Kebalikan dari keburaman adalah kesan suasana cerah adalah kesan yang
membangkitkan keceriaan dan rasa riang serta nyaman. Kesan suasana cerah muncul karena
bunyi-bunyi yang dirangkaikan berasal dari bunyi vokal serta konsonan bersuara. Kesan ini
juga dapat dihadirkan dengan memanfaatkan bunyi sengau yang dirangkai sedemikian rupa.
Bunyi sengau tersebut ditata sehingga menimbulkan kesan merdu dan enak didengar.
Penggunaan unsur bunyi yang dilakuakan dengan cara demikian, menciptakan bunyibunyi yang ringan dan lembut, mesra dan bahagia. Contohnya pada sajak Episode (Rendra),
pembaca digiring serta pada suasana keriangan sajak. Pemanfaatan unsur bunyi yang
sedemikian itu dikenal dengan istilah efoni (euphony).
3. Onomatope
Salah satu pemanfaatan unsur bunyi yang cukup dominan dalam sajak adalah
onomatope. Istilah onomatope menurut kamus istilah sastra (Sudjiman, 1984: 54) adalah
penggunaan kata yang mirip dengan bunyi atau suara yang dihasilkan oleh barang, gerak,
atau orang.
Penggunaan tiruan bunyi dimaksudkan untuk mengkonkretkan suasana menjadi lebih
lugas. Misalnya peniruan bunyi itu dapat dilakukan atau dihasilkan oleh barang, gemercik
air pencuran, desau angin, derap langkah kuda adalah onomatope. Penggunaan tiruan
bunyi seperti hal-hal di atas sering ditemukan didalam sajak.
4. Aliterasi
Pemanfaatan dengan cara mengulang pemakaian bunyi. Pengulangan bunyi itu berupa
pengulangan bunyi yang sama. Pengulangan bunyi konsonan yang sama disebut aliterasi.
Pengulangan bunyi yang dapat dikategorikan pada bunyi aliterasi adalah pengulangan bunyi
secara dominan. Misalnya sajak Sepisupi Sutardji Calzoum Bachri, dapat dipahami bahwa
aliterasi yang digunakan pada sajak tersebut adalah persamaan serta perulangan bunyi /s/
pada awal kata setiap barisnya.
5. Asonansi
Asonansi adalah pemanfaatan unsur bunyi secara berulang-ulang dalam satu baris
sajak. Halnya sama dengan alitelerasi hanya pengulangan disni merupakan pengulangan
bunyi-bunyi vokal. Efek yang di harapkan muncul dari pemanfaatan bunyi vokal secara
berulang ini adalah kemerduan bunyi. Sebagaimana aliterasi, asonansi pun tidak semua
pengulangan bunyi vokal dapat disebut asonansi. Pengulangan bunyi yang sama secara
dominan (di dalam sajak) yang dapat di kategorikan sebagai asonansi.
Asonansi ini contohnya terdapat pada sajak Chairil Anwar yang berjudul Cintaku Jauh
Di Pulau, menggunakan unsur asonansi untuk menciptakan kemerduan bunyi, misalnya
asonansi a dan u pada cintaku jauh di pulau kemudian juga dimanfaatkan asonansi a pada
perahu melancar, bulan memancar.
Contoh:
Kini kami bertikai pangkai
Di antara dua mana mutiara
Jauhari ahli lalai menilai
Lengah langsung melewat abad
6. Anafora dan Epifora
Anafora dan epifora cara menggunakan unsur bunyi yang berulang-ulang dalam bentuk
kata atau bentukan linguistik pada awal atau akhir tiap-tiap larik atau baris sajak.
Pengulangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada awal larik disebut anafora, sedangkan
pengulangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada akhir larik-larik sajak disebut epifora.
Pengulangan kata yang sama menimbulkan pengulangan bunyi yang sama beberapa
kali, dapat menimbulkan kesan sugestif pada sebuah sajak. Kesan sugestif ini diharapkan
dapat membujuk pembaca untuk melebur dengan sajak yang sedang dinikmati. Di dalam
perkembangan kesusastraan Indonesia, para penyair lebih cenderung memanfaatkan anafora
di banding epifora.
Untuk memanfaatkan unsur bunyi ini diperlukan kecermatan serta keahlian penyair,
sehingga bunyi yang dihasilkan serta merta menggoda telinga karena bunyi yang menarik
untuk di simak lebih jauh, unsur bunyi diramu dan ditata oleh penyair di dalam sajak.
Kepuitisan diharapkan dapat menimbulkan keharuan. Karena, keharuan pembacalah yang
dapat mengantarkan pembaca menemukan sebuah dunia, dunia sebuah sajak. Dunia yang
dapat memberikan kepuasan dan kenikmatan batin bagi para penikmat sajak
KUMPULAN PUISI
STRUTUR PUISI ( CONTOH ANALISIS )
Puisi adalah bentuk kesusastraan yang paling tua. Puisi termasuk karya sastra,
dan semua karya sastra bersifat imajinatif. Bahasa sastra bersifat konotatif
karena banyak digunakan makna kias dan makna lambang. Dibandingkan
dengan bentuk karya sastra yang lain, puisi, lebih bersifat konotatif. Bahasanya
lebih banyak mengandung kemungkinan makna. Hal ini disebabkan terjadinya
pengonsentrasian atau pemadatan segenap kekuatan bahasa dalam puisi.
Apabila dilihat dari segi bentuk penulisannya, puisi memiliki suatu tata wajah
atau penampilan khusus di atas kertas, yang biasa disebut tipografi.
Pada dasarnya untuk memberikan pengertian puisi secara memuaskan cukup
sulit. Adapun pengertian puisi menurut Waluyo (1987:25) beberapa yang dapat
dirangkum dalam satu kalimat dapat dipaparkan sebagai berikut.
a.
b.
Dalam penyusunannya, unsur-unsur bahasa itu dirapikan, diperbagus,
diatur sebaik-baiknya dengan memperhatikan irama dan bunyi;
c.
Puisi adalah ungkapan pikiran dan perasaan penyair yang berdasarkan
pengalaman jiwa dan bersifat imajinatif;
d.
Bahasa yang dipergunakan bersifat konotatif; hal ini ditandai dengan kata
konkret lewat pengimajian, pelambangan, dan pengiasan, atau dengan kata lain
dengan kata konkret dan bahasa figuratif;
e.
Bentuk fisik dan bentuk batin puisi merupakan kesatuan yang bulat dan
utuh, tidak dapat dipisahkan dan merupakan kesatuan yang padu. Bentuk fisik
dan bentuk batin itu dapat ditelaah unsur-unsurnya hanya dalam kaitannya
dengan keseluruhan. Unsur-unsur itu hanyalah berarti dalam totalitasnya dengan
keseluruhannya.
Selain itu, unsur-unsur puisi juga melakukan regulasi diri artinya mempunyai
saling keterkaitan antara unsur yang satu dengan yang lain. Jalinan unsur-unsur
yang terdapat dalam struktur fisik dalam membentuk kesatuan dan keutuhan
puisi menyebabkan keseluruhan puisi lebih bermakna dan lebih lengkap dari
sekadar kumpulan unsur-unsur. Puisi itu mengekspresikan pemikiran yang
membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam
susunan yang berirama, merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman
manusia yang penting.
Dengan demikan, setiap unsur yang terdapat dalam puisi tersebut memiliki
saling hubunga antara yang satu dengan yang lain untuk terbentuknya suatu
kesatuan makna dari sebuah puisi.
A.
Tema Puisi
Sebelum membaca puisi, peneliti harus menyadari bahwa makna puisi harus
ditafsirkan dan bukan makna secara langsung yang dapat diketahui. Djojosuroto
menambahkan untuk langkah selanjutnya dapat dilakukan dengan menafsirkan
konteks dalam linguistik berupa alat-alat linguistik yang secara eksplisit
digunakan dalam ujaran (2005:24). Hal ini dapat dilihat dari penggunaan kata
dan hubungan antar kalimat dalam tiap baris puisi tersebut. Jika hal demikian
dilakukan, akan diperoleh penafsiran yang tidak berbeda dengan maksud
penyairnya. Sehingga pokok pikiran atau tema pada puisi dapat diketahui.
Setiap wacana tentu memiliki tema atau hal pokok yang menjadi topik
pembicaraan, begitu pula pada wacana sastra khususnya pada puisi juga
memiliki tema di dalamnya. Tema puisi adalah gagasan pokok yang dikemukakan
penyair lewat puisinya (Djojosuroto, 2005:24). Tema puisi biasanya
mengungkapkan persoalan manusia yang bersifat hakiki, seperti: cinta kasih,
ketakutan, kebahagiaan, kedukaan, kesengsaraan hidup, keadilan, kebenaran,
ketuhanan, kritik sosial, dan protes. Tema dapat dijabarkan menjadi subtema
atau dapat dikatakan pokok pikiran.
B.
Nada Puisi
Sebuah puisi dapat menimbulkan suatu nada tertentu dari pembawaan sikap
penyairnya. Nada atau sikap pada puisi sering dikaitkan dengan suasana. Jika
nada berarti sikap penyair terhadap pokok persoalan (feeling) dan sikap penyair
terhadap pembaca (tone), maka suasana berarti keadaan perasaan yang
ditimbulkan oleh pengungkapan nada dan lingkungan yang dapat ditangkap oleh
panca indera. Nada berhubungan dengan tema dan pembaca. Nada yang
berhubungan dengan tema menunjukkan sikap penyair terhadap objek yang
digarapnya. Misalnya, penyair menggarap objek seorang perampok, penyair
dapat bersikap simpati, benci, antipati, terharu, dan sebagainya. Nada yang
berhubungan dengan pembaca, misalnya nada menggurui, nada sinis, nada
menghasut, nada santai, nada filosofis, dan lain-lainnya.
Penghayatan pembaca akan nada yang dikemukakan penyair harus sesuai.
Hanya dengan cara demikian tafsiran atas makna sebuah puisi dapat mendekati
ketepatan yang dikehendaki penyair. Cara menafsirkan puisi diantaranya ialah
dengan meninjau bahasa yang digunakan oleh penyair, yaitu menentukan
konteks puisi berdasarkan hubungan kohesi (hubungan struktur antar kalimat)
dan koherensi (hubungan makna antar kalimat). Makna puisi tidak hanya
ditentukan oleh kata dan kalimat secara lepas, akan tetapi ditentukan oleh
hubungan antara kalimat yang satu dengan yang lain baik kalimat sebelumnya
dan sesudahnya (Djojosuroto, 2005:26).
C.
