Anda di halaman 1dari 55

Makalah: Kedudukan, Fungsi dan Jenis Bunyi Dalam Puisi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Karya sastra pada dasarnya merupakan ungkapan penulis terhadap keadaan dan
pengalaman hidup yang menggunakan media bahasa sebagai perantara atau pengungkapan
ekspresi. Oleh sebab itu, karya sastra pada umumnya, berisi tentang permasalahan yang
melingkupi dalam kehidupan manusia. Kemunculan sastra lahir dilatar belakangi adanya
dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan eksistensi dirinya.
Karya sastra yang perkembangannya sangat pesat yaitu puisi. Bahkan sebelum
Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia sebenarnya telah bersastra yaitu dengan mantra,
doa-doa untuk dewa atau nenek moyang. Hal ini menunjukkan bahwa peran puisi dalam
kehidupan merupakan sesuatu yang dominan dalam menunjukkan jati diri hidup.
Jika melihat hakikat dari puisi yaitu salah satu bentuk karya sastra yang diungkapkan
dengan menggunakan bahasa yang padat, mendobrak dan penuh dengan makna. Puisi
dibentuk oleh kata-kata yang benar-benar terpilih, terseleksi dan melalui proses yang ketat.
Puisi merupakan hasil ungkapan perasaan penyair yang dituangkan melalui kata-kata atau
bahasa yang sengaja dipilih penyair untuk mewakili perasaannya. Dalam pengertian ini, maka
makna dalam puisi menyatakan sesuatu secara tak langsung, yaitu mengatakan sesuatu hal
dengan arti yang lain atau makna dibalik susunan kata-kata dan tipografinya.
Sebagai salah satu jenis sastra, puisi merupakan pernyataan sastra yang paling utama.
Segala unsur sastra mengental dalam puisi. Puisi mengandung karya estetis yang bermakna,
mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, merangsang panca indra dalam
susunan yang berirama. Puisi merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang
diubah dalam wujud yang paling berkesan.
Melalui puisi kita dapat merasakan tawa, tangis, senyum, berfikir, merenung, terharu
bahkan emosi dan marah. Sampai saat ini, puisi selalu mengikat hati dan digemari oleh semua
lapisan masyarakat karena keindahan dan keunikannya. Oleh karena kemajuan masyarakat
dari masa kemasa selalu meningkat, maka corak, sifat dan bentuk puisi selalu berubah,
mengikuti perkembangan konsep estetika yang selalu berubah dan kemajuan intelektual yang
selalu meningkat.
Kondisi pengajaran sastra di sekolah saat ini sangat memprihatinkan, pengajaran
sastra termasuk puisi hanya dipandang sebagai mata pelajaran yang monoton. Hal ini
dikarenakan daya apresiasi sastra hanya menekankan pada aspek afektif yang berkutat
dengan rasa, nurani, nilai-nilai dan seterusnya. Selain itu, kesulitan dalam memaknai sebuah
karya sastra, juga menjadi masalah yang dominan. Tentunya dibutuhkan sebuah cara atau
teknik yang baru dalam mengajarkan puisi atau sastra. Melalui makalah ini, kami mencoba
untuk membahas tentang hakikat puisi dan beberapa cara atau teknik dalam pengajaran puisi.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah makalah ini, yaitu sebagai berikut.
1. Bagaimana kedudukan bunyi dalam puisi?
2. Apa sajakah fungsi bunyi dalam puisi?
3. Apa saja jenis bunyi dalam puisi?
C. Tujuan
Tujuan yang akan dicapai dengan adanya makalah ini, yaitu sebagai berikut.
1. Mengetahui kedudukan bunyi dalam puisi
2. Mengetahui fungsi bunyi dalam puisi
3. Mengetahui jenis bunyi dalam puisi
D. Manfaat
1. Sumbangan pemikiran dalam peningkatan pengajaran sastra pada umumnya dan puisi pada
khususnya.
2. Bahan acuan bagi peneliti selanjutnya yang bermaksud mengadakan penelitian yang lebih
luas dan mendalam tentang sastra pada umumnya dan puisi pada khususnya.
3. Memberi gambaran bahwa analisis bunyi di dalam sajak puisi merupakan sesuatu yang
bermanfaat di mana kita dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan, serta kepuitisan sebuah
puisi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Bunyi
Dalam puisi, bunyi bersifat estetik, merupakan unsur puisi untuk mendapatkan
keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi ini erat hubungannya dengan anasir-anasir musik,
misalnya lagu, melodi, irama dan sebagainya.
Menurut kamus istilah sastra (Laelasari,2006:58) Bunyi merupakan nada, laras, suara
yang ditangkap atau diterima oleh alat indera, terutama alat-alat bicara.
B. Kedudukan Bunyi dalam Sajak
Bunyi adalah sesuatu yang sangat penting dalam sajak karena bunyi mempunyai efek
dan kesan tersendiri. Ia memberikan penekanan, menyarankan makna, dan suasana tertentu
(Atmazaki, 2008:72).
Bunyi dalam sajak memegang peranan penting. Tanpa bunyi yang ditata secara serasi dan
apik, unsur kepuitisan di dalam sajak tidak mungkin dibangun. Dengan demikian, bunyi di
dalam sajak memiliki peran ganda. Jika di dalam prosa-fiksi- bunyi berperan menentukan
makna, maka didalam sajak, bunyi tidak hanya sekedar menentukan makna melainkan ikut
menentukan nilai estetis sajak.
Peran ganda unsur bunyi di dalam sajak menempatkan aspek ini (bunyi) pada kedudukan
yang penting. Bunyi begitu fungsional dan mendasar di dalam penciptaan sajak. Sebelum
sampai kepada unsur-unsur lain, maka lapis bunyi berperan terlebih dahulu. Jika unsur bunyi
di dalam puisi tidak dimanfaatkan secara baik oleh penyair, maka tidak dapat diharapkan
timbulnya suatu suasana dan pengaruh pada diri pembaca atau penikmat puisi ketika
berhadapan dengan puisi yang diciptakannya. Dengan demikian, sugesti di dalam diri
pembaca dan penikmat puisi juga tidak akan muncul.
Unsur yang menonjol dari puisi yang mementingkan unsur bunyi adalah aspek
musikalitasnya. Musikalitas yang ditimbulkan mungkin saja berasal dari perulangan bunyi
yang sama bisa juga dari pemanfaatan bunyi dengan cara mempolakannnya secara teratur.
Cara-cara semacam ini mampu membangkitkan, mengarahkan asosiasi pembaca atau
penikmat puisi untuk bisa sampai pada suasana haru.
Bunyi memang dapat menciptakan efek dan kesan. Bunyi mampu memberikan
penekanan, dan dapat pula menimbulkan suasana tertentu. Mendengar bunyi jengkerik
malam hari akan menimbulkan efek semakin terasa sepinya malam, suatu keheningan.
Mendengar suara kicau burung yang bersahut-sahutan di pagi hari, akan membangkitkan
suasana riang, sedangkan mendengar suara lolongan anjing di tengah malam akan
menciptakan suasana mencekam yang membangkitkan bulu roma. Bunyi-bunyi yang berasal
dari hewan tersebut secara konvensi bahasa manusia tidak dapat dipahami maknanya, tetapi
dari suasana yang diciptakan dapat dirasakan kesannya.
Dengan demikian, bunyi disamping sebagai hiasan yang dapat membangkitkan
keindahan dan kepuitisan, juga ikut berperan membentuk suasana yang mempertajam makna.
Bunyi sekaligus menimbulkan daya saran yang efektif dan memancing sugestif.
Bunyi erat hubungannya dengan unsur musikalitas. Bunyi vokal dan konsonan jika
dirangkai dan disusun sedemikian rupa akan mampu menimbulkan bunyi yang menarik dan
berirama. Bunyi berirama ini menimbulkan tekanan tempo dan dinamik tertentu seperti
layaknya bunyi musik dan melodi.
C. Fungsi Bunyi dalam Puisi
Bunyi dalam sajak adalah salah satu sarana kepuitisan di samping sarana-sarana lain.
Sebagian keindahan sajak terletak pada bunyi.
Adapun fungsi bunyi dalam puisi sebagai berikut:
a. Untuk penyair, bunyi dapat lebih kuat mengungkapkan perasaan yang akan di sampaikan.
b. Untuk pembaca, bunyi dapat menolong mencari kejelasan kesan serta kemerduan puisi.
c. Bunyi mempunyai fungsi tenaga ekspresif, sementara nilai sebuah sajak sebagai karya seni
terletak pada kekuatan ekspresinya yang total dan tandas. Ekspresi yang penuh itu adalah
ekspresi yang memanfaatkan segala potensi bahasa dengan maksimal. Salah satu potensi itu
adalah potensi bunyi.
d. Bunyi berfungsi sebagai sarana musikalitas dalam sajak yang diciptakan dengan sadar oleh
penyair. Maksudnya, bunyi yang muncul secara teratur dan berulang itu, sebenarnya,
diakibatkan oleh kemampuan penyair secara sadar dalam mencari, menemukan, memilih, dan
bahkan menciptakan kata-kata yang mempunyai persamaan atau pertentangan bunyi.
e. Bunyi dapat berfungsi mengarahkan perhatian orang yang membaca atau mendengarnya.
D. Jenis-Jenis Bunyi dalam Sajak
Ada tiga ciri umum puisi, yang pertama adalah pola bunyi atau rima. Rima adalah
penataan unsur bunyi yang ada dalam kata. Penataan ini berupa pengulangan bunyi yang
sama pada satuan baris atau pada baris-baris berikutnya dalam bait. Contohnya puisi lama
seperti pantun dan syair, pola bunyi sifatnya tetap. Contohnya pantun berima ab-ab dan syair
berima aa-aa. Yang kedua adalah irama. Irama terlihat sangat jelas saat puisi dibacakan.
Intonasi, penekanan kata, tempo, dan penataan rima memunculkan irama puisi. Yang ketiga
adalah pilihan kata atau diksi. Kata-kata pilihan berfungsi untuk menyampaikan makna puisi.
Kata-kata juga dipilih berdasarkan efek bunyi yang ditimbulkan jika dibacakan. Kata-kata
yang dipilih dapat berupa kata-kata yang objektif maupun emotif.
Menurut Hasanuddin (2002:56) terdapat berbagai beberapa unsur bunyi yaitu irama,
kakafoni dan efoni, onomatope, aliterasi, asonansi, anafora dan epifora.
Selanjutnya, menurut Atmazaki (2008:76) terdapat beberapa macam bunyi dalam
sajak. Di antaranya rima dan irama, aliterasi dan asonansi, efoni dan kakafoni, anafora,
onomatope, dan metrum.
Sedangkan menurut Waluyo (1995:90) bunyi terbagi menjadi rima dan ritma.
1. Irama
Irama merupakan bunyi yang teratur, terpola, menimbulkan variasi bunyi, sehingga
dapat menimbulkan suasana. Dengan demikian, irama tidak hanya tercipta didalam sajak
dengan pola-pola bunyi yang teratur, namun juga oleh suasana yang tecipta. Suasana
melankolis akan menyebabkan tempo lambat pada sajak tersebut. Suasana meledak-ledak
akan menyebabkan tekanan dinamik tinggi. Beberapa pendapat menyatakan bahwa irama
terbagi atas dua bagian: rima dan metrum.
a. Metrum
Metrum adalah irama yang tetap, terpola menurut pola tertentu. Metrum bersandar
atau bergantung pada suku-suku kata yang bertekanan dan suku-suku kata yang tidak
