Anda di halaman 1dari 15

Seminar Nasional Paramasastra 3 Bahasa, Sastra dan Pengajarannya dalam Paradigma Kekinian

SLAVOJ ŽIŽEK DAN ANOMALI SASTRA:


DARI PARASIT FANTASI IDEOLOGIS SAMPAI RADIKALISASI IMANEN
SUBJEK SASTRA

Rahmat Setiawan
rahmatsetiawan.nusantara@gmail.com

Abstrak
Diskursus problematis mengenai kritik sosial melalui karya sastra dapat dilihat dari segi
bagaimana karya sastra dianggap sebagai suatu representasi realitas sosial dan bagaimana
ideologi pengarang menempati posisinya melalui representasi yang dia uraikan. Akan tetapi,
permasalahnnya adalah ketika kritik tersebut justru menghadirkan suatu paradoks serta
kontradiksi antara apa yang dikritik dengan apa yang ditawarkan dan bahkan dilakukan oleh
pengarang. Dengan kata lain, sastra sebagai representasi sosial yang dikritisi oleh pengarang
pada akhirnya justru menjadi anomalitas sastra itu sendiri yang menampakkan fantasi
ideologis pengarang. Akan tetapi, dari sisi lainnya, kritik tersebut selain menampakkan parasit
ideologi pengarang, juga dapat menelanjangi imanensi dari subjek yang radikal sebagai kritik
murni terhadap ideologi. Dari sanalah, dengan menganalisis tindakan radikal secara tekstual
yang kemudian dipertemukan dengan subjektifitas pengarang, anomali sastra hadir melalui
kritik ideologi yang menjelaskan bahwa kritik ideologi tidak hanya menelusuri realitas di
baliknya, melainkan juga menelusuri realitas yang justru dihadirkan secara ideologis.
Berdasarkan perspektif tersebut, karya sastra sebagai suatu kritik dapat memperlihatkan
bagaimana fantasi ideologis hadir sebagai hasil dari sinisme masyarakat di tengah kapitalisme
kultural yang mana sinisme merupakan proses kritik ideologis mengenai subjek yang
tenggelam dalam tatanan simbolik sosialnya.

Kata Kunci: Anomali Sastra, Fantasi Ideologis, Sinisme, dan Subjektifitas Radikal.

PENGANTAR
Prosedur kritik ideologi, Marxis klasik, cenderung bersifat symptomatic; suatu
interpretasi terhadap symptom (gejala) yang menyembunyikan realitas sebenarnya di baliknya
dan dari sana ideologi hadir sebagai kesadaran palsu. Ideologi seperti ini, dalam konteks
sastra, kemudian dapat dipertentangkan melalui proses kepengarangan yang menunjukkan
bahwa pengarang mengupayakan teks sebagai kritik terhadap ideologi dengan ideologi
pengarang sendiri. Dengan kata lain, mempertemukan ideologi dengan ideologi justru
mengimplikasikan bahwa tidak ada apa-apa di luar ideologi atau yang ilusi/palsu. Nahasnya,
jika seorang pengarang menjadikan karya sastra sebagai sebuah kritik atas suatu kepalsuan
namun dia masih melakukan kepalsuan tersebut, maka penulusuran permasalahan ini
kemudian akan sampai pada level konsistensi dari realitas yang dilakukan oleh pengarang
terkait karyanya tersebut dan dari sanalah permasalahan kritik ideologi tidak hanya berkutat
pada domain symptomatic atau kesadaran palsu, melainkan fantasy atau kehadiran realitas itu
sendiri yang dipalsukan dalam prosesnya sehingga meskipun subjek mengetahui
kepalsuannya, mereka akan tetap melakukannya.
Paradoks tersebut merupakan stimulasi untuk melihat dari bagaimana karya sastra,
utamanya paradigma kontemporer saat ini, justru menunjukkan sisi anomalinya. Dalam
pandangan klasik, karya sastra dilihat sebagai suatu bentuk mimesis sementara nuansa
romantisme mengubahnya menjadi suatu bentuk ekspresif, dan dari perubahan paradigma ini
permasalahan karya sastra menjadi pelik dan denatural. Lokus utama konflik rekonsiliasi
sastrawi terletak pada sikap mimesis dan ekspresif yang berjumpa pada konstelasi kritik karya

324
Seminar Nasional Paramasastra 3 Bahasa, Sastra dan Pengajarannya dalam Paradigma Kekinian

sastra kepada objektifitas dunia realitas dengan subjektifitas simbolik pengarang. Perjumpaan
dua dimensi yang sebenarnya bersifat paralaks inilah yang, jika dilihat dari perspektif Slavoj
Žižek, menjembatani diskursus anomali sastra; karya sastra bukan hanya sebagai sebuah
otentisitas melainkan juga sebuah kenikmatan ideologis. Dengan melihat hal tersebut,
mengkritisi suatu ideologi dengan ideologi, menikmati pengalaman mengkritisi, dan
menawarkan suatu bentuk implisit Geist, karya sastra pada akhirnya menjadi sebuah topeng
ilusif dan utopis dari bagaimana ideologi bekerja saat ini; menjadikan karya sastra sebagai
sebuah partisipasi sosial dan legitimasi personal. Untuk lebih eksplisit dalam mengkastrasi
pemantik abu-abu ini, maka permasalahan anomalitas sastra ini akan diaplikasikan melalui
dua novel (sebagai kasus), The Road karya Cormac McCarthy dan The White Tiger karya
Aravind Adiga yang secara pembacaan banal, kedua novel ini ‘seolah-olah’ menghadirkan
suatu resistensi terhadap suatu ideologi yang hendak disasar. Berawal dari inilah, kemudian
hadir suatu pertanyaan mengenai alasan seorang pengarang mengkritisi suatu realitias sosial
dan jawabannya tentu sangat bervariasi, mulai dari sikap resisten, pembelaaan secara
metaforis, dan lain sebagainya yang tentu saja menyembunyikan kebenarannya, namun
kebenaran tersebut dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh pengarang dalam realitasnya.
Dari semua jawaban tersebut, hal yang dapat menjadi diskursus utama di sini adalah melihat
sesuatu yang bahkan tidak di sadari oleh pengarang yang juga dilakukan oleh pengarang.
Lebih jauh lagi, dari semua fakta mengenai permasalahan yang ditawarkan oleh
McCarthy melalui novel tersebut, seperti isu kritik ekologi, dan Adiga melalui novel
tersebut—mulai dari kritik terhadap fakta sosial, dugaan strategi pengarang untuk
mendapatkan legitimasi, pola resistensi terhadap globalisasi-kapitalisme, ideologi pengarang
serta cita-cita pengarang, tindakan pengarang dengan menulis, pascakolonialisme, eksploitasi
eksotisme, dan lain sebagainya—terselip sesuatu yang tidak pernah dilihat namun berada di
luar sana. Terselipnya yang Real dari realitas merupakan sifat otomatis subjek yang sudah
terjebak oleh tatanan Simbolik sehingga ketelanjangan yang Real yang nampak justru akan
menjadi horor yang meneror imanensi subjek (dalam konteks ini, pengarang adalah subjek
sastra, selain tokoh dalam karyanya) sehingga fantasi ideologis menopang kenikmatan kritik
tersebut. Singkatnya, selalu adalah paradoks ironis dari kritik pengarang dan apa yang
sebenarnya di(re)produksi pengarang dalam realitas aktualnya.
Dengan begitu, apa yang dapat dipertegas di sini adalah bahwa posisi pengarang
dalam subjektifitasnya melalui novel serta utilitas sentral kritiknya menjadi suatu diskursus
yang lebih menarik untuk dilihat; bahwa ‘kritik ideologi’ yang dilontarkan pengarang justru
tidak dibuka secara total (terlihat dari sikap pengarang diluar konteks kesusastraannya),
melainkan ada yang ditutup-tutupi seolah-olah pengarang tidak berani untuk melihat atau
menjalani ‘realitas’ yang dia kritisi sebelumnya. Hal inilah yang kemudian akan menjelaskan
suatu dugaan bahwa kritik tersebut hanya menjadi suatu kritik atau kenikmatan dalam
mengkritisi, tanpa harus melakukan tindakan yang sebenarnya pada realitasnya dan tanpa
simbolisasi.

SUBJEK DAN TINDAKAN


Gagasan subjek Žižek bermuara pada ‘trinitas’ konsep; Hegel-Marx-Lacan. Permasalahan
Hegel dikaitkan dengan diskursus mengenai dialektika (substansi) dan, subjek sosial,
sedangkan permasalahan Marx dikaitkan dengan diskursus mengenai ideologi, dan
permasalahan Lacan digunakan sebagai formulasi konsep subjek. Hal yang dapat diuraikan
secara singkat di sini mungkin dapat diawali dengan konsepsi Hegel terhadap subjek serta
substansi dalam lingkaran sosial. Bagi Hegel, untuk menciptakan suatu keadaan yang absolut
dan ideal, subjek seharusnya menyerahkan substansi kepada sosial agar subjek dapat diterima.
Substansi sendiri adalah ekstasi yang akan mereduksi kekosongan, kebolongan, atau

325
Seminar Nasional Paramasastra 3 Bahasa, Sastra dan Pengajarannya dalam Paradigma Kekinian

kehampaan subjek yang berada dalam bentuk kosong melalui proses self-relating negativity
(dialektika), hubungan dengan yang lain, dan ‘kastrasi’ dalam sosial yang Hegel rumuskan
menjadithe Absolute qua substance. Akan tetapi, apa yang dikritisi oleh Žižek adalah bahwa
pada proses exchange selalu tidak pernah seimbang karena subjek tidak mendapatkan apa-
apa, dia hanya melintasi ruang kosong, pengasingan dirinya menjadi negasi abstrak yang tidak
menawarkan kandungan yang positif dan determinan sehingga subjek harus membuang proses
tersebut;

“[…] it has to internalize this force of negativity and recognize in it its own essence, the
very kernel of its own being. “Subject” emerges at this very point of utterly meaningless
voidance brought about by a negativity which explodes the frame of balanced exchange.
That is to say, what is “subject” if not the infinite power of absolute
negativity/mediation” (Žižek, 1993: 22—3)

Dengan kata lain, subjek tidak perlu menyerahkan substansinya karena dia tidak akan
mendapatkan apa-apa selain kehampaan. Agar kehampaan ini terisi maka ideologi harus
dihadirkan dan menggring pemikiran Žižek masuk ke ranah Marxisme yang bagi sebagian
Marxis—mungkin hampir semuanya, terutama Marxis klasik—memandang ideologi sebagai
kesadaran palsu (false consciousness). Apa yang tampak pada realitas adalah sebuah ilusi
yang menipu subjek, seperti yang dijelaskan Marx secara singkat mengenai “sie wissen das
nicht, aber sie tun es (they do not know it, but they are doing it).” (Žižek, 1989: 24). Akan
tetapi, di era saat ini, (hampir) semua elemen masarakat sinis, mereka semua mengetahui
realitas yang sebenarnya, namun mereka justru menutupi pengetahuan terhadap realitas
tersebut dengan masih melakukannya, sehingga implementasi ideologi sekarang justru
menampilkan ‘realitas’ yang ada dibaliknya menuju permukaan, dan ironisnya, subjek
bertingkah biasa saja seolah-olah mereka tidak mengetahui padahal mereka mengetahuinya.
Dari sini Žižek melihat bagaimana ideologi bekerja dalam keadaan sinisme masyarakat seperti
ini; subjek mengetahui namun masih melakukannya. Apa yang membuat subjek masih
melakukannya adalah karena subjek ‘yang ilusif’ simbolik sudah ada sebelum subjek dan itu
menjamin subjek untuk tetap berada dalam tatanan Simbolik tanpa harus mengetahui
mengetahui horor dari yang Real. Dengan begitu, apa yang akan dilakukan subjek sangat
intim dengan kekuatan simbolik yang mereduksi otentisitas kemurnian tindakan itu sendiri,
seperti melakukan sesuatu dikarenakan bukan oleh dorongan alamiah melainkan karena
sesuatu yang lain.
Sebagai seorang Lacanian, Žižek juga mengafirmasi bahwa subjek (akan) melalui tiga
tatanan; the Imaginary (yang Imajiner), the Symbolic (yang Simbolik), dan the Real (yang
Nyata). Tahap Imajiner dapat dikatakan sebagai tahap cermin (dapat berarti cermin nyata
ataupun cermin metaforis) yang mengindikasikan bahwa subjek (yang masih seorang
individu/ego) belum dapat mengidentifikasikan/membedakan antara dirinya dengan the Other.
Tahap ini juga menjelaskan bagaimana diri (ego/self) masih belum ditundukkan, dan oleh
sebab itu diri belum menjadi subjek (sub = dibawah, kedua, minor, dan jectus = ditundukkan)
yang berarti ditundukkan oleh eksterioritas yang bukan dari dirinya (yang Simbolik, bahasa,
budaya, agama, dan lain sebagainya). Proses menjadi subjek ada pada tatanan Simbolik ketika
diri bernegosiasi dengan bahasa (rantai penanda) sehingga identifikasi imajinernya
ditundukkan oleh identifikasi Simbolik. Tahap/tatanan Simbolik menjelaskan bagaimana
bahasa (rantai penanda) menjahit subjek melalui point de capiton/master of signifier
(Kebebasan, Toleransi, Keadilan, dan lain sebagainya yang bersifat abstrak dan agung) yang
menyebabkan subjek (S) terkutuk menjadi subjek yang terbelah, hampa, dan selalu
berkekurangan ($) karena yang Simbolik ada sebelum subjek dan menundukkan

326
Seminar Nasional Paramasastra 3 Bahasa, Sastra dan Pengajarannya dalam Paradigma Kekinian

subjek.Dalam proses kastrasi (castration) yang memungkinkan subjek untuk menjadi subjek
dan masuk ke tatanan Simbolik dengan meninggalkan tatanan Imajiner. Ditundukkannya
identifikasi imajiner oleh identifikasi simbolik kemudian menempatkan subjek pada kondisi
yang terbelah, di satu sisi dia harus memenuhi panggilan the big Other (struktur simbolik
yang anonim) dan di sisi lainnya dia harus menjadi apa yang the Other inginkan agar subjek
dapat masuk dalam tatanan Simbolik (ini adalah gambaran mengenai hasrat subjek).
Permasalahannya adalah bahwa the Other sama seperti subjek yang lack (lack in the Other—
Ø menunjukkan bahwa The big Other tidak (pernah) ada dan subjek terjebak dalam
penandaan yang tidak utuh terhadapnya) yang menyebabkan proses pemenuhan ini tidak
pernah selesai (Lihat Žižek, 1989: 137), ada semacam tumpang tindih antara hasrat untuk
memilikinya dan hasrat untuk menjadi seperti apa yang the Other inginkan. Dengan kata lain,
hasrat subjek adalah Che Vuoi?—what do You want from me?, yang mengindikasikan ada
panggilan the big Other yang menarik subjek untuk terserap kepadanya sementara
jaringannya merantai tatanan simbolik yang lebih luas seperti the Other dan subjek-subjek
yang lainnya.
Subjek secara otomatis akan dialihkan pada apa yang Lacan sebut sebagai
enjoyment/jouissance; sebuah kenikmatan yang menyakitkan (pleasure in pain) sebagai hasil
penyembunyian kehilangan traumatis atas kegagalan memenuhi hasrat akan the big Other.
Kegagalan ini sebenarnya juga disebabkan oleh the big Other yang tak pernah hadir
sepenuhnya, hanya hadir melalui semblance; sebuah kemiripan akan objek yang
menyebabkan subjek berhasrat padanya dan hal inilah yang Lacan sebut sebagai object (petit)
a/object cause of desire. Objek ini juga yang menunjukkan adanya kegagalan untuk mencapai
tatanan yang Nyata (the Real); sebuah tatanan yang tak terbahasakan, mendahului bahasa,
yang menjamin subjek untuk kembali kepada tatanan Imajiner. Bagi Žižek, the Real
sebenarnya adalah sebuah tatanan yang tidak termediasi oleh yang Simbolik, ironisnya, subjek
terjahit oleh the big Other (yang Simbolik) yang selalu ingin dicapai oleh setiap subjek
sehingga pemenuhan atas the big Other (selalu ada lack dalam the Other karena the Other
sendiri juga terjebak dalam the big Other yang anonim dan abstrak, sehingga subjek selalu
gagal untuk memenuhi the big Other) selalu melibatkan sebuah konstitusi yang
menyembunyikan kehilangan traumatis yang Lacan sebut sebagai fantasi ($◊a); sebuah
jawaban atas Che Vuoi?, sebuah skenario yang menyediakan koordinat hasrat subjek yang
juga sekaligus mengkonstitusi hasrat subjek, namun tidak memenuhinya.

“Fantasy appears, then, as an answer to Che Vuoi?, to the unbearable enigma of the
desire of the Other, of the lack in the Other, but it is at the same time fantasy itself
which, so to speak, provides the co-ordinates of our desire—which constructs the frame
enabling us to desire something.” (Žižek, 1989: 132)

Dari trinitas tersebut, Žižek melihat bahwa subjek pernah mendiami kondisi ex nihilo,
yang secara tidak langsung menjelaskan mengenai tidak adanya suatu ideologi yang
mempengaruhinya, mendorongnya, atau bahkan menenggelamkannya. Momen inilah yang
menjelaskan bagaimana suatu keadaan murni subjek tanpa menyerahkan substansi yang
dimilikinya, serta keadaan/momen kekosongan yang membuat subjek hidup, bebas, tanpa
eksterioritas yang mengekor. Dari sini, subjek radikal Žižek dapat dirumuskan ketika subjek
melepaskan yang Simbolik untuk menuju yang Nyata (the Real—berakhir pada tatanan
Simbolik yang baru) sehingga radikalisasi ini bersifat aktif (action) bukan hanya melakukan
(doing) yang berarti rantai simbolik, apalagi pasif dan hanya menerima.
Bagi Žižek subjek harus bertindak radikal dan tindakan radikal subjek (seharusnya)
bersifat momentum, bukan proses karena proses melibatkan rencana, maksud, tujuan,

327
Seminar Nasional Paramasastra 3 Bahasa, Sastra dan Pengajarannya dalam Paradigma Kekinian

kesengajaan, dan lain sebagainya. Momentum di sini bersifat kehadiran dari sebuah ledakan
ex nihilo yang tak terduga dan tanpa tujuan (goal) namun bukan berarti menyasar tanpa arah,
dan oleh karena itu Žižek melihat tindakan ini sebagai sebuah arah (aim) tanpa tujuan
tertentu/ditentukan (goal).Tindakan dapat menjadi radikal dikarenakan kontingensi yang
menstimulasikan aktifasi tindakan tersebut berada melampaui yang Simbolik, tatanan sosial,
tatanan ‘ideologis’, dan lain sebagainya, sehingga hal ini seperti melepaskan diri dari segala
moralitas yang konstruktif dan oleh karena itu tindakan ini lebih korelatif dengan etika. Apa
yang Žižek aplikasikan di sini adalah bentuk kritiknya terhadap Kant yang memisahkan
tindakan menjadi dua prioritas, (1) tindakan in accordance with duty; tindakan ini dilakukan
atas dasar korporasi dengan hal lain (hipotesis), dan (2) tindakan from duty; tindakan yang
dilakukan atas dasar tindakan itu sendiri (imperatif) yang berarti a purposeless act, essentially
a by-product of itself, dan tindakan in-itself. (Žižek, 1992: 90—1)

“An act done from duty derives its moral worth, not from the purpose which is to be
attained by it, but from the maxim by which it is determined. Therefore the act does not
depend on the realization of its objective, but merely on the principle of volition by
which the act has taken place, without regard to any object of desire. It is clear from
what precedes that the purposes which we may have in view for our acts, or their effects
as regarded as ends and impulsions of the will, cannot give to actions any unconditional
or moral worth.” (Friedrich, 1949: 147)

Korelasi antara tindakan from duty dengan tindakan radikal terletak pada kekuatan
kernel dasar dari subjek yang tidak memiliki maksud (purpose/goal) yang mengimplikasikan
bahwa subjek berada dalam momen kosong tanpa pengaruh dan tanpa tujuan mempengaruhi.
Singkatnya, subjek harus keluar dari Simbolik menuju the Real yang menggaransinya untuk
berada pada momentum imajiner dan disebut sebagai subjek psychotic, idiosyncrasy, atau
bahkan misanthropic karena ‘dianggap’ keluar dari tatanan ‘normalisasi’ simbolik yang
diasosiasikan oleh Laclau & Mouffe sebagai ‘antagonisme’ (Lihat Laclau & Mouffe, 2001:
xiv) dan yang Giorgio Agamben sebut sebagai Homo Sacer (The Sacred Man) (Lihat
Agamben, 1992: 82; Murray & Whyte, 2011: 94—6) serta yang Alain Badiou sebut sebagai
Event (Badiou, 1999: 36; 2005: 193). Dengan melihat kembali subjek dengan lebih ‘esensial’
serta membuat subjek berani untuk menghadapi teror horor dari ketakutannya akan
kehilangan traumatis serta kenistaan The big Other, maka hal tersebut justru membuat subjek
berada dalam tatanan the Real secara momentum. Hal ini juga yang menghindarkan subjek
dari trik ideologi saat ini yaitu mengenai ‘realitas’ yang disembunyikan yang justru hadir,
namun subjek menutupinya seolah-olah tidak (ingin) mengetahui ‘realitas’ tersebut, dan inilah
apa yang dinamakan sebagai cynicism sementara itu, pertanyaan yang menarik di sini adalah
ketika karya sastra yang dijadikan sebagai suatu kritik, justru berpotensi menjadi kekuatan
simbolik yang tentunya sangat ideologis dan ilusif atau sebuah sinisme belaka.

SINISME DAN FANTASI IDEOLOGIS


Ideologi dalam Marxis adalah kesadaran palsu dan merupakan constitutive naiveté; mereka
tidak mengetahui, tetapi mereka melakukannya. Dari sini Žižek melihat bahwa naïve
consciousness merupakan suatu prosedur kritik atas ideologi yang symptomatic. Dari
kesadaran palsu ini, Marx kemudian menawarkan oposisinya melalui classstruggle. Jika,
perjuangan kelas (class struggle) dianggap sebagai yang Real, yang lepas dari yang Simbolik,
maka perjuangan kelas harus lepas dari ideologi karena jika tidak, maka perjuangan kelas
justru menjadi tatanan Simbolik; “ideology is always, by definition, ideology of ideology.”
(Žižek, 1994: 19). Oleh karena itu, apa yang dianggap Marx sebagai kebenaran dari

328
Seminar Nasional Paramasastra 3 Bahasa, Sastra dan Pengajarannya dalam Paradigma Kekinian

perjuangan kelas melalui prinsip yang ‘mentotalisasi’ masyarakat (realitas yang


disembunyikan) sebenarnya merupakan realitas yang tidak ada atau realitas yang tidak pernah
hadir in-itself,
“[…] it is always-already symbolized, constituted, structured by symbolic mechanism—
and the problem resides in the fact that symbolization ultimately always fails, that it
never succeeds in fully ‘covering’ the real, that it always involves some unsettled,
unredeemed symbolic debt. This real (the part of reality that remains non-symbolized)
returns in the guise of spectral apparations. […] reality is never directly ‘itself’, it
presents itself only via incomplete-failed symbolization, and spectral apparitions emerge
in the very gap that forever separates reality from the real […].” (Žižek, 1994: 19)

Melihat hal tersebut, maka perjuangan kelas hanya hadir sebagai yang Simbolik
menjadi semacam partisi dari yang Real yang disimbolisasi. Perjuangan kelas sebenarnya
adalah yang Real, suatu ranah yang abstrak dan tidak terjelaskan, namun kehadirannya hanya
disimbolisasikan (dorongan dari eksternal dan mempunyai tujuan tertentu) yang menandakan
terpisahnya realitas tersebut dengan realitas dari yang Real (Žižek, 1999: 130). Dengan kata
lain, ideologi bekerja tidak hanya mendistorsi atau memistifikasikan antara ilusi dan yang
realitas, namun justru menghadirkan realitas itu sendiri sebagai yang ilusi sehingga abstraksi
subjek terhadap realitas sendiri sebenarnya sudah ilusif pada pola berpikir mereka
terhadap/bahkan pada realitas itu sendiri sejauh realitas itu dihadirkan secara sadar (ilusif).
Realitas (dalam Marxis) yang dimistifikasikan, sekarang justru hadir secara telanjang dan
subjek justru sinis terhadap ketelanjangan realitas tersebut. Singkatnya, premis mengenai
‘they do not know, (but) what they are doing’ bergeser menjadi ‘they know very well what
they are doing, but still, they are doing it’ (Žižek, 1994: 25), yang berarti bahwa mereka
mengetahui ada realitas yang tersembunyi, namun mereka mengacuhkannya ‘seolah-olah’
tidak mengetahuinya. Oleh karena itu, permasalahannya terletak pada apa yang dilakukan
(doing) yang mengindikasikan bahwa subjek melakukan sesuatu yang berlawanan dengan apa
yang diketahui. Apa yang diketahui justru ditutupi sehingga subjek tidak mengetahui apa
yang diketahui dengan tetap melakukannya dan inilah yang Žižek klarifikasikan sebagai
sinisme. Cynicism adalah semacam ‘negasi dari negasi’ yang sesat terhadap ideologi karena
mereka menyembunyikan topeng ideologinya sendiri
Sinisme membuat subjek menolak realitas yang dia ketahui, dan analoginya adalah
ketika seorang laki-laki diberi tahu temannya bahwa istrinya sedang berselingkuh, maka laki-
laki tersebut berkilah bahwa dia seorang toleran, demokrasi, dan lain sebagainya. Dia
mengabaikannya meskipun dia mengetahuinya. Akan tetapi, ketika temannya datang lagi dan
membawa video serta foto istrinya sedang (maaf) bersenggama dengan laki-laki lain, maka
laki-laki tersebut kemudian meledak-meledak (Žižek, 1997: xxiii). Subjek mencoba untuk
tidak mengetahui apa yang mereka ketahui sehingga permasalahan di sini pada akhirnya
bergeser, dari ‘apa yang (tidak) diketahui’ menuju ‘(mengapa) masih saja melakukannya’/’apa
yang dilakukan’, sehingga prosedur kritik terhadap ideologi tidak lagi symptomatic (melihat
gejala-gejala), melaikan melintasi fantasi (traversing the fantasy) sebagai penelusuran hasrat
cynical subject. Formasi inilah yang menjelaskan bagaimana fantasi bekerja; fantasi adalah
penyedia jawaban atas Che Vuoi? atau semacam usaha untuk memangkas jarak antara
pertanyaan the big Other dengan jawabannya agar the big Other tidak lagi anonimus dan yang
Real tidak benar-benar hadir/terbuka.
Kaitan masalah psikologis ini dengan ideologi adalah mengenai subjek yang
mengetahui ‘realitas’ yang sebenarnya namun tidak mempedulikannya dan hal ini sebenarnya
menggambarkan cara ‘fantasi ideologis’ yang membuat subjek dapat menjawab pertanyaan
dari Che Vuoi? dengan bertingkah ‘seolah-olah’ tidak mengetahui ‘realitas’ yang secara

329
Seminar Nasional Paramasastra 3 Bahasa, Sastra dan Pengajarannya dalam Paradigma Kekinian

telanjang dengan tetap melakukannya. Sekali lagi, apa yang mereka ketahui saat ini adalah
‘realitas’ yang sebenarnya namun ‘realitas’ tersebut dimistifikasikan seolah-olah ‘realitas’
itulah yang ilusif, dengan begitu subjek masih ‘setia’ untuk melakukannya.

“[…] the illusion is not on the side of knowledge, it is already on the side of reality
itself, of what the people are doing. What they do not know is that their social reality
itself, their activity, is guided by an illusion, by a fetishistic inversion. What they
overlook, what they misrecognize, is not the reality but the illusion which is structuring
their reality, their real social activity. They know very well how things really are, but
still they are doing it as if they did not know. The illusion is therefore double: it consists
in overlooking the illusion which is structuring our real, effective relationship to reality.
And this overlooked, unconscious illusion is what may be called the ideological
fantasy.” (Žižek, 1989: 29—30)

Melihat hal ini, nampak bahwa ‘fantasi ideologis’ menyelamatkan subjek (sosial) dari
‘trauma’ sosial (Lihat Homer, 2005: 113) dan dengan kata lain, yang ideologis (saat ini) justru
adalah ‘realitas’ sosial itu sendiri, serta kehadirannya yang mengimplikasikan ‘ketidaktahuan’
dari subjek itu sendiri akan esensi mereka yang sebenarnya dapat berupa momen kebiadaban,
barbarisme, konflik, kekacauan, atau bahkan permusuhan/antagonism karena bagi Žižek, yang
ideologis saat ini adalah “a social reality whose very existence implies the non-knowledge
ofits participants as to its essence” (Žižek, 1989: 21).

SASTRA SEBAGAI KENIKMATAN IDEOLOGIS


Bagian ini akan menjelaskan mengenai bagaimana subjektifitas pengarang yang justru
menjadi paradoks dan untuk mengawalinya, dua novel yang sudah disinggung akan menjadi
stimulasi pembukanya.
Novel The Road, menguraikan kisah dua tokoh anonim, seorang ayah dan seorang anak
yang berada dalam dunia yang mengalami katastropi dan post-apokalitis futuristik. Mereka
berdua hanya memiliki 3 butir peluru dalam sebuah pistol (satu peluru telah digunakan oleh
sang Istri untuk bunuh diri karena dia sudah jenuh untuk bertahan lebih lama lagi dan baginya
8 tahun sudah cukup untuk menghentikan harapannya untuk bertahan serta fisiknya yang
mulai melemah hanya akan menghambat suaminya dan anaknya) dan dengan materi seadanya
mereka melakukan perjalanan dari dataran tinggi menuju lautan karena bagi mereka lautan
masih memiliki kemungkinan untuk menyimpan makanan. Selain keadaan alam yang rusak,
McCarthy juga menarasikan bahwa keadaan humanism di sana adalah kanibalisme dan
barbarism yang biadab. Sekilas dari gambaran sederhana McCarthy dengan goresan narasi
yang dibumbui nuansa stilistika poetik yang deskriptif tersebut, dapat diasumsikan secara
implisit bahwa apa yang menjadi kritik utama McCarthy adalah ekologi. Dasar dari asumsi ini
secara structural dapat ditelusuri melalui gambaran singkat narator—yang tentu saja
merupakan McCarthy yang termaterialisasikan dalam kata—pada bagian awal cerita ketika si
Ayah menemukan kaleng Coca-Cola terakhir dalam sebuah mesin minuman (vending
machine) lusuh bekas jarahan orang-orang yang masih bertahan hidup dan memberikannya
kepada si Anak, dan dia mengatakan, “It’s bubbly” (McCarthy, 2006: 20). Secara implisit, ada
dua pergesekan yang dibalut dalam satu kontingensi kritis yang ditawarkan oleh McCarthy;
modernisasi yang menawarkan kerusakan ekologi nyatanya juga memberikan sedikit nafas
serta harapan bagi manusia untuk bertahan hidup. Si Anak yang menyadari bahwa Coca-Cola
tersebut merupakan Coca-Cola terakhir yang akan dia minum menjelaskan sebuah artikulasi
yang tidak langsung dari dualitas yang dimiliki pola produksi modernisasi yang dikritisi oleh
sastrawan ekologis seperti McCarthy.

330
Seminar Nasional Paramasastra 3 Bahasa, Sastra dan Pengajarannya dalam Paradigma Kekinian

Apa yang menjadi dasar kritik ekologi McCarthy sebenarnya sudah tampak pada
bagaimana narator menguraikan kerusakan alam yang menjadi bahan dasar dari setting novel
ini, sehingga secara langsung dapat diindikasikan bahwa novel ini didedikasikan oleh
McCarthy sebagai akumulasi kritiknya terhadap kerusakan lingkungan. Permasalahannya
adalah, siapa yang merusak lingkungan? Jika ditelusuri lebih ringkas, kerusakan lingkungan
dalam pandangan McCarthy adalah sifat dehumanisasi manusia (dapat dilihat pada bagaimana
McCarthy menjelaskan kanibalisme serta kekhawatiran tokoh Ibu sebelum bunuh diri) serta
modernisasi seperti metafora Coca-Cola tersebut. McCarthy juga menjelaskan secara rangkap
metafora ini dalam bentuk yang lain yang terdapat dalam bagian terakhir, di mana narator
menjelaskan bahwa evolusi serta misteri kehidupan adalah dua hal yang sama dengan ikan
yang berada dalam parit yang mana ikan tersebut tidak akan terlepas dari kotornya air yang
telah dirusak oleh manusia dan destruksi tersebut, bagi McCarthy, hanyalah “in its becoming”
(McCarthy, 2006: 241) yang akan terus berlangsung. Dengan melihat ini, apa yang
ditawarkan oleh McCarthy secara harfiah adalah bagaimana manusia harus menjaga alam dan
lingkungan karena manusia adalah bagian dari lingkar kosmik ini.
Pola kritik ekologis ini pada dasarnya berawal bagaimana McCarthy memiliki
gambaran ideal mengenai alam beserta entitas-entitas yang menyelimutinya dan inilah yang
dinamakan sebagai ideologi. Ideologi tidak serta merta permasalahan mengenai sosio-politik,
melainkan bagimana subjek menjadi terlindas oleh tatanan Simbolik. Jika Marx melihat
bahwa ideologi selalu terkait dengan kekuasaan, maka Althusser melihat bahwa ketika
manusia menjadi subjek di saat itulah dia terlindas oleh ideologi. Apa yang dimaksud subjek
di sini adalah proses triadik Lacanian yang menjerumuskan subjek dalam struktur simbolik
ang anonym, atau the big Other. Hal inilah yang secara ringkas menjelaskan bahwa subjek
selalu terikat oleh gambaran agung yang abstrak dan karena sifat abstrak inilah subjek harus
mengikatnya dengan jaringan penanda lainnya yang menjadi rantai ideologis. Dengan kata
lain, ideologi adalah penanda utama yang menjaring subjek dan menyediakan subjek jalan
untuk tetap berada pada jalur pencarian agungnya sementara apa yang mereka tuju, the big
Other, adalah sebuah kekosongan. Bagi Žižek apa yang disebut sebagai alam bagi
kebanyakan ekokritik adalah sebuah gagasan the big Other yang dibuat rangkap dan distopis
sehingga menghasilkan realitas dari disidentifikasi yang mereka angankan. Žižek, dalam
sebuah seminarnya, melihat bahwa alam tercipta dengan berbagai kekacauannya dan manusia
merupakan bagian daripadanya sehingga keseimbangan yang dicita-citakan oleh para
ekokritik adalah sebuah ironi tanpa pondasi stabil. Kehadiran subjek tidak lain adalah hasil
rekonstruksi dari moderniasi yang denatural tersebut, sehingga mustahil bagi subjek untuk
mendahului atau bahkan melampaui ekologi yang natural. Dengan kemustahilan tersebut,
bukan hal yang mengejutkan untuk melihat bagaimana orang takut untuk terlepas dari
teknologi secara menyeluruh dan oleh sebab itu, kritik ekologis pada akhirnya hanya menjadi
kenikmatan dalam mengkritisinya tanpa harus terjebak secara total di dalamnya.
Secara ekspresif, ideologi pengarang hadir dan dari sini pengarang terlihat sedang
bernegosiasi mengenai apa yang seharusnya dilakukan untuk ekologi. Kesadaran McCarthy
mengenai realitas yang (akan) terjadi dibalik modenisasi dan industrialisasi hanya menjadi
sekedar kritik, menyuplai krisis yang dibayangkan secara futuristik, dan setelahnya hanya
menjadi suatu wacana yang tidak memiliki kekuatan apa-apa selain menjadi jargon besar yang
disebut ideologi eko-kritisme menjadi suatu sinisme sejati. Oleh karena itu, bukan hal yang
mengejutkan jika menyebut manusia (subjek) sebagai makhluk yang ‘janggal’; mereka
memikirkan tentang pohon, mengambil pohon untuk dijadikan kertas, dan menulis kritiknya
di atas kertas mengenai keselamatan pohon. Hal ini dapat dikatakan sebagai suatu sinisme
karena seorang eko-kritikus yang menggemakan suara-suara seperti ‘Save the Mother Earth’,
‘Back to Nature’, ‘Go Green’, dan apa pun itu slogannya, tidak sepenuhnya melakukan

331
Seminar Nasional Paramasastra 3 Bahasa, Sastra dan Pengajarannya dalam Paradigma Kekinian

sesuatu yang mereka gemakan sebagai ideologi mereka. Anggap saja mereka orang naturalis,
apa yang mereka inginkan adalah bayangan ‘Bumi yang Sehat’, yang ‘Hijau’, ‘Alami’, dan
lain sebagainya yang sebenarnya merupakan bayangan serta cita-cita agung yang begitu besar,
atau yang dapat dikatakan sebagai penandaan dari the big Other. Karena sifat the big Other
adalah anonimus, misterius, dan tidak mungkin terpenuhi sehingga akan membuat subjek
mengalami suatu kegagalan, maka yang ada suatu skema fantasmik yang mengatur agar
subjek tidak terjerembab dalam ngarai ketakutan akan yang Real serta akan kegagalannya
(pemenuhan terhadap the big Other), sehingga mereka menjahitkan the big Other tersebut
dengan penanda lainnya yang kemudian membuat mereka berhasrat pada penanda tersebut;
untuk mengembalikan bumi hijau, mereka ingin melakukan recycling, untuk mengurangi asap
polusi, carfree day dan lain sebagainya. Fungsi dari penanda ini, jelas merupakan penutupan
agar subjek tidak benar-benar masuk lebih jauh pada situasi ketakutan primordial serta
kegagalan yang akan mereka temui, dengan kata lain, penanda ini merupakan ideologi yang
berfungsi sebagai mesin penjawab atas pertanyaan agung the big Other. Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika mereka masih menggunakan alat elektronik, jika mereka masih
mengendarai motor di hari selain sabtu dan minggu, dan lain sebagainya.
Lebih jauh lagi, dengan adanya ideologi, mereka akan mengalami ‘orgasme’
pengalaman menyelami yang Real (meskipun yang Real yang mereka ciptakan juga
merupakan rekonstruksi dari identifikasi simbolik) tanpa harus terjerumus seutuhnya pada
kehampaan the big Other. Pengalaman inilah yang mereka cari dan yang membuat mereka
tidak benar-benar menjadi apa yang mereka impikan; dengan bebas kendaraan bermotor di
hari sabtu dan minggu, subjek merasakan pengalaman menyelamatkan bumi (sementara dia
berkendara lagi pada hari senin sampai jumat), dengan memberikan suara pada pemilihan
umum, subjek merasa sudah menyelamatkan negara (sementara dia melakukan aktifitas
sehari-hari dengan biasa-biasa saja). Dari sini, subjek tentu ‘tidak benar-benar yakin’ atas apa
yang mereka lakukan, sehingga mereka tentu akan menjawab dengan proposisi-proposisi yang
disertai dengan ‘daripada tidak sama sekali’, ‘bagaimana lagi’, ‘seolah-olah’ dan lain
sebagainya; sebuah petunjuk yang menunjukkan bagaimana subjek sinis meregulasikan
‘penolakan’ terhadap yang dia ketahui (mereka mengetahui (jika mereka tidak benar-benar
yakin), namun tetap saja mereka melakukannya). Kekuatan ini pada akhirnya menjadi sebuah
postulasi dari permasalahan baru yang Žižek sebut sebagai kapitalisme kultural.
Apa yang Žižek pantau di sini adalah bahwa kapitalisme kultural adalah dampak dari
ideologi saat ini; ideologi bukan lagi permasalahan mengenai penyembunyian apa yang
dibaliknya, namun ideologi justru memunculkan apa yang disembunyikan dan subjek
menghadapinya dengan topeng ideologi yang lain. Oleh karena itu, Žižek menyebut bahwa
Starbucks adalah ideologi karena apa yang dilakukan Starbucks adalah suatu etika yang
menjelaskan bagaimana konsumen tidak hanya membeli secangkir kopi dengan nama pembeli
yang mengambang diatas kopi hangat, melainkan mereka juga membeli ‘simpati’ melalui
Starbucks. Dalam berbagai macam iklan yang disampaikan, dapat dilihat bagaimana
Starbucks menjadi perusahaan terbesar yang membeli kopi dari petani-petani di seluruh dunia
sehingga dengan membeli secangkir kopi di Starbucks, subjek secara tidak langsung
membantu petani untuk tetap mendapat penghasilan, menjaga lingkungan dengan adanya
kebun kopi, menyumbangkan beberapa sen untuk anak-anak kelaparan di Afrika, dan lain
sebagainya. Starbucks, bagi Žižek, adalah cara bagaimana ideologi saat ini bekerja; dengan
menunjukkan realitas yang sebenarnya, justru membuat konsumen terperangah dan terjebak
dalam kopi karma, atau suatu karma yang menyebabkan subjek untuk tetap membeli
meskipun mereka tidak sedang ingin meminum kopi dan merasakan pengalaman menolong
sesama tanpa harus terjun secara langsung. Hal tersebut yang juga teraplikasikan secara
langsung dalam domain-domain ideologi seperti eko-kritisme, demokrasi anti-korupsi, dan

332
Seminar Nasional Paramasastra 3 Bahasa, Sastra dan Pengajarannya dalam Paradigma Kekinian

lain sebagainya, sementara mereka sendiri justru menjadi konsumerisme yang baru dan
membentuk suatu belenggu yang baru yang justru menenggelamkan subjek dalam
ketersesatan kepalsuan dari realitas yang dihadirkan. Apa yang dapat ditelusuri lebih jauh di
sini adalah bahwa konsumerisme semacam ini dianggap sebagai upaya untuk
mempertahankan kualitas hidup, oleh karena itu, waktu seharusnya menjadi ‘waktu yang
berkualitas’, bukan waktu yang disingkirkan (oleh hal yang tidak diperlukan), waktu yang
otentik tersebut kemudian dapat memuaskan subjek akan sensasi kenikmatan dari
pengalaman, dan hal inilah yang menjangkiti permasalahan kondisi sosial mengenai
kepedulian terhadap orang lain; melalui keterlibatan di dalam kegiatan solidaritas atau
ekologi, dan lain sebagainya, yang kemudian ‘dimanfaatkan’ oleh pihak-pihak tertentu,
seperti kasus ‘Kapitalisme Kultural’ dalam iklan Starbucks yang mengatakan ‘It’s not just
what you’re buying. It’s what you’re buying into.’ Dengan harga lebih mahal dari tempat lain,
Starbucks menjelaskan bahwa hal ini dikarenakan yang dibeli sebenarnya adalah coffeeethics,
termasuk kepedulian terhadap lingkungan, tanggung jawab sosial terhadap para petani, serta
suatu lokus di mana pembeli sendiri dapat terlibat dalam kehidupan komunal dan sosial (sejak
awal, Starbucks menampilkan kedai kopinya sebagai sebuah komunitas organik) yang
kemudian menjadi sebuah ‘karma’ dari secangkir kopi yang merasuki ‘jiwa’ pembeli. Jika hal
tersebut dirasa masih kurang, atau ketika ‘kebutuhan etis’ pembeli yang adiktif tersebut masih
belum terpuaskan sehingga pembeli masih khawatir dengan penderitaan orang-orang di
‘Dunia Ketiga’, Starbucks masih memiliki produk tambahan yang dapat dibeli, Ethos Water;

“Ethos Water is a brand with a social mission-helping children around the world get
clean water and raising awareness of the World Water Crisis. Every time you purchase a
bottle of Ethos Water. Ethos Water will contribute US $0.05 (C$0.10 in Canada) toward
our goal of raising at least US $10 million by 2010. Through The Starbucks Foundation,
Ethos Water supports humanitarian water programs in Africa, Asia and Latin America.
To date, Ethos Water grant commitments exceed $6.2 million. These programs will help
an estimated 420,000 people gain access to safe water, sanitation and hygiene
education.” (Lihat Laman starbucks.com)

Ethos Water merupakan sebuah trik tentang bagaimana Starbucks memanfaatkan misi sosial,
seperti membantu anak-anak di seluruh dunia agar dapat memperoleh air bersih dan
meningkatkan kesadaran akan krisis air dunia sebagai suatu kepentingan personal. Keterangan
yang lebih detil menjelaskan bahwa setiap kali pembeli membeli sebotol Ethos Water, maka
pembeli sebenarnya menyumbangkan $0.05 (C$ 0.10 di Kanada) dengan harapan, paling
tidak, mencapai $10 juta di tahun 2010. Dengan begitu, melalui StarbucksFoundation, Ethos
Water mendukung program bantuan kemanusiaan untuk penyediaan air bersih di Afrika, Asia
dan Amerika Latin. Starbucks juga menambahkan bahwa sampai hari ini, bantuan atau donasi
Ethos Water sudah mencapai $6.2 juta. Secara singkat, program ini akan membantu
setidaknya 420.000 orang agar dapat mengakses air bersih, memperbaiki sanitasi, serta
menciptakan pendidikan mengenai hidup yang higienis. Yang menjadi sebuah litotes yang
enigmatis adalah, pada iklan tersebut, tidak dicantumkan sebuah fakta bahwa sebotol Ethos
Water di Starbucks harganya lebih mahal 5 sen dolar Amerika dibandingkan di tempat lain,
dan memang beginilah cara kerja kapitalisme, pada level konsumerisme, yang mengadopsi
warisan dari tahun 1968-an, yaitu mengenai kritik dari proses konsumsi yang teralienasi, yang
menjelaskan bahwa hal utamanya adalah pengalaman otentik dari proses pembelian dan
dengan begitu subjek ‘merasa’ sudah berbuat kebaikan (feel good) untuk dunia (subjek terikat
sosial simbolik, sehingga jalan terbaik adalah dengan diterima pada tatanan tersebut dan
kebaikan adalah modal yang paling ‘intelektual’ untuk menerobos masuk di dalamnya).

333
Seminar Nasional Paramasastra 3 Bahasa, Sastra dan Pengajarannya dalam Paradigma Kekinian

‘Kebaikan’ di sini kemudian menjadi percabangan dari proses tatanan Simbolik merengkuh
subjek, dengan berbuat baik, subjek secara tidak langsung akan terhindar dari kekerasan
simbolik, dengan berbuat baik subjek akan mendapatkan hal-hal yang dianggapnya etis
sehingga dia diterima oleh tatanan Simbolik atau masyarakat, dan seterusnya.
Dari sanalah, fakta mengenai penolakan ‘untuk mengetahui’ menggumpal dan
menjelaskan bahwa terdapat semacam dimensi fetisistis yang diperlukan subjek demi sebuah
ruang baru mengenai populisme. Artinya adalah, meskipun pada level yang benar-benar
umum, fetisisme meliputi sikap transferensi (kepada objek fetis) dan dia berfungsi sebagai
pengalihan yang sebenarnya dari formulasi dasar sebuah transferensi (dengan subject
presumed to know). Adapun bentuk yang dihasilkan oleh fetisisme ini adalah penolakan
subjek terhadap suatu penolakan, penolakan subjek ini berfungsi agar subjek menerima apa
yang sebenarnya dia ketahui. Bagi Žižek, hal inilah yang menjelaskan mengapa—dengan
meminjam istilah Nietzschean—perbedaan mendasar antara politik emansipatoris yang benar-
benar radikal dengan ‘politik populis’ adalah bahwa emansipatoris akan secara aktif
menggunakan serta memastikan (menunjukkan) bahwa visinya akan tercapai dengan tepat,
sedangkan populisme secara mendasar adalah sebuah reaktif atau hasil dari reaksi terhadap
sesuatu yang dianggap mengganggu. Dengan kata lain, ‘populisme’ tetap merupakan sebuah
versi dari politik ketakutan; dia memobilisasi massa dengan memperbesar ketakutan terhadap
agen eksternal yang korup.
Hal inilah yang cukup mengkhawatirkan dalam dunia kesusastraan ketika karya sastra
justru menjadi sebuah konsumerisme serta alat politik bagi suatu kepentingan sehingga karya
sastra tidak ubahnya sebuah ‘wacana kenistaan’ yang disebarkan oleh para sastrawan yang
politis. Sifat politis tentu saja mengarahkan misi terselubung untuk mempengaruhi serta
menyeret massa demi kepentingan personal suatu kelompok, dan hal inilah yang
menggambarkan bagaimana subjek sebenarnya telah mati, mati dalam sebuah tatanan
Simbolik yang mereka anggap agung dan otentis. Subjek secara eksistentialis memang ada,
baik secara fisik maupun mental, namun secara esensialis, subjek tidak benar-benar ada
karena keberadaannya adalah kehampaan yang berarti berserakannya yang Simbolik dalam
diri subjek yang bukan menjadikan subjek bukan subjek dari dirinya sendiri; sebuah
suplementasi dari tatanan Simbolik yang menguasai mereka. Kematian subjek ini juga yang
menjadi indikator mengenai reinkarnasi sastra menjadi sebuah paradigma yang ‘benar-benar’
berbeda atau bahkan baru; sastra sebagai kedustaan dalam anomalitasnya.
Anomalitas ini semakin terselubung dalam prosesnya karena bersemayamnya sinisme
menjadikan kritik sebagai sebagai sindikat parasit proaktif ideologis dari suatu kegagalan
otentisitasnya dan hal ini terurai dalam novel The White Tiger karya Aravind Adiga. Novel ini
mengisahkan tokoh tragis-heroik yang bernama Balram Halwai yang mana dia hidup dalam
ultra kemiskinan (bahkan keluarganya tidak sempat memberinya nama). Dari kemiskinan
tersebut Balram berjuang untuk meretasnya sampai dia berjumpa dengan Ashok, seorang
majikan yang baik hati, yang menjadikan Balram sebagai sopir pribadinya. Pada akhir cerita,
Balram yang berada dalam persimpangan (suara-suara hadir dalam dirinya dan membuatnya
berada dalam keputusan krusial) akhirnya membunuh tuannya yang baik hati tersebut,
melarikan diri dengan tas yang berisi uang dan menjadi pengusaha di Bengalore. Jika dilihat
sekilas, apa yang dapat diasumsikan di sini adalah bagaimana Adiga mencoba untuk
menawarkan sebuah peretasan kemiskinan yang melanda India yang dia analogikan dengan
pembunuhan Balram terhadap Ashok, “Balram's anger is not an anger that the reader should
participate in entirely—it can seem at times like the rage you might feel if you were in
Balram's place—but at other times you should feel troubled by it, certainly” (DiMartino,
2008). Apa yang ditekankan di sini adalah narasi pembantaian terhadap majikan tersebut

334
Seminar Nasional Paramasastra 3 Bahasa, Sastra dan Pengajarannya dalam Paradigma Kekinian

adalah kritik terhadap kapitalisme dan hal ini dipertegas oleh Adiga dengan menyatakan
bahwa,

“’White men will be finished in my lifetime,’ […] ‘In 20 years times, it will just be us
brown and yellow men at the top of the pyramid, and we'll rule the world.’ He’s talking
about the phenomenon at the heart of this dazzling narrative: the emergence of that
much-heralded economic powerhouse, the ‘new India.’” (Mattin, 2008)

Pernyataan ini juga selaras dengan pencapaian subjektifitas Adiga melalui narasinya di
mana Balram sendiri pasca pembantaian terhadap tuannya tersebut menyatakan bahwa dia
akan membalikkan kedudukan India,

“I’m thinking of real estate next. You see, I’m always a man who sees ‘tomorrow’ when
others see ‘today’. The whole world will come to Bangalore tomorrow. Just drive to the
airport and count the half-built glass-and-steel boxes as you pass them. Look at the
names of the American companies that are building them. And when all these
Americans come here, where do you think they’re all going to sleep? On the road?”
(Adiga, 2008: 274)

Implikasi dari proposisi tersebut adalah Adiga mengkritisi kapitalisme yang menjebak
negara dunia ketiga seperti India dalam ngarai tak berdasar kemiskinan, sehingga secara tidak
langsung dengan melihat pernyataan Balram serta afirmasi Adiga terhadapnya, maka tidak
mengejutkan untuk melihat penawaran yang dilemparkan oleh Adiga bahwa India harus
terlepas dari kemiskinan dan jika dilihat lebih jauh penawaran tersebut termaterialisasikan
dalam aktualisasi Balram, yaitu dengan menjadi pengusaha. Permasalahannya adalah,
bukankah dengan menjadikan Balram sebagai pengusaha jelas merupakan upaya reproduksi
kapitalisme sebagai sisi oposisionalnya? Dengan mengkritisi kapitalisme dengan kapitalisme
justru mengindikasikan bahwa tidak ada apa-apa di luar kapitalisme. Hal ini menjadi
kelumrahan yang sulit untuk dibantah karena proses serta trayek kapitalisme adalah sebuah
parasit raksasa yang menjangkit subjek kontemporer saat ini. Artinya adalah dalam setiap
proses produksi dan sosial, subjek selalu terikat dalam proses kapitalisme ini (Bourdieu
melihat bahwa ada 4 macam kapital; Kultural, Sosial, Simbolik, dan Ekonomi), sehingga
kapital pada akhirnya harus menjadi objek fetis subjek terlebih lagi karena subjek adalah
subjek konstruktif simbolik dari ketidaksadaran.
Relasi kuat antara permasalahan Adiga dengan novel ini adalah ketika Adiga yang
memiliki latar belakang berbeda memanifestasikan the big Other (cita-cita ideologis) melalui
narasi yang berbeda, sehingga kekuatan postulasi yang bersebarangan tersebut (antara fakta
historis Adiga dengan latar belakang Balram) menciptakan sebuah kekuatan kritis mengenai
bagaimana Adiga mencoba ‘menyelamatkan’ India dari kemiskinan dan membangkitkan
semangat ideologis yang ada dalam tatanan Simbolik Adiga. Permasalahannya terletak pada
apa yang ditawarkan Adigayang cenderung melihat kapitalisme sebagai sebuah proses
dikotomisasi antara kemiskinan dan kekayaan, sehingga hal ini justru hanya menciptakan
sebuah pola struktur yang tidak terbongkar. Artinya adalah, yang ideologis dari Adiga
cenderung sama dengan kegagalan Marx yang mencoba mempromosikan perjuangan kelas
sebagai totalisasi pembongkaran realitas ilusif ideologi sehingga, pembunuhan terhadap tuan
Ashok yang baik hati yang seharusnya menjadi tindakan radikal otentis, terpeleset dan
menjadi sebuah sinisme Adiga. Terlebih, kecenderungan memperkeruh realitas kemiskinan
India juga menjadi diskursus tersendiri terkait pemanfaatannya sebagai alat legitimasi

335
Seminar Nasional Paramasastra 3 Bahasa, Sastra dan Pengajarannya dalam Paradigma Kekinian

personal seperti yang diungkapkan Ghoshal yang melihat fenomena penulis India yang
menulis kebobrokan India sebagai ajang untuk meraih keuntungan personal;

“[It] turns out to be the ideal rough guide to Dark India: a series of extensive footnotes
for the benefit of Western readers”. “As Adiga shows, […] the best bet for all those
closeted novelists lurking in this country of a billion, is to write about the Darkness, the
rural hinterland that lies stashed far away from the dazzling India of the big cities.”
(Ghoshal, 2008)

Bagi Ghoshal, dengan mempertontonkan kebobrokan bangsa sendiri, Adiga sudah


membuka jalan bagi orang-orang Barat utamanya, untuk masuk lebih jauh ke sisi gelap India
yang tentunya merugikan (bangsa) India dan menguntungkan (bangsa) Barat secara perseptual
dan ideologis. Penggambaran India dalam kegelapan kemiskinan selalu menjadi topik yang
tidak pernah kunjung usai dibicarakan dan diunggah secara reguler oleh penulis-penulis India,
terutama jika hal tersebut terkait dengan menjelek-jelekkan kearifan atau otentisitas yang
dimiliki India; bukankah itu yang benar-benar tampak di permukaan dalam produksi sastra
tersebut? Apa yang dapat dikatakan di sini adalah bahwa mereka mengetahui, namun mereka
tetap melakukannya, seperti lelaki-lelaki impoten yang membicarakan Kama sutra (lihat
terjemahan novel The White Tiger, penerbit ANDI) atau seorang pengusaha tembakau yang
membangun rumah sakit khusus kanker (lihat film Oh My God!, 2012) sehingga apa yang
mereka teriakkan mengenai ‘Kemiskinan’ bukan sesuatu yang benar-benar ada, karena
‘Kemiskinan’ yang mereka bicarakan adalah yang mereka lakukan, menjual korupsi,
membelinya kembali, dan menjualnya lagi; bukankah itu adalah yang Real dari bagaimana
proses produksi karya kritis tersebut?
Penghargaan telah menjadi jalan pintas dalam permasalahan anomali sastra di sini,
karena secara tidak sadar apresiasi tersebut terlibat secara mikro politis dari apa yang Jacques
Rancière sebut politik estetik. Singkatnya, yang Real dalam karya sastra bukan terletak pada
bagaimana karya sastra termaknai, namun bagaimana ketidaksadaran yang tertelanjangi di
luar atau realitas eksternal yang dilakukan pengarang dalam ekstra tekstualnya. Adapun yang
menjadi permasalahan adalah penutupan yang Real ini merupakan proses transposisi dari
fantasi ideologis yang menciptakan pakaian etis dari bagaimana karya sastra bereksperimen
dengan kritiknya sehingga kenikmatan ideologis pengarang dapat diejakulasikan dan sisi
cabul dari yang Real-nya tujuan pengarang tereduksi. Akan tetapi, bukan berarti karya sastra
akan mati dalam produksinya, karena sejauh karya menawarkan gambaran ‘objektif’ dari
proses pelepasan tatanan Simbolik melalui narasinya, dari sana karya sastra akan selalu
berada pada jalur paralaks dengan tatanan Simbolik atau ideologi pengarang yang
memalsukan realitas. Dalam proses tersebut, perjumpaan subjek sastra menjadi sebuah proses
tanpa rekonsiliasi dalam jalur pandang paralaks menuju imanensi sastra kedepannya.

SIMPULAN
Dari apa yang telah diuraikan secara teoritis dan empiris di atas, dapat disimpulkan
bahwa karya sastra menyimpan sebuah bom waktu yang bias saja meledak dan meleburkan
otentisitasnya. Disorientasi karya sastra ini adalah dampak dari kapitalisme kultural yang
menjaring subjek dalam tatanan sosial simbolik saat ini, sehingga karya sastra memiliki
fungsi yang berlebihan terkait nilai simbolik yang terkandung di dalamnya. Karya sastra pada
akhirnya juga menjadi sebuah paradoks karena di satu sisi menawarkan sebuah ekspresi kritik
namun di sisi lainnya dapat menjadi tatanan ideologis yang baru dan bahkan alat legitimasi
pengarang. Akan tetapi, karya sastra bukan berarti tidak memiliki imanensi sejati dalam
dirinya, karena bagi Žižek, seni sastra, dan film secara tidak sadar menelanjangi sebuah

336
Seminar Nasional Paramasastra 3 Bahasa, Sastra dan Pengajarannya dalam Paradigma Kekinian

kebenaran dari realitas yang disembunyikan, dan dari sana subjek harus dapat membuka diri
dalam subjektifitasnya, bukan hanya hanyut dalam panggilan the big Other, melainkan
menyerapnya dan menghancurkannya berasama tatanan simbolik dirinya sebagai sebuah
sumber cogito dari tindakan radikal otentis subjek. Hal ini tidak serta merta menjadi sebuah
permasalahan sepele, karena sekali lagi, seperti dalam kasus The White Tiger, pengarang yang
menggunakan contoh tindakan radikal sebagai alat untuk mengkritisi sebenarnya telah
mendapatkan sebuah kenikmatan ideologis tanpa harus terjebak dalam realitas yang
sebenarnya. Dengan menjadikan tindakan radikal sebagai objek kenikmatan ideologis, maka
karya sastra akan terkubur statusnya menjadi sebuah komoditas yang berupa tulisan dan para
pengarang sinis menguasai waralabanya yang berupa kritik sosial, ide filosofis, serta wacana
kritis dan memang inilah jaringan sinisme sosial; mereka mengetahui suatu gejala namun
mereka masih melakukannya dan justru menjadikan gejala tersebut sebagai suatu bagian dari
kenikmatan untuk mendapatkan pengalaman melakukannya.

DAFTAR PUSTAKA
Agamben, Giorgio. 1998. Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life (Terj. Daniel Heller-
Roazen). Stanford: Stanford University Press.
Adiga, Aravind. 2008. The White Tiger. London & New York: Free Press.
Badiou, Alain. 1999. Manifesto for Philosophy (Terj. Norman Madarasz). Albany: State
University of New York Press.
Badiou, Alain. 2005. Being and Event (Terj. Oliver Feltham). London: Continuum.
Carl J. Friedrich (ed.). 1949. Metaphysical Foundation of Morals, dalam Immanuel Kant's
Moral and Political Writings. New York: Random House.
DiMartino, Nick. 2008. Interview with Aravind Adiga, 6 Oktober 2008, diakses dari
http://www.blog1.bookstore.washington.edu/2008/10/06/nick-interviews-aravind-
adiga/, pada tanggal 28 Juni 2014 pukul 23.00.
Ghoshal, Somak. 2008. Booker for the Billion, The Telegraph (online), 23 Oktober 2008,
diakses dari
http://www.epaper.telegraphindia.com/TT/TT/2008/10/23/ArticleHtmls/23_10_2008_0
08_019.shtml, pada tanggal 25 Juni 2014 pukul 20.40.
Homer, Sean. 2005. Jacques Lacan. London & New York: Routledge.
Laclau, Ernesto & Chantal Mouffe. 2001 (1985). Hegemony and Socialist Strategy: Towards
a Radical Democratic Politics (edisi ke-2). London & New York: Verso.
Laplanche, J. & Pontalis, J. B. 1968 (1986). Fantasy and the Origins of Sexuality dalam
Formations of Fantasy (Diedit oleh V. Burgin, J. Donald & C. Kaplan). London:
Routledge.
Mattin, David. 2008. The White Tiger,by Aravind Adiga: A Chatty Murderer Exposes the
Underbelly of India's Tiger Economy in This Thrilling Debut Novel, The Independent,
11 Mei 2008, diakses dari http://www.independent.co.uk/arts-
entertainment/books/reviews/the-white-tiger-by-aravind-adiga-823472.html, pada
tanggal 25 Juni 2014 pukul 21.30.
McCarthy, Cormac. 2006. The Road. New York: Alfred A. Knopf.
Murray, Alex & Jessica Whyte. 2011. The Agamben Dictionary. Edinburgh: Edinburgh
University Press Ltd.
Žižek, Slavoj. 1989 (2009). The Sublime Object of Ideology. London & New York: Verso.
Žižek, Slavoj. 1992. Everything You Always Wanted to Know about Lacan (But Were Afraid
to Ask Hitchcock). London & New York: Verso.
Žižek, Slavoj. 1993. Tarrying with the Negative: Kant, Hegel and the Critique of Ideology.
Durham: Duke University Press.

337
Seminar Nasional Paramasastra 3 Bahasa, Sastra dan Pengajarannya dalam Paradigma Kekinian

Žižek, Slavoj (ed.). 1994. Mapping Ideology. London & New York: Verso.
Žižek, Slavoj. 1997 (2008). The Plague of Fantasies. London & New York: Verso.
Žižek, Slavoj. 1999. The Ticklish Subject: The Absent Center of Political Ontology. London:
Verso.

338

Anda mungkin juga menyukai