Anda di halaman 1dari 38

Selasa, 16 Oktober 2012

BUNYI DALAM SAJAK

BUNYI DALAM SAJAK


1. Irama
Masalah irama pada hakikatnya membicarakan musik, masalahnya irama erat
hubungannya dengan bunyi, dan irama tidak identik denga bunyi itu sendiri. Irama bukan
sekedar bunyi belaka, tetapi lebih dari itu. Irama merupakan bunyi yang teratur, terpola,
menimbulkan variasi bunyi, sehingga dapat menghasilkan suasana.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa irama terbagi atas dua bagian, ritme dan
metrum. metrum adalah irama yang tetap, terpola menurut pola tertentu, sedangkan ritme
adalah irama yang di sebabkan pertentangan-pertentangan atau pergantian bunyi tinggi
rendah secara teratur tapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap dan hanya menjadi
gema dendang penyair. (Semi, 1984: 109).
Menurut Teeuw (1983: 23) masalah irama belum ada yang tahan uji di dalam bahasa
Indonesia. Hal ini disebabkan karena bahasa Indonesia tidak mempunyai aturan dalam
persoalan tekanan kata. Dengan demikian metrum hampir di katakan tidak ada di dalam
sajak-sajak Indonesia. Kalaupun ada metrum itu bersifat individual yang digunakan tanpa
patokan atau aturan tertentu karena metrum disandarkan pada suku kata. Hal itu dapat
dipahami karena bahasa Indonesia di dalam sajak-sajak lebih bersandar pada kata. Mungkin
yang terasa mempunyai metrum adalah pantun dan syair.
Di dalam sajak-sajak Indonesia hal yang lebih menonjol, secara sadar atau tidak adlah
ritmenya. Ritme ini dapat timbul dengan mempertentangkan bunyi, perulangan serta
membuat pola tertentu dengan memilih kata dengan bunyi yang cocok.
Adanya irama didalam sajak selain menyebabkan sajak terdengar merdu, juga
menyebabkan sajak enak untuk dibaca. Dengan mengetahui irama di dalam sajak, penikmat
sajak dengan mudah pula menentukan tekanan dan jeda. Hal ini amat membantu terhadap
proses penikmatan dan pemahaman terhadap sajak yang dihadapi.
2. Kakafoni dan Efoni
Kakafoni dan efoni ialah pemanfaatan bunyi sedemikian rupa sehingga bunyi yang
dirangkai di dalam sajak dapat menimbulkan kesan yang cerah serta sebaliknya, suatu
kesuraman. Kesan buram timbul karena bunyi yang dirangkai berasal dari konsonan tak
bersuara seperti /k/, /p/, /t/, /s/. Penggunaan bunyi konsonan tersebut menciptakan persaan
jiwa yang tertekan gelisah bahkan yang memuakkan. Karena menggambarkan perasaan yang
demikian, akibatnya yang muncul adalah kesan suasana buram. Pemanfaatan unsur bunyi
yang memunculkan efek semacam ini disebut dengan istilah kakafoni (ca-caphony).

Kebalikan dari keburaman adalah kesan suasana cerah adalah kesan yang
membangkitkan keceriaan dan rasa riang serta nyaman. Kesan suasana cerah muncul karena
bunyi-bunyi yang dirangkaikan berasal dari bunyi vokal serta konsonan bersuara. Kesan ini
juga dapat dihadirkan dengan memanfaatkan bunyi sengau yang dirangkai sedemikian rupa.
Bunyi sengau tersebut ditata sehingga menimbulkan kesan merdu dan enak didengar.
Penggunaan unsur bunyi yang dilakuakan dengan cara demikian, menciptakan bunyibunyi yang ringan dan lembut, mesra dan bahagia. Contohnya pada sajak Episode (Rendra),
pembaca digiring serta pada suasana keriangan sajak. Pemanfaatan unsur bunyi yang
sedemikian itu dikenal dengan istilah efoni (euphony).
3. Onomatope
Salah satu pemanfaatan unsur bunyi yang cukup dominan dalam sajak adalah
onomatope. Istilah onomatope menurut kamus istilah sastra (Sudjiman, 1984: 54) adalah
penggunaan kata yang mirip dengan bunyi atau suara yang dihasilkan oleh barang, gerak,
atau orang.
Penggunaan tiruan bunyi dimaksudkan untuk mengkonkretkan suasana menjadi lebih
lugas. Misalnya peniruan bunyi itu dapat dilakukan atau dihasilkan oleh barang, gemercik
air pencuran, desau angin, derap langkah kuda adalah onomatope. Penggunaan tiruan
bunyi seperti hal-hal di atas sering ditemukan didalam sajak.
4. Aliterasi
Pemanfaatan dengan cara mengulang pemakaian bunyi. Pengulangan bunyi itu berupa
pengulangan bunyi yang sama. Pengulangan bunyi konsonan yang sama disebut aliterasi.
Pengulangan bunyi yang dapat dikategorikan pada bunyi aliterasi adalah pengulangan bunyi
secara dominan. Misalnya sajak Sepisupi Sutardji Calzoum Bachri, dapat dipahami bahwa
aliterasi yang digunakan pada sajak tersebut adalah persamaan serta perulangan bunyi /s/
pada awal kata setiap barisnya.
5. Asonansi
Asonansi adalah pemanfaatan unsur bunyi secara berulang-ulang dalam satu baris
sajak. Halnya sama dengan alitelerasi hanya pengulangan disni merupakan pengulangan
bunyi-bunyi vokal. Efek yang di harapkan muncul dari pemanfaatan bunyi vokal secara
berulang ini adalah kemerduan bunyi. Sebagaimana aliterasi, asonansi pun tidak semua
pengulangan bunyi vokal dapat disebut asonansi. Pengulangan bunyi yang sama secara
dominan (di dalam sajak) yang dapat di kategorikan sebagai asonansi.
Asonansi ini contohnya terdapat pada sajak Chairil Anwar yang berjudul Cintaku Jauh
Di Pulau, menggunakan unsur asonansi untuk menciptakan kemerduan bunyi, misalnya
asonansi a dan u pada cintaku jauh di pulau kemudian juga dimanfaatkan asonansi a pada
perahu melancar, bulan memancar.

Contoh:
Kini kami bertikai pangkai
Di antara dua mana mutiara
Jauhari ahli lalai menilai
Lengah langsung melewat abad
6. Anafora dan Epifora
Anafora dan epifora cara menggunakan unsur bunyi yang berulang-ulang dalam bentuk
kata atau bentukan linguistik pada awal atau akhir tiap-tiap larik atau baris sajak.
Pengulangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada awal larik disebut anafora, sedangkan
pengulangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada akhir larik-larik sajak disebut epifora.
Pengulangan kata yang sama menimbulkan pengulangan bunyi yang sama beberapa
kali, dapat menimbulkan kesan sugestif pada sebuah sajak. Kesan sugestif ini diharapkan
dapat membujuk pembaca untuk melebur dengan sajak yang sedang dinikmati. Di dalam
perkembangan kesusastraan Indonesia, para penyair lebih cenderung memanfaatkan anafora
di banding epifora.
Untuk memanfaatkan unsur bunyi ini diperlukan kecermatan serta keahlian penyair,
sehingga bunyi yang dihasilkan serta merta menggoda telinga karena bunyi yang menarik
untuk di simak lebih jauh, unsur bunyi diramu dan ditata oleh penyair di dalam sajak.
Kepuitisan diharapkan dapat menimbulkan keharuan. Karena, keharuan pembacalah yang
dapat mengantarkan pembaca menemukan sebuah dunia, dunia sebuah sajak. Dunia yang
dapat memberikan kepuasan dan kenikmatan batin bagi para penikmat sajak
KUMPULAN PUISI
STRUTUR PUISI ( CONTOH ANALISIS )

Puisi adalah bentuk kesusastraan yang paling tua. Puisi termasuk karya sastra,
dan semua karya sastra bersifat imajinatif. Bahasa sastra bersifat konotatif
karena banyak digunakan makna kias dan makna lambang. Dibandingkan
dengan bentuk karya sastra yang lain, puisi, lebih bersifat konotatif. Bahasanya
lebih banyak mengandung kemungkinan makna. Hal ini disebabkan terjadinya
pengonsentrasian atau pemadatan segenap kekuatan bahasa dalam puisi.
Apabila dilihat dari segi bentuk penulisannya, puisi memiliki suatu tata wajah
atau penampilan khusus di atas kertas, yang biasa disebut tipografi.
Pada dasarnya untuk memberikan pengertian puisi secara memuaskan cukup
sulit. Adapun pengertian puisi menurut Waluyo (1987:25) beberapa yang dapat
dirangkum dalam satu kalimat dapat dipaparkan sebagai berikut.
a.

Dalam puisi terjadi pemadatan segala unsur kekuatan bahasa;

b.
Dalam penyusunannya, unsur-unsur bahasa itu dirapikan, diperbagus,
diatur sebaik-baiknya dengan memperhatikan irama dan bunyi;
c.
Puisi adalah ungkapan pikiran dan perasaan penyair yang berdasarkan
pengalaman jiwa dan bersifat imajinatif;
d.
Bahasa yang dipergunakan bersifat konotatif; hal ini ditandai dengan kata
konkret lewat pengimajian, pelambangan, dan pengiasan, atau dengan kata lain
dengan kata konkret dan bahasa figuratif;
e.
Bentuk fisik dan bentuk batin puisi merupakan kesatuan yang bulat dan
utuh, tidak dapat dipisahkan dan merupakan kesatuan yang padu. Bentuk fisik
dan bentuk batin itu dapat ditelaah unsur-unsurnya hanya dalam kaitannya
dengan keseluruhan. Unsur-unsur itu hanyalah berarti dalam totalitasnya dengan
keseluruhannya.
Selain itu, unsur-unsur puisi juga melakukan regulasi diri artinya mempunyai
saling keterkaitan antara unsur yang satu dengan yang lain. Jalinan unsur-unsur
yang terdapat dalam struktur fisik dalam membentuk kesatuan dan keutuhan
puisi menyebabkan keseluruhan puisi lebih bermakna dan lebih lengkap dari
sekadar kumpulan unsur-unsur. Puisi itu mengekspresikan pemikiran yang
membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam
susunan yang berirama, merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman
manusia yang penting.
Dengan demikan, setiap unsur yang terdapat dalam puisi tersebut memiliki
saling hubunga antara yang satu dengan yang lain untuk terbentuknya suatu
kesatuan makna dari sebuah puisi.
A.