bertekanan. Bahasa-bahasa Barat seperti bahasa Inggris adalah bahasa yang mempunyai
tekanan pada bagian-bagian suku kata. Lain halnya dengan bahasa Indonesia, yang tidak
mempunyai aturan dalam persoalan tekanan kata. Karena metrum disandarkan pada suku
kata, sementara sajak Indonesia bersandar pada kata, maka metrum hampir tidak terdapat
dalam sajak Indonesia, hanya ada dalam sajak bahasa Barat. Dalam sajak berbahasa
Indonesia, yang kedengaran seperti metrum adalah sajak yang terikat kepada suatu pola
penulisan sajak, yang fungsi kesatuan bahasa di dalamnya tunduk kepada pola tertentu.
Pengucapan sajak tersebut terikat kepada pemenggalan sajak, tidak kepada pemenggalan
bahasa. Hal itu terdapat pada pantun dan syair seperti diturunkan oleh Junus (1981:32):
Pulau pandan jauh di tengah,
Di balik pulau si angsa dua.
Hancur badan dikandung tanah,
Budi baik dikenang juga.
Dalam pengucapannya, pantun di atas dipenggal setelah kata pandan, pulau, badan
dan baik, padahal kesatuan bahasa menghendaki agar pemenggalan dilakukan setelah kata
balik. Demikian juga pantun di bawah ini:
Teriak riuh redam terbelam
Dalam gagap gempita guruh
Kilau kilat membelah gelap
Lidah api menjulang tinggi
(Hamzah, 1985:8)
Pemenggalan secara kebahasaan menghendaki agar perhentian dilakukan setelah kata
teriak dan redam dan setelah kata dalam. Akan tetapi, karena ia terikat kepada pola
pengucapan pantun, maka pemenggalan dilakukan setelah kata riuh dan gagap.
b. Ritme
Ritme adalah irama yang disebabkan pertentangan-pertentangan atau pergantian bunyi
tinggi rendah secara teratur, tetapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap dan halnya
menjadi gema, dendang penyair (Semi 1984:109). Ritme sangat berhubungan dengan bunyi
dan juga berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat.
2. Rima
Pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas. dengan pengulangan
bunyi itu,puisi menjadi merdu jika dibaca. Dalam rima terdapat onomatope, bentuk intern
pola bunyi, intonasi, repetisi bunyi, dan persamaan bunyi. Menurut Kamus Istilah Sastra
(Laelasari, 2006:213) Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi yang berfungsi untuk
membentuk musikalisasi atau orkestrasi. Dengan adanya rima itulah, efek bunyi, makna yang
dikehendaki penyair semakin indah dan makna yang ditimbulkannyapun lebih kuat;
pengulangan bunyi yang berselang, baik di dalam larik sajak maupun akhir larik sajak yang
berdekatan. Biasanya rima ditandai dengan abjad.
Berdasarkan jenisnya, rima (persajakan) dibedakan menjadi:
a. Rima sempurna, yaitu persama bunyi pada suku-suku kata terakhir.
b. Rima tak sempurna, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada sebagian suku kata terakhir.
c. Rima mutlak, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada dua kata atau lebih secara mutlak
suku kata sebunyi)
d. Rima terbuka, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada suku akhir terbuka atau dengan
vokal sama.
e. Rima tertutup, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada suku kata tertutup (konsonan).
f. Rima aliterasi, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada bunyi awal kata pada baris yang
sama atau baris yang berlainan.
g. Rima asonansi, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada asonansi vokal tengah kata.
h. Rima disonansi, yaitu persamaan bunyi yang terdapaat pada huruf-huruf mati/konsonan.
Berdasarkan letaknya, rima dibedakan:
a. Rima awal, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada awal baris pada tiap bait puisi.
b. Rima tengah, yaitu persamaan bunyi yang terdapat di tengah baris pada bait puisi
c. Rima akhir, yaitu persamaan bunyi yang terdapat di akhir baris pada tiap bait puisi.
d. Rima tegak yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada bait-bait puisi yang dilihat secara
vertikal.
e. Rima datar yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada baris puisi secara horizontal
f. Rima sejajar, yaitu persamaan bunyi yang berbentuk sebuah kata yang dipakai berulang-ulang
pada larik puisi yang mengandung kesejajaran maksud.
g. Rima berpeluk, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama antara akhir larik pertama dan
larik keempat, larik kedua dengan lalrik ketiga (ab-ba)
h. Rima bersilang, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama antara akhir larik pertama dengan
larik ketiga dan larik kedua dengan larik keempat (ab-ab).
i. Rima rangkai/rima rata, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama pada akhir semua larik
(aaaa)
j. Rima kembar/berpasangan, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama pada akhir dua larik
puisi (aa-bb)
k. Rima patah, yaitu persamaan bunyi yang tersusun tidak menentu pada akhir larik-larik puisi
(a-b-c-d)
3. Kakafoni dan Efoni
Kakafoni dan Efoni adalah pemanfaatan bunyi sedemikian rupa sehingga bunyi yang
dirangkaikan didalam sajak dapat menimbulkan kesan yang cerah atau sebaliknya, suatu
kesan keburaman. Kesan ini tercermin dari keseluruhan sajak. Kesan ini tertangkap dari
keseluruhan sajak melalui suasana yang melingkupinya. Menurut Pradopo (2007:27)
menyatakan bahwa kombinasi-kombinasi bunyi yang merdu biasanya disebut Efoni
sedangkan kombinasi bunyi yang tidak merdu, parau, penuh bunyi /k/, /p/, /t/, /s/, ini disebut
Kakafoni.
Sekalipun bunyi-bunyi efoni berarti merdu dan musikal, sedangkan bunyi-bunyi
kakafoni kasar dan parau, namun tidak berarti bahwa efoni lebih baik dari pada kakafoni.
Pembedaan kedua bunyi itu tidak sekaligus membedakan kualitasnya. Masing-masing jenis
itu mempunyai fungsi dan peranan karena keduanya sengaja diciptakan penyair. Kombinasi
bunyi-bunyi efoni biasanya digunakan untuk menimbulkan kesan indah, damai, perasaan
senang, kasih sayang, mesra, dan lain-lain. Sebaliknya, kombinasi bunyi-bunyi kakafoni
digunakan untuk menimbulkan kesan takut, garang, tidak menyenangkan, kacau-balau, dan
lain-lain.
Tidak ada kepastian bunyi huruf apa yang tergolong efoni dan bunyi huruf apa pula
yang tergolong kakafoni. Hurf yang sama dapat saja menimbulkan kesan efoni dan pada
tempat lain menimbulkan kesan kesan kakafoni. Hal yang menentukan adalah penempatan
huruf itu dalam kata dan kemunculannya secara berulang-ulang pada tempat yang berdekatan.
Namun, bunyi huruf /k/, /p/, /t/, /s/ dan /f/ adalah kombinasi bunyi bunyi parau dan tidak
merdu walau masih ringan dari pada huruf /b/, /d/, /g/, /z/, /v/, /w/, dan /j/. Bunyi huruf /o/,
/a/, dan /u/ lebih berat daripada bunyi huruf /i/ dan /e/. Bunyi-bunyi berat dan parau
digunakan untuk suasana gundah, gelisah, dan takut; sementara bunyi ringan dan merdu
digunakan untuk suasana riang, gembira dan sejenisnya.
4. Onomatope
Onomatope salah satu pemanfaatan unsur bunyi yang cukup dominan dalam sajak.
Menurut Kridalaksana (1982:116), onomatope adalah penamaan benda atau perbuatan
dengan peiruan bunyi yang diasosiasikan dengan benda dan perbuatan itu, misalnya :
berkokok, deru, desau, cicit, dengung, ngiau, dan lain-lain. Istilah lain untuk onomatope ini
adalah tiruan bunyi.
5. Aliterasi dan Asonansi
Menurut Atmazaki (2008: 79) pengulangan bunyi dalam satu rangkai kata-kata yang
berdekatan (dalam satu baris) berupa bunyi konsonan disebut aliterasi, sedangkan persamaan
bunyi vokal disebut asonansi. Keduanya baru dapat disebut sebagai aspek bunyi yang penting
dalam sajak kalau keduanya muncul secara terpola dan dominan. Misalnya:
Dikau sambur limbur pada senja
Dikau alkamar purnama raya
Asalkan kanda bergurau senda
Dengan adinda tajuk mahkota
(Hamzah, 1985:11)
Potongan mbur pada baris pertama sajak di atas merupakan persamaan bunyi, tetapi
yang disebut dengan aliterasi hanyalah pengulangan bunyi /r/. Di samping itu, bunyi /a/ juga
dominan. Bahkan hampir pada keempat baris sajak itu terdapat asonansi /a/.
Aliterasi atau asonansi berfungsi sebagai sarana untuk menimbulkan kesan tertentu
dan bahkan merupakan style bagi seorang penyair. Di samping itu, keduanya juga untuk
memberikan hubungan ritmis tertentu terhadap kata-kata dalam sebaris terlepas dari
hubungan semantik biasa. Tujuan lainnya adalah untuk menekankan struktur irama sebuah
baris dan tekanan tambahan terhadap kata-kata bersangkutan (Luxemburg, 1984: 196).
Dengan adanya bunyi-bunyi yang sama, maka sajak terdengar merdu dan menyenangkan.
6. Anafora dan Epifora
Anafora adalah pengulangan bunyi, kata, atau struktur sintaksis pada larik-larik atau
kalimat-kalimat yang berurutan untuk memperoleh efek tertentu (Kridalaksana, 1982: 10).
Menurut Shipley yang dikutip Sayuti (1985:35), anafora ialah suatu ulangan pola bunyi di
awal baris. Penciptaan anafora bertujuan untuk mempertegas efek retorik dalam sajak,
memberikan penekanan bahwa yang diulang itu adalah suatu yang penting dalam konteks
sajak
Contoh:
SONET X
siapa menggores di langit biru
siapa meretas di awan lalu
siapa mengkristal di kabut itu
siapa mengertap di bunga layu
siapa cerna di warna ungu
siapa bernafas di detak waktu
siapa berkelebat setiap kubuka pintu
siapa mencair di bawah pandanganku
siapa terucap di celah kata-kataku
siapa mengaduh di bayang-bayang sepiku
siapa tiba menjemputku berburu
siapa tiba-tiba menyibak cadarku
siapa meledak dalam diriku
siapa Aku
(Sapardi Djoko Damono:1968)
Epifora adalah pengulang sebuah kata atau lebih pada akhir beberapa larik sajak atau
pada akhir beberapa frase yang berurutan untuk mencapai kesedapan bunyi atau keefektifan
bahasa; pengulangan kata-kata untuk penegasan dalam puisi.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Apabila kita mendengarkan pembacaan puisi, maka yang ditangkap oleh telinga kita
pada dasarnya adalah rentetan bunyi, yaitu bunyi suara secara artikulatif. Bunyi-bunyi itu
muncul secra berganti-ganti dalam kelompok-kelompok tertentu yang membentuk kata,.
Walaupun bunyi membentuk kata, namun tidak setiap bunyi dapat membentuk kata. Bunyi
adalah sesuatu yang sangat penting dalam sajak karena bunyi mempunyai efek dan kesan
tersendiri.

