Pengampu
: Aquarini Priyatna, M.A., M.Hum., Ph.D.
Amaliatun Saleha, Ph.D.
Nama
: Nisa'ul Fithri Mardani Shihab
NPM
:180120150503
NEW CRITICISM
Pendahuluan
Kedatangan abad 20 menandai hadirnya sebuah kritik kesusastraan baru di Amerika
yang dikenal dengan istilah New Criticism. Istilah ini diambil dari sebuah buku berjudul The
New Criticism yang ditulis oleh seorang tokoh pendirinya yang bernama John Crowe Ransom
pada tahun 1941. New Criticism menjadi pedoman interpretasi yang mendominasi kegiatan
kritik sastra di Amerika sepanjang tahun 1950-an hingga 1960-an. Terlepas dari
popularitasnya yang memudar seiring kedatangan kritik-kritik baru pada tahun 1970-an,
beberapa asumsi dasar New Criticism telah menjadi pedoman penting dalam pendekatan
sastra di Amerika. Teknik dan metode yang dirancang oleh New Criticism tanpa disadari
tetap langgeng dipraktikkan oleh para akademisi yang berkecimpung di dalam kajian
kesusastraan dan mengganti pendekatan-pendekatan tradisional yang memang telah
diruntuhkan oleh kedatangan gerakan ini. New Criticism pun akhirnya memang dikenal tidak
hanya dari teori yang diusungnya, melainkan lebih kepada teori-teori terdahulu yang
dipatahkannya. Namun, demi merumuskan apa itu definisi New Criticism, Keith Booker di
dalam bukunya yang berjudul A Practical Introduction to Literary Theory and Criticism
(1996) menyatakan bahwa New Criticism adalah "a 'formalist' approach to literature" yang
menitikberatkan perhatiannya pada bahasa, bentuk, dan stuktur sebuah teks sastra dengan
menempatkan teks tersebut sebagai objek utama dari sebuah telaah kritis, bukan berfokus
pada konteks historis atau biografis karya tersebut (14).
Kemunculan Russian Formalism
Menarik fokus telaah sebuah karya sastra menjauh dari konteks historis dan biografis
menjadi kekhasan New Criticism, mengingat sebelum kemunculannya, metode historis dan
biografis begitu populer dalam kajian kesusastraan tidak hanya di Amerika, namun juga di
Rusia. Berkenaan dengan ini, Charless E. Bressler di dalam bukunya yang berjudul Literary
Criticism: An Introduction to Theory and Practice (2007) memaparkan dengan baik kondisi
1
yang melatarbelakangi kelahiran New Criticism, yakni didahului dengan munculnya sebuah
gerakan di Rusia yang dikenal dengan Russian Formalism. Di akhir abad ke-19, kritik sastra
tidak dianggap sebagai sebuah kegiatan akademik. Penelitian dalam ranah sastra seringnya
dikuasai
oleh
prinsip-prinsip
psikologis
dan
sosiohistoris
yang
bertujuan
untuk
memperlihatkan bahwa sebuah karya sastra merupakan sebuah produk politis dan sosial yang
terkemas di dalam suatu kerangka sejarah tertentu. Banyak pula para akademisi yang
berpendapat bahwa sebuah karya seharusnya dibaca dengan memperhitungkan konteks
biografis, yakni dengan melihat bahwa kehidupan pengarang serta kepentingan pribadinya
ditampilkan oleh karyanya. Namun, pada awal abad ke-20, metode interpretasi tradisional ini
diruntuhkan oleh kemunculan sekelompok akademisi Rusia yang memperkenalkan
serangkaian prinsip interpretasi yang dikenal dengan Russian Formalism.
Russian Formalism merupakan gerakan yang yang dibentuk oleh dua kelompok
akademisi Russia, yakni Moscow Linguitsik Circle (1915) yang didirikan di Moscow oleh
Roman Jakobson, Jan Mukarovsky, Peter Bogatyref, dan G. O. Vinokur, dan Society for the
Study of Poetic Language atau yang dikenal dengan OPOYAZ (1916) yang didirikan di
Petrograd oleh Victor Schlovsky, Boris Eichenbaum, dan Victor Vinogradov. Terlepas dari
sejumlah perbedaan mengenai prinsip-prinsip dalam interpretasi sastra, kedua kelompok ini
bersatu menolak banyak asumsi berkenaan analisis tekstual yang dipercaya di abad 19,
khususnya kepercayaan bahwa sebuah karya sastra merupakan sebuah ekspresi dari cara
pandang dan interpretasi pengarang terhadap dunia, dan menyatakan bahwa kritik psikologis
dan biografis tidaklah relevan dengan interpretasi sebuah karya sastra (Bressler, 2007: 51).