Tema Puisi

Sebelum membaca puisi, peneliti harus menyadari bahwa makna puisi harus
ditafsirkan dan bukan makna secara langsung yang dapat diketahui. Djojosuroto
menambahkan untuk langkah selanjutnya dapat dilakukan dengan menafsirkan
konteks dalam linguistik berupa alat-alat linguistik yang secara eksplisit
digunakan dalam ujaran (2005:24). Hal ini dapat dilihat dari penggunaan kata
dan hubungan antar kalimat dalam tiap baris puisi tersebut. Jika hal demikian
dilakukan, akan diperoleh penafsiran yang tidak berbeda dengan maksud
penyairnya. Sehingga pokok pikiran atau tema pada puisi dapat diketahui.
Setiap wacana tentu memiliki tema atau hal pokok yang menjadi topik
pembicaraan, begitu pula pada wacana sastra khususnya pada puisi juga
memiliki tema di dalamnya. Tema puisi adalah gagasan pokok yang dikemukakan
penyair lewat puisinya (Djojosuroto, 2005:24). Tema puisi biasanya
mengungkapkan persoalan manusia yang bersifat hakiki, seperti: cinta kasih,
ketakutan, kebahagiaan, kedukaan, kesengsaraan hidup, keadilan, kebenaran,
ketuhanan, kritik sosial, dan protes. Tema dapat dijabarkan menjadi subtema
atau dapat dikatakan pokok pikiran.
B.

Nada Puisi

Sebuah puisi dapat menimbulkan suatu nada tertentu dari pembawaan sikap
penyairnya. Nada atau sikap pada puisi sering dikaitkan dengan suasana. Jika
nada berarti sikap penyair terhadap pokok persoalan (feeling) dan sikap penyair
terhadap pembaca (tone), maka suasana berarti keadaan perasaan yang
ditimbulkan oleh pengungkapan nada dan lingkungan yang dapat ditangkap oleh
panca indera. Nada berhubungan dengan tema dan pembaca. Nada yang
berhubungan dengan tema menunjukkan sikap penyair terhadap objek yang
digarapnya. Misalnya, penyair menggarap objek seorang perampok, penyair
dapat bersikap simpati, benci, antipati, terharu, dan sebagainya. Nada yang
berhubungan dengan pembaca, misalnya nada menggurui, nada sinis, nada
menghasut, nada santai, nada filosofis, dan lain-lainnya.
Penghayatan pembaca akan nada yang dikemukakan penyair harus sesuai.
Hanya dengan cara demikian tafsiran atas makna sebuah puisi dapat mendekati
ketepatan yang dikehendaki penyair. Cara menafsirkan puisi diantaranya ialah
dengan meninjau bahasa yang digunakan oleh penyair, yaitu menentukan
konteks puisi berdasarkan hubungan kohesi (hubungan struktur antar kalimat)
dan koherensi (hubungan makna antar kalimat). Makna puisi tidak hanya
ditentukan oleh kata dan kalimat secara lepas, akan tetapi ditentukan oleh
hubungan antara kalimat yang satu dengan yang lain baik kalimat sebelumnya
dan sesudahnya (Djojosuroto, 2005:26).
C.

Suasana Puisi

Dalam puisi diungkapkan perasaan penyair secara totalitas. Puisi dapat


mengungkapkan perasaan gembira, sedih, terharu, takut, gelisah, rindu,
penasaaran, benci, cinta, dendam, dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan, penyair
mengerahkan segenap kekuatan bahasa untuk memperkuat ekspresi perasaan
yang bersifat total (Tarigan, 1984:5). Bahasa memiliki fungsi simbolik, emotif,
dan afektif (Suriasumantri, 1985:181; Djojosuroto, 2005:26). Di dalam puisi,
ketiga fungsi bahasa itu dimanfaatkan. Unsur emotif mendapat porsi yang lebih
dominan.
D.
1.

Struktur Fisik Puisi


Bunyi

Menurut Pradopo (2007:22-37) bunyi dalam sebuah puisi bersifat estetik, unsur
puisi yang bertugas untuk memberikan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi
tidak hanya berfungsi sebagai hiasan dalam sebuah puisi, juga mempunyai
peranan yang lebih penting, yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan
rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas, atau menimbulkan suasana
yang khusus. Selain itu, bunyi pada puisi juga digunakan sebagai orkestrasi
untuk menimbulkan bunyi musik. Bunyi konsonan dan bunyi vokal disusun begitu
rupa sehingga menimbulkan bunyi yang merdu dan berirama seperti bunyi
musik, dari bunyi musik murni ini dapatlah mengalir perasaan, imaji-imaji dalam
pikiran, atau pengalaman-pengalaman jiwa pendengarnya (pembacanya).

Kombinasi-kombinasi bunyi yang merdu itu biasanya disebut efoni (euphony),


atau bunyi yang indah. Orkestrasi bunyi yang merdu ini biasanya dipergunakan
untuk menggambarkan perasaan mesra, kasih sayang atau cinta, serta hal-hal
yang meng-gembirakan. Misalnya terlihat pada sajak Soeparwoto Wiraatmadja
berikut ini.

SENANDUNG NATAL

Nyanyi suci di dalam hati


Mengalun setanggi sesela hati
Adik mengapa dikau sendiri
Bersama abang mari ziarah ke gereja suci

Sunyi hati di gelap hari


Serangga mati di nyala api
Kristus janganlah pergi sertai kami
dalam sepi jalan sendiri

Dan bulan, kerinduan yang dalam


menikam nurani pengembara di perlawatan
Tuhan di palungan betapa pun kebesaran
Manusia nikmat tertidur di peristirahatan

Nyanyi suci di malam sepi


Mengalun hati diayun setanggi
Adik mari berlutut di sini
Tuhan hadir bagi insani

Sunyi suci di gelap dini


Berayun hati digetar nyanyi

Dan adik mari bukakan diri


Kristus istirahatlah di hati kami

Kristus! Lindungilah dan berkati


Ajar kami berendah hati
Dan biarlah tanganmu suci
di dahi kami tersilang aman abadi
(Kidung Keramahan, 1963; Apresiasi Puisi, 2005)

Bagi umat Kristen, malam Natal adalah malam bahagia untuk merayakan
kelahiran Yesus Kristus Sang Penebus. Penyair mengajak kekasihnya merayakan
malam Natal dengan ziarah ke gereja suci. Kerinduan akan kehadiran Sang
Penebus begitu dalam menikam pengembaraan di dalam perlawatan. Hal ini
tampak pada bunyi-bunyi yang dimunculkan penyair dengan bunyi vokal i pada
kata ziarah dan suci, kesyahduan rindu yang dalam digambarkan dengan bunyi
vokal a berkombinasi dengan bunyi konsonan m dan n pada kata pengembaraan
dan perlawatan. Di setiap malam Natal akan terdengar lagu malam sunyi. Di
malam yang gelap dini / digetar nyanyi itu, penyair mengajak kekasihnya
membuka diri agar Kristus masuk ke hati sanubari manusia.
Selain bunyi-bunyi merdu, dalam sebuah puisi juga dapat ditemukan kombinasikombinasi bunyi yang tidak merdu, parau disebut kakafoni (cacophony). Seperti
pada sajak Hamid Jabbar berikut ini.

AROMA MAUT

Berapa jarak antara hidup dan mati, sayangku


Barangkali satu denyut lepas, o, satu denyut lepas
Tepat saat tak jelas batas-batas, sayangku
Segalanya terhempas, o, segalanya terhempas!

(Laut masih berombak, gelombangnya entah ke mana-mana


Angina masih kembali berhembus, topannya entah ke mana,
Bumi masih beredar, getarnya sampai ke mana?

Semesta masih belantara, sunyi sendiri, ke mana?)

Berapakah jarak antara hidup dan mati, sayangku?


Barangkali hilir mudik di satu titik
Tumpang-tindih merintih dalam satu nadi, sayangku:
Sampai tetes embun pun selesai, tak menitik!

(Gelombang lain datang begitu lain.


Topan lain datang begitu lain.
Getar lain datang begitu lain.
Sunyi lain begitu datang sendiri tak bisa lain!)
(Wajah Kita, 1981; Apresiasi Puisi, 2005)

Puisi di atas menceritakan bahwa jarak antara hidup dan mati dilambangkan
dengan barangkali satu denyut lepas. Penyair membayangkan kematian itu
begitu pasti kedatangannya, tiap manusia yang hidup di dunia suatu saat akan
menghadapi kematian. Perpaduan bunyi yang terdapat pada larik-larik dalam
puisi Aroma Maut lebih dominan memperdengarkan bunyi-bunyi konsonan tak
bersuara yang mengesankan bunyi-bunyi kakafoni, seperti adanya bunyi p, s, t,
dan k. Sehingga sebagian besar bunyi-bunyi yang terdengar begitu parau dan
sangat tidak merdu. Hal ini sangat mendukung tema puisi yang menggambarkan
kematian sebagai suatu yang tidak menyenangkan untuk sebagian besar orang
yang hidup di dunia.
Begitulah, unsur bunyi musik dapat untuk memperdalam arti, memperjelas
tanggapan, dan memperdalam perasaan. Menurut Slametmuljana dalam puisi
bunyi kata itu di samping tugasnya yang pertama sebagai simbol arti dan juga
untuk orkestrasi, digunakan juga sebagai peniru bunyi atau onomatope, lambang
suara (klanksymboliek), dan kiasan suara (klankmetaphoor) (Pradopo, 2007:32).
Bunyi-bunyi juga mempunyai suatu simbolik sehingga dengan bunyi-bunyi dapat
diciptakan suasana, perasaan, dan kesan tertentu (Luxemburg, 1992:193).
Asosiasi pribadi turut memainkan peranan dalam penafsiran. Sehingga terjadi
onomatope bila suatu bunyi tertentu ditiru, seperti ngiau, ngeong, dorr,
crott, dan lain sebagainya. Jadi Wellek dan Warren (1995:200) menyimpulkan
bahwa onomatope yakni kelompok kata yang agak menyimpang dari sistem
bunyi bahasa pada umumnya. Onomatope disebut juga dengan peniruan bunyi.
Peniru bunyi dalam puisi kebanyakan hanya memberikan saran tentang suara
sebenarnya. Onomatope menimbulkan tanggapan yang jelas dari kata-kata yang
tidak menunjukkan adanya hubungan dengan hal yang ditunjuk, sebab dalam

puisi diperlukan kejelasan. Seperti peniruan suara tangis manusia yang


diasosiasikan menjadi bunyi angin pada penggalan sajak Tuhan Telah
Menegurmu karya Apip Mustopa berikut ini.

TUHAN TELAH MENEGURMU

Tuhan telah menegurmu dengan cukup sopan


Lewat perut anak-anak yang kelaparan

Tuhan telah menegurmu dengan cukup sopan


Lewat semayup suara adzan
Tuhan telah menegurmu dengan cukup menahan kesabaran
Lewat gempa bumi yang berguncang
Deru angin yang meraung-raung kencang
Hujan dan banjir yang melintang-pukang.
(Laut Biru Langit Biru, 1977; Apresiasi Puisi, 2005)

2.

Kata

Satuan arti yang membentuk struktur formal lingustik karya sastra adalah kata.
Untuk mencapai nilai seni pada suatu karya sastra maka pengarang dapat
menggunakan berbagai cara, terutama alatnya yang terpenting adalah kata,
karena kata dapat menjelmakan pengalaman jiwa si pengarang dalam karya
yang dihasilkannya. Menurut Aminuddin (1995:201) gaya pemilihan kata atau
kata-kata dalam karya sastra adalah cara penggunaan kata atau kata-kata dalam
teks sastra sebagai alat untuk menyampaikan gagasan dan nilai estetis tertentu.
Jadi, kata memiliki arti dan efek tertentu yang akan ditimbulkannya. Di antaranya
adalah arti denotatif dan konotatif, pemilihan kata (diksi), bahasa kiasan dan
gaya bahasa, citraan, dan hal-hal yang berhubungan dengan struktur kata-kata
atau kalimat puisi, yang semuanya dipergunakan penyair untuk melahirkan
pengalaman jiwa dalam sajak-sajaknya. Kata-kata yang telah digunakan oleh
penyair ini disebut kata berjiwa, yang tidak sama artinya dengan kata dalam
kamus, yang harus melalui proses pengolahan. Dalam kata berjiwa ini sudah
dimasukkan perasaan-perasaan penyair, sikapnya terhadap sesuatu. Kata
berjiwa sudah diberi suasana tertentu.
Kata-kata dalam tiap sajak merupakan cerminan kepribadian penyair, yaitu suatu
bentuk pengekspresiannya yang bersifat pribadi atau individual. Oleh karena itu,

penyair mempunyai cara sendiri untuk menyampaikan pengalaman jiwanya,


misalnya pada sajak Emha Ainun Najib berikut ini.

PUTIH, PUTIH, PUTIH

Meratap bagai bayi


Terkapar bagai si tua renta
Di padang Mahsyar
Di padang penantian
Di depan pintu gerbang janji keabadian
Saksikan beribu-ribu jilbab
.
(Lautan Jilbab, 1989; Apresiasi Puisi, 2005)

Untuk menggambarkan penyesalannya penyair menggambarkan dirinya


meratap bagai bayi, dan menunjukkan ketidakberdayaan manusia di hadapan
Tuhan, penyair menggunakan kata-kata: terkapar bagai si tua renta. Rasa tidak
berdaya orang yang sudah renta, yang tidak sanggup mengerjakan segala
sesuatunya sendiri tanpa bantuan orang lain, lebih terasa konkret dari pada kata
lemah.
Penggunaan kata pada puisi populer juga diupayakan untuk menimbulkan efek
tertentu dan melahirkan pengalaman jiwa penyair dalam sajak-sajaknya. Dalam
hal ini ditinjau dari arti kata yang meliputi pemilihan kata (diksi), denotasi dan
konotatif, bahasa kiasan, citraan, serta hal-hal yang berhubungan dengan
struktur kata-kata atau kalimat puisi, yang semuanya digunakan penyair untuk
menggambarkan perasaan dan pengalaman jiwanya dalam tiap sajaknya. Sama
halnya dengan penyair pada umumnya, mereka yang termasuk penulis puisi
populer tentunya mempunyai cara sendiri untuk menyampaikan pengalaman
jiwanya.
a)

Pemilihan Kata

Menurut Pradopo (2007:54-58) pemilihan kata dalam sajak disebut diksi. Alat
untuk menyampaikan perasaan dan pikiran sastrawan adalah bahasa. Baik
tidaknya tergantung kecakapan sastrawan dalam menggunakan kata-kata.
Kehalusan perasaan sastrawan menggunakan kata-kata sangat diperlukan.
Selain itu, perbedaan arti dan rasa sekecil-kecilnya pun harus dikuasai
pemakaianya. Seorang penyair dapat menggunakan kata-kata kuna yang sudah

mati, tetapi harus dapat menghidupkannya kembali. Oleh karena itu, penyair
sangat cermat dalam memilih kata-kata sebab kata-kata yang ditulis harus
dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan
kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam keseluruhan
puisi (Waluyo, 1987:72). Sejalan dengan Aminuddin (1995:201) yang
menyatakan bahwa gaya pemilihan kata-kata dalam karya sastra adalah cara
penggunaan kata-kata dalam teks sastra sebagai alat untuk menyampaikan
gagasan dan nilai estetik tertentu. Jadi, pemilihan kata yang tepat harus
dipertimbangkan urutan katanya dan kekuatan atau daya magis dari kata-kata
tersebut agar selain makna dalam sebuah puisi, aspek estetis juga perlu
diperhatikan.
Penyair dalam puisinya terkadang menggunakan kata-kata yang berasal dari
bahasa daerah. Penggunaan kata daerah ini secara estetis harusdapat
dipertanggung-jawabkan, artinya harus dapat menimbulkan efek puitis, atau
dimungkinkan dalam bahasa Indonesia kata-kata itu tidak ada (Pradopo,
2007:52-53). Selain itu penyair juga biasa menggunakan istilah-istilah atau katakata dalam bahasa asing atau perbandingan asing, serta kalimat-kalimat bahasa
asing. Penggunaan kata-kata dalam bahasa asing ini pun harus dapat memberi
efek puitis. Dalam hal ini, penyair bermaksud agar karyanya dapat dimengerti
oleh kalangan luas dan memberi efek universal. Oleh sebab itu, penggunaan
atau perbandingan itu harus sudah dikenal umum, atau sudah populer. Misalnya
pada sajak Rita Oetoro berikut ini.

RAYUAN SERAYU

panjang berliku-liku seperti


ular naga airmu mengalir turun
dari pegunungan, baur dalam
kembang glepang tanah pedataran.

panjang berliku-liku adalah


episode masa remaja yang jauh
.
panjang berliku-liku wahai
dikau serayu terpendam kerinduan
sepanjang hayatku.

(Kawindra, 1994; Apresiasi Puisi, 2005)

Kembang glepang suatu istilah yang digunakan orang Jawa untuk penataan
rambut gadis-gadis Jawa atau pun Bali yang berbentuk kuncir dan ditambah
dengan hiasan berupa bunga melati pada celah-celah pangkal kunciran
rambutnya, gadis yang menggunakan kunciran seperti itu akan terlihat cantik
bagi yang memandangnya. Jadi dalam puisi Rayuan Serayu menggambarkan
suatu kenangan indah yang begitu banyak lika-liku namun tetap terasa manis
untuk selalu diingat, selayaknya melihat gadis yang berambut kembang
glepang. Oleh karena itu, penggunaan kata-kata bahasa sehari-hari dapat
memberi efek gaya yang realistis, sedangkan penggunaan kata-kata yang indah
dapat memberi efek romantis.
b.

Denotasi dan Konotasi

Kata-kata yang digunakan dalam dunia persajakan tidak seutuhnya bergantung


pada makna denotatif, tetapi lebih cenderung pada makna konotatif (Tarigan,
1984:29). Djojosuroto (2005:13) berpendapat bahwa bahasa puisi itu cenderung
bersifat konotatif. Sehingga disimpulkan oleh Pradopo (2007:58-61) bahwa
sebuah kata yang digunakan dalam puisi itu mempunyai dua aspek arti, yaitu
denotasi, ialah artinya yang menunjuk, dan konotasi, yaitu arti tambahannya.
Denotasi sebuah kata adalah definisi kamusnya atau makna leksikon, yaitu
pengertian yang menunjuk benda atau hal yang diberi nama dengan kata itu.
Jadi, satu kata itu menunjuk satu hal. Maka dalam membaca sajak orang harus
mengerti arti kamusnya, arti denotatif, orang harus mengerti apa yang ditunjuk
oleh tiap-tiap kata yang digunakan. Namun seperti yang telah dikemukakan di
atas dalam puisi, sebuah kata tidak hanya mengandung aspek denotasinya saja.
Bukan hanya berisi arti yang ditunjuk saja, masih ada arti tambahannya, yang
ditimbulkan oleh asosiasi-asosiasi yang keluar dari denotasinya. Misalnya sajak
Kirjomulyo berikut ini.