KEPUSTAKAAN

Atmazaki.2008.Analisis Sajak Teori, Metodologi, dan Aplikasi.Padang;UNP Press.


Pradopo, Rachmat Djoko. 1990. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: UGM Press.
Hasanudin WS. 2002. Membaca dan Menilai Sajak: Pengantar Pengkajian dan Interpretasi.
Bandung: Angkasa.
Mengidentifikasi Bunyi-bunyi Sajak yang Terdapat dalam Puisi Karya Breyten
Breytenbach #

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

1.1.1 Latar Belakang


Bahasa di dalam sajak pada hakikatnya adalah bunyi. Bunyi yang dirangkai dengan
menggunakan pola tertentu, dengan mengikuti konvensi bahasa tertentu. Jika sebuah sajak
dibacakan maka pertama-tama yang tertangkap oleh telinga sesungguhnya adalah rangkaian
bunyi. Hanya karena bunyi itu dirangkai dengan mengikuti konvensi bahasa, maka bunyi itu
sekaligus mengandung makna.

Bunyi di dalam sajak memegang peranan penting. Tanpa bunyi yang ditata secara serasi dan
apik, unsur kepuitisan di dalam sajak tidak mungkin dibangun. Dengan demikian, bunyi di
dalam sajak memiliki peran ganda. Jika di dalam prosa-fiksi-bunyi berperan menentukan
makna, maka di dalam sajak, bunyi tidak hanya sekedar menentukan makna melainkan ikut
menentukan nilai estetis sajak.

Peran ganda unsur bunyi di dalam sajak menempatkan aspek ini (bunyi) pada kedudukan
yang penting. Bunyi begitu fungsional dan mendasar di dalam penciptaan sajak. Sebelum
sampai kepada unsur-unsur lain, maka lapis bunyi berperan terlebih dahulu. Jika unsur bunyi
di dalam sajak tidak dimanfaatkan secara baik oleh penyair, maka tidak dapat diharapkan
timbulnya suatu suasana dan pengaruh pada diri pembaca atau penikmat sajak ketika
berhadapan dengan sajak yang diciptakannya. Dengan demikian, sugesti dalam diri pembaca
dan penikmat sajak juga tidak akan muncul.
Bunyi memang dapat menciptakan efek dan kesan. Bunyi mampu memberikan penekanan,
dan dapat pula menimbulkan suasana tertentu. Mendengar bunyi jengkerik malam hari akan
menimbulkan efek semakin terasa sepinya malam, suatu keheningan. Mendengar suara kicau
burung yang bersahut-sahutan di pagi hari, akan membangkitkan suasana riang, sedangkan
mendengar suara lolongan anjing di tengah malam akan menciptakan suasana mencekam
yang membangkitkan bulu roma. Bunyi-bunyi yang berasal dari hewan tersebut secara
konvensi bahasa manusia tidak dapat dipahami maknanya, tetapi dari suasana yang
diciptakan dapat dirasakan kesannya. Dengan demikian, bunyi disamping sebagai hiasan
yang dapat membangkitkan keindahan dan kepuitisan, juga ikut berperan membentuk suasana
yang mempertajam makna. Bunyi sekaligus menimbulkan daya saran yang efektif dan
memancing sugestif.

Bunyi erat hubungannya dengan unsur musikalitas. Bunyi vokal dan konsonan jika dirangkai
dan disusun sedemikian rupa akan mampu menimbulkan bunyi yang menarik dan berirama.
Bunyi berirama ini menimbulkan tekanan tempo dan dinamik tertentu seperti layaknya bunyi
musik dan melodi.
Bunyi musik inilah yang diharapkan dapat menimbulkan dan membangkitkan imajinasi,
memberikan sugesti, serta menciptakan kepuitisan dan keindahan. Sajak berikut
memanfaatkan unsur bunyi tertentu. Pemanfaatan bunyi konsonan pada akhir setiap baris
sajak berikut ini menyarankan sesuatu dan terasa begitu sugestif.

Meskipun unsur bunyi begitu pentingnya untuk sebuah sajak, namun berdasarkan uraian di
atas, tidak semua bunyi yang terdapat pada sajak layak mendapat perhatian khusus. Tidak
semua bunyi berperan sebagai pembangkit efek yang memunculkan suasana sajak.

Bunyi yang harus diprioritaskan untuk memperoleh perhatian khusus adalah bunyi-bunyi
yang terpola, bunyi yang memperlihatkan gejala tertentu. Di dalamnya termaksud unsur
pertentangan bunyi serta tiruan bunyi, misalnya tiruan bunyi (suara) hewan, auuumm,
ngiaaauu, kotek, dan lain-lain. Tiruan bunyi semacam ini disebut dengan istilah
onomatope.

Beberapa pendapat mengatakan bahwa unsur terkecil di dalam sajak adalah kata. Kata
merupakan bentuk bahasa terkecil yang memiliki makna. Meskipun demikian, ada saja
penyair yang mengabaikan, bahkan menolak konsep ini.
Penyair yang mengabaikan konsep ini, menolak anggapan tentang rangkaian bentukan
terkecil dalam sajak adalah kata. Mereka mengabaikan kata. Menurut mereka, bunyilah unsur
terkecil di dalam bahasa, khususnya bahasa sajak.
Sajak-sajak yang kemudian tercipta dari penyair yang berpegang pada pandangan atau
konsep seperti itu, adalah sajak-sajak yang mementingkan unsur bunyi adalah aspek
musikalitasnya.

Musikalitas yang ditimbulkan mungkin saja berasal dari perulangan bunyi yang sama. Bisa
juga dari pemanfaatan bunyi dengan cara mempolakannya secara teratur. Cara-cara semacam
ini juga mampu membangkitkan, mengarahkan asosiasi pembaca atau penikmat sajak untuk
bisa sampai pada suasana baru.

Dengan memanfaatkan bunyi sepenuhnya, irama sajak tercipta, dan hal tersebut dapat
membantu menciptakan suasana tertentu. Hal itu yang menyebakan pembaca untuk
mengidentifikasi bunyi-bunyi sajak yang terdapat dalam puisi karya Breuten Breytenbach ini.
Dengan cara seperti itu, akhirnya daya saran yang dimiliki sajak akan sampai kepada
penikmat atau pembaca.

Bertolak dari penjelasan diatas sehingga penulis melakukan penelitian mengenai unsur-unsur
bunyi dalam sajak yang terdapat dalam puisi karya Breyten breytenbach.

1.1.2 Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana mengidentifikasi bunyi-bunyi sajak yang terdapat dalam puisi karya Breyten
Breytenbach?
2.Bagaimana mengidentifikasi bunyi-bunyi sajak yang tidak terdapat dalam puisi karya
Breyten Breytenbach?
3.mengetahui bunyi sajak yang mendominasi dalam puisi karya Breyten Breytenbach.

1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian


1.2.1 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari mengidentifikasi bunyi-bunyi sajak yang terdapat dalam puisi karya
Breyten Breytenbach adalah sebagai berikut:
1.Untuk mengetahui komponen-komponen bunyi sajak yang terdapat dalam puisi karya
Breyten Breytenbach.
2.Untuk mengetahui komponen-komponen bunyi sajak yang tidak terdapat dalam puisi
karya Breyten Breytenbach.
3.Untuk mengetahui bunyi sajak yang mendominasi dalam puisi karya Breyten
Breytenbach.

1.2.2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian dalam bunyi sajak dalam puisi karya Breyten Breytenbach yaitu:
1.Bagi Penulis
Untuk bisa memahami dan mengerti tentang bunyi sajak dalam puisi dan bisa mengetahui
komponen-komponen bunyi sajak yang terdapat dalam puisi karya Breyten Breytenbach.
2.Bagi Pembaca
Adapun manfaat bagi pembaca yaitu:
1.Dapat mengambil informasi atau ilmu yang terkandung dalam puisi karya Breyten
Breytenbach mengenai bunyi-bunyi dalam sajak.
2.Pembaca dapat mengetahui komponen-komponen yang terkandung dalam puisi karya
Breyten Breyten mengenai bunyi sajak dalam puisi.

1.3 Batasan operasional

Batasan operasional dalam penelitian ini adalah hanya mengidentifikasi bunyi-bunyi sajak
yang terdapat dalam puisi karya Breyten Breytenbach.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah mencakup unsur-unsur bunyi sajak yang terdapat
dalam puisi karya Breyten Breytenbach.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian sastra

Kata sastra dipergunakan dalam berbagai pengertian, seperti kultur, buku, tulisan, dan seni
sastra. Sastra sebagai seni adalah kegiatan kreatif manusia yang dijelmakan dalam medium
bahasa. Sastra berada dalam dunia fiksi, yaitu hasil kegiatan kreatif manusia, hasil proses
pengamatan, tanggapan, fantasi, perasaan, pikiran, dan kehendak yang bersatu padu yang
diwujudkan dengan menggunakan bahasa.

Bahasa yang digunakan dalam sastra menunjukan ragam tertentu. Bahasa sastra bersifat
konotatif, bertalian dengan nilai, mengandung arti rangkap, mengandung hal-hal yang
bertalian dengan perisiwa, kenangan, dan asosiasi. Bahasa sastra bukan (hanya) referensial
melainkan mempunyai segi ekspresi, mengandung nada dan sikap pengarang. Dalam sastra,
bahasa bukan sekadar alat melainkan juga tujuan, sehingga segi bunyi dan irama misalnya,
diindahkan. Penggunaan bahasa dalam sastra berbeda dengan penggunaan bahasa dalam
ilmu.

Perwujudan sastra adalah sebuah struktur yang berfungsi, terdiri atas komponen-komponen
yang saling berhubungan dan saling menunjang sesamanya dan dengan keseluruhannya.
Setiap komponen mempunyai makna dalam makna (Rusyana, 1984: 311-312).
Sastra adalah karya seni, karena itu ia mempunyai sifat yang sama dengan karya seni yang
lain, seperti seni suara, seni lukis, seni pahat, dam lain-lain. Tujuannyapun sama, yaitu untuk
membantu manusia untuk meyingkapkan dan untuk membuka jalan kebenaran, yang
membedakan dengan seni yang lain adalah sastra memiliki aspek bahasa (Wahid, 2004:63).
Selanjutnya menurut KBBI (2007:766), sastra adalah bahasa, kata-kata, dan gaya bahasa
yang ada dalam kitab-kitab, bukan merupakan bahasa sehari-hari. Sedangkan kesusastraan
adalah karya kesenian yang diwujudkan dengan bahasa seprti gubahan-gubahan prosa dan
puisi yang indah-indah.

2.2 Pengertian Puisi

Secara etimologi, istilah puisi bersal dari bahasa Yunani poeima membuat atau poesis
pembuatan, dan dalam bahasa inggris disebut poem atau poetry. Puisi diartikan membuat
dan pembuatankarena lewat puisi pada dasarnya seseorang telah menciptakan suatu dunia
tersendiri, yang mungkin berisi pesan atau gambaran suasana-suasana tertentu, baik fisik
maupun batiniah.

Dengan mengutip pandangan McCaulay, Hudson mengungkapkan bahwa puisi adalah salah
satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata sebagai media penyampaian untuk
membuahkan ilusi dan imajinasi, seperti halnya lukisan yang menggunakan garis dan warna
dalam menggambarkan pelukisnya. Rumusan pengartian diatas, sementara ini dapatlah
diterima karena kita sering kali diajak oleh suatu ilusi tentang keindahan, terbawa dalam
suatu angan-angan, sejalan dengan keindahan penataan unsure bunyi, penciptaan gagasan,
masupun suasana tertentu sewaktu membaca suatu puisi (Aminuddin, 2004: 134).

Dalam hubungan ini Tarigan (1993:4) menjelaskan: kata puisi berasal dari bahasa Yunani
piesis yang berarti penciptaan. Tetapi arti yang semula ini lamakelamaan semakin
dipersempit ruang lingkupnya menjadi hasil seni sastra, yang kata-katanya deisusun menurut
syarat-syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak, dan kadang-kadang kata-kata
kiasan.

Seharusnya dengan pengertian puisi diatas pada hakikatnya puisi itu adalah: pertama, sebuah
karya seni. Sebagai sebuah karya seni ia puitis. Kepuitisan itu terlihat dari daya rangsangnya
terhadap pembaca, peminatnya. Rasa tergugah, haru, senamg, merupakan respon dari
stimulus puisi yang diterima pembaca. Puisi tidak hanya menaruh perhatian pada keindahan,
kebenaran filosofis dan persuasi saja, tetapi segala aspek pengalaman. Penyair selalu terlibat
dengan segala aspek pengalaman secara keseluruhan: keindahan dan kejorokan, hal yang
biasa dan yang factual dan imajinaif. Dalam kehidupan nyata, kematian, kengerian, batin,
penderitaan, bukanlah hal yang dapat menyenangkan, namun dalam puisi mungkin
mengandung sesuatu yang mendenyutkan hati, menimbulkan rasa gerah dan cerah. Puisi
sebagai karya seni, menampilkan aspek keseluruhan kehidupan itu sehingga menimbulkan
rangsangan estetis bagi pembaca.

Kedua, sejenis bahasa multidimensi. Bahasa sehari-hari yang biasa digunakan untuk
menyampaikan informasi, merupakan bahasa yang berdimensi tunggal, yaitu hanya tertuju
pada pihak pendengar, pembaca saja. Sedangkan puisi, yaitu bahasa yang menggunakan lebih
dari satu dimensi, yaitu: dimensi intelektual, dimensi rasa, dimensi emosional dan dimensi
imajinatif. Puisi meningkatkan dimensinya itu dengan memperlihatkan intensitas yang penuh,
dan konsisten dengan memanfaatkan berbagai sumber tenaga bahasa, seperti: konotasi,
metaphor, symbol, paradox, ironi, repetisi, ritme, dan pola lainnya.

2.3 Bunyi Dalam Sajak

Bunyi di dalam sajak memegang peranan penting. Tanpa bunyi yang ditata secara serasi dan
apik, unsur kepuitisan di dalam sajak tidak mungkin dibangun. Dengan demikian, bunyi di
dalam sajak memiliki peran ganda. Jika di dalam prosa-fiksi-bunyi berperan menentukan
makna, maka di dalam sajak, bunyi tidak hanya sekedar menentukan makna melainkan ikut
menentukan nilai estetis sajak.

Peran ganda unsur bunyi di dalam sajak menempatkan aspek ini (bunyi) pada kedudukan
yang penting. Bunyi begitu fungsional dan mendasar di dalam penciptaan sajak. Sebelum
sampai kepada unsur-unsur lain, maka lapis bunyi berperan terlebih dahulu. Jika unsur bunyi
di dalam sajak tidak dimanfaatkan secara baik oleh penyair, maka tidak dapat diharapkan
timbulnya suatu suasana dan pengaruh pada diri pembaca atau penikmat sajak ketika
berhadapan dengan sajak yang diciptakannya. Dengan demikian, sugesti dalam diri pembaca
dan penikmat sajak juga tidak akan muncul.

Bunyi memang dapat menciptakan efek dan kesan. Bunyi mampu memberikan penekanan,
dan dapat pula menimbulkan suasana tertentu. Mendengar bunyi jengkerik malam hari akan
menimbulkan efek semakin terasa sepinya malam, suatu keheningan. Mendengar suara kicau
burung yang bersahut-sahutan di pagi hari, akan membangkitkan suasana riang, sedangkan
mendengar suara lolongan anjing di tengah malam akan menciptakan suasana mencekam
yang membangkitkan bulu roma. Bunyi-bunyi yang berasal dari hewan tersebut secara
konvensi bahasa manusia tidak dapat dipahami maknanya, tetapi dari suasana yang
diciptakan dapat dirasakan kesannya.

Dengan demikian, bunyi disamping sebagai hiasan yang dapat membangkitkan keindahan
dan kepuitisan, juga ikut berperan membentuk suasana yang mempertajam makna. Bunyi
sekaligus menimbulkan daya saran yang efektif dan memancing sugestif.
Bunyi erat hubungannya dengan unsur musikalitas. Bunyi vokal dan konsonan jika dirangkai
dan disusun sedemikian rupa akan mampu menimbulkan bunyi yang menarik dan berirama.
Bunyi berirama ini menimbulkan tekanan tempo dan dinamik tertentu seperti layaknya bunyi
musik dan melodi.

2.4 Jenis-jenis Bunyi Dalam Sajak

2.4.1 Irama

Membicarakan masalah irama, pada hakikatnya membicarakan permasalahan musik juga.


Soalnya, meskipun irama erat hubungannya dangan bunyi, irama tidak identik dengan bunyi
itu sendiri. Irama bukan hanya sekedar bunyi belaka, tetapi lebih dari itu. Irama merupakan
bunyi yang teratur, terpola, menimbulkan variasi bunyi, sehingga dapat menimbulkan
suasana.

Dengan demikian, irama tidak hanya tercipta di dalam sajak dengan pola-pola bunyi yang
teratur, namun juga oleh suasana yang tercipta. Suasana melankolis akan menyebabkan
tempo lambat pada sajak tersebut. Suasana meledak-ledak akan menyebabkan tekanan
dinamik tinggi.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa irama terbagi atas dua bagian, ritme dan metrum.
Metrum adalah irama yang tetap, terpola menurut pola tertentu, sedangkan ritme adalah irama
yang disebabkan pertentengan-pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara
teratur, tapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap dan hanya menjadi gema dendang
penyair (Semi, 1984: 109).

Menurut Teeuw (1983: 23) masalah irama belum ada yang tahan uji di dalam bahasa
Indonesia. Hal ini disebabkan karena bahasa Indonesia tidak mempunyai aturan dalam
persoalan tekanan kata. Berbeda dengan bahasa Inggris yang mempunyai tekanan pada
bagian-bagian suku katanya.

Adanya irama di dalam sajak selain menyebabkan sajak terdengar merdu, juga menyebabkan
sajak enak untuk dibaca. Dengan mengetahui aspek irama di dalam sajak, penikmat sajak
dengan mudah pula menentukan tekanan dan jeda. Hal ini amat membantu terhadap proses
penikmatan dan pemahaman terhadap sajak yang sedang dihadapi.
2.4.2 Kakafoni dan Efoni

Kakafoni dan efoni adalah pemanfaatan bunyi sedemikian rupa sehingga bunyi yang
dirangkaikan di dalam sajak dapat menimbulkan kesan yang cerah serta sebaliknya, suatu
kesan keburaman. Kesan ini tercermin dari keseluruhan sajak. Kesan ini tertangkap dari
keseluruhan sajak melalui suasana yang melingkupinya.

Secara teoritis, kesan buram timbul karena bunyi yang dirangkaikan berasal dari konsonan
tak bersuara seperti /k/, /p/, /t/, /s/. Penggunaan bunyi konsonan tersebut menciptakan
perasaan jiwa yang tertekan, gelisah, bahkan yang memuakkan. Karena menggambarkan
perasaan yang demikian, akibatnya yang muncul adalah kesan suasana buram. Pemanfaatan
unsur bunyi yang memunculkan efek semacam hal ini disebut dengan istilah kakafoni (ca-
caphony). Bagaimana bunyi mampu memunculkan kesan suasana buram telah dikemukakan
pada bagian terdahulu, yaitu pada bagian awal bab II ini.

Pemanfaatan unsur bunyi mampu menghasilkan kesan keburaman. Unsur bunyi juga dapat
dipergunakan untuk memunculkan kesan suasana sebaliknya. Kebalikan dari keburaman,
yaitu kesan suasana cerah. Kesan yang membangkitkan kegembiraan dan rasa riang serta
nyaman.
Kesan suasana cerah muncul karena bunyi-bunyi yang dirangkaikan berasal dari bunyi vokal
serta konsonan bersuara. Kesan ini juga dapat dihadirkan dengan memanfaatkan bunyi
sengau yang dirangkai sedemikian rupa. Bunyi sengau tersebut ditata sehingga menimbulkan
kesan merdu dan enak didengar.

Penggunaan unsur bunyi yang dilakukuan dengan cara demikian, menciptakan bunyi-bunyi
ringan dan lembut, mesra dan bahagia.

2.4.3 Anomatope

Salah satu pemanfaatan unsur bunyi yang cukup dominan di dalam sajak adalah onomatope.
Istilah onomatope menurut Kamus Istilah Sastra (Sudjiman, 1984: 54) adalah penggunaan
kata yang mirip dengan bunyi atau suara yang dihasilkan oleh barang, gerak, atau orang.
Istilah lain dari onomatope ini adalah tiruan bunyi.
Terkadang tiruan bunyi di dalam sebuah sajak lebih mengena dalam menggambarkan sesuatu
dibanding kata itu sendiri. Bandingkan kata ngeri dengan lolong anjing di malam buta.
Terasa bentuk kedua lebih mengundang imaji daripada bentuk pertama. Penggunaan tiruan
bunyi dimaksutkan untuk mengkonkretkan suasana menjadi lebih lugas.
Seperti diungkapkan di atas, peniruan bunyi itu dapat dilakukan atau dihasilkan oleh barang,
maka klenenng genta, gemercik air pencuran, desau angin, derap langkah kuda, atau
auuumm, ngiaau, kotek, kukuruyuk, cicit, adalah onomatope. Penggunaan tiruan
bunyi seperti hal di atas, sering ditemukan di dalam sajak.