Suasana Puisi
Menurut Pradopo (2007:22-37) bunyi dalam sebuah puisi bersifat estetik, unsur
puisi yang bertugas untuk memberikan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi
tidak hanya berfungsi sebagai hiasan dalam sebuah puisi, juga mempunyai
peranan yang lebih penting, yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan
rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas, atau menimbulkan suasana
yang khusus. Selain itu, bunyi pada puisi juga digunakan sebagai orkestrasi
untuk menimbulkan bunyi musik. Bunyi konsonan dan bunyi vokal disusun begitu
rupa sehingga menimbulkan bunyi yang merdu dan berirama seperti bunyi
musik, dari bunyi musik murni ini dapatlah mengalir perasaan, imaji-imaji dalam
pikiran, atau pengalaman-pengalaman jiwa pendengarnya (pembacanya).
SENANDUNG NATAL
Bagi umat Kristen, malam Natal adalah malam bahagia untuk merayakan
kelahiran Yesus Kristus Sang Penebus. Penyair mengajak kekasihnya merayakan
malam Natal dengan ziarah ke gereja suci. Kerinduan akan kehadiran Sang
Penebus begitu dalam menikam pengembaraan di dalam perlawatan. Hal ini
tampak pada bunyi-bunyi yang dimunculkan penyair dengan bunyi vokal i pada
kata ziarah dan suci, kesyahduan rindu yang dalam digambarkan dengan bunyi
vokal a berkombinasi dengan bunyi konsonan m dan n pada kata pengembaraan
dan perlawatan. Di setiap malam Natal akan terdengar lagu malam sunyi. Di
malam yang gelap dini / digetar nyanyi itu, penyair mengajak kekasihnya
membuka diri agar Kristus masuk ke hati sanubari manusia.
Selain bunyi-bunyi merdu, dalam sebuah puisi juga dapat ditemukan kombinasikombinasi bunyi yang tidak merdu, parau disebut kakafoni (cacophony). Seperti
pada sajak Hamid Jabbar berikut ini.
AROMA MAUT
Puisi di atas menceritakan bahwa jarak antara hidup dan mati dilambangkan
dengan barangkali satu denyut lepas. Penyair membayangkan kematian itu
begitu pasti kedatangannya, tiap manusia yang hidup di dunia suatu saat akan
menghadapi kematian. Perpaduan bunyi yang terdapat pada larik-larik dalam
puisi Aroma Maut lebih dominan memperdengarkan bunyi-bunyi konsonan tak
bersuara yang mengesankan bunyi-bunyi kakafoni, seperti adanya bunyi p, s, t,
dan k. Sehingga sebagian besar bunyi-bunyi yang terdengar begitu parau dan
sangat tidak merdu. Hal ini sangat mendukung tema puisi yang menggambarkan
kematian sebagai suatu yang tidak menyenangkan untuk sebagian besar orang
yang hidup di dunia.
Begitulah, unsur bunyi musik dapat untuk memperdalam arti, memperjelas
tanggapan, dan memperdalam perasaan. Menurut Slametmuljana dalam puisi
bunyi kata itu di samping tugasnya yang pertama sebagai simbol arti dan juga
untuk orkestrasi, digunakan juga sebagai peniru bunyi atau onomatope, lambang
suara (klanksymboliek), dan kiasan suara (klankmetaphoor) (Pradopo, 2007:32).
Bunyi-bunyi juga mempunyai suatu simbolik sehingga dengan bunyi-bunyi dapat
diciptakan suasana, perasaan, dan kesan tertentu (Luxemburg, 1992:193).
Asosiasi pribadi turut memainkan peranan dalam penafsiran. Sehingga terjadi
onomatope bila suatu bunyi tertentu ditiru, seperti ngiau, ngeong, dorr,
crott, dan lain sebagainya. Jadi Wellek dan Warren (1995:200) menyimpulkan
bahwa onomatope yakni kelompok kata yang agak menyimpang dari sistem
bunyi bahasa pada umumnya. Onomatope disebut juga dengan peniruan bunyi.
Peniru bunyi dalam puisi kebanyakan hanya memberikan saran tentang suara
sebenarnya. Onomatope menimbulkan tanggapan yang jelas dari kata-kata yang
tidak menunjukkan adanya hubungan dengan hal yang ditunjuk, sebab dalam
2.
Kata
Satuan arti yang membentuk struktur formal lingustik karya sastra adalah kata.
Untuk mencapai nilai seni pada suatu karya sastra maka pengarang dapat
menggunakan berbagai cara, terutama alatnya yang terpenting adalah kata,
karena kata dapat menjelmakan pengalaman jiwa si pengarang dalam karya
yang dihasilkannya. Menurut Aminuddin (1995:201) gaya pemilihan kata atau
kata-kata dalam karya sastra adalah cara penggunaan kata atau kata-kata dalam
teks sastra sebagai alat untuk menyampaikan gagasan dan nilai estetis tertentu.
Jadi, kata memiliki arti dan efek tertentu yang akan ditimbulkannya. Di antaranya
adalah arti denotatif dan konotatif, pemilihan kata (diksi), bahasa kiasan dan
gaya bahasa, citraan, dan hal-hal yang berhubungan dengan struktur kata-kata
atau kalimat puisi, yang semuanya dipergunakan penyair untuk melahirkan
pengalaman jiwa dalam sajak-sajaknya. Kata-kata yang telah digunakan oleh
penyair ini disebut kata berjiwa, yang tidak sama artinya dengan kata dalam
kamus, yang harus melalui proses pengolahan. Dalam kata berjiwa ini sudah
dimasukkan perasaan-perasaan penyair, sikapnya terhadap sesuatu. Kata
berjiwa sudah diberi suasana tertentu.