TANJUNG SANGIANG

Angin laut jauh sampai ke atas bukit


dinginnya terasa sampai ke hati
aku melihat ujung buih
serupa melihat diri sendiri
datang dan pergi
(Romansa Perjalanan, 2000)

Angin laut terasa dinginnya sampai menembus ke hati. Angin laut adalah udara
yang bergerak dari darat ke laut dan terjadi pada malam hari. Angin itu
menyejukkan bahkan bisa terasa sangat sejuk hingga membuat orang
kedinginan sampai kulit terasa kering dan kelu. Apa lagi angin yang berhembus
pada malam hari, pasti akan terasa sangat dingin saat udara itu menyentuh
kulit. Jika angin yang dingin itu berhembus sampai menembus ke hati pasti akan
terasa sangat dingin melebihi saat menyentuh kulit saja, mungkin seperti mati
rasa.
Bahasa sastra itu penuh arti ganda (ambiguitas), homonim, kategori-kategori
arbitraire (mana suka) dan terkesan tidak masuk akal apabila dilihat dari
kepaduan kata-kata yang digunakan dalam puisi itu. Selain itu bahasa sastra
umumnya dan puisi khususnya juga menyerap peristiwa-peristiwa sejarah,
ingatan-ingatan, dan asosiasi-asosiasi. Bahasa sastra jauh dari hanya
menerangkan saja, tapi juga cenderung menyembunyikan makna. Bahasa sastra
mempunyai segi ekspresifnya, membawa nada dan sikap si pembicara atau
penulis. Jadi, dalam membaca sajak selain harus dipahami secara leksikonitas,
juga harus diperhatikan dan dipahami makna tambahan atau konotasinya yang
ditimbulkan oleh asosiasi-asosiasi arti denotatifnya.
3. Bahasa Kiasan
Unsur kepuitisan yang lain, untuk mendapatkan kepuitisan ialah bahasa kiasan
(figurative language). Menurut Aminuddin (1995:227) kajian retorik memilah
figurative language (bahasa figuratif) menjadi dua jenis, yakni (1) figure of
thought: bahasa figuratif yang terkait dengan cara pengolahan dan
pembayangan gagasan, dan (2) rhetorical figure: bahasa figuratif yang terkait
dengan cara penataan dan pengurutan kata-kata dalam konstruksi kalimat.
Pemakaian kiasan oleh penyair dalam sebuah puisi pada dasarnya bertujuan
agar dapat membantu dan merangsang imajinasi atau daya bayang pembaca
untuk melukiskan apa yang sedang dibacanya itu dalam angan-angan sendiri
(Surana, 2001:90). Adanya bahasa kiasan ini menyebabkan sajak menjadi
menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan
kejelasan gambaran angan. Bahasa kiasan ini mengiaskan atau menyamakan
sesuatu hal dengan hal lain agar gambaran jelas, lebih menarik, dan hidup.
Bahasa kiasan ada bermacam-macam, namun meskipun bermacam-macam,
mempunyai sesuatu hal (sifat) yang umum, yaitu bahasa-bahasa kiasan tersebut
mengaitkan sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan sesuatu yang lain
(Pradopo, 2007:62-79). Jenis-jenis bahasa kiasan yang termasuk bahasa figuratif
tersebut adalah perbandingan (simile), metafora, perumpamaan epos (epic
simile), personifikasi, metonimi, sinekdoki (synecdoche), dan allegori.
a)

Perumpamaan (Simile)

Perumpamaan adalah kiasan yang tidak langsung atau yang disebut dengan
perbandingan (Waluyo, 1987:84). Perumpamaan ini dapat dikatakan bahasa
kiasan yang paling sederhana dan paling banyak digunakan dalam sajak. Benda
yang dikiaskan kedua-duanya ada bersama pengiasnya dan digunakan kata-kata

seperti laksana, bagaikan, bak, layaknya, seumpama, serupa, semisal dan


sebagainya. Misalnya pada sajak Kirjomulyo berikut ini.

ROMANSA KECAPI SUNDA


.
Jalanan waktu serupa jalanan alam
melingkar, membelit serupa hati
lincah seperti musim
sebulan membunga, sebulan menghijau
lain saat menguning
.
(Romansa Perjalanan, 2000)

Jalanan waktu diumpamakan serupa atau sama dengan jalanan alam yang terus
melingkar dan membelit layaknya hati serta lincah seperti musim yang terus
berganti sesuai dengan perubahan iklim udara.
b)

Metafora

Metafora adalah kiasan langsung, artinya benda yang dikiaskan itu tidak
disebutkan (Waluyo, 1987:84). Metafora itu melihat sesuatu dengan perantaraan
atau diungkapkan dengan benda yang lain, contohnya: tangan kanan (orang
kepercayaan), raja siang (matahari), putri malam (bulan), bunga bagsa
(pahlawan), dan lain sebagainya). Jadi, metafora ini menyatakan sesuatu sebagai
hal yang sama atau seharga dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama.
Misalnya dalam sajaknya yang berjudul Aku dalam kumpulan puisinya Kerikil
Tajam, Chairil Anwar menyamakan dirinya dengan binatang jalang yang bebas,
tidak memiliki ikatan, dan tak dibatasi oleh apa pun, dalam hal ini Chairil Anwar
dalam berkarya tidak memerhatikan cara atau aturan lama, seperti berikut.

Aku ini binatang jalang


Dari kumpulannya terbuang

Metafora terdiri dari dua term atau dua bagian, yaitu term pokok (principal term)
dan term kedua (secondary term) (Pradopo, 2007:66-67). Term pokok disebut
juga tenor, term kedua disebut juga vehicle. Term pokok atau tenor

menyebutkan hal yang dibandingkan, sedang term kedua atau vehicle adalah hal
yang membandingkan. Misalnya Aku ini binatang jalang: Aku adalah term
pokok, sedang binatang jalang term kedua atau vehicle. Namun seringkali
penyair langsung menyebutkan term kedua tanpa menyebutkan term pokok atau
tenor.
c)

Perumpamaan Epos

Perumpamaan (epic simile) ialah perbandingan yang dilanjutkan, atau


diperpanjang, yaitu dibentuk dengan cara melanjutkan sifat-sifat
pembandingnya lebih lanjut dalam kalimat-kalimat atau frase-frase yang
berturut-turut (Pradopo, 2007:69). Terkadang kelanjutan perbandingan ini
sangat panjang. Dapat dilihat sajak Sapardi Djoko Damono berikut.

DONGENG MARSINAH
.
Marsinah itu arloji sejati,
tak telah berdetak
memintal kefanaan
yang abadi:
kami ini tak banyak kehendak,
sekedar hidup layak,
sebutir nasi.
(Ayat-ayat Api, 2000)

Dalam penggalan sajak di atas penyair mengumpamakan engkau ini seperti


kolam dan melanjutkannya gambaran tentang engkau engkau ini layaknya
kolam yang berada di tengah-tengah belukar atau semak. Ditambah lagi dengan
perbandingan beriak-riak tenang, membiarkan nyiur sepasang, bercerminkan
diri ke dalam airmu. Sehingga semakin jelas apa yang digambarkan penyair
dalam puisinya. Jadi, guna perumpamaan epos ini pada dasarnya seperti
perumpamaan juga, yaitu untuk memberi gambaran yang jelas, hanya saja
perumpamaan epos dimaksudkan untuk lebih memperdalam dan menandaskan
sifat-sifat pembandingnya, bukan sekedar memberikan persamaannya saja.
d)

Allegori

Allegori ialah cerita kiasan ataupun lukisan kiasan (Pradopo, 2007:71). Cerita
kiasan atau lukisan kiasan ini mengiaskan hal lain atau kejadian lain. Allegori ini
banyak terdapat dalam sajak-sajak Pujangga Baru. Namun pada waktu sekarang

banyak juga terdapat dalam sajak-sajak Indonesia modern. Allegori ini


sesungguhnya metafora yang dilanjutkan. Misalnya dapat dilihat pada sajak
Kirjomulyo berikut ini.

BUAT H. B. JASSIN

Dalam kemenangan keselip kekalahan


siapa terlalu memilih
akan datang di tanah pasir

Dalam kekalahan keselip kemenangan


siapa terlalu memilih
akan datang di tanah batu

Kita lahir dan menerima sekali waktu


alam cinta, tangis dan harap
Kita hadir dan menerima sekali saat
kemenangan dan kekalahannya

Hanya dalam sadar dan yakin


dari keduanya, lahirlah mesra
(Romansa Perjalanan, 2000)

e)

Metonimia

Metonimia adalah bahasa kias yang mempergunakan sebuah kata atau kalimat
untuk menyatakan sesuatu, karena mempunyai pertautan yang dekat dan
relasional (Djojosuroto, 2005:19). Dalam pola-pola kontiguitas tiada relasi
kesamaan, melainkan relasi kebertautan unsur, atau pengertian yang satu
dipergunakan sebagai pengganti pengertian lain yang berdekatan. Kaitan-kaitan
tersebut berdasarkan berbagai motivasi, misalnya karena ada hubungan kausal,
logika, hubungan waktu atau ruang. Hal ini diperjelas oleh Hartoko (1992:189)

yang menyatakan bahwa kasus-kasus metonimia ialah akibat digantikan sebab,


isi diganti wadah. Satu contoh sajak Bercerai karya Chairil Anwar berikut ini.

JARING-JARING

Kali ini
Nelayan menebar jaring di laut
Menangkap ikan

Kali lain
Tuhan menebar jaring maut
Menangkap insan.
(Biarkan Angin Itu, 1996; Apresiasi Puisi, 2005)

Kata-kata jaring maut dalam penggalan puisi di atas berperan menggantikan


sesuatu kekuasaan Tuhan yang terwujud dalam kasih dan sayang Tuhan terhadap
umatNya. Tuhan ingin mengumpulkan manusia untuk kembali kejalan yang
benar. Jadi, metonimi digunakan untuk menggambarkan sesuatu dengan sesuatu
yang lain, yang dapat mewakili sifat yang digantikan atau digambarkan.
f)

Personifikasi

Personifikasi adalah bahasa kiasan yang menggambarkan keadaan atau


peristiwa alam sering dikiaskan sebagai keadaan atau peristiwa yang dialami
oleh manusia (Waluyo, 1987:85). Menurut Djojosuroto (2005:18) personifikasi
adalah jenis bahasa kias yang mempersamakan benda dengan manusia, bendabenda mati dapat berbuat, berpikir sebagaimana seperti manusia. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa personifikasi adalah bahasa kias yang
melukiskan benda-benda mati seolah-olah seperti manusia. Di bawah ini
beberapa contoh personifikasi.

