jangan bicara yang aneh-aneh loh, ya!”

BAPAK (Mengangguk pasrah)


“Iya, Bu!”

KAMALA
“Kamu sudah datang.”

ARNO
“Ya, aku sudah datang.

KAMALA
“Mari masuk. Bu, Pak, kasihku sudah datang.”

IBU
“Duduk sini, le.”
“La, buatkan minum untuk Arno, ndok.”

KAMALA
“Iya, bu.”

IBU
"Apa kabar, Le?"
ARNO ( menyalimi kedua orang tua Ala)
"Alhamdulillah baik, Bu. Ibu sama Bapak gimana kabarnya?"

IBU
"Alhamdulillah sehat semua. Ngomong-ngomong kamu ada apa datang kesini tiba-tiba?"

ARNO
"Saya ingin memperistri Kamala, Bu."

BAPAK
"Tiba-tiba begini? Kenapa kamu pengen ambil dia dari, saya?"

ARNO
"Saya tidak ingin memberi harapan yang tidak pasti pada Kamala, Pak. Dan juga saya tidak
mengambilnya, hanya memindahkan hak milik."

BAPAK
"Ya sama saja, itu."

Kamala datang dan menaruh minum di meja.

IBU
"Wes wes,"
" kamu gimana, ndok? Mau ndak kawin sama, Arno?"

KAMALA
"Nikah, Bu."

IBU
"Ya sama, saja. Mau, ndak?"

Kamala tersenyum sambil mengangguk.


IBU (Tersenyum senang)
"Alhamdulillah, punya mantu ganteng.”

BAPAK
“Ganteng juga kentutnya bau, Bu."

IBU
"Ih, Bapak ini nyaut saja. Ya sudah, nak Arno secepatnya bawa orang tuamu kemari yo."
"Biar cepet sahnya. Yowes, Bapak sama Ibu ke dalam dulu."

KAMALA & ARNO


"Iya, Bu."

Ala dan Arno saling menatap sambil tersenyum malu.

ARNO
" Sabar ya La, bentar lagi,"

KAMALA
"Ih, ngomong apasih!"

KAMALA
" Kenapa kamu milih, aku?"

ARNO
"Kamu unik."

KAMALA
"Unik apanya, sih?"

ARNO (Mencubit hidung Kamala, kemudian menggenggam tangannya)


"Ya unik saja, memang harus ada alasannya?"
"Sekarang aku balik bertanya. Kenapa mau sama, aku?"

KAMALA
"Karna kamu, Arno. Kalau bukan Arno, aku tak mau."

ARNO (Tak bisa menahan senyum)


"Belajar menggombal dari, siapa?" Arno tak kuasa menahan senyumnya.

KAMALA
"Dari, kamulah."

.........

Ibu nampak baru saja dari pasar, bari akan pulang ketika Aji tiba-tiba menghampiri.
AJI
“Bu, apakabar?”

IBU
“Alhamdulillah baik, kamu piye? Arno gimana? Si Kamala uring-uringan karna lagi di pingit tuh di
rumah!”

AJI
“Saya baik, bu. Tapi Arno..”
“Maaf harus menyampaikan berita ini, Arno meninggal, bu. Kecelakaan di perempatan halte bus kota.
Mohon maaf, sekali lagi, bu.”

IBU
“Astagfirullah! Nak Aji, Ibu turut berduka. Kamala pasti sedih sekali mendengar ini, terimakasih
sudah mengabarkan. Ibu pamit duluan.”

Segera Ibu masuk ke dalam rumah dan mendapati Kamala sedang tertidur di ruang tengah.

IBU
"La, bangun ndok! Cepetan!"
KAMALA
"Ada apasih, bu?"

IBU
"Calon suamimu ndok! Arno!"

KAMALA (terlihat sangat khawatir)


"Mas Arno kenapa, bu?!"

IBU (Terlihat sedih)


"Yang tabah ya, ndok!"

KAMALA (Mulai sedikit menaikkan nada bicaranya)


"Ibu kenapa, sih? Ada apa? Mas Arno kenapa?!"

IBU
"Arno meninggal, ndok! Dia kecelakaan saat akan pulang kemari."

KAMALA
"Jangan bohong, bu! Sebentar lagi kami akan menikah!"

IBU
"Ibu ndak bohong! Barusan Aji mengabari Ibu!"

KAMALA (Tenggelam dalam tangis)


"Arno.. Ndak bu. Arno, Mas Arno..."

KAMALA
"Tinggalkan aku sendiri, bu."

IBU (Meninggalkan pangung)


"Kamu harus tabah, ndok."
KAMALA (Berteriak kesetanan)
"Arno! Tega sekali kau meninggalkan aku sendiri! Mana semua kata manisnya yang bilang akan
selalu ada bersamaku?! Dasar pembual! Laki-laki brengsek! Beraninya kau meninggalkan aku!"

"Pembual! Kembali kau! Jangan tinggalkan aku! Aku tak bisa tanpamu..."

KAMALA
"Aku tak bisa, Arno! Aku tidak akan pernah bisa!! 5 tahun kita bersama benar-benar membuat ku
begantung padamu. Lalu bagaimana jadinya aku, jika sudah begini?! Aku benci bumi Bardatama ini!
Aku membencinya karna semua kenanganmu ada di sini."

"Heh Bardatama! Kembalikan Arnoku! Teganya kau mengambil Arno dariku! Dasar perebut! Aku
benci kau Bardatama!"

Kamala berderai air mata, tirai ditutup.

......

Nampak Kamala terlelap di ruang tengah dengan posisi terduduk. Bukunya di biarkan
terbuka, menampak halaman terakhir yang dibacanya.

ARNO
"La bangun, jangan tidur di sini."

Kamala membuka matanya dan mengamati sekitar.

KAMALA (Menatap Arno dengan wajah kaget)


"Arno! Kamu masih hidup?! Bagaimana bisa? Kamu, Ibu bilang, kamu mati. Kita gagal menikah.
Kenapa kamu ada di sini sekarang?!"

"Atau jangan-jangan kau setan?!"

ARNO (Terlihat bingung)


"Bicara apa kau, la? Jangan ngelindur!"
KAMALA
"Aku serius! Kamu sudah mati karna kecelakaan!"

ARNO
"Makanya jangan tidur siang bolong, Kasih."

"Dengarkan aku! Aku tidak mati, aku masih di sini di hadapanmu! Kamu tak lihat figura pernikahan
kita?"

KAMALA
"Jadi.. Hanya mimpi?"

ARNO
"Ya memangnya apalagi?"

KAMALA
"Alhamdulillah! Aku pikir Bumi Bardatama benar-benar mengambilmu!"

ARNO
"Bardatama pasti akan mengambilku."

KAMALA
"Aku tau! Setidaknya sekarang aku masih bisa menatapmu!"

"Saat ini, kita buat saja kenangan indah. Agar nanti anak cucu kita bisa tau cerita kita. Arno, terima
kasih."

ARNO
"Untuk apa, La?"

KAMALA
"Untuk memilihku, menjadi milikmu."

ARNO
"Aku juga berterimakasih!"

KAMALA
"Kenapa?"

ARNO
"Karna sudah membalas cintaku."

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai