Anda di halaman 1dari 1

AMINA SY

Beranda

Album Kenangan~ Cerpen


Majalah Gadis

Oktober 01, 2017

“Jangan bicara padaku tentang kenangan,” aku


berkata.

“Kenapa?” Alisnya bertaut. Masa suram itu


kembali menamparku. Bayangan Mama yang tengah
kalap memenuhi kepala.

“Karena aku tidak suka membahas kenangan, itu


sudah usai. Tak perlu diingat.” Ia mengangguk mengerti,
tersenyum. Lantas membidikku dengan sekali kedipan
kamera polaroidnya. Aku hanya bisa menganga,
selembar kertas foto muncul dengan otomatis. Tanganku
bergetar, lintasan kenangan menganga lebar di kepala.
Ingatan tentang foto-foto dalam album itu terasa
mencekikku. Raut Nathan bertanya-tanya ketika aku
bergegas menghindar.

***

Aku masih mengingatnya dengan jelas. Setelah kematian


Ayah, kami terpaksa hanya hidup bertiga. Aku, Kak
Diana dan Mama. Sebenarnya kami tidak benar-benar
bertiga. Saat aku menginjak kelas 1 SMA, Kak Diana
harus melajutkan kuliah di Bandung, menetap di rumah
Paman Hans. Tak kusangka, kematian Ayah membuat
semuanya nyaris berubah. Tak ada lagi kehangatan itu.
Setiap saat, wajah Ayah selalu melintas. Lalu, dengan
mengingatnya hanya akan membuatku menangis terisak.
Terlebih lagi Mama. Rupanya duka menyelimutinya
lama.

“Lihatlah, Ayahmu fotografer luar biasa.” Kata Mama


sambil menunjuk foto dalam album kenangan Ayah.
Setiap hari Mama mendekap Album tebal yang
warnanya senada dengan kulit pohon tua itu. Cokelat
pekat. Album itu seperti harta karun bagi Mama. Isinya
adalah kenang-kenangan yang tak bosan Mama putar
ulang di benaknya. Dengan melihat album itu seakan-
akan membuat Mama kembali menelusuri adegan
kehidupan masa silam yang Ayah abadikan dalam
gambar.

Di salah satu foto kesayangannya, Mama mendekatkan


hidungnya membaui aroma masakan seolah-olah itu
nyata. Semur daging kentang yang terlihat menggugah
itu adalah menu favorit Ayah dulu. Aku hanya bisa
menatap Mama yang tersenyum sendiri. Aneh.

Mama kembali menyibak halaman album itu perlahan,


“Dan, kau masih kecil sekali di foto ini. Kita
bergandengan tangan menuju kebun mangga.” Tak
terbayangkan foto itu menjadi kenangan terakhir Ayah.
Dalam pandangan Mama aku masih kecil, aku tertunduk.
Padahal, foto itu hasil bidikan Ayah sewaktu aku kelas 3
SMP. Entahlah apa yang ada di pikiran Mama.
Terlampau sulit melupakan masa-masa getir itu.

“Beractinglah! Seolah-olah kalian menikmati kesejukan


pagi dengan bergandengan tangan, Ayah akan
menfotonya dari belakang.” Ucapan Ayah masih
terngiang jelas. Aku masih mengingat ketika ia berlari-
lari kecil membuat jarak untuk mengambil foto kami
dari kejauhan. Mengatur posisi yang pas agar gambar
yang dihasilkan bagus. Bahkan aroma dedaunan
bercampur dengan embun, udara yang sangat segar dan
kicauan burung yang hinggap di dahan-dahan pohon
masih saja memutar di benakku.

Pagi yang indah, kurasa. Lantas disusul duka yang


berujung lama. Waktu itu aku menatap Mama tersenyum
dan menggandeng tangannya yang begitu hangat.
Membiarkan Ayah beraksi dengan kameranya. Inilah
momen paling indah bagiku ketika menghabiskan hari
libur bersama mereka. Menghirup udara pagi yang segar
bersama hijaunya pemandangan di kanan-kiri kami.
Mengabadikan diri dengan tersenyum dalam setiap
bidikan foto Ayah. Sayangnya aku baru sadar, tak ada
yang abadi di dunia ini. Kami harus menerima kenyataan
itu.

Kudengar suara ‘klik’ kamera Ayah. Tapi, entah kenapa


Ayah memegang jantungnya dan jatuh tersungkur. Kami
berteriak mengguncang bahu Ayah dan berharap
pertolongan akan datang. Selanjutnya aku tak ingin
mengingat bagaimana detailnya. Aroma embun pagi
seolah melintas kembali. Sesak.

Tiba-tiba ada yang berubah dari raut Mama, ia seperti


bergumam. Matanya berkaca-kaca kemudian bahunya
terguncang. Mama menangis meraung, melempar benda-
benda di sekitar kami. Tidak, Mama tidak
melampiaskannya padaku.

***

Dari arah jendela kelas, aku melihat Nathan membidik


banyak gambar di halaman sekolah. Sasarannya tertuju
pada tanaman kaktus dan kolam kecil di sebelahnya.
Melihatnya mengingatkanku pada Ayah. Mereka begitu
suka mengabadikan sesuatu dalam gambar. Kemudian,
Ia beralih membidik pada sepasang burung yang hinggap
di dahan pohon akasia. Lantas tersenyum sembari
mengepalkan tangan, puas. Aku berpaling cepat ketika ia
menoleh ke arahku.

Dari sudut mata, aku merasakan ia segera beranjak pergi.


Aku menghela napas, kembali memikirkan Mama selalu
membuatku cemas. Menggigil di sudut ruangan.
Mengacak-acak seluruh tempat. Berteriak untuk pertama
kalinya. Berbagai macam pikiran berkecamuk di otakku.

Hanya sesekali. Ya. Setidaknya Mama akan tampak


lebih semringah ketika Kak Diana datang. Pulang hanya
sesekali sewaktu liburan dan menginap beberapa hari
kemudian kembali. Kehidupan di kota membuatnya
betah rupanya. Seandainya aku bisa pindah bersamanya.
Sayang, ini hanya harapan kecil yang tersimpan dalam
hati.

Paman Hans? Ia berkunjung tak menentu. Membawa


putra kecilnya yang menggemaskan. Lalu, Mama akan
sangat senang selama mereka di sini. Bermain sambil
tertawa-tawa dan menghidangkan berbagai macam
masakan lezat buatan Mama untuk mereka. Namun,
jadwal pekerjaan mengharuskan Paman pulang.
Seandainya Paman Hans bisa menetap lama di sini.

Lalu tinggallah kami berdua di rumah yang terasa sunyi


ini. Dan, itu yang kutakutkan.

“Apakah ada yang salah dengan kata-kataku kemarin?”


tiba-tiba Nathan datang memecahkan seluruh lamunan
dan segera duduk di sampingku, kali ini ia membawa
kamera digital yang dikalungkan di lehernya. Aku
menegakkan posisi dudukku yang mulai terasa tak
nyaman.

Aku menggeleng. Tidak ada yang perlu dibahas dari


kejadian kemarin.

“Kau selalu tampak ...” Nathan menghentikan suaranya,


“Aku tidak keberatan jika kau ingin menceritakan
masalahmu.” Aku mengkerutkan kening. Apakah ia
tengah membaca pikiranku? Begitukah aku di matanya?
Bahkan aku tak pernah mengatakannya pada siapapun.
Aku bisa melewatinya sendiri sejauh ini, tidak akan
terjadi apa-apa. Aku hanya tersenyum tipis.

Nathan mainkan kamera digital dengan tangannya.


Lantas, kembali melepasnya tergantung di leher ketika
aku meliriknya. Sepertinya ia ingat sewaktu aku buru-
buru pergi ketika ia memfotoku kemaren. Aku menghela
napas, menatapnya sejenak.