2.4.4 Aliterasi

Pemanfaatan bunyi dangan cara lain dapat pula dilakukan, yaitu dengan cara mengulang
pemakaian bunyi. Pengulangan bunyi itu berupa pengulangan bunyi yang sama. Pengulangan
bunyi konsonan yang sama disebut aliterasi. Pengulangan bunyi yang dapat dikategorikan
pada bunyi aliterasi adalah pengulangan bunyi secara dominan.

2.4.5 Asonansi

Asonansi merupakan pemanfaatan unsur bunyi secara berulang-ulang dalam satu baris sajak.
Halnya sama dengan aliterasi, hanya pengulangan di sini merupakan pengulangan bunyi-
bunyi vokal. Efek yang diharapkan muncul dari pemanfaatan bunyi vokal secara berulang ini
adalah kemerduan bunyi.

Sebagaimana pada aliterasi, pada asonasi pun tidak semua pengulangan bunyi vokal dapat
disebut juga asonansi. Hanya pengulangan bunyi yang sama secara dominan (di dalam sajak)
yang dapat dikategorikan sebagai asonan

2.4.6 Anafora dan Epifora

Satu lagi cara memanfaatkan bunyi di dalam sajak guna menimbulkan unsur kepuitisan
disebut anafora dan epifora. Cara yang dipergunakan untuk teknik anafora atau epifora ini
adalah dengan menggunakan unsur bunyi yang berulang-ulang dalam bentuk kata atau
bentukan linguistik pada awal atau akhirtiap-tiap larik (baris) sajak. Pengulangan bunyi
dalam bentuk kata yang sama pada awal larik disebut anafora, sedangkan yang disebut
epifora adalah pengulangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada akhir larik-larik sajak.
Karena ada persamaan bentukan yang diulang, maka sekaligus pengulangan itu menyangkut
pengulangan bunyi yang sama.

Pengulangan kata yang sama, sehingga menimbulkan perulangan bunyi yang sama beberapa
kali, dapat menimbulkan kesan sugestif pada sebuah sajak. Kesan sugestif ini diharapkan
dapat membujuk pembaca untuk melebur dengan sajak yang sedang dinikmati. Membawa
pada suatu keadaan berkontemplasi.

BAB III
METODE DAN TEKNIK PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode adalah cara yang diatur dalam berpikir baik untuk mencapai sesuatu maksud
(Purwadarminta,1984:194). Metode penelitian adalah cara untuk mengungkapkan atau
menganalisa suatu permasalahan yang menjadi objek penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan metode deskriptif .Surakhmad (1985:39), mengatakan bahwa metode
deskriptif adalah metode yang membicarakan berbagai kemungkinan untuk memecahkan
masalah yang aktual dengan jalan mengumpulkan data, menyusun data, dan mendeskripsikan
data.

Sumber data penelitan ini diambil dari kumpulan sajak-sajak atau puisi-puisi Breyten
Breytenbach yang berjudul Makna Cakrawala Dibalik Kata-kata, Ritual Mulut
Menganga, Kehidupan Di Tempat lain, dan Cahaya Pertama .

Data dalam penelitian ini berupa fakta tekstual karya sastra berupa puisi yang dijadikan
bahan untuk mencapai tujuan penelitian, dan wujud data berupa paparan bahasa tekstual pada
karya sajak atau puisi dari keempat judul tersebut.

3.2 Teknik Penelitian


3.2.1. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah teknik dokumentasi. Dengan cara
pencatatan, pengidentikfikasian paparan dan tekstual karya sastra berupa sajak Makna
Cakrawala Dibalik Kata-kata, Ritual Mulut Menganga, Kehidupan Di Tempat lain, dan
Cahaya Pertama dalam kumpulan sajak Breyten Breytenbach. Teknik dokumentasi adalah
teknik yang dilakjukan untuk mencari data mengenai hal-hal variable yang berupa catatan,
buku-buku, dan lain-lain (Arikunto, 1997:236). Dokumen utama yang digunakan dalam
penelitian adalah kumpulan puisi Breyten Breytenbach. Adapun langkah kerja yang
dilakukan penulis dalam pengumpulan data ini adalah sebagai berikut:
a.Menentukan puisi sebagai objek kajian yang akan dianalisis.
b.Mengumpulkan literatur yang berupa catatan, buku-buku, sumber lain yang
mendukung permasalahan yang akan dianalisis.
c.Membaca puisi, buku-buku, dan sumber lain yang mendukung pemasalahan tersebut.

3.2.2. Teknik Pengolahan Data

Data yang sudah terkumpul kemudian sesuai tujuan penelitian dianalisis (diurai) dan
diidentifikasi (ditentukan) yang kemudian sehingga membentuk satu hasil kajian yang
sistematis.

3.2.3. Teknik Penganalisisan Data

Untuk menganalisis data penulis menggunakan teknik analisis karya. Analisis karya yakni
penelaahan dan penyelidikkan yang merupakan mengkaji atau menelaah karya itu atas unsur-
unsur pembentuknya.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


Adapun hasil dari penelitian penulis adalah puisi-puisi Breyten Breytenbach yang berasal
dari Afrika selatan. Pemaparan hasil penelitian tersebut adalah sebagai berikut.

Puisi 1:

Makna Dibalik Cakrawala Kata-kata


(untuk Hektor Peterse, 16 Juni 1976)

dia bahwa sudah bosan menulis jaman purbakala-


tentang gorila tenangan sakit bokong tentang orang-orang cebol dab huruf-
huruf hidup yang bangsat-
tentang kata-kata yang bergera dan menempatkan diri rata di atas kertas,
jumlah mereke seperti demonstrasi orang-orang hitam
yang mengacungkan kepalan tangan kelangit mencari pembakaran untuk
mengubur
kerabat-kerabat yang mati dan tetap demonstrasi lagi tentang kehidupan yang bangsat
yang hidup dalam negeri seperti ini

bahwa dia sering kali mau muntah


melihat gmbar-gambar memuakkan dalam siaran berita t.v. malam hari
tentang permainan boer dan pandoer dari orqng-orang Botha
yang dengan anjing dan cam,bik dan gas air mata dan peluru
memukuli orang-orang pribumi hingga berak tainya keluar
dan esok pagi daftar orang-orang terbunuh bertambah panjang lagi
dan bertambah juga nyanyian sedih dari mereka yang masih hidup
memandang darah hitam menggenang
seperti tinta cetak dalam surat kabar

bakar, bakarlah negeri ini hingga hitam!


ribuan kata tak bisa menutupi lubang peluru!

di bahwa melemparkan tali sekali lagi


dengan terpaksa agar terhindar dari apa saja
yang mencekik kata

memasang tali di leher Tuhan


seperti sebuah gambaran goyang. Seperti ikan lumba-lumbam
malam minggu naik kuda berpacaran
memakai kemeja abu-abu yang mengalir sejuk seperti air manis
berwarna perak di dada mreka,
negeri orang mati bahwa jauh berada dibelakang cakrawala pengalaman,
tersendiri, dalam artikulasi sajak yang jauh, lampau dari yang lain
bahwa seribu kata tidak bisa membuat sehat seekor anjing!

bakar, bakarlah, tangan yang tak rusak ini

bilamana anak-anak mati itu berhenti memanggil afrika

Puisi 2:

Ritual Mulut Menganga

maka datang kematian


kau harus membantunya
harus kau bacakan buku itu
harus kaunkucilkan diri, membisikinya
kau harus pura-pura percaya
kata-kata sejati bakal muncul
busa putih, menghisap malam
lelaki sekarat itu mulutnya menganga
tercekik dan bergidik
urat-uratnya tegak bagai direntang
lalu:

pada kelepak sayap yang dibentang


kau harus, dengan satu jari, membungkuk,
ke muka, menyuarakan gerak suci
melepaskan lidah itu
satu lompatan, satu lentingan, koma,
desah nafas

selepas itu hidup lenyap


bagai terbangnya burung pipit
berebut menghunjam ke hutan
dengan rakus melahap kebun buah-buahan
kenangan
dalam lagu telanjang.

Puisi 3;
Kehidupan di tempat lain

Namun mengapa hati harus selalu terpaksa


Berpikir dengan sayapnya yang menggelap
Dari mana berhembusnya angin di langit terang
Yang membikin pohonan tanpa kegaduhan
Membungkuk dan menyimpang?
Dan suara tangis tercekik itu
Seperti burung hitam yang punggungnya berpita
Buluh dan segala rumah buta
Dimanakah adanya janji mati dengan nafas kita
Di daun jendela?
Apapun warna mantel pennjaga malam
Atau seberapa panjang bulu-bulunya berputatar di halaman
Apa gunanya mengingat
Lanturan tak masuk akal di senja hari
Sekali lagi
Di balik matahari di dalam mata perempuan kala fajar
Perempuan matahari di bawah ranting yang bergelantung
Seberapa banyak yang mati, mulutnya menganga pada
Adakah yang masih tersisa untuk diketahui?
Darah yang mongering, abu bakaran
Terlupakan di atas tanah dingin
Dari hutan yang menggelora atau bintang-bintang beku
Angin membuka sayap gelapnya
Tetapi apa yang bakal tetap dinyanyikan oleh sukma?