Para akademisi Rusia ini pun mendeklarasikan adanya "autonomy of literature", yakni
menganggap bahwa bahwa sastra seharusnya dikaji sebagai sebuah disiplin sendiri, bukan
semata sebuah mimbar untuk mendiskusikan gagasan religius, politis, sosiologis, atau
filosofis (51). Russian Formalism juga beranggapan bahwa telaah karya sastra yang tepat
adalah yang menitikberatkan pada bentuk (form) yang menjadi unsur penting sebuah teks,
seperti struktur, imaji, sintaks, rima, paradoks, dan lain sebagainya. Melalui himpunan unsurunsur ini, menurut Russian Formalism, maka sebuah karya sastra yang baik pada akhirnya
dapat melahirkan sebuah ciri utama dari sebuah kesastraan, yakni "defamiliarization". Istilah
yang diciptakan oleh Victor Shklovsky ini (terkadang diacu dengan estrangement) mengacu
kepada proses pembuatan hal yang akrab/familiar menjadi asing/strange (52) yakni dengan
menyuguhkan realitas dalam cara-cara yang baru yang baru sehingga dapat melihat dunia
dengan cara pandang yang segar (Booker, 1996: 15).
pustaka, kajian terhadap kehidupan dan masa hidup pengarang, dan segala informasi
ekstratekstual lain tidaklah diperlukan karena syair itu sendiri telah berisi segala informasi
yang diperlukan untuk menemukan maknanya. Meskipun New Criticism mengukuhkan
kekuatannya di tahun 1940-an, pandangan-pandangan ini berakar pada teori-teori yang
muncul di awal 1900-an. Dua tokoh yang menjadi dasar acuan New Criticism adalah T.S.
Eliot dan I.A. Richards.
Dari T.S. Eliot, New Criticism memperkenalkan istilah "objective correlative yang
kemudian menjadi jargon dalam kegiataan analisis karya sastra. Menurut Eliot, satu-satunya
cara untuk mengekspresikan emosi melalui seni adalah dengan menemukan sebuah objective
correlative, atau seperangkat objek, sebuah situasi, serangkaian peristiwa, atau sejumlah
reaksi yang dapat dengan efektif membangunkan respon emosional di dalam diri pembaca
yang diinginkan pengarang tanpa adanya pernyataan langsung mengenai emosi tersebut (58).
Dari I.A. Richards, New Criticism mengadopsi sebuah sistem yang mengakomodasi
penemuan makna sebuah karya sastra yang tenar dengan istilah "close reading". Dari Eliot,
Richards, dan para tokoh kritik lainnya, New Criticism pun menghimpun gagasan dan fokus
demi menawarkan pandangan tandingan dalam pendekatan karya satra.
Pandangan New Criticism
New Criticism memulai teorinya dengan menyatakan bahwa syair sebagai sebuah
objek memiliki status ontologis, yakni bahwasannya "it possesses its own being and exists
like any other object (59)". Lebih lanjut dijelaskan oleh Bressler bahwa menurut New Critics,
"a poems becomes an artifact, an objective, self-contained, autonomous entity with its own
structure" (59). New Critics berpandangan bahwa kajian yang berfokus pada konteks historis
sebuah karya sastra kerap meleset dari inti kesusastraan karena gagal mengenali aspek-aspek
dari bahasa sastra serta teknik yang ada di dalamnya, sehingga berimbas pada pengurangan
nilai sastra dengan menyamakan statusnya dengan teks-teks sosiologi dan sejarah (Booker,
1996: 14).
Berangkat dari asumsi dasar ini, New Criticism kemudian mengidentifikasi beberapa
kekeliruan yang telah sebelumnya mendominasi kegiatan analisis karya sastra. Yang pertama
adalah Intentional Fallacy. New Criticism berpendapat bahwa mempercayai makna sebuah
syair tidaklah lebih dari sebuah ekspresi dari pengalaman atau intensi pribadi pengarangnya
merupakan sebuah kekeliruan fundamental dari sebuah interpretasi (Bressler, 2007: 59).
Menurutnya, demi menjadikan sebuah syair sebagai objek kajian yang ontologis, maka
sebaiknya kegiatan telaah syair tersebut harus objektif pula. Dengan demikian, maka makna
4
sebuah syair tidak boleh disamakan dengan emosi atau intensi tersurat maupun tersirat
pengarang. Lebih tegas dijelaskan oleh Bressler bahwa menurut Wimsatt dan Monroe C.
Beardsley, tokoh-tokoh New Criticism yang menciptakan istilah Intentional Fallacy, The
design or intent of the author is neither available nor desirable as a standard of judging a
literary work (59).
Menentang pemujaan terhadap pengarang dalam interpretasi sebuah karya sastra, New
Critics menegaskan bahwasannya objek yang ditelaah dalam analisis karya sastra adalah
syair itu sendiri (atau karya sastra dalam semua bentuk lainnya), bukan pengarangnya.
Dogma Intentional Fallacy ini pun kemudian diperhalus oleh Brooks dan Warren di dalam
buku mereka yang terkenal, Understanding Poetry. Bressler menyatakan bahwa lewat buku
ini, kedua tokoh mengakui bahwa memahami asal muasal sebuah syair dapat memperdalam
apresiasi terhadapnya (59). Namun demikian, keduanya tetap menegaskan bahwa asal muasal
atau latar sejarah syair tersebut hendaklah tidak disalahartikan dengan pembacaan dekat dari
syair itu sendiri.
Penataan ulang hubungan antara pengarang dan karya ini dilakukan dengan juga
merujuk esai Eliot, "Tradition and the Individual Talent" (1919). New Critics berpendapat,
anggapan bahwa syair memiliki keterkaitan dengan pengarangnya tentulah tidak dapat
dipungkiri. Namun, bersandar pada Eliot, New Critics berargumen bahwa benak seorang
penyair bekerja dengan menyatukan pengalaman kepribadian pengarang (bukan sifat atau
pembawaan pengarang) ke dalam sebuah objek eksternal yang melahirkan sebuah ciptaan,
yakni syair tersebut. Jadi, syair ini merupakan pengalaman pengarang yang serupa dengan
pengalaman kita semua. Dengan menyusun struktur pengalaman-pengalaman ini, syair
tersebut mempersilakan kita untuk menelaahnya secara objektif.
Setelah Intentional Fallacy, kekeliruan selanjutnya yang dicermati New Critics adalah
Affective Fallacy, yaitu menyamakan nilai sebuah karya sastra dengan respon pembaca
(Booker, 1996: 14). New Critics berargumen bahwa respon emosional pembaca terhadap
karya sastra tidaklah penting dan tidak pula sama nilainya dengan interpretasi terhadap karya
tersebut (Bressler, 2007: 60). Kekeliruan ini menjadi penting untuk diluruskan karena akan
menyalahartikan apa itu sebuah syair (what a poem is)mengacu pada maknanyadengan
apa yang dilakukan oleh sebuah syair (what a poem does). Menurut New Critics, jika kita
mengukur standar kritik kita dari efek psikologis yang dihadirkan oleh sebuah syair, maka
kita akan terjebak di dalam impresionisme, atau lebih buruknya lagi, relativisme, yakni
mempercayai bahwa sebuah syair memiliki interpretasi valid yang tidak terkira (60).
Pematahan terhadap anggapan tentang pengarang dan respon pembaca ini tentunya
menuntun kepada pertanyaan, di mana kemudian kita dapat menemukan makna sebuah syair?
Tentunya menjawab pertanyaan ini, New Criticism akan bertolak dari titik yang
membedakannya dengan kritik lain, yakni bahwa syair merupakan sebuah entitas objektif
atau artifak. Maka dari itu, tak ubahnya seperti objek-objek lainnya, New Critics berpendapat
bahwa makna sebuah syair mestilah bersemayam di dalam struktur karya itu sendiri dan akan
terkuak dengan cara menganalisisnya secara ilmiah.