“Ayahku seorang fotografer andal” aku membuka suara.


Nathan mendongak antusias.

“Ayah memiliki galeri sendiri di rumah, ruangan khusus


menyimpan hasil karya-karyanya. Berkali-kali
memenangkan penghargaan dan karya yang laris dalam
lelangan.” Kataku melanjutkan. Mata Nathan berbinar.

“Benarkah? kau pasti belajar banyak dari Ayahmu.”


Nathan tersenyum.

“Mungkin sebagian aku sudah lupa, aku sudah tidak


mencobanya lagi hingga sekarang.” Nathan
mengerutkan kening meminta penjelasan.

“Kenapa?” ucapnya kemudian. Kutanggapi hanya


dengan senyum kecut.

Kualihkan untuk melihat koleksi foto-fotonya. Tapi,


tiba-tiba Nathan meraihnya kembali. Lantas tersenyum
menggeleng. Seperti ada yang dia sembunyikan. Mataku
menyipit. Malu? Tapi....

“Hey... kenapa dengan bibirmu?” dia mengalihkan


pembicaraan ketika kutanya alasannya. Aku meraba luka
itu.

“Seriawan” untunglah, Nathan percaya. Lalu, ia


menatapku sejenak.

“Bolehkah aku bertemu Ayahmu?” Mataku meredup


seketika.

***

Album foto itu terlampau berharga bagi Mama. Tidak


ada lagi senyum ketika ia mengelus foto-foto Ayah,
kecuali hanya lamunan yang jauh menerawang entah ke
mana. Kurasakan duka itu sendiri. Mencoba meredam
kesedihan sebaik mungkin yang kubisa. Kak Diana jauh
di seberang sana, hanya aku yang menjadi pelampiasan
Mama. Sakit. Perih. Sedih.

Kadang aku berpikir untuk mengadu pada Paman Hans.


Namun, saat itu pelukan Mama begitu hangat. Ia
kembali menjadi sosok menyenangkan yang membuatku
nyaman. Kupikir amarahnya akhir-akhir ini hanya
sekedar kekesalan akibat kehilangan semata. Kekacauan
itu tak akan terulang. Tapi, Mama semakin tidak bisa
ditebak. Untuk sesaat ia bersikap manis padaku,
setelahnya Mama akan berubah menjadi sosok yang
menyeramkan.

“Ini hanya depresi ringan, seiring berjalannya waktu


keadaan Lena akan membaik.” Jelas dokter waktu itu
pada Paman Hans. Dan itu sepenuhnya salah.

“Kau yang menghilangkannya.” Mama menyingkap


taplak meja makan dengan kasar. Piring, nasi, mangkok,
lauk pauk, semuanya jatuh berceceran. Aku berusaha
menghentikan Mama yang mengamuk. Tapi Mama
sangat kuat, membanting hampir setiap benda.

Aku gemetar. Takut. Apa yang terjadi pada Mama? Tak


berapa lama, entah benda apa yang terlempar pada
wajahku. Bibirku tergores kecil. Aku mengaduh.
Menangis lirih meminta Mama menghentikannya. Dan
itupun percuma, Mama tetap tak menghiraukanku. Ia
berteriak dan mengacak-acak seluruh ruangan mencari
album foto itu kembali.

Seisi Album foto itu terekam jelas diingatanku. Ayah.


Mama. Kak Diana. Aku. Semua momen kebersamaan
kami diabadikan di dalamnya. Album yang selalu
dibutuhkan untuk meredam lara Mama setiap saat. Lalu
bagaimana mungkin aku akan menghilangkannya?

Aku menangis terisak. Kali ini Mama mendorongku kuat


membuatku tersungkur membentur meja. “Ninis sudah
mencarinya, tak ada di mana-mana.” Kataku sambil
terisak.