Puisi 4:

Cahaya Pertama

Cahaya pertama menembus buih


Mimpi yang mengendarai puncak hitam
Masih mengapung dalam
Tubuhmu yang lelap di sampingku

Kebutaan gemilang berkilau


Adalh bagaimana kanak-kanak dalam diriku
Mengenang sembarang peristiwa
Dunia yang kutahu
Temoat burung-burung yang membubung
Ke dalam dan ke luar
Orang tua dalam diriku terkenang kqnak-kanak
Seperti kenangan enggan
Akan rasa hangat di kerongkongan

Alangkah lembut tubuhmu berdenyut di pagi hari


Tubuhmu adalah mata yang mengantuk

Masih bersamakukah engkau


Kau, yang membuka jendela balkon
Agar malaikat terhuyung keluar berpisah
Menghilang di balik cahaya
Segala ini adalah cermin
Mesti kita temukan diri kembali

4.2. Pembahasan

Penelitian ini membahas tentang bunyi dalam sajak dari puisi Breyten Breytenbach. Bunyi
dalam sajak tersebut meliputi:
1.Irama
2.Kakafoni dan efoni
3.Anomatope
4.Aliterasi
5.Asonansi
6.Anaphora dan epifora

4.2.1. Irama

Makna Dibalik Cakrawala Kata-kata


(untuk Hektor Peterse, 16 Juni 1976)

dia bahwa sudah bosan menulis jaman purbakala-


tentang gorila tenangan sakit bokong tentang orang-orang cebol dab huruf-huruf hidup yang
bangsat-
tentang kata-kata yang bergera dan menempatkan diri rata di atas kertas,
jumlah mereke seperti demonstrasi orang-orang hitam
yang mengacungkan kepalan tangan kelangit mencari pembakaran untuk mengubur
kerabat-kerabat yang mati dan tetap demonstrasi lagi tentang kehidupan yang bangsat
yang hidup dalam negeri seperti ini

bahwa dia sering kali mau muntah


melihat gmbar-gambar memuakkan dalam siaran berita t.v. malam hari
tentang permainan boer dan pandoer dari orqng-orang Botha
yang dengan anjing dan cam,bik dan gas air mata dan peluru
memukuli orang-orang pribumi hingga berak tainya keluar
dan esok pagi daftar orang-orang terbunuh bertambah panjang lagi
dan bertambah juga nyanyian sedih dari mereka yang masih hidup
memandang darah hitam menggenang
seperti tinta cetak dalam surat kabar

bakar, bakarlah negeri ini hingga hitam!


ribuan kata tak bisa menutupi lubang peluru!

di bahwa melemparkan tali sekali lagi


dengan terpaksa agar terhindar dari apa saja
yang mencekik kata

memasang tali di leher Tuhan


seperti sebuah gambaran goyang. Seperti ikan lumba-lumbam
malam minggu naik kuda berpacaran
memakai kemeja abu-abu yang mengalir sejuk seperti air manis
berwarna perak di dada mreka,
negeri orang mati bahwa jauh berada dibelakang cakrawala pengalaman,
tersendiri, dalam artikulasi sajak yang jauh, lampau dari yang lain
bahwa seribu kata tidak bisa membuat sehat seekor anjing!

bakar, bakarlah, tangan yang tak rusak ini

bilamana anak-anak mati itu berhenti memanggil afrika

ritual mulut menganga

maka dating kematian


kau harus membantunya
harus kau bacakan buku itu
harus kaunkucilkan diri, membisikinya
kau harus pura-pura percaya
kata-kata sejati bakal muncul
busa putih, menghisap malam
lelaki sekarat itu mulutnya menganga
tercekik dan bergidik
urat-uratnya tegak bagai direntang
lalu:
pada kelepak sayap yang dibentang
kau harus, dengan satu jari, membungkuk,
ke muka, menyuarakan gerak suci
melepaskan lidah itu
satu lompatan, satu lentingan, koma,
desah nafas
selepas itu hidup lenyap
bagai terbangnya burung pipit
berebut menghunjam ke hutan
dengan rakus melahap kebun buah-buahan
kenangan
dalam lagu telanjang.

Kehidupan di tempat lain

Namun mengapa hati harus selalu terpaksa


Berpikir dengan sayapnya yang menggelap
Dari mana berhembusnya angin di langit terang
Yang membikin pohonan tanpa kegaduhan
Membungkuk dan menyimpang?
Dan suara tangis tercekik itu
Seperti burung hitam yang punggungnya berpita
Buluh dan segala rumah buta
Dimanakah adanya janji mati dengan nafas kita
Di daun jendela?
Apapun warna mantel pennjaga malam
Atau seberapa panjang bulu-bulunya berputatar di halaman
Apa gunanya mengingat
Lanturan tak masuk akal di senja hari
Sekali lagi
Di balik matahari di dalam mata perempuan kala fajar
Perempuan matahari di bawah ranting yang bergelantung
Seberapa banyak yang mati, mulutnya menganga pada
Adakah yang masih tersisa untuk diketahui?

Darah yang mongering, abu bakaran


Terlupakan di atas tanah dingin
Dari hutan yang menggelora atau bintang-bintang beku
Angin membuka sayap gelapnya
Tetapi apa yang bakal tetap dinyanyikan oleh sukma?

Cahaya Pertama

Cahaya pertama menembus buih


Mimpi yang mengendarai puncak hitam
Masih mengapung dalam
Tubuhmu yang lelap di sampingku

Kebutaan gemilang berkilau


Adalh bagaimana kanak-kanak dalam diriku
Mengenang sembarang peristiwa
Dunia yang kutahu
Temoat burung-burung yang membubung
Ke dalam dan ke luar
Orang tua dalam diriku terkenang kqnak-kanak
Seperti kenangan enggan
Akan rasa hangat di kerongkongan

Alangkah lembut tubuhmu berdenyut di pagi hari


Tubuhmu adalah mata yang mengantuk

Masih bersamakukah engkau


Kau, yang membuka jendela balkon
Agar malaikat terhuyung keluar berpisah
Menghilang di balik cahaya

Segala ini adalah cermin


Mesti kita temukan diri kembali

Irama yng terdapat dalam sajak breyten Breytenbach yaitu:


- Pengulangan bunyi n pada tentang gorila tenangan sakit bokong tentang orang-orang cebol
dab huruf-huruf hidup.
- Pengulangan bunyi n pada yang mengacungkan kepalan tangan ke langit mencari
pembakaran untuk mengubur.
- Pengulangan bunyi n dan g pada memandang darah hitam mengenang.
- Pengulangan bunyi k pada tercekik dan bergidik.
- Pengulangan bunyi n dan g pada urat-uratnya tegang bagai direntang.
- Pengulangan bunyi n dan g pada pada kelepak sayap yang di bentang.
- Pengulangan bunyi n pada satu lompatan, satu lentingan, koma.
- Pengulangan bunyi h pada namun mengapa hati harus selalu terpaksa.
- Pengulangan bunyi n pada yang membikin pohonan tanpa kegaduhan.
- Pengulangan bunyi b, n dan g pada tempat burung-burung membubung.
- Pengulangan bunyi a pada yang mengacungkan kepalan tangan ke langit mencari
pembakaran untuk mengubur.
- Pengulangan bunyi a pada memandang darah hitam menggenang.
- Pengulangan bunyi i pada tercekik dan bergidik.
- Pengulangan buuunyi a pada pada kelepak sayap yang dibentang.
- Pengulangan bunyi a pada urat-urat tegang yang direntang.
- Pengulangan bunyi a pada satu lompatan, satu lentingan, koma.
- Pengulangan bunyi a pada namun mengapa hati harus selalu terpaksa.
- Pengulangan bunyi a pada yang membikin pohonan tanpa kegaduhan.
- Pengulangan bunyi u pada tempat burung-burung membubung

4.2.2. Kakafoni dan efoni

Makna Dibalik Cakrawala Kata-kata


(untuk Hektor Peterse, 16 Juni 1976)
dia bahwa sudah bosan menulis jaman purbakala-
tentang gorila tenangan sakit bokong tentang orang-orang cebol dab huruf-huruf hidup yang
bangsat-
tentang kata-kata yang bergera dan menempatkan diri rata di atas kertas,
jumlah mereke seperti demonstrasi orang-orang hitam
yang mengacungkan kepalan tangan kelangit mencari pembakaran untuk mengubur
kerabat-kerabat yang mati dan tetap demonstrasi lagi tentang kehidupan yang bangsat
yang hidup dalam negeri seperti ini

bahwa dia sering kali mau muntah


melihat gmbar-gambar memuakkan dalam siaran berita t.v. malam hari
tentang permainan boer dan pandoer dari orqng-orang Botha
yang dengan anjing dan cam,bik dan gas air mata dan peluru
memukuli orang-orang pribumi hingga berak tainya keluar
dan esok pagi daftar orang-orang terbunuh bertambah panjang lagi
dan bertambah juga nyanyian sedih dari mereka yang masih hidup
memandang darah hitam menggenang
seperti tinta cetak dalam surat kabar

bakar, bakarlah negeri ini hingga hitam!


ribuan kata tak bisa menutupi lubang peluru!

di bahwa melemparkan tali sekali lagi


dengan terpaksa agar terhindar dari apa saja
yang mencekik kata

memasang tali di leher Tuhan


seperti sebuah gambaran goyang. Seperti ikan lumba-lumbam
malam minggu naik kuda berpacaran
memakai kemeja abu-abu yang mengalir sejuk seperti air manis
berwarna perak di dada mreka,
negeri orang mati bahwa jauh berada dibelakang cakrawala pengalaman,
tersendiri, dalam artikulasi sajak yang jauh, lampau dari yang lain
bahwa seribu kata tidak bisa membuat sehat seekor anjing!

bakar, bakarlah, tangan yang tak rusak ini

bilamana anak-anak mati itu berhenti memanggil afrika

ritual mulut menganga

maka dating kematian


kau harus membantunya
harus kau bacakan buku itu
harus kaunkucilkan diri, membisikinya
kau harus pura-pura percaya
kata-kata sejati bakal muncul
busa putih, menghisap malam
lelaki sekarat itu mulutnya menganga
tercekik dan bergidik
urat-uratnya tegak bagai direntang
lalu:
pada kelepak sayap yang dibentang
kau harus, dengan satu jari, membungkuk,
ke muka, menyuarakan gerak suci
melepaskan lidah itu
satu lompatan, satu lentingan, koma,
desah nafas
selepas itu hidup lenyap
bagai terbangnya burung pipit
berebut menghunjam ke hutan
dengan rakus melahap kebun buah-buahan
kenangan
dalam lagu telanjang.

Kehidupan di tempat lain


Namun mengapa hati harus selalu terpaksa
Berpikir dengan sayapnya yang menggelap
Dari mana berhembusnya angin di langit terang
Yang membikin pohonan tanpa kegaduhan
Membungkuk dan menyimpang?
Dan suara tangis tercekik itu
Seperti burung hitam yang punggungnya berpita
Buluh dan segala rumah buta
Dimanakah adanya janji mati dengan nafas kita
Di daun jendela?
Apapun warna mantel pennjaga malam
Atau seberapa panjang bulu-bulunya berputatar di halaman
Apa gunanya mengingat
Lanturan tak masuk akal di senja hari
Sekali lagi
Di balik matahari di dalam mata perempuan kala fajar
Perempuan matahari di bawah ranting yang bergelantung
Seberapa banyak yang mati, mulutnya menganga pada
Adakah yang masih tersisa untuk diketahui?

Darah yang mongering, abu bakaran


Terlupakan di atas tanah dingin
Dari hutan yang menggelora atau bintang-bintang beku
Angin membuka sayap gelapnya
Tetapi apa yang bakal tetap dinyanyikan oleh sukma?