Asumsi selanjutnya mengenai kegiatan telaah karya sastra yang dianggap keliru di
dalam New Criticism ialah Heresy of Paraphrase. Istilah yang ditemukan oleh Cleant Brooks
ini mengindikasikan bahwa adalah mustahil untuk menangkap esensi sebuah karya sastra
semata dengan meringkas isinya (Booker, 1996: 14). Sama seperti yang disoroti di dalam dua
kekeliruan yang telah dibahas di atas, New Critics mencermati bahwasannya tidak terbayang
dapat mempercayai bahwa interpretasi sebuah karya sastra sama nilainya dengan versi
parafrasa dari karya tersebut (Bressler, 2007: 61). New Critics menetapkan bahwasannya
sebuah syair tidaklah sesederhana pernyataan benar atau salah, melainkan "a bundle of
harmonized tensions and resolved stresses" (61). Lebih lanjut Bressler menguraikan
pendirian New Crticism bahwa tidak ada parafrasa sederhana yang dapat menyamai makna
sebuah syair karena syair itu sendiri bertahan dari segala pernyataan prosa yang berusaha
untuk mengkapsulasi maknanya (62). Parafrasa dapat membantu pembaca memiliki
pemahaman awal terhadap sebuah syair, namun pernyataan prosa tersebut harus dianggap
sebagai sebuah hipotesis sementara yang bisa jadi, atau mungkin juga tidak, menuntun
kepada pemahaman sejati dari makna syair tersebut.
Ketiga kekeliruan dari sudut pandang New Criticism ini, yakni Intentional Fallacy,
Affective Fallacey, dan Heresy of Paraphrase, membuat gerakan ini lebih dikenal akan apa
yang ditentang, bukan apa yang ditawarkan. Namun demikian, penentangan yang dirangkum
ke dalam ketiga hal ini menuntun kepada pandangan-pandangan yang ditawarkan New
Criticism sebagai gantinya. New Critics beranggapan bahwa ciri-ciri utama dari sebuah syair
adalah adanya coherence (keselarasan antara bentuk dan isi) atau interrelatedness
(kesalingterkaitan) di dalam strukturnya. Bressler menjelaskan hal ini dengan rinci di dalam
bukunya. Menurut New Critics, seluruh bagian di dalam sebuah syair pasti saling terkait,
dengan tiap-tiap bagiannya merefleksikan dan membantu menyokong gagasan sentral dari
syair tersebut. Inilah yang dimaksud dengan organic unity (kesatuan organik) dari sebuah
syair. Kesatuan organik ini merukunkan gagasan-gagasan, perasaan-perasaan, dan sikap-sikap
yang berselisih di dalam syair sehingga menghasilkan keesaan (oneness) syair (Bressler,
6
2007: 61). Sebuah puisi yang superior, menurut New Critcism, meraih keesaan itu
menggunakan paradoks, ironi, dan ambiguitas. Ketiga unsur ini akan menuntun kepada
tensions, atau keseimbangan yang lahir dari elemen-elemen yang berlawanan di dalam
sebuah karya sastra atau seni. Karena tensions merupakan bagian dari kehidupan setiap
orang, puisi yang superior menunjukkan pengalaman-pengalaman manusia seraya
memperlihatkan bagaimana semua tensions itu terelai di dalam sebuah syair hingga meraih
kesatuan organiknya (61).
Lebih lanjut Bressler menjelaskan, karena karakteristik utama dari sebuah syair
adalah keesannya, New Critics percaya bahwa bentuk dan konten sebuah syair tidak dapat
terpisahkan. Karena seluruh elemen dari sebuah syair (baik struktur maupun estetika) bekerja
sama untuk mencapai efek atau bentuknya, mustahil mendiskusikan keseluruhan makna
sebuah syair dengan mengisolasinya atau memisahkan bentuk dan isinya. Tugas seorang
kritisi, menurut New Critics, adalah memastikan struktur sebuah syair, melihat bagaimana itu
beroperasi untuk menggapai kesatuannya, dan menemukan bagaimana makna berevolusi
langsung dari dalam syair itu sendiri. Demi mencapai makna sebenarnya dari sebuah karya
sastra, New Critics pun mengiringi bantahan, pandangan, serta pendiriannya dengan metode
tandingan.