Mama semakin kalap, menjatuhkan rak piring dari kayu,


aku begidik takut. Semua benda-benda rentan pecah
berserakan. Aku mengaduh ketika tak sengaja kakiku
tergores pecahan beling. Perih. Tiba-tiba Mama tak
sengaja menjatuhkan semur daging kentang dalam
panci. Aroma lezat menguar seketika di udara. Mama
menghentikan aksinya, menatap masakan kesukaan
Ayah yang tumpah berceceran di atas lantai. Butiran
bening menetes di pipi Mama. Lalu, Mama berjongkok
perlahan dan mencoleknya dengan ujung jari kemudian
mencicipinya dengan mata terpejam.

Mama. Sudah. Gila. Aku mengejanya dalam hati. Aku


mundur sambil terduduk. Takut. Entah hal apalagi yang
akan dilakukan Mama. Aku benar-benar tidak
menghilangkan album itu. Kutegaskan dalam hati.
Untuk pertama kalinya Mama bertindak kasar sepanjang
sejarah kehidupan kami. Kenapa album kenangan itu
malah menjadi petaka bagiku? Seandainya Mama bisa
melupakan kenangan, andai saja.

Tapi detik selanjutnya terasa ajaib. Mama memelukku


seminta maaf. Menciumku berkali-kali, seolah berkata
lirih. Apa yang telah kulakukan?
***

Untuk menepis ingatanku akan Mama. Aku banyak


mengisi kegiatan dengan hal-hal yang disukai Ayah.
Sebuah Kamera DSLR peninggalan Ayah kugunakan
bersama Nathan. Memburu setiap objek yang menarik
perhatian kami. Lalu, suara kedipan kamera susul
menyusul bergantian. Bahkan aku sudah lupa kapan
terakhir kali aku merasa riang memainkan kamera
seperti sekarang ini.

“Aku selalu berharap melupakan sebuah kenangan”


kataku suatu hari pada Nathan. Aku ingat pertanyaannya
dulu, sekarang aku berani menceritakannya. Nathan
menatapku sejenak, tersenyum. Kemudian beralih
memainkan kameranya kembali.

Foto yang ia hasilkan mendekati sempurna. Berbakat.


Sudah lama aku tak melakukan kegiatan ini setelah Ayah
pergi. Dan ini cukup menyenangkan. Sesaat, aku sedikit
melupakan sesak itu. Nathan mengalihkan diri dari
kamera ke arahku.

“Kita tidak harus melupakan kenangan, kita harus tahu


bagaimana indahnya proses berdamai dengan masa lalu.
Memahami indahnya menerima, memaafkan, tapi tidak
melupakan.” Aku tertegun mendengar kata-katanya.
Terdiam.

“Hey!! Sunset Bersama Rosie, karya Tere Liye. Kau


mengutipnya bukan?” Nathan tersenyum, tertunduk
malu-malu. Itu benar. Kami tertawa berasamaan.
****

Foto terakhir itu masih tertanam dalam ingatanku.


Bergandengan tangan dengan Mama di pagi yang segar
sembari menikmati hijaunya pemandangan. Yang aku
ingat, waktu itu kami begitu terkejut ketika mendapati
Ayah terkapar di atas tanah sembari memegangi
dadanya. Kami panik luar biasa. Berteriak-teriak
meminta tolong di tempat yang cukup sepi itu. Menangis
parau ketika Ayah sudah tak tertolong lagi.

Album yang di dalamnya ada ratusan foto kenangan itu


sudah tak terlihat lagi. Biarlah kenangan pahit yang kami
rasakan menguap bersama hilangnya album itu. Namun,
Ayah akan selalu dalam ingatan beserta nasehatnya yang
akan selalu kami genggam. Kuharap duka Mama juga
akan mereda seiring berjalannya waktu. Itu doa yang
selalu kupanjatkan setiap malam.