PULANG MALAM

Dan hari pun telah silam


daunan berhenti menderai

tidur dan tidur


hanya bulan memanjat bukit
(Kirjomulyo, Romansa Perjalanan, 2000)

DI DEPAN PINTU

di depan pintu: bayang-bayang bulan


terdiam di rumput. Cahaya yang tiba-tiba pasang
mengajaknya pergi
menghitung jarak dengan sunyi
(Sapardi Djoko Damono, Ayat-ayat Api, 2000)

g)

Sinekdoki (synecdoche)

Sinekdoki adalah bahasa kiasan yang menyebutkan sebagian untuk maksud


keseluruhan, atau menyebutkan keseluruhan untuk maksud sebagian (Waluyo,
1987:85). Dalam hal ini Pradopo (2007:78-79) menggolongkan sinekdoki ini
terdiri dari dua macam, yaitu: (1) pars pro toto: sebagian untuk keseluruhan,
contohnya: hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
masa depan Indonesia yang diramaikan oleh orang-orang yang kesulitan mencari
pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dikiaskan dengan bagian
anggota tubuh yakni mulut yang menganga seperti orang kelaparan atau
kehausan, (2) totum pro parte: keseluruhan untuk sebagian, contohnya: pergi ke
dunia luas/ anakku sayang/ pergi ke hidup bebas, perintah sang ibu kepada
anaknya untuk dapat hidup mandiri di luar rumah dikiaskan dengan kehiduan
yang luas yang ada di dunia luar.
Selain bahasa-bahasa figuratif di atas, seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya bahwa unsur kepuitisan dengan menggunakan bahasa kiasan juga
didukung dengan adanya sarana retorika atau disebut juga gaya bahasa
(rhetorical figure). Menurut Aminuddin (1995:227) sarana retorika atau gaya
bahasa yang digunakan oleh penyair dalam puisinya adalah bahasa figuratif
yang terkait dengan cara penataan dan pengurutan kata-kata dalam konstruksi
kalimat. Dengan adanya sarana retorika dalam sebuah puisi ini dapat
menimbulkan reaksi tertentu, untuk menimbulkan tanggapan pikiran kepada
pembaca.
Tiap pengarang mempunyai gaya bahasa sendiri. Hal ini sesuai dengan sifat dan
kegemaran masing-masing pengarang. Meskipun tiap pengarang mempunyai

gaya dan cara sendiri dalam melahirkan pikiran, namun ada sekumpulan bentuk
atau beberapa macam bentuk yang biasa digunakan.
Sarana retorika itu bermacam-macam, namun setiap periode atau angkatan
sastra itu mempunyai jenis-jenis sarana retorika yang digemari, bahkan setiap
penyair itu mempunyai kekhususan dalam menggunakan dan memilih sarana
retorika dalam sajak-sajaknya. Meskipun begitu, tetapi untuk puisi-puisi modern
atau pun puisi populer juga masih dapat ditemukan berbagai gaya bahasa dalam
tiap lariknya.

Beberapa sarana retorika yang biasa terdapat dalam suatu sajak adalah
pleonasme, enumerasi, pararelisme, retisense, hiperbola, dan paradoks. Berikut
penjelasannya:
Pleonasme (keterangan berulang) ialah sarana retorika yang sepintas lalu seperti
tautologi, tetapi kata yang kedua sebenarnya telah tersimpul dalam kata yang
pertama (Pradopo, 2007:95). Dengan cara demikian, sifat atau hal yang
dimaksudkan itu lebih terang bagi pembaca atau pendengar. Misalnya: naik
meninggi, turun melembah jauh ke bawah, tinggi membukit, jatuh ke bawah, raih
menjulang menggapai bukit, terbang melayang mencapai langit, luka menoreh
menusuk perih, duka menyeruak menghapus suka.
Enumerasi (penjumlahan) ialah sarana retorika yang berupa pemecahan suatu
hal atau keadaan menjadi beberapa bagian dengan tujuan agar hal atau keadaan
itu lebih jelas dan nyata bagi pembaca atau pendengar (Pradopo, 2007:96).
Dengan demikian suatu pernyataan atau keadaan, memberi intensitas. Seperti
sajak Kirjomulyo berikut ini.

APRIL
Kenangan buat Lorca

Secepat kedatangan bulan April


cintaku kembali dalam diri
membersit,sewarna hijau alam
melingkar, sebulat bulan sabit

Langkahku memberat menciptakan bumi


girang melonjak mengatasi hati
berpecahan di atas kota hati

pada hati dan hati, pada wajah dan wajah

Tiada terasa dan tiada bermaksud


aku menjerit sejauh angin menderai
Lorca, ku ingat padamu
Hijau alammu sehijau alamku
.
(Romansa Perjalanan, 2000)

Bait kedua itu merupakan enumerasi (penjumlahan): girang yang dirasakan


sampai bertebaran di kota sampai ke desa, bahkan dapat dirasakan oleh hatihati yang lain dan semua orang dapat melihatnya.
Pararelisme (persejajaran) ialah mengulang isi kalimat yang maksud dan
tujuannya serupa. Slametmuljana menambahkan bahwa sarana retorik yang
dalam penataan kata-katanya menggunakan gaya pararelisme dalam puisi yakni
kalimat yang berikut hanya dalam satu atau dua kata berlainan dari kalimat yang
mendahului. (Pradopo, 2007:97). Misalnya pada sajak Sapardi Djoko Damono
berikut ini.

SUNYI YANG LEBAT

sunyi yang lebat: ujung-ujung jari


sunyi yang lebat: bola mata dan gendang telinga
sunyi yang lebat: lidah dan lubang hidung
sunyi yang dikenal: sebagai hutan pohon-pohon roboh
margasatwa membusuk di tepi sungai kering, para
pemburu mencari jejak pencaindra
(Ayat-ayat Api, 2000)

Pengulangan bunyi pada larik yang berbunyi sunyi yang lebat pada baris ke-1,
ke-2, dan ke-3 ini bertujuan mempertegas suasana sepi yang ingin dirasakan
penyair saat itu. Kesepian itu seperti semak yang tumbuh lebat, menjalar ke

ujung-ujung jari, bola mata dan gendang telinga, sampai ke lidah dan ujung
hidung. Sehingga kesendirian yang dialami penyair begitu terasa nyata. Jadi,
tujuan penyair mengulangi kata sunyi pada baris pertama ingin menunjukkan
betapa sepi dan sendirinya ia ketika itu.
Selain gaya bahasa yang menunjukkan adanya penegasan dengan
menggunakan pengulangan atau pun penjumlahan kata-kata, dalam puisi juga
terdapat sarana yang menggunakan titik-titik banyak untuk mengganti perasaan
yang tidak terungkapkan. Sarana retorik semacam ini dikatakan oleh Pradopo
(2007:97) adalah retorik retisense. Pada umumnya penyair romantik banyak
menggunakan sarana retorika ini, lebih-lebih sajak romantik remaja banyak
menggunakannya. Seperti sajak karya J.E. Tatengkeng Kusuka Katakan
(1974:19; Pengkajian Puisi, 2007:97) berikut ini.

Kupandang bayang melompat-lompat,


Di padang rumput;
Kulihat daun bergerak cepat
O, kusuka sebut

Apalah warna mainan gerak,


Dan bisikan angina sayup gelak;
Tapi sukma masih ngeram
Dan diam di dalam

Oh, jangan kau paksa


Melahirkan rasa!
Biarlah aku menderita
Menanti ketika

Hiperbola adalah kiasan yang dalam mengungkapkan sesuatu maksud atau hal
apa pun secara berlebihan (Waluyo, 1987:85). Penyair merasa perlu melebihlebihkan hal yang dibandingkan itu agar mendapatkan perhatian yang lebih
seksama dari pembaca. Seperti pada sajak Emha Ainun Najib berikut ini.

PUTIH, PUTIH, PUTIH

Meratap bagai bayi


Terkapar bagai si tua renta
Di padang Mahsyar
Di padang penantian
Di depan pintu gerbang janji keabadian
Saksikan beribu-ribu jilbab
Hai! Bermilyar-milyar jilbab!
Samudera putih
Lautan cinta kasih
Gelombang sejarah
Pengembaraan amat panjang
Di padang Mahsyar
Menjelang hari perhitungan
Seribu galaksi
Hamparan jiwa suci
Bersujud
Putih, putih, putih
Bersujud
Menyeru belaian tangan kekasih
Bersujud
Dan alam raya
Jagad segala jagad
.
(Lautan Jilbab, 1989; Apresiasi Puisi, 2005)

Paradoks adalah sarana retorika yang menyatakan sesuatu secara berlawanan,


tetapi sebenarnya tidak sungguh-sungguh dipikir dan rasakan (Pradopo,
2007:99). Seperti: siang yang berselimut malam, ini sebuah kiasan yang artinya

di siang (keceriaan) hari tetapi terasa gelap (tidak menyenangkan) karena


tertutup langit malam (kesedihan), dalam kemenangan keselip kekalahan
(sebelum dapat meraih kemenangan, seseorang pasti pernah mengalami
kekalahan).
Bahasa kiasan menyebabkan puisi menjadi prismatis artinya memancarkan
banyak makna atau kaya akan makna (Waluyo, 1987:83). Oleh karena itu,
bahasa kiasan seringkali digunakan oleh penyair karena dianggap lebih efektif
untuk menyatakan atau mengungkapkan maksud penyair karena bahasa kias
mampu menghasilkan kesenangan imajinatif dan memberi imaji tambahan
dalam puisi. Sehingga yang abstrak menjadi konkret dan menjadikan puisi lebih
enak dinikmati pembaca. Selain itu, bahasa kias juga berpengaruh pada
intensitas pengungkapan perasaan penyair untuk puisinya dan dapat
mengonsentrasikan makna puisi yang luas dengan bahasa yang singkat.
4.