Kata-kata dalam tiap sajak merupakan cerminan kepribadian penyair, yaitu suatu
bentuk pengekspresiannya yang bersifat pribadi atau individual. Oleh karena itu,
Pemilihan Kata
Menurut Pradopo (2007:54-58) pemilihan kata dalam sajak disebut diksi. Alat
untuk menyampaikan perasaan dan pikiran sastrawan adalah bahasa. Baik
tidaknya tergantung kecakapan sastrawan dalam menggunakan kata-kata.
Kehalusan perasaan sastrawan menggunakan kata-kata sangat diperlukan.
Selain itu, perbedaan arti dan rasa sekecil-kecilnya pun harus dikuasai
pemakaianya. Seorang penyair dapat menggunakan kata-kata kuna yang sudah
mati, tetapi harus dapat menghidupkannya kembali. Oleh karena itu, penyair
sangat cermat dalam memilih kata-kata sebab kata-kata yang ditulis harus
dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan
kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam keseluruhan
puisi (Waluyo, 1987:72). Sejalan dengan Aminuddin (1995:201) yang
menyatakan bahwa gaya pemilihan kata-kata dalam karya sastra adalah cara
penggunaan kata-kata dalam teks sastra sebagai alat untuk menyampaikan
gagasan dan nilai estetik tertentu. Jadi, pemilihan kata yang tepat harus
dipertimbangkan urutan katanya dan kekuatan atau daya magis dari kata-kata
tersebut agar selain makna dalam sebuah puisi, aspek estetis juga perlu
diperhatikan.
Penyair dalam puisinya terkadang menggunakan kata-kata yang berasal dari
bahasa daerah. Penggunaan kata daerah ini secara estetis harusdapat
dipertanggung-jawabkan, artinya harus dapat menimbulkan efek puitis, atau
dimungkinkan dalam bahasa Indonesia kata-kata itu tidak ada (Pradopo,
2007:52-53). Selain itu penyair juga biasa menggunakan istilah-istilah atau katakata dalam bahasa asing atau perbandingan asing, serta kalimat-kalimat bahasa
asing. Penggunaan kata-kata dalam bahasa asing ini pun harus dapat memberi
efek puitis. Dalam hal ini, penyair bermaksud agar karyanya dapat dimengerti
oleh kalangan luas dan memberi efek universal. Oleh sebab itu, penggunaan
atau perbandingan itu harus sudah dikenal umum, atau sudah populer. Misalnya
pada sajak Rita Oetoro berikut ini.
RAYUAN SERAYU
Kembang glepang suatu istilah yang digunakan orang Jawa untuk penataan
rambut gadis-gadis Jawa atau pun Bali yang berbentuk kuncir dan ditambah
dengan hiasan berupa bunga melati pada celah-celah pangkal kunciran
rambutnya, gadis yang menggunakan kunciran seperti itu akan terlihat cantik
bagi yang memandangnya. Jadi dalam puisi Rayuan Serayu menggambarkan
suatu kenangan indah yang begitu banyak lika-liku namun tetap terasa manis
untuk selalu diingat, selayaknya melihat gadis yang berambut kembang
glepang. Oleh karena itu, penggunaan kata-kata bahasa sehari-hari dapat
memberi efek gaya yang realistis, sedangkan penggunaan kata-kata yang indah
dapat memberi efek romantis.
b.
TANJUNG SANGIANG
Angin laut terasa dinginnya sampai menembus ke hati. Angin laut adalah udara
yang bergerak dari darat ke laut dan terjadi pada malam hari. Angin itu
menyejukkan bahkan bisa terasa sangat sejuk hingga membuat orang
kedinginan sampai kulit terasa kering dan kelu. Apa lagi angin yang berhembus
pada malam hari, pasti akan terasa sangat dingin saat udara itu menyentuh
kulit. Jika angin yang dingin itu berhembus sampai menembus ke hati pasti akan
terasa sangat dingin melebihi saat menyentuh kulit saja, mungkin seperti mati
rasa.
Bahasa sastra itu penuh arti ganda (ambiguitas), homonim, kategori-kategori
arbitraire (mana suka) dan terkesan tidak masuk akal apabila dilihat dari
kepaduan kata-kata yang digunakan dalam puisi itu. Selain itu bahasa sastra
umumnya dan puisi khususnya juga menyerap peristiwa-peristiwa sejarah,
ingatan-ingatan, dan asosiasi-asosiasi. Bahasa sastra jauh dari hanya
menerangkan saja, tapi juga cenderung menyembunyikan makna. Bahasa sastra
mempunyai segi ekspresifnya, membawa nada dan sikap si pembicara atau
penulis. Jadi, dalam membaca sajak selain harus dipahami secara leksikonitas,
juga harus diperhatikan dan dipahami makna tambahan atau konotasinya yang
ditimbulkan oleh asosiasi-asosiasi arti denotatifnya.
3. Bahasa Kiasan
Unsur kepuitisan yang lain, untuk mendapatkan kepuitisan ialah bahasa kiasan
(figurative language). Menurut Aminuddin (1995:227) kajian retorik memilah
figurative language (bahasa figuratif) menjadi dua jenis, yakni (1) figure of
thought: bahasa figuratif yang terkait dengan cara pengolahan dan
pembayangan gagasan, dan (2) rhetorical figure: bahasa figuratif yang terkait
dengan cara penataan dan pengurutan kata-kata dalam konstruksi kalimat.
Pemakaian kiasan oleh penyair dalam sebuah puisi pada dasarnya bertujuan
agar dapat membantu dan merangsang imajinasi atau daya bayang pembaca
untuk melukiskan apa yang sedang dibacanya itu dalam angan-angan sendiri
(Surana, 2001:90). Adanya bahasa kiasan ini menyebabkan sajak menjadi
menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan
kejelasan gambaran angan. Bahasa kiasan ini mengiaskan atau menyamakan
sesuatu hal dengan hal lain agar gambaran jelas, lebih menarik, dan hidup.
Bahasa kiasan ada bermacam-macam, namun meskipun bermacam-macam,
mempunyai sesuatu hal (sifat) yang umum, yaitu bahasa-bahasa kiasan tersebut
mengaitkan sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan sesuatu yang lain
(Pradopo, 2007:62-79). Jenis-jenis bahasa kiasan yang termasuk bahasa figuratif
tersebut adalah perbandingan (simile), metafora, perumpamaan epos (epic
simile), personifikasi, metonimi, sinekdoki (synecdoche), dan allegori.
a)
Perumpamaan (Simile)
Perumpamaan adalah kiasan yang tidak langsung atau yang disebut dengan
perbandingan (Waluyo, 1987:84). Perumpamaan ini dapat dikatakan bahasa
kiasan yang paling sederhana dan paling banyak digunakan dalam sajak. Benda
yang dikiaskan kedua-duanya ada bersama pengiasnya dan digunakan kata-kata
Jalanan waktu diumpamakan serupa atau sama dengan jalanan alam yang terus
melingkar dan membelit layaknya hati serta lincah seperti musim yang terus
berganti sesuai dengan perubahan iklim udara.
b)
Metafora
Metafora adalah kiasan langsung, artinya benda yang dikiaskan itu tidak
disebutkan (Waluyo, 1987:84). Metafora itu melihat sesuatu dengan perantaraan
atau diungkapkan dengan benda yang lain, contohnya: tangan kanan (orang
kepercayaan), raja siang (matahari), putri malam (bulan), bunga bagsa
(pahlawan), dan lain sebagainya). Jadi, metafora ini menyatakan sesuatu sebagai
hal yang sama atau seharga dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama.
Misalnya dalam sajaknya yang berjudul Aku dalam kumpulan puisinya Kerikil
Tajam, Chairil Anwar menyamakan dirinya dengan binatang jalang yang bebas,
tidak memiliki ikatan, dan tak dibatasi oleh apa pun, dalam hal ini Chairil Anwar
dalam berkarya tidak memerhatikan cara atau aturan lama, seperti berikut.
Metafora terdiri dari dua term atau dua bagian, yaitu term pokok (principal term)
dan term kedua (secondary term) (Pradopo, 2007:66-67). Term pokok disebut
juga tenor, term kedua disebut juga vehicle. Term pokok atau tenor
menyebutkan hal yang dibandingkan, sedang term kedua atau vehicle adalah hal
yang membandingkan. Misalnya Aku ini binatang jalang: Aku adalah term
pokok, sedang binatang jalang term kedua atau vehicle. Namun seringkali
penyair langsung menyebutkan term kedua tanpa menyebutkan term pokok atau
tenor.
c)
Perumpamaan Epos
DONGENG MARSINAH
.
Marsinah itu arloji sejati,
tak telah berdetak
memintal kefanaan
yang abadi:
kami ini tak banyak kehendak,
sekedar hidup layak,
sebutir nasi.
(Ayat-ayat Api, 2000)
Allegori
Allegori ialah cerita kiasan ataupun lukisan kiasan (Pradopo, 2007:71). Cerita
kiasan atau lukisan kiasan ini mengiaskan hal lain atau kejadian lain. Allegori ini
banyak terdapat dalam sajak-sajak Pujangga Baru. Namun pada waktu sekarang
BUAT H. B. JASSIN
e)
Metonimia
Metonimia adalah bahasa kias yang mempergunakan sebuah kata atau kalimat
untuk menyatakan sesuatu, karena mempunyai pertautan yang dekat dan
relasional (Djojosuroto, 2005:19). Dalam pola-pola kontiguitas tiada relasi
kesamaan, melainkan relasi kebertautan unsur, atau pengertian yang satu
dipergunakan sebagai pengganti pengertian lain yang berdekatan. Kaitan-kaitan
tersebut berdasarkan berbagai motivasi, misalnya karena ada hubungan kausal,
logika, hubungan waktu atau ruang. Hal ini diperjelas oleh Hartoko (1992:189)
JARING-JARING
Kali ini
Nelayan menebar jaring di laut
Menangkap ikan
Kali lain
Tuhan menebar jaring maut
Menangkap insan.
(Biarkan Angin Itu, 1996; Apresiasi Puisi, 2005)
Personifikasi
PULANG MALAM
DI DEPAN PINTU
g)
Sinekdoki (synecdoche)
gaya dan cara sendiri dalam melahirkan pikiran, namun ada sekumpulan bentuk
atau beberapa macam bentuk yang biasa digunakan.
Sarana retorika itu bermacam-macam, namun setiap periode atau angkatan
sastra itu mempunyai jenis-jenis sarana retorika yang digemari, bahkan setiap
penyair itu mempunyai kekhususan dalam menggunakan dan memilih sarana
retorika dalam sajak-sajaknya. Meskipun begitu, tetapi untuk puisi-puisi modern
atau pun puisi populer juga masih dapat ditemukan berbagai gaya bahasa dalam
tiap lariknya.
Beberapa sarana retorika yang biasa terdapat dalam suatu sajak adalah
pleonasme, enumerasi, pararelisme, retisense, hiperbola, dan paradoks. Berikut
penjelasannya:
Pleonasme (keterangan berulang) ialah sarana retorika yang sepintas lalu seperti
tautologi, tetapi kata yang kedua sebenarnya telah tersimpul dalam kata yang
pertama (Pradopo, 2007:95). Dengan cara demikian, sifat atau hal yang
dimaksudkan itu lebih terang bagi pembaca atau pendengar. Misalnya: naik
meninggi, turun melembah jauh ke bawah, tinggi membukit, jatuh ke bawah, raih
menjulang menggapai bukit, terbang melayang mencapai langit, luka menoreh
menusuk perih, duka menyeruak menghapus suka.
Enumerasi (penjumlahan) ialah sarana retorika yang berupa pemecahan suatu
hal atau keadaan menjadi beberapa bagian dengan tujuan agar hal atau keadaan
itu lebih jelas dan nyata bagi pembaca atau pendengar (Pradopo, 2007:96).
Dengan demikian suatu pernyataan atau keadaan, memberi intensitas. Seperti
sajak Kirjomulyo berikut ini.
APRIL
Kenangan buat Lorca
Pengulangan bunyi pada larik yang berbunyi sunyi yang lebat pada baris ke-1,
ke-2, dan ke-3 ini bertujuan mempertegas suasana sepi yang ingin dirasakan
penyair saat itu. Kesepian itu seperti semak yang tumbuh lebat, menjalar ke
ujung-ujung jari, bola mata dan gendang telinga, sampai ke lidah dan ujung
hidung. Sehingga kesendirian yang dialami penyair begitu terasa nyata. Jadi,
tujuan penyair mengulangi kata sunyi pada baris pertama ingin menunjukkan
betapa sepi dan sendirinya ia ketika itu.
Selain gaya bahasa yang menunjukkan adanya penegasan dengan
menggunakan pengulangan atau pun penjumlahan kata-kata, dalam puisi juga
terdapat sarana yang menggunakan titik-titik banyak untuk mengganti perasaan
yang tidak terungkapkan. Sarana retorik semacam ini dikatakan oleh Pradopo
(2007:97) adalah retorik retisense. Pada umumnya penyair romantik banyak
menggunakan sarana retorika ini, lebih-lebih sajak romantik remaja banyak
menggunakannya. Seperti sajak karya J.E. Tatengkeng Kusuka Katakan
(1974:19; Pengkajian Puisi, 2007:97) berikut ini.
Hiperbola adalah kiasan yang dalam mengungkapkan sesuatu maksud atau hal
apa pun secara berlebihan (Waluyo, 1987:85). Penyair merasa perlu melebihlebihkan hal yang dibandingkan itu agar mendapatkan perhatian yang lebih
seksama dari pembaca. Seperti pada sajak Emha Ainun Najib berikut ini.
Citraan
SURAT CINTA
KAMAR
Penciuman:
DI KUBURAN
Pengecapan:
SENJA DI JALAN PASEH
Ada juga citraan gerak (movement imagery atau kinaesthetic imagery). Imaji ini
menggambarkan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak, tetapi dilukiskan
seperti dapat bergerak. Citraan gerak ini membuat hidup dan gambaran jadi
dinamis. Misalnya pada sajak Sapardi Djoko Damono berikut ini.
Di bawah ini penyair mengggunakan bermacam-macam citraan secara bersamasama. Misalnya pada sajak berikut.
TROMPET
DARI JENDELA
IKLAN
Penyair secara jelas mengimajikan suasana kota, dan kehidupan modern yang
ditampilkan itu tergambar dari kata-kata dalam puisinya, seperti televisi, iklan,
kentang goreng, dokter, dan badut yang kata-kata tersebut cenderung
menggambarkan kehidupan modern di kota. Jadi, sajak yang menunjukkan
adanya kesatuan citraan membuat jelas dan memberi suasana khusus. Seperti
sajak di bawah ini, citra-citranya menunjukkan citraan kesedihan. Misalnya pada
sajak Kirjomulyo berikut ini.
DUKA
Di ujung malam
orang hendak melupakan duka
serupa ada
serupa tak ada
(Romansa Perjalanan, 2000)
Irama
Satu hal yang masih erat hubungannya dengan pembicaraan bunyi adalah
irama. Bunyi-bunyi yang berulang, pergantian yang teratur, dan variasi-variasi
bunyi menimbulkan suatu gerak yang hidup, seperti gercik air yang mengalir
turun tak putus-putus. Gerak yang teratur itulah yang disebut irama. Irama
dalam bahasa adalah pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembut
ucapan bunyi bahasa yang teratur. Irama itu dapat dibagi menjadi dua macam,
yaitu metrum dan ritme. Metrum adalah irama yang tetap, artinya pergantiannya
sudah tetap menurut pola tertentu. Sedangkan ritme adalah irama yang
disebabkan pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur,
tetapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap, melainkan hanya menjadi
gema dendang sukma penyairnya.