Cahaya Pertama

Cahaya pertama menembus buih


Mimpi yang mengendarai puncak hitam
Masih mengapung dalam
Tubuhmu yang lelap di sampingku

Kebutaan gemilang berkilau


Adalh bagaimana kanak-kanak dalam diriku
Mengenang sembarang peristiwa
Dunia yang kutahu
Temoat burung-burung yang membubung
Ke dalam dan ke luar
Orang tua dalam diriku terkenang kqnak-kanak
Seperti kenangan enggan
Akan rasa hangat di kerongkongan

Alangkah lembut tubuhmu berdenyut di pagi hari


Tubuhmu adalah mata yang mengantuk

Masih bersamakukah engkau


Kau, yang membuka jendela balkon
Agar malaikat terhuyung keluar berpisah
Menghilang di balik cahaya

Segala ini adalah cermin


Mesti kita temukan diri kembali

Dalam puisi-puisi Breyten Breytenbach di atas tidak terdapat unsur bunyi kakafoni .Hanya
terdapat unsure bunyi efoni. Unsur bunyi efoni tersebut adalah sebagai berikut:
- Jumlah mereka seperti demonstrasi orang-orang hitam
- Yang hidup dalam negeri seperti ini
- Bagwa dia seringkali mau muntah
- Memandang darah hitam menggenang
- Di bahwa melemparkan tali sekali lagi
- Seperti sebuah gambaran goyang, seprti ikan lumba-lumba
- Negeri orang mati bahwa jauh berada di belakang cakrawala pengalaman
- Maka datang kematian
- Urat-uratnya tegang bagai direntang
- Lalu:
- Melepaskan lidah itu
- Satu lompatan, satu lentingan, koma
- Kenangan
- Dalam lagu telanjang
- Yang membikin pohonan tanpa kegaduhan
- Seperti burung hitam yang punggungnya berpita
- Buluh dan segala rumah buta
- Di daun jendela?
- Sekali lagi
- Perempua n matahari di bawah ranting yang bergelantungan
- Darah yang mongering, abu bakaran
- Masih mengapung dalam
- Kebutaan gemilang berkilau
- Mengenang sembarang peristiwa
- Dunia yang kutahu
- Seperti kenangan enggan
- Masih bersamakukah engkau?
- Menghilang di balik cahaya
- Segala ini adalah cermin
- Mesti kita temukan diri kita kembali

Dalam puisi Breyten Breytenbach berkontradiksi karena meskipun puisi-puisinya di bangun


oleh unsur bunyi efoni namun kesan yang ditimbulkan puisi-puisi ini adalah kesan kakafoni
atau kesan buram.

4.2.3. Anomatope

Makna Dibalik Cakrawala Kata-kata


(untuk Hektor Peterse, 16 Juni 1976)

dia bahwa sudah bosan menulis jaman purbakala-


tentang gorila tenangan sakit bokong tentang orang-orang cebol dab huruf-huruf hidup yang
bangsat-
tentang kata-kata yang bergera dan menempatkan diri rata di atas kertas,
jumlah mereke seperti demonstrasi orang-orang hitam
yang mengacungkan kepalan tangan kelangit mencari pembakaran untuk mengubur
kerabat-kerabat yang mati dan tetap demonstrasi lagi tentang kehidupan yang bangsat
yang hidup dalam negeri seperti ini

bahwa dia sering kali mau muntah


melihat gmbar-gambar memuakkan dalam siaran berita t.v. malam hari
tentang permainan boer dan pandoer dari orqng-orang Botha
yang dengan anjing dan cam,bik dan gas air mata dan peluru
memukuli orang-orang pribumi hingga berak tainya keluar
dan esok pagi daftar orang-orang terbunuh bertambah panjang lagi
dan bertambah juga nyanyian sedih dari mereka yang masih hidup
memandang darah hitam menggenang
seperti tinta cetak dalam surat kabar

bakar, bakarlah negeri ini hingga hitam!


ribuan kata tak bisa menutupi lubang peluru!

di bahwa melemparkan tali sekali lagi


dengan terpaksa agar terhindar dari apa saja
yang mencekik kata

memasang tali di leher Tuhan


seperti sebuah gambaran goyang. Seperti ikan lumba-lumbam
malam minggu naik kuda berpacaran
memakai kemeja abu-abu yang mengalir sejuk seperti air manis
berwarna perak di dada mreka,
negeri orang mati bahwa jauh berada dibelakang cakrawala pengalaman,
tersendiri, dalam artikulasi sajak yang jauh, lampau dari yang lain
bahwa seribu kata tidak bisa membuat sehat seekor anjing!

bakar, bakarlah, tangan yang tak rusak ini

bilamana anak-anak mati itu berhenti memanggil afrika

ritual mulut menganga


maka dating kematian
kau harus membantunya
harus kau bacakan buku itu
harus kaunkucilkan diri, membisikinya
kau harus pura-pura percaya
kata-kata sejati bakal muncul
busa putih, menghisap malam
lelaki sekarat itu mulutnya menganga
tercekik dan bergidik
urat-uratnya tegak bagai direntang
lalu:
pada kelepak sayap yang dibentang
kau harus, dengan satu jari, membungkuk,
ke muka, menyuarakan gerak suci
melepaskan lidah itu
satu lompatan, satu lentingan, koma,
desah nafas
selepas itu hidup lenyap
bagai terbangnya burung pipit
berebut menghunjam ke hutan
dengan rakus melahap kebun buah-buahan
kenangan
dalam lagu telanjang.

Kehidupan di tempat lain

Namun mengapa hati harus selalu terpaksa


Berpikir dengan sayapnya yang menggelap
Dari mana berhembusnya angin di langit terang
Yang membikin pohonan tanpa kegaduhan
Membungkuk dan menyimpang?
Dan suara tangis tercekik itu
Seperti burung hitam yang punggungnya berpita
Buluh dan segala rumah buta
Dimanakah adanya janji mati dengan nafas kita
Di daun jendela?
Apapun warna mantel pennjaga malam
Atau seberapa panjang bulu-bulunya berputatar di halaman
Apa gunanya mengingat
Lanturan tak masuk akal di senja hari
Sekali lagi
Di balik matahari di dalam mata perempuan kala fajar
Perempuan matahari di bawah ranting yang bergelantung
Seberapa banyak yang mati, mulutnya menganga pada
Adakah yang masih tersisa untuk diketahui?

Darah yang mongering, abu bakaran


Terlupakan di atas tanah dingin
Dari hutan yang menggelora atau bintang-bintang beku
Angin membuka sayap gelapnya
Tetapi apa yang bakal tetap dinyanyikan oleh sukma?

Cahaya Pertama

Cahaya pertama menembus buih


Mimpi yang mengendarai puncak hitam
Masih mengapung dalam
Tubuhmu yang lelap di sampingku

Kebutaan gemilang berkilau


Adalh bagaimana kanak-kanak dalam diriku
Mengenang sembarang peristiwa
Dunia yang kutahu
Temoat burung-burung yang membubung
Ke dalam dan ke luar
Orang tua dalam diriku terkenang kqnak-kanak
Seperti kenangan enggan
Akan rasa hangat di kerongkongan

Alangkah lembut tubuhmu berdenyut di pagi hari


Tubuhmu adalah mata yang mengantuk

Masih bersamakukah engkau


Kau, yang membuka jendela balkon
Agar malaikat terhuyung keluar berpisah
Menghilang di balik cahaya

Segala ini adalah cermin


Mesti kita temukan diri kembali
Dalam puisi Breyten Breytenbach di atas tidak terdapat unsur anomatope.
4.2.4. Aliterasi

Makna Dibalik Cakrawala Kata-kata


(untuk Hektor Peterse, 16 Juni 1976)
dia bahwa sudah bosan menulis jaman purbakala-
tentang gorila tenangan sakit bokong tentang orang-orang cebol dab huruf-huruf hidup yang
bangsat-
tentang kata-kata yang bergera dan menempatkan diri rata di atas kertas,
jumlah mereke seperti demonstrasi orang-orang hitam
yang mengacungkan kepalan tangan kelangit mencari pembakaran untuk mengubur
kerabat-kerabat yang mati dan tetap demonstrasi lagi tentang kehidupan yang bangsat
yang hidup dalam negeri seperti ini

bahwa dia sering kali mau muntah


melihat gmbar-gambar memuakkan dalam siaran berita t.v. malam hari
tentang permainan boer dan pandoer dari orqng-orang Botha
yang dengan anjing dan cam,bik dan gas air mata dan peluru
memukuli orang-orang pribumi hingga berak tainya keluar
dan esok pagi daftar orang-orang terbunuh bertambah panjang lagi
dan bertambah juga nyanyian sedih dari mereka yang masih hidup
memandang darah hitam menggenang
seperti tinta cetak dalam surat kabar

bakar, bakarlah negeri ini hingga hitam!


ribuan kata tak bisa menutupi lubang peluru!

di bahwa melemparkan tali sekali lagi


dengan terpaksa agar terhindar dari apa saja
yang mencekik kata

memasang tali di leher Tuhan


seperti sebuah gambaran goyang. Seperti ikan lumba-lumbam
malam minggu naik kuda berpacaran
memakai kemeja abu-abu yang mengalir sejuk seperti air manis
berwarna perak di dada mreka,
negeri orang mati bahwa jauh berada dibelakang cakrawala pengalaman,
tersendiri, dalam artikulasi sajak yang jauh, lampau dari yang lain
bahwa seribu kata tidak bisa membuat sehat seekor anjing!

bakar, bakarlah, tangan yang tak rusak ini

bilamana anak-anak mati itu berhenti memanggil afrika

ritual mulut menganga

maka dating kematian


kau harus membantunya
harus kau bacakan buku itu
harus kaunkucilkan diri, membisikinya
kau harus pura-pura percaya
kata-kata sejati bakal muncul
busa putih, menghisap malam
lelaki sekarat itu mulutnya menganga
tercekik dan bergidik
urat-uratnya tegak bagai direntang
lalu:
pada kelepak sayap yang dibentang
kau harus, dengan satu jari, membungkuk,
ke muka, menyuarakan gerak suci
melepaskan lidah itu
satu lompatan, satu lentingan, koma,
desah nafas
selepas itu hidup lenyap
bagai terbangnya burung pipit
berebut menghunjam ke hutan
dengan rakus melahap kebun buah-buahan
kenangan
dalam lagu telanjang.

Kehidupan di tempat lain

Namun mengapa hati harus selalu terpaksa


Berpikir dengan sayapnya yang menggelap
Dari mana berhembusnya angin di langit terang
Yang membikin pohonan tanpa kegaduhan
Membungkuk dan menyimpang?
Dan suara tangis tercekik itu
Seperti burung hitam yang punggungnya berpita
Buluh dan segala rumah buta
Dimanakah adanya janji mati dengan nafas kita
Di daun jendela?
Apapun warna mantel pennjaga malam
Atau seberapa panjang bulu-bulunya berputatar di halaman
Apa gunanya mengingat
Lanturan tak masuk akal di senja hari
Sekali lagi
Di balik matahari di dalam mata perempuan kala fajar
Perempuan matahari di bawah ranting yang bergelantung
Seberapa banyak yang mati, mulutnya menganga pada
Adakah yang masih tersisa untuk diketahui?