Citraan

Pencitraan atau pengimajian adalah pengungkapan pengalaman sensoris penyair


ke dalam kata dan ungkapan, sehingga terjelma gambaran yang lebih konkret.
Sehingga untuk memberi gambaran yang jelas, untuk menimbulkan suasana
yang khusus, untuk membuat lebih hidup gambaran dan pikiran serta
penginderaan dalam sebuah puisi yang dimaksudkan untuk menarik perhatian,
penyair juga menggunakan gambaran-gambaran angan (pikiran), di samping
alat kepuitisan yang lain. Menurut Waluyo (1987:78) citraan atau pengimajian
dapat dibatasi dengan pengertian berikut: kata atau susunan kata-kata yang
dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan, pendengaran,
dan perasaan. Dengan demikian, orang harus mengerti arti kata-kata, yang
dalam hubungan ini juga harus dapat mengingat sebuah pengalaman inderaan
objek-objek yang disebutkan atau diterangkan, atau secara imajinatif
membangun semacam pengalaman di luar hal-hal yang berhubungan sehingga
kata-kata akan secara sungguh-sungguh berarti kepada pembaca atau
pendengarnya. Jadi, dengan adanya citraan dapat lebih mengingatkan kembali
dari pada membuat baru kesan pikiran, sehingga pembaca terlibat dalam kreasi
puitis. Maka pembaca akan mudah menanggapi hal-hal yang dalam
pengalamannya telah tersedia simpanan imaji-imaji yang kaya.
Seperti yang telah dijelaskan di atas gambaran-gambaran angan atau
pengimajian itu ada bermacam-macam, yaitu dihasilkan oleh indera penglihatan,
pendengaran, perabaan, pengecapan, dan penciuman. Bahkan juga diciptakan
oleh pemikiran dan gerakan. Berdasarkan hal itu, Pradopo (2007:81)
menggolongkan citraan menjadi beberapa jenis, antara lain citraan yang
ditimbulkan oleh penglihatan (visual imagery), yang ditimbulkan oleh
pendengaran disebut citra pendengaran (auditory imagery) dan sebagainya.
Gambaran-gambaran angan yang bermacam-macam itu tidak digunakan secara
terpisah-pisah oleh penyair dalam sejaknya, melainkan digunakan bersamasama, saling memperkuat dan saling menambah kepuitisannya.

Citra penglihatan memberi rangsangan kepada indera penglihatan, hingga sering


hal-hal yang tidak terlihat jadi seolah-olah terlihat. Misalnya pada penggalan
sajak Sapardi Djoko Damono berikut ini.

TIGA SAJAK RINGKAS TENTANG CAHAYA

Cahaya itu, yang sesat


di antara pencakar langit,
sia-sia mencari
baying-bayangnya.
(Ayat-ayat Api, 2000)

Citraan pendengaran itu dihasilkan dengan menguraikan bunyi suara. Penyair


yang banyak menggunakannya disebut penyair auditif. Citraan pendengaran
seringkali berupa onomatope. Misalnya pada penggalan sajak Rendra berikut ini.

SURAT CINTA

Kutulis surat cinta ini


kala hujan gerimis
bagai bunyi tambur main
ank-anak peri dunia yang gaib.
Dan angin mendesah.
Wahai, dik Narti,
aku cinta kepadamu!
(Empat Kumpulan Sajak, 1961; Apresiasi Puisi, 2005)

Meskipun jarang digunakan seperti citra penglihatan dan pendengaran, citra


perabaan (tactile thermal imagery) juga banyak digunakan oleh para penyair.
Misalnya dapat dilihat pada sajak Subagio Sapardi Djoko Damono berikut ini.

KAMAR

ketika kumasuki kamar ini


pasti dikenalinya kembali aku
suara langkahku, nafasku
dan ujung-ujung jari yang dulu menyentuhnya
(Ayat-ayat Api, 2000)

Citraan yang begitu jarang dipergunakan ialah citraan penciuman dan


pengecapan. Namun sebagai contoh dapat dilihat sajak berikut ini.

Penciuman:
DI KUBURAN

hanya bebauan daunan busuk


dan serak batuan
sekitar samara
(Chairil Anwar, Mencari Makna, 2005)

Pengecapan:
SENJA DI JALAN PASEH

Seperti yang mendesak dalam diri


begitu manis, berat dan membasah
berwajah sejernih hati perawan
berdaun sejauh laut subuh
(Kirjomulyo, Romansa Perjalanan, 2000)

Ada juga citraan gerak (movement imagery atau kinaesthetic imagery). Imaji ini
menggambarkan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak, tetapi dilukiskan
seperti dapat bergerak. Citraan gerak ini membuat hidup dan gambaran jadi
dinamis. Misalnya pada sajak Sapardi Djoko Damono berikut ini.

AKU TENGAH MENANTIMU

aku tengah menantimu, mengejang bunga randu alas


di pucuk kemarau yang mulai gundul itu
berapa juni saja menguncup dalam diriku dan kemudian layu
(Ayat-ayat Api, 2000)

Di bawah ini penyair mengggunakan bermacam-macam citraan secara bersamasama. Misalnya pada sajak berikut.

TROMPET

Terompet dilengkingkan napas nestapa


bagai pekik elang tua
membuat garis di pasir pantai
Bau pandan di sepi malam
duri-durinya menyuruk di daging.
Amboi, aroma daun pandan!
Amboi amis darah dan daging!
Nestapa!
Maha duka!
Didambakannya dahlia dua tangkai,
burung-burung dua pasang,
emas fajar yang pertama.
Nestapa! Maha duka!

Menyepak-nyepak dalam dada


buyar napas isi rasa
lepas lewat kerongkongan tembaga.
Terompet dilengkingkan napas nestapa.
Arwah leluhur mencekik malam dena
(Empat Kumpulan Sajak, 1978; Pengkajian Puisi, 2007)

Penyair menggunakan banyak menggunakan imaji auditif seperti: terompet


dilengkingkan dan pekik elang. Kata-kata bau pandan, aroma daun pandan,
dan amis darah dan daging merupakan pengimajian penciuman. Imaji perabaan
terdapat pada baris ke-5 yang berbunyi duri-durinya menyuruk di daging.
Penyair juga mengimajikan citra penglihatan pada puisinya contohnya emas
fajar yang pertama. Selain itu ada pula diselipkan citra gerak yakni pada barisbaris terakhir yang berbunyi menyepak-nyepak dalam dada.
Untuk memberi suasana khusus dan memberi gambaran suatu tempat secara
jelas penyair menggunakan kesatuan citra-citra yang masih dalam satu ruang
lingkup. Ada kalanya penyair juga menggunakan imaji-imaji pedesaan, alam,
dalam sajak-sajaknya, atau dapat juga dengan menggunakan imaji yang
memberi gambaran tentang citra-citra kekotaan dan khidupan modern. Misalnya
pada sajak Agnes Sri Hartini Arswendo yang berikut ini. Penyair menggunakan
imaji yang menggambarkan citra-citra pedesaan dan alam.

DARI JENDELA

Dari jendela kaca kereta Senja kusaksikan


anakku berlari menerobos sawah dan kali
berjalan di atas batang padi
dengan longdress putih dan sayap bidadari

hujan turun dan kabut tebal sekali


itu semua tak menahan penglihatanku lewat kaca
itu semua tak menahan kemauannya menari

ia tak menoleh ke arahku

tapi aku pasti


ia tampak girang sekali
bermain-main di tempat tanpa batas

Dari jendela kaca kereta Senja kusaksikan


wajah sendiri
tergeletak di antara sawah, kali, dan batang padi.
(Batang Padi IV, 1987; Apresiasi Puisi, 2005)

Puisi di atas menggambarkan hal-hal yang cenderung ditemui di pedesaan,


misalnya sawah, kali, batang padi, suasana alam berkabut. Sedangkan imajiimaji kekotaan dan kehidupan dunia modern dapat dilihat pada sajak Sapardi
Djoko Damono berikut.

IKLAN

Ia penggemar berat iklan. Iklan itu sebenar-benar


hiburan, kata lelaki itu. Siaran berita dan cerita itu
sekedar selingan. Ia tahan seharian di depan televise.
istrinya suka menyediakan kopi dan kadang-kadang
kacang atau kentang goreng untuk menamaninya
mengunyah iklan.
Anak perempuannya suka menatapnya aneh jika ia
menirukan lagu iklan supermi kepalanya bergoyanggoyang dan matanya berbinar-binar. Anak lelakinya
sering memandangnya curiga jika ia tertawa melihat
badut itu mengiklankan sepatu sandal kakinya digerakgerakkannya ke kanan-kiri. Dan istrinya suka tidak

paham jika ia mendadak terbahak-bahak ketika


menyaksikan iklan tentang kepedulian sosial itu dua
tangannya terkepal dan dihentak-hentakkannya.
Lelaki itu meninggal seminggu yang lalu; konon yang
terakhir diucapkannya sebelum Allahuakbar adalah
Hidup Iklan! sejak itu istrinya gemar duduk di depan
televisi, bersama-sama anak-anaknya, menebak-nebak iklan
mana gerangan yang menurut dokter itu telah
menyebabkan begitu bersemangat sehingga
jantungnya mendadak berhenti.
(Ayat-ayat Api, 2000)

Penyair secara jelas mengimajikan suasana kota, dan kehidupan modern yang
ditampilkan itu tergambar dari kata-kata dalam puisinya, seperti televisi, iklan,
kentang goreng, dokter, dan badut yang kata-kata tersebut cenderung
menggambarkan kehidupan modern di kota. Jadi, sajak yang menunjukkan
adanya kesatuan citraan membuat jelas dan memberi suasana khusus. Seperti
sajak di bawah ini, citra-citranya menunjukkan citraan kesedihan. Misalnya pada
sajak Kirjomulyo berikut ini.

DUKA

Di ujung malam
orang hendak melupakan duka

Ke mana duka akan terlempar


datangnya serupa hari

serupa ada
serupa tak ada
(Romansa Perjalanan, 2000)

Citraan yang terdapat dalam sajak di atas menggambarkan atau menunjukkan


perjalanan hidup anak manusia yang tidak dapat diketahui kapan berakhir, hal
ini terlihat jelas pada korespondensi kata-kata yang dipilih. Namun perlu juga
sajak-sajak yang tidak menunjukkan kesatuan citraan akan menyebabkan makna
atau gambaran puisi menjadi gelap, karena tidak adanya saling hubungan antara
kata yang satu dengan kata yang lain atau antara kalimat yang satu dengan
kalimat yang lain.
5.