Dalam puisi timbulnya irama itu karena perulangan bunyi berturut-turut dan
bervariasi, misalnya sajak akhir, asonansi, dan aliterasi. Begitu juga karena
adanya pararelisme-pararelisme, ulangan-ulangan kata, ulangan-ulangan bait.
Selain itu, disebabkan pula oleh tekanan-tekanan kata yang bergantian keras
lemah, disebabkan oleh sifat-sifat konsonan dan vokalnya atau panjang-pendek
kata, atau kelompok-kelompok sintaksis berupa gatra atau kelompok kata.
Pada puisi-puisi Indonesia, puisi dengan metrum tertentu dapat dikatakan tidak
ada. Apabila terdapat metrum, maka bersifat individual, artinya metrum-metrum
itu buatan-buatan penyair-penyair pribadi yang saling berbeda, tanpa aturan dan
patokan tertentu. Sebenarnya yang mempunyai metrum adalah pantun dan
syair. Hal ini disebabkan jumlah suku kata yang cenderung tetap dalam tiap baris
baitnya dan oleh persajakan (tengah dan akhir) yang tetap.
Begitu juga dalam sajak-sajak Pujangga Baru kelihatan seperti mempunyai
metrum karena bentuknya yang teratur rapi dan jumlah suku kata yang
cenderung tetap. Misalnya sajak karya Amir Hamzah ini.
DOA POYANGKU
Para penyair sesungguhnya lebih memerhatikan ritme pada puisinya. Ritme ini
didasari oleh adanya pertentangan bunyi, membuat perulangan, juga untuk
membuat irama itu penyair juga dapat melakukannya dengan menyingkat kata,
misalnya hadir menjadi dir, hendak menjadi nak, atau manusia menjadi nusia.
Memilih kata yang cocok bunyinya: pitunang poyang, habis kikis, atau selaras
dengan kata yang dikombinasikan itu, dan sebagainya. Dengan adanya irama
itu, selain puisi terdengar merdu, mudah dibaca, juga hal ini menyebabkan aliran
perasaan ataupun pikiran yang tidak terputus dan terkonsentrasi sehingga
menimbulkan bayangan angan (imaji-imaji) yang jelas dan hidup. Hal ini
menimbulkan juga adanya pesona atau daya magis hingga melibatkan para
pembaca atau pendengar ke dalam keadaan extase (bersatu diri dengan
objeknya).
Puisi yang merdu bunyinya dikatakan melodius: berlagu seolah-olah seperti
nyanyian yang mempunyai melodi. Misalnya seperti sajak M. Yamin berikut ini.
Melodi adalah panduan susunan deret suara yang teratur dan berirama. Melodi
itu timbul karena pergantian nada kata-katanya, tinggi rendah bunyi yang
berturut-turut. Bedanya melodi nyanyian dengan puisi ialah terletak pada
macam bunyi (nada) yang terdapat pada sajak itu tidak seberapa banyak dan
intervalnya (jarak nada) juga terbatas. Irama, metrum, dan melodi itu bekerja
sama dalam sajak hingga membentuk kesatuan yang bercorak indah.
Pada saat berdeklamasi, irama puisi ini dapat tercipta dengan tekanan-tekanan,
jeda (waktu yang dipergunakan deklamator untuk perhentian suara). Deklamator
atau tris harus memerhatikan irama puisi itu sebab tiap-tiap puisi membawa
iramanya sendiri-sendiri. Dalam melodisasi puisi, irama puisi itu pun sudah
menentukan lagunya. Selain itu, irama dan ketepatan ekspresi dalam
berdeklamasi didapatkan dengan mempergunakan tekanan-tekanan pada kata.
Ada tiga jenis tekanan, yaitu tekanan dinamik, tekanan nada, dan tekanan
tempo. Tekanan dinamik ialah tekanan pada kata yang terpenting, menjadi sari
kalimat dan bait sajak. Tekanan nada ialah tekanan tinggi (rendah). Perasaan
girang dan gembira, perasaan marah, keheranan sering menaikkan suara,
sedang perasaan sedih merendahkan suara. Tekanan tempo ialah lambat
cepatnya pengucapan suku kata atau kata dan kalimat.
Pada seni sastra khususnya sajak, irama membuat rangkaian kata-kata seolaholah hidup dan bernyawa (Surana, 2001:25). Dalam kehidupan sehari-hari
banyak kita jumpai irama, dengan irama kita berbicara, berbaris, bernyanyi,
menumbuk padi, menari, dan sebagainya. Irama itu mendatangkan rasa senang,
walaupun juga dapat menimbulkan rasa mencekam. Irama yang tetap dan
beraturan timbulnya di dalam puisi disebut kaki sajak. Tiap-tiap larik terbagi atas
dua alun irama. Perhentian di antara dua alun itu disebut cesura. Cesura itu
digambarkan dengan garis miring (/). Misalnya dapat dilihat pada kutipan puisi
Doa Poyangku Amir Hamzah dibawah ini.
Dua alun irama ini dalam puisi sangat penting. Sastrawan-sastrawan modern
tidak mau lagi menggunakan puisi berdasarkan dua alun suara ini, sama halnya
dengan puisi-puisi populer juga telah mengabaikannya. Mereka lebih bebas dan
mementingkan keutuhan pengertian, bukan ikatan alun irama.