Metode New Criticism
`
Metodologi yang disusun New Critics dipaparkan dengan sangat rinci oleh Bressler di
dalam bukunya. Bagi New Critics, pencarian makna di dalam sebuah syair, yang berarti lahir
dari paduan isi dan bentuknya, dimulai dengan membaca sebuah karya sastra berkali-kali
sembari memperhatikan dengan seksama judul syair (jika ada) dan mencari hubungannya
dengan teks. Selanjutnya, memperhatikan diksi atau pilihan kata syair tersebut. Menurut New
Critics, bahasa sastra berbeda dengan bahasa sehari-sehari dan bahasa ilmiah. Salah satu
contoh perbedaanya, jika bahasa ilmiah memiliki ketepatan dalam istilah, kata-kata di dalam
sebuah puisi memiliki lebih dari satu makna karena memiliki makna denotatif (makna kamus)
dan konotatif (makna tersirat). Ini menuntun kepada langkah selanjutnya, yakni
mempertimbangkan denotasi, konotasi, dan akar etimologis semua kata di dalam teks.
Selanjutnya, mengamati apakah ada alusi di dalam teks. Jika ada, maka hendaklah alusi
tersebut ditelusuri kepada teks atau sumber primernya. Selanjutnya, menganalisis seluruh
imaji, simbol, dan majas di dalam teks dan hubungan yang terkandung baik intra- maupun
antar unsur-unsur ini. Pengamatan dilakukan pula kepada pola-pola struktur teks seperti
konstruksi tata bahasa, pola nada, dan pola sintaktis dari kata-kata, frasa-frasa, atau kalimat7
percaya bahwa sebuah teks (karena sifat ontologisnya) memiliki satu, dan hanya satusatunya, interpretasi yang benar.
Penutup
Kemunculan New Criticism beserta semua pembantahan yang dilakukan maupun
teknik, metode, prinsip, atau teori yang ditawarkan sudah barang tentu tidak serta-merta
mendapat persetujuan dari kritik-kritik lain, terutama pihak-pihak yang mengagungkan
informasi ekstratekstual seperti aspek pengarang, psikologis, biografis, historis, sosial dan
politik di dalam pendekatan karya sastra. Beberapa pihak juga mengatakan bahwa metode
yang disusun New Criticism hanya dapat diterapkan kepada puisi saja, tidak berlaku untuk
bentuk karya sastra lainnya. Ini ditanggapi New Critics dengan menunjukkan bahwa setelah
diterbitkannya buku Understanding Poetry (1938) oleh Brooks dan Warren, metode New
Criticism berkembang untuk mengakomodasi bentuk karya sastra lainnya dengan
diluncurkannya buku Understnding Fiction (1943) oleh pengarang yang sama dan
Understanding Drama (1948) oleh Brooks dan Robert B. Heilman.
Popularitas New Criticism juga kemudian memudar di tahun 1970-an seiring
berdatangan teori-teori lain yang turut meramaikan kritik sastra kontemporer. Namun
demikian, Booker menyatakan bahwa asumsi-asumsi dasar tertentu milik New Criticism telah
menjadi pokok banyak pendekatan sastra, di Amerika khususnya, demikian lamanya sehingga
asumsi-asumsi ini telah menaturalisasi dan bahkan dianggap sebagai common sense (1996:
13). Pandangan ini didukung oleh Bressler yang menyatakan bahwa pengaruh New Criticism
dalam analisis sastra di abad ke-20 dan 21 tetaplah langgeng. Terminologi serta teknik yang
disusun oleh New Critics untuk menelaah karya sastra telah mempengaruhi secara langsung
maupun tidak langsung kritik sastra di seluruh sekolah modern (66). Bagaimanapun, New
Criticicm telah memberikan sumbangsih besar lewat teknik pembacaan dekatnya (close
reading) yang manfaat serta penerapannya terus dirasakan di hampir semua kegiatan
akademik sastra hingga dewasa ini.
Daftar Pustaka
Booker, M. Keith, (1996), A Practical Introduction to Literary Theory and Criticism,
Longman Publishers.
Bressler, C. E. (2007). Literary Criticism: An Introduction to Theory and Practice (4th
edition ed.). (L. Jewell, Ed.) Upper Saddle River, New Jersey: Pierson Education, Inc.