Sudah dua minggu lewat. Luka-lukaku sudah


mengering. Meninggalkan bopeng di dahi dan lebam di
bagian yang lainnya. Paman Hans mengetahuinya. Saat
itu Mama kembali tak terkontrol. Berteriak mencari-cari
album itu dan melemparkan segala benda padaku.
Terpaksa Paman Hans harus membawa Mama ke tempat
rehabilitasi di Bandung hingga ia sembuh. Kata Paman
ini demi kebaikan Mama.

Untuk itu aku harus ikut dengan Paman. Pindah sekolah


dan meninggalkan rumah yang sengaja disewakan
sekarang. Nathan? Aku sudah pamitan padanya. Ia
memberiku album hijau lumut miliknya. Nyaris hanya
ada fotoku di dalamnya. Rupanya Nathan melakukannya
secara diam-diam. Entahlah sejak kapan? tiba-tiba aku
merasakan ada yang berbeda.

Aku tertegun. Dalam album foto di lembar terakhir


terlihat ketika aku tengah memegang kamera, bibirku
tertarik ke samping setelah berhasil membidik kelopak
bunga yang dihinggapi kupu-kupu. Rambutku yang
tergerai di terpa angin dengan lembut. Nathan sempurna
mengambil gambar itu. Dengan latar belakang hijaunya
pepohonan di sekitarku dan pencahayaan yang pas dan
natural. Nathan menulis sesuatu di bawahnya.

Akhirnya aku melihat senyum manis itu lagi.

Kejutan beruntun di hari minggu. Aku hampir saja


tersedak melihat kejutan kedua berada di meja belajar
Kak Diana. Ingatan yang terlintas dari album kenangan
Ayah kembali membuatku sesak. Aku bergumam
menyebut Mama. Lantas aku bertanya, bagaimana bisa?

“Iya. Aku yang membawa album foto itu. Ketika aku


rindu Ayah, maka aku akan membukanya. Maaf aku
tidak berpikir jika Mama akan bertidak begitu.” Jelas
Kak Diana seraya memelukku.

Hatiku seperti mengempis. Sesak rasanya. Album


kenangan itu telah kembali setelah Mama pergi.
***

*Versi asli sebelum diedit Redaktur


Gadis edisi Mei 2017

By: Amina Sy

Catatan: Alhamdulillah kembali dimuat di Gadis, cerpen


pertama setelah percikan. Ini hasil dari kelas menulis FP
PT cerpen remaja bersama Mbak Yulina Trihaningsih.
Kelas menulis pertama yang saya ikuti, senang rasanya
dan tak terbayang.

Ide ini kudapat dari cerita teman yang murung luar biasa
begitu album yang memuat semua foto keluarga dibawa
oleh kakak ke Malang. Eh, sepulangnya malah rusak
hingga jamuran. Tertarik, kugabungkan saja ide dengan
tantangan gambar dan kalimat pembuka yang Mbak
Yulin suguhkan. Dan beginilah hasilnya, alhamdulillah.

LABEL: CERPEN MAJALAH GADIS BERBAGI

Komentar

Masukkan komentar Anda...

Postingan populer dari blog ini

Tradis Lebaran ~ Percikan


Majalah Gadis
Agustus 12, 2017

Selagi memperhatikan Mama memasak, kata-kata Romi

kembali terngiang di telingaku. “Aku ingin angpau

dari tetangga, bukan dari Mama,” protesnya. Mama

salah, Romi bukan anak kecil lagi yang bisa dibohongi …

BERBAGI POSTING KOMENTAR

BACA SELENGKAPNYA

GOGIRL! Weekend Web Story:


Beatriz
Desember 05, 2017

Beatriz hanya bisa menghela napas. Entah pantas

disesalkan atau tidak, ia terpancing perkataan Janny

hingga membuatnya terperangkap oleh tatapan mata

polos mereka dengan mulut setengah terbuka penuh …

BERBAGI POSTING KOMENTAR

BACA SELENGKAPNYA

Diberdayakan oleh Blogger

Anda mungkin juga menyukai