Irama

Satu hal yang masih erat hubungannya dengan pembicaraan bunyi adalah
irama. Bunyi-bunyi yang berulang, pergantian yang teratur, dan variasi-variasi
bunyi menimbulkan suatu gerak yang hidup, seperti gercik air yang mengalir
turun tak putus-putus. Gerak yang teratur itulah yang disebut irama. Irama
dalam bahasa adalah pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembut
ucapan bunyi bahasa yang teratur. Irama itu dapat dibagi menjadi dua macam,
yaitu metrum dan ritme. Metrum adalah irama yang tetap, artinya pergantiannya
sudah tetap menurut pola tertentu. Sedangkan ritme adalah irama yang
disebabkan pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur,
tetapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap, melainkan hanya menjadi
gema dendang sukma penyairnya.
Dalam puisi timbulnya irama itu karena perulangan bunyi berturut-turut dan
bervariasi, misalnya sajak akhir, asonansi, dan aliterasi. Begitu juga karena
adanya pararelisme-pararelisme, ulangan-ulangan kata, ulangan-ulangan bait.
Selain itu, disebabkan pula oleh tekanan-tekanan kata yang bergantian keras
lemah, disebabkan oleh sifat-sifat konsonan dan vokalnya atau panjang-pendek
kata, atau kelompok-kelompok sintaksis berupa gatra atau kelompok kata.
Pada puisi-puisi Indonesia, puisi dengan metrum tertentu dapat dikatakan tidak
ada. Apabila terdapat metrum, maka bersifat individual, artinya metrum-metrum
itu buatan-buatan penyair-penyair pribadi yang saling berbeda, tanpa aturan dan
patokan tertentu. Sebenarnya yang mempunyai metrum adalah pantun dan
syair. Hal ini disebabkan jumlah suku kata yang cenderung tetap dalam tiap baris
baitnya dan oleh persajakan (tengah dan akhir) yang tetap.
Begitu juga dalam sajak-sajak Pujangga Baru kelihatan seperti mempunyai
metrum karena bentuknya yang teratur rapi dan jumlah suku kata yang
cenderung tetap. Misalnya sajak karya Amir Hamzah ini.

DOA POYANGKU

Poyangku rata meminta sama


Semoga sekali aku diberi

Memetik kecapi , kecapi firdusi


Menampar rebana, rebana swarga
.

Para penyair sesungguhnya lebih memerhatikan ritme pada puisinya. Ritme ini
didasari oleh adanya pertentangan bunyi, membuat perulangan, juga untuk
membuat irama itu penyair juga dapat melakukannya dengan menyingkat kata,
misalnya hadir menjadi dir, hendak menjadi nak, atau manusia menjadi nusia.
Memilih kata yang cocok bunyinya: pitunang poyang, habis kikis, atau selaras
dengan kata yang dikombinasikan itu, dan sebagainya. Dengan adanya irama
itu, selain puisi terdengar merdu, mudah dibaca, juga hal ini menyebabkan aliran
perasaan ataupun pikiran yang tidak terputus dan terkonsentrasi sehingga
menimbulkan bayangan angan (imaji-imaji) yang jelas dan hidup. Hal ini
menimbulkan juga adanya pesona atau daya magis hingga melibatkan para
pembaca atau pendengar ke dalam keadaan extase (bersatu diri dengan
objeknya).
Puisi yang merdu bunyinya dikatakan melodius: berlagu seolah-olah seperti
nyanyian yang mempunyai melodi. Misalnya seperti sajak M. Yamin berikut ini.

Tanahku bercerai seberang-menyeberang


Merapung di air, malam dan siang
Sebagai telaga dihiasi kiambang
Sejak malam diberi kelam
Sampai purnama terang-benderang
Di sanalah bangsaku gerangan menopang
Selama berteduh di alam nan lapang
(Indonesia Tanah Darahku, Tonggak I, 1987; Apresiasi Puisi, 2005)

Melodi adalah panduan susunan deret suara yang teratur dan berirama. Melodi
itu timbul karena pergantian nada kata-katanya, tinggi rendah bunyi yang
berturut-turut. Bedanya melodi nyanyian dengan puisi ialah terletak pada
macam bunyi (nada) yang terdapat pada sajak itu tidak seberapa banyak dan
intervalnya (jarak nada) juga terbatas. Irama, metrum, dan melodi itu bekerja
sama dalam sajak hingga membentuk kesatuan yang bercorak indah.
Pada saat berdeklamasi, irama puisi ini dapat tercipta dengan tekanan-tekanan,
jeda (waktu yang dipergunakan deklamator untuk perhentian suara). Deklamator

atau tris harus memerhatikan irama puisi itu sebab tiap-tiap puisi membawa
iramanya sendiri-sendiri. Dalam melodisasi puisi, irama puisi itu pun sudah
menentukan lagunya. Selain itu, irama dan ketepatan ekspresi dalam
berdeklamasi didapatkan dengan mempergunakan tekanan-tekanan pada kata.
Ada tiga jenis tekanan, yaitu tekanan dinamik, tekanan nada, dan tekanan
tempo. Tekanan dinamik ialah tekanan pada kata yang terpenting, menjadi sari
kalimat dan bait sajak. Tekanan nada ialah tekanan tinggi (rendah). Perasaan
girang dan gembira, perasaan marah, keheranan sering menaikkan suara,
sedang perasaan sedih merendahkan suara. Tekanan tempo ialah lambat
cepatnya pengucapan suku kata atau kata dan kalimat.
Pada seni sastra khususnya sajak, irama membuat rangkaian kata-kata seolaholah hidup dan bernyawa (Surana, 2001:25). Dalam kehidupan sehari-hari
banyak kita jumpai irama, dengan irama kita berbicara, berbaris, bernyanyi,
menumbuk padi, menari, dan sebagainya. Irama itu mendatangkan rasa senang,
walaupun juga dapat menimbulkan rasa mencekam. Irama yang tetap dan
beraturan timbulnya di dalam puisi disebut kaki sajak. Tiap-tiap larik terbagi atas
dua alun irama. Perhentian di antara dua alun itu disebut cesura. Cesura itu
digambarkan dengan garis miring (/). Misalnya dapat dilihat pada kutipan puisi
Doa Poyangku Amir Hamzah dibawah ini.

Poyangku rata / meminta sama


Semoga sekali / aku diberi
Memetik kecapi / kecapi firdusi
Menampar rebana / rebana swarga

Dua alun irama ini dalam puisi sangat penting. Sastrawan-sastrawan modern
tidak mau lagi menggunakan puisi berdasarkan dua alun suara ini, sama halnya
dengan puisi-puisi populer juga telah mengabaikannya. Mereka lebih bebas dan
mementingkan keutuhan pengertian, bukan ikatan alun irama.
Dalam seni sastra Barat, irama itu dinyatakan dengan tanda (-) yang disebut
arsis, untuk suku kata yang mendapat tekanan keras (panjang). Sedangkan kata
yang mendapat tekanan lunak (pendek) dinyatakan dengan tanda (^), yang
diberi nama thesis. Berikut dapat dilihat pada kutipan puisi Ballada Terbunuhnya
Atmo Karpo Rendra sebagai berikut.

- ^ - ^

^^

^ - ^

- ^ ^ ^

Dengan kuku-kuku besi, kuda menebah perut bumi


- ^

^ ^ -^

- ^

- -

^ -

^ ^ - ^

- ^

Bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya pada pucuk-pucuk para


^

- ^

-- - -

- ^

^ -

^ -

^- ^

Mengepit kuat-kuat lutut penunggang perampok yang diburu


- ^ -

^ -

- ^

^^-

^- ^

Surai bau keringat basah jenawipun telanjang

Kata-kata yang mendapat penekanan pada tiap baris larik di atas ditandai
dengan pelantunan irama bertekanan lembut (rendah) seperti: kuku-kuku besi
dan perut bumi.
Nama-nama yang membentuk kaki puisi yaitu: 1) / ^ - / ^ - / (jambe), 2) / ^ ^ - /
^ ^ - / (anapes), 3) / - ^ / - ^ / (troacheus), dan 3) / - ^ ^ / - ^ ^ / (dactylus).
Suku kata dalam jambe bervariasi, ada yang diberi tekanan dan ada yang tidak.
Ada yang bertekanan keras dan lembut. Pada troacheus, tekanan keras terdapat
pada suku kata pertama. Pada daktylus, tekanan terdapat pada awal baris, dan
selanjutnya diselingi dua suku kata tidak bertekanan. Pada anapest tekanan
dimulai pada suku kata ketiga dan pada awal kata tidak bertekanan (Waluyo,
1987:96).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa puisi modern termasuk puisi
populer dinyatakan bahwa lebih mementingkan makna dari pada alun irama.
Namun pada tiap larik puisi tetap mempunyai irama dalam setiap
pembacaannya. Jadi, dalam puisi populer perulangan bunyi dan tekanan-tekanan
kata yang bergantian keras lemah, disebabkan oleh konsonan dan vokal atau
panjang pendek kata, juga disebabkan adanya kelompok sintaksis dapat
menimbulkan irama. Seperti halnya puisi pada umumnya, puisi populer dengan
metrum tertentu cukup sulit ditemukan. Namun jika ada metrum itu hanya
buatan-buatan penyair-penyair secara pribadi yang tentunya berbeda satu
dengan lainnya, tanpa aturan dan patokan tertentu.

Secara sederhana, batang tubuh puisi terbentuk dari beberapa UNSUR-UNSUR


PUISI , yaitu kata, larik , bait, bunyi, dan makna. Kelima unsur ini saling
mempengaruhi keutuhan sebuah puisi. Secara singkat bisa diuraikan sebagai
berikut.
Kata adalah unsur utama terbentuknya sebuah puisi. Pemilihan kata (diksi) yang
tepat sangat menentukan kesatuan dan keutuhan unsur-unsur yang lain. Katakata yang dipilih diformulasi menjadi sebuah larik.
Larik (atau baris) mempunyai pengertian berbeda dengan kalimat dalam prosa.
Larik bisa berupa satu kata saja, bisa frase, bisa pula seperti sebuah kalimat.
Pada puisi lama, jumlah kata dalam sebuah larik biasanya empat buat, tapi
pada puisi baru tak ada batasan.
Bait merupakan kumpulan larik yang tersusun harmonis. Pada bait inilah
biasanya ada kesatuan makna. Pada puisi lama, jumlah larik dalam sebuah bait
biasanya empat buah, tetapi pada puisi baru tidak dibatasi.
Bunyi dibentuk oleh rima dan irama.

Rima (persajakan) adalah bunyi-bunyi yang ditimbulkan oleh huruf atau kata-

kata dalam larik dan bait.