Darah yang mongering, abu bakaran


Terlupakan di atas tanah dingin
Dari hutan yang menggelora atau bintang-bintang beku
Angin membuka sayap gelapnya
Tetapi apa yang bakal tetap dinyanyikan oleh sukma?

Cahaya Pertama

Cahaya pertama menembus buih


Mimpi yang mengendarai puncak hitam
Masih mengapung dalam
Tubuhmu yang lelap di sampingku

Kebutaan gemilang berkilau


Adalh bagaimana kanak-kanak dalam diriku
Mengenang sembarang peristiwa
Dunia yang kutahu
Temoat burung-burung yang membubung
Ke dalam dan ke luar
Orang tua dalam diriku terkenang kqnak-kanak
Seperti kenangan enggan
Akan rasa hangat di kerongkongan

Alangkah lembut tubuhmu berdenyut di pagi hari


Tubuhmu adalah mata yang mengantuk

Masih bersamakukah engkau


Kau, yang membuka jendela balkon
Agar malaikat terhuyung keluar berpisah
Menghilang di balik cahaya

Segala ini adalah cermin


Mesti kita temukan diri kembali

Yang termasuk unsur bunyi aliterasi dalam puisi di atas yaitu:


- Aliterasi n pada tentang gorila tenangan sakit bokong tentang orang-orang cebol dab huruf-
huruf hidup.
- Aliterasi n pada yang mengacungkan kepalan tangan ke langit mencari pembakaran untuk
mengubur.
- Aliterasi n dan g pada memandang darah hitam mengenang.
- Aliterasi k pada tercekik dan bergidik.
- Aliterasi n dan g pada urat-uratnya tegang bagai direntang.
- Aliterasi n dan g pada pada kelepak sayap yang di bentang.
- Aliterasi n pada satu lompatan, satu lentingan, koma.
- Namun Aliterasi h pada namun mengapa hati harus selalu terpaksa.
- Aliterasi n pada yang membikin pohonan tanpa kegaduhan.
- Aliterasi b, n dan g pada tempat burung-burung membubung.

4.2.5. Asonansi

Makna Dibalik Cakrawala Kata-kata


(untuk Hektor Peterse, 16 Juni 1976)

dia bahwa sudah bosan menulis jaman purbakala-


tentang gorila tenangan sakit bokong tentang orang-orang cebol dab huruf-huruf hidup yang
bangsat-
tentang kata-kata yang bergera dan menempatkan diri rata di atas kertas,
jumlah mereke seperti demonstrasi orang-orang hitam
yang mengacungkan kepalan tangan kelangit mencari pembakaran untuk mengubur
kerabat-kerabat yang mati dan tetap demonstrasi lagi tentang kehidupan yang bangsat
yang hidup dalam negeri seperti ini

bahwa dia sering kali mau muntah


melihat gmbar-gambar memuakkan dalam siaran berita t.v. malam hari
tentang permainan boer dan pandoer dari orqng-orang Botha
yang dengan anjing dan cam,bik dan gas air mata dan peluru
memukuli orang-orang pribumi hingga berak tainya keluar
dan esok pagi daftar orang-orang terbunuh bertambah panjang lagi
dan bertambah juga nyanyian sedih dari mereka yang masih hidup
memandang darah hitam menggenang
seperti tinta cetak dalam surat kabar

bakar, bakarlah negeri ini hingga hitam!


ribuan kata tak bisa menutupi lubang peluru!

di bahwa melemparkan tali sekali lagi


dengan terpaksa agar terhindar dari apa saja
yang mencekik kata

memasang tali di leher Tuhan


seperti sebuah gambaran goyang. Seperti ikan lumba-lumbam
malam minggu naik kuda berpacaran
memakai kemeja abu-abu yang mengalir sejuk seperti air manis
berwarna perak di dada mreka,
negeri orang mati bahwa jauh berada dibelakang cakrawala pengalaman,
tersendiri, dalam artikulasi sajak yang jauh, lampau dari yang lain
bahwa seribu kata tidak bisa membuat sehat seekor anjing!

bakar, bakarlah, tangan yang tak rusak ini

bilamana anak-anak mati itu berhenti memanggil afrika

ritual mulut menganga

maka dating kematian


kau harus membantunya
harus kau bacakan buku itu
harus kaunkucilkan diri, membisikinya
kau harus pura-pura percaya
kata-kata sejati bakal muncul
busa putih, menghisap malam
lelaki sekarat itu mulutnya menganga
tercekik dan bergidik
urat-uratnya tegak bagai direntang
lalu:
pada kelepak sayap yang dibentang
kau harus, dengan satu jari, membungkuk,
ke muka, menyuarakan gerak suci
melepaskan lidah itu
satu lompatan, satu lentingan, koma,
desah nafas
selepas itu hidup lenyap
bagai terbangnya burung pipit
berebut menghunjam ke hutan
dengan rakus melahap kebun buah-buahan
kenangan
dalam lagu telanjang.

Kehidupan di tempat lain

Namun mengapa hati harus selalu terpaksa


Berpikir dengan sayapnya yang menggelap
Dari mana berhembusnya angin di langit terang
Yang membikin pohonan tanpa kegaduhan
Membungkuk dan menyimpang?
Dan suara tangis tercekik itu
Seperti burung hitam yang punggungnya berpita
Buluh dan segala rumah buta
Dimanakah adanya janji mati dengan nafas kita
Di daun jendela?
Apapun warna mantel pennjaga malam
Atau seberapa panjang bulu-bulunya berputatar di halaman
Apa gunanya mengingat
Lanturan tak masuk akal di senja hari
Sekali lagi
Di balik matahari di dalam mata perempuan kala fajar
Perempuan matahari di bawah ranting yang bergelantung
Seberapa banyak yang mati, mulutnya menganga pada
Adakah yang masih tersisa untuk diketahui?

Darah yang mongering, abu bakaran


Terlupakan di atas tanah dingin
Dari hutan yang menggelora atau bintang-bintang beku
Angin membuka sayap gelapnya
Tetapi apa yang bakal tetap dinyanyikan oleh sukma?

Cahaya Pertama

Cahaya pertama menembus buih


Mimpi yang mengendarai puncak hitam
Masih mengapung dalam
Tubuhmu yang lelap di sampingku

Kebutaan gemilang berkilau


Adalh bagaimana kanak-kanak dalam diriku
Mengenang sembarang peristiwa
Dunia yang kutahu
Temoat burung-burung yang membubung
Ke dalam dan ke luar
Orang tua dalam diriku terkenang kqnak-kanak
Seperti kenangan enggan
Akan rasa hangat di kerongkongan

Alangkah lembut tubuhmu berdenyut di pagi hari


Tubuhmu adalah mata yang mengantuk

Masih bersamakukah engkau


Kau, yang membuka jendela balkon
Agar malaikat terhuyung keluar berpisah
Menghilang di balik cahaya

Segala ini adalah cermin


Mesti kita temukan diri kembali

Yang termasuk unsur bunyi asonansi dalam puisi diatas yaitu:


- Asonansi a pada yang mengacungkan kepalan tangan ke langit mencari pembakaran untuk
mengubur.
- asonansi a pada memandang darah hitam menggenang.
- Asonansi i pada tercekik dan bergidik.
- Asonansi a pada pada kelepak sayap yang dibentang.
- Asonansi a pada urat-urat tegang yang direntang.
- asonansi a pada satu lompatan, satu lentingan, koma.
- Asonansi a pada namun mengapa hati harus selalu terpaksa.
- Asonansi a pada yang membikin pohonan tanpa kegaduhan.
- Asonansi u pada tempat burung-burung membubung
.

4.2.6. Anophora dan Epifora

Makna Dibalik Cakrawala Kata-kata


(untuk Hektor Peterse, 16 Juni 1976)

dia bahwa sudah bosan menulis jaman purbakala-


tentang gorila tenangan sakit bokong tentang orang-orang cebol dab huruf-huruf hidup yang
bangsat-
tentang kata-kata yang bergera dan menempatkan diri rata di atas kertas,
jumlah mereke seperti demonstrasi orang-orang hitam
yang mengacungkan kepalan tangan kelangit mencari pembakaran untuk mengubur
kerabat-kerabat yang mati dan tetap demonstrasi lagi tentang kehidupan yang bangsat
yang hidup dalam negeri seperti ini

bahwa dia sering kali mau muntah


melihat gmbar-gambar memuakkan dalam siaran berita t.v. malam hari
tentang permainan boer dan pandoer dari orqng-orang Botha
yang dengan anjing dan cam,bik dan gas air mata dan peluru
memukuli orang-orang pribumi hingga berak tainya keluar
dan esok pagi daftar orang-orang terbunuh bertambah panjang lagi
dan bertambah juga nyanyian sedih dari mereka yang masih hidup
memandang darah hitam menggenang
seperti tinta cetak dalam surat kabar

bakar, bakarlah negeri ini hingga hitam!


ribuan kata tak bisa menutupi lubang peluru!

di bahwa melemparkan tali sekali lagi


dengan terpaksa agar terhindar dari apa saja
yang mencekik kata

memasang tali di leher Tuhan


seperti sebuah gambaran goyang. Seperti ikan lumba-lumbam
malam minggu naik kuda berpacaran
memakai kemeja abu-abu yang mengalir sejuk seperti air manis
berwarna perak di dada mreka,
negeri orang mati bahwa jauh berada dibelakang cakrawala pengalaman,
tersendiri, dalam artikulasi sajak yang jauh, lampau dari yang lain
bahwa seribu kata tidak bisa membuat sehat seekor anjing!

bakar, bakarlah, tangan yang tak rusak ini

bilamana anak-anak mati itu berhenti memanggil afrika

ritual mulut menganga

maka dating kematian


kau harus membantunya
harus kau bacakan buku itu
harus kaunkucilkan diri, membisikinya
kau harus pura-pura percaya
kata-kata sejati bakal muncul
busa putih, menghisap malam
lelaki sekarat itu mulutnya menganga
tercekik dan bergidik
urat-uratnya tegak bagai direntang
lalu:
pada kelepak sayap yang dibentang
kau harus, dengan satu jari, membungkuk,
ke muka, menyuarakan gerak suci
melepaskan lidah itu
satu lompatan, satu lentingan, koma,
desah nafas
selepas itu hidup lenyap
bagai terbangnya burung pipit
berebut menghunjam ke hutan
dengan rakus melahap kebun buah-buahan
kenangan
dalam lagu telanjang.

Kehidupan di tempat lain

Namun mengapa hati harus selalu terpaksa


Berpikir dengan sayapnya yang menggelap
Dari mana berhembusnya angin di langit terang
Yang membikin pohonan tanpa kegaduhan
Membungkuk dan menyimpang?
Dan suara tangis tercekik itu
Seperti burung hitam yang punggungnya berpita
Buluh dan segala rumah buta
Dimanakah adanya janji mati dengan nafas kita
Di daun jendela?
Apapun warna mantel pennjaga malam