Dalam seni sastra Barat, irama itu dinyatakan dengan tanda (-) yang disebut
arsis, untuk suku kata yang mendapat tekanan keras (panjang). Sedangkan kata
yang mendapat tekanan lunak (pendek) dinyatakan dengan tanda (^), yang
diberi nama thesis. Berikut dapat dilihat pada kutipan puisi Ballada Terbunuhnya
Atmo Karpo Rendra sebagai berikut.
- ^ - ^
^^
^ - ^
- ^ ^ ^
^ ^ -^
- ^
- -
^ -
^ ^ - ^
- ^
- ^
-- - -
- ^
^ -
^ -
^- ^
^ -
- ^
^^-
^- ^
Kata-kata yang mendapat penekanan pada tiap baris larik di atas ditandai
dengan pelantunan irama bertekanan lembut (rendah) seperti: kuku-kuku besi
dan perut bumi.
Nama-nama yang membentuk kaki puisi yaitu: 1) / ^ - / ^ - / (jambe), 2) / ^ ^ - /
^ ^ - / (anapes), 3) / - ^ / - ^ / (troacheus), dan 3) / - ^ ^ / - ^ ^ / (dactylus).
Suku kata dalam jambe bervariasi, ada yang diberi tekanan dan ada yang tidak.
Ada yang bertekanan keras dan lembut. Pada troacheus, tekanan keras terdapat
pada suku kata pertama. Pada daktylus, tekanan terdapat pada awal baris, dan
selanjutnya diselingi dua suku kata tidak bertekanan. Pada anapest tekanan
dimulai pada suku kata ketiga dan pada awal kata tidak bertekanan (Waluyo,
1987:96).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa puisi modern termasuk puisi
populer dinyatakan bahwa lebih mementingkan makna dari pada alun irama.
Namun pada tiap larik puisi tetap mempunyai irama dalam setiap
pembacaannya. Jadi, dalam puisi populer perulangan bunyi dan tekanan-tekanan
kata yang bergantian keras lemah, disebabkan oleh konsonan dan vokal atau
panjang pendek kata, juga disebabkan adanya kelompok sintaksis dapat
menimbulkan irama. Seperti halnya puisi pada umumnya, puisi populer dengan
metrum tertentu cukup sulit ditemukan. Namun jika ada metrum itu hanya
buatan-buatan penyair-penyair secara pribadi yang tentunya berbeda satu
dengan lainnya, tanpa aturan dan patokan tertentu.
Rima (persajakan) adalah bunyi-bunyi yang ditimbulkan oleh huruf atau kata-
Irama (ritme) adalah pergantian tinggi rendah, panjang pendek, dan keras
41 Votes
Dari sini dapat dipahami bahwa rima adalah salah satu unsur pembentuk
irama, namun irama tidak hanya dibentuk oleh rima. Baik rima maupun irama
inilah yang menciptakan efek musikalisasi pada puisi, yang membuat puisi
menjadi indah dan enak didengar meskipun tanpa dilagukan.
Jenis- jenis Rima
b. Aspek Rasional
Ialah dasar irama dan guru lagu : nada (tinggi rendah), tempo (lama atau sebentar), dinamik (kuat atau lemah),
ulangan (jarang atau tetap).
Dalam puisi bunyi dipergunakan sebagai orkestrasi, ialah untuk menimbulkan bunyi musik. Bunyi konsonan dan vokal
disusun begitu rupa sehingga menimbulkan
bunyi yang merdu dan berirama seperti bunyi musik. Dari bunyi musik ini dapatlah mengalir perasaan, imaji-imaji
dalam pikiran atau pengalaman-pengalaman jiwa
Di dalam puisi bunyi kata itu di samping tugasnya yang utama sebagai simol
arti dan juga untuk orkestarsi,digunakan sebagai:
1) Peniru bunyi atau anomatope
2) Lambang suara (kleanksymboliek)
3) Kiasan suara (klankmtapthoor)
Lambang rasa dihubungkan dengan suasana hati, suasana hati ringan, riang, dilukiskan dengan bunyi vocal e dan I
yang terasa ringan, tinggi, kecil. Bila pemakaian bunyi tidak disesuaikan atau dihubungkan dengan peniru bunyi,
kiasan bunyi, dan lambing rasa, hanya sebagai hiasan dan permainan bunyi saja, tidak untuk mengintensifkan arti,
maka tidak mempunyai atau kurang mempunyai daya ekspresi. Bahkan yang seperti itu akan mengurangi atau
menghilangkan kepuitisannya
Dalam karya sastra aspek irama ( ukuran waktu atau tempo ) juga penting
dalam persoalan yang lebih penting adalah menerangkan sifat-sifat irama baik
dalam puisi atau prosa. Dalam puisi irama merupakan factor penting.
Sedangkan dalam prosa, irama dipahami seperti irama dalam percakapan
sehari-hari.
c. Intonasi
Intonasi atau lagu kalimat berkaitan dengan ketepatan dalam menentukan keras-lemahnya pengucapan suatu kata.
Intonasi dan artikulasi sangat berkaitan dengan irama. Irama merupakan unsur sangat penting dan jiwa dari sebuah
puisi. Irama adalah totalitas dari tinggi rendah, keras lembut, dan panjang pendek suara. Irama puisi tercipta dengan
melakukan intonasi.