Irama (ritme) adalah pergantian tinggi rendah, panjang pendek, dan keras

lembut ucapan bunyi. Timbulnya irama disebabkan oleh perulangan bunyi


secara berturut-turut dan bervariasi (misalnya karena adanya rima,
perulangan kata, perulangan bait), tekanan-tekanan kata yang bergantian
keras lemahnya (karena sifat-sifat konsonan dan vokal), atau panjang pendek
kata.
Dari sini dapat dipahami bahwa rima adalah salah satu unsur pembentuk
irama, namun irama tidak hanya dibentuk oleh rima. Baik rima maupun irama
inilah yang menciptakan efek musikalisasi pada puisi, yang membuat puisi
menjadi indah dan enak didengar meskipun tanpa dilagukan.
Makna adalah unsur tujuan dari pemilihan kata, pembentukan larik dan bait.
Makna bisa menjadi isi dan pesan dari puisi tersebut. Melalui makna inilah misi
penulis puisi disampaikan.
Adapun secara lebih detail, unsur-unsur puisi bisa dibedakan menjadi dua
struktur, yaitu struktur batin dan struktur fisik.
Struktur batin puisi, atau sering pula disebut sebagai hakikat puisi, meliputi
hal-hal sebagai berikut.
(1) Tema/makna (sense);
media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan
makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun
makna keseluruhan.
(2) Rasa (feeling)
yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam
puisinya. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang
sosial dan psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis
kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman
sosiologis dan psikologis, dan pengetahuan. Kedalaman pengungkapan tema
dan ketepatan dalam menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada
kemampuan penyairmemilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi
saja, tetapi lebih banyak bergantung pada wawasan, pengetahuan,
pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis
dan psikologisnya.
(3) Nada (tone)
yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan
tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui,
mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah,
menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong,
menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll.
(4) Amanat/tujuan/maksud (itention)
sadar maupun tidak, ada tujuan yang mendorong penyair menciptakan puisi.
Tujuan tersebut bisa dicari sebelum penyair menciptakan puisi, maupun dapat
ditemui dalam puisinya.
Sedangkan struktur fisik puisi, atau terkadang disebut pula metode puisi, adalah
sarana-sarana yang digunakan oleh penyair untuk mengungkapkan hakikat puisi.
Struktur fisik puisi meliputi hal-hal sebagai berikut.

(1) Perwajahan puisi (tipografi)


yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanankiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan
huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat
menentukan pemaknaan terhadap puisi.
(2) Diksi
yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena
puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan
banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan
kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan
urutan kata.
(3) Imaji

yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman


indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi
menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji
raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakanakan melihat, mendengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.
(4) Kata kongkret
yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan
munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang.
Misal kata kongkret salju: melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup,
dll, sedangkan kata kongkret rawa-rawa dapat melambangkan tempat kotor,
tempat hidup, bumi, kehidupan, dll.
(5) Bahasa figuratif
yaitu bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan
menimbulkan konotasi tertentu (Soedjito, 1986:128). Bahasa figuratif
menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna
atau kaya akan makna (Waluyo, 1987:83). Bahasa figuratif disebut juga majas.
Adapaun macam-amcam majas antara lain metafora, simile, personifikasi,
litotes, ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis,
alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga
paradoks.
(6) Versifikasi
yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah persamaan bunyi
pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup
(1) onomatope (tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang memberikan efek magis
pada puisi Sutadji C.B.)
(2) bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan
awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata], dan
sebagainya [Waluyo, 187:92])
(3) pengulangan kata/ungkapan. Ritma adalah tinggi rendah, panjang pendek,
keras lemahnya bunyi. Ritma sangat menonjol dalam pembacaan puisi.

Pengertian Bunyi, Rima dan Irama pada Puisi

41 Votes

Bunyi dibentuk oleh rima dan irama.


Rima (persajakan) adalah bunyi-bunyi yang ditimbulkan oleh huruf atau kata-kata
dalam larik dan bait atau persamaam bunyi dalam puisi.
Sedangkan irama (ritme) adalah pergantian tinggi rendah, panjang pendek, dan
keras lembut ucapan bunyi. Timbulnya irama disebabkan oleh perulangan bunyi
secara berturut-turut dan bervariasi (misalnya karena adanya rima, perulangan

kata, perulangan bait), tekanan-tekanan kata yang bergantian keras lemahnya


(karena sifat-sifat konsonan dan vokal), atau panjang pendek kata.

Pengertian Bunyi, Rima dan Irama pada Puisi


Dalam puisi bunyi bersifat estetik, merupakan unsur puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif.
Bunyi ini erat hubungannya dengan anasir-anasir musik, misalnya : lagu, melodi, irama, dan sebagainya.
Bunyi di samping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu untuk memperdalam ucapan,
menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas ; menimbulkan suasana yang khusus dan sebagainya .

Dari sini dapat dipahami bahwa rima adalah salah satu unsur pembentuk
irama, namun irama tidak hanya dibentuk oleh rima. Baik rima maupun irama
inilah yang menciptakan efek musikalisasi pada puisi, yang membuat puisi
menjadi indah dan enak didengar meskipun tanpa dilagukan.
Jenis- jenis Rima

Rima sempurna, yaitu persama bunyi pada suku-suku kata terakhir.


Rima tak sempurna, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada sebagian suku kata
terakhir.
Rima mutlak, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada dua kata atau lebih secara
mutlak (suku kata sebunyi)
Rima terbuka, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada suku akhir terbuka atau
dengan vokal sama.
Rima tertutup, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada suku kata tertutup
(konsonan).
Rima aliterasi, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada bunyi awal kata pada baris
yang sama atau baris yang berlainan.
Rima asonansi, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada asonansi vokal tengah kata.

Rima disonansi, yaitu persamaan bunyi yang terdapaat pada huruf-huruf


mati/konsonan.

Macam Ragam Bunyi


Ragam bunyi cacophony

Bunyi cachophony dapat dipakai untuk menciptakan suasana-suasana


ketertekanan, keterasingan, kesedihan, syahdu, suram, haru, pilu, dan
sbagainya. Secara visual ragam bunyi ini banyak memakai konsonan /b/, /p/,
/m/, /k/, /h/, /p/, /t/, /s/, /r/, /ng/, /ny/
Ragam bunyi euphony.
Bunyi euphony dipakai untuk menghadirkan suasana keriangan, semangat,
gerak, vitalitas hidup, kegembiraan, keberanian dan sebagainya. Secara visual
ragam euphony didominasi dengan penggunaan bunyi-bunyi vocal. Efoni
biasanya untuk menggambarkan perasaan cinta atau hal-hal yang
menggambar kankesenangan lainnya.
Contoh efoni antara lain : berupa kombinasi bunyi-bunyi vokal (asonansi) a, e,
i, u, o dengan bunyi-bunyi konsonan bersuara (voiced) seperti b, d, g, j, bunyi
liquida seperti r dan l, serta bunyi sengau seperti m, n, ny, dan ng.
Bunyi anamatope
Bunyi anamatope disebut sebagai lambang rasa, merupakan bunyi yang
menghadirkan bunyi-bunyi makhluk hidup, alam, inatang dan sebagainya.
Misalnya saja ringkik kuda, lenguh kerbau, cit-cit ayam, gericik air, tik-tik
hujan.

Bunyi dibedakan dua aspek :


a. Aspek Inheren
Ialah kekhususan bunyi a, o , atau p. Aspek ini disebut sifat bunyi atau bunyi indah( musicality,euphony)

b. Aspek Rasional
Ialah dasar irama dan guru lagu : nada (tinggi rendah), tempo (lama atau sebentar), dinamik (kuat atau lemah),
ulangan (jarang atau tetap).
Dalam puisi bunyi dipergunakan sebagai orkestrasi, ialah untuk menimbulkan bunyi musik. Bunyi konsonan dan vokal
disusun begitu rupa sehingga menimbulkan
bunyi yang merdu dan berirama seperti bunyi musik. Dari bunyi musik ini dapatlah mengalir perasaan, imaji-imaji
dalam pikiran atau pengalaman-pengalaman jiwa

Di dalam puisi bunyi kata itu di samping tugasnya yang utama sebagai simol
arti dan juga untuk orkestarsi,digunakan sebagai:
1) Peniru bunyi atau anomatope
2) Lambang suara (kleanksymboliek)
3) Kiasan suara (klankmtapthoor)
Lambang rasa dihubungkan dengan suasana hati, suasana hati ringan, riang, dilukiskan dengan bunyi vocal e dan I
yang terasa ringan, tinggi, kecil. Bila pemakaian bunyi tidak disesuaikan atau dihubungkan dengan peniru bunyi,
kiasan bunyi, dan lambing rasa, hanya sebagai hiasan dan permainan bunyi saja, tidak untuk mengintensifkan arti,
maka tidak mempunyai atau kurang mempunyai daya ekspresi. Bahkan yang seperti itu akan mengurangi atau
menghilangkan kepuitisannya

Dalam karya sastra aspek irama ( ukuran waktu atau tempo ) juga penting
dalam persoalan yang lebih penting adalah menerangkan sifat-sifat irama baik
dalam puisi atau prosa. Dalam puisi irama merupakan factor penting.
Sedangkan dalam prosa, irama dipahami seperti irama dalam percakapan
sehari-hari.
c. Intonasi
Intonasi atau lagu kalimat berkaitan dengan ketepatan dalam menentukan keras-lemahnya pengucapan suatu kata.
Intonasi dan artikulasi sangat berkaitan dengan irama. Irama merupakan unsur sangat penting dan jiwa dari sebuah
puisi. Irama adalah totalitas dari tinggi rendah, keras lembut, dan panjang pendek suara. Irama puisi tercipta dengan
melakukan intonasi.

Ada 3 jenis intonasi dalam pembacaan puisi:


Intonasi dinamik, yaitu tekanan pada kata-kata yang dianggap penting.
Intonasi nada, yaitu tekanan tinggi rendahnya suara. Suara tinggi menggambarkan keriangan, marah, takjub, dan lain
sebagainya. Sementara, suara rendah mengungkapkan kesedihan, pasrah, ragu, putus asa, dan lain sebagainya.
Intonasi tempo, yaitu cepat lambat pengucapan suku kata atau kata.

Pengertian Bunyi, Rima dan Irama pada Puisi

Anda mungkin juga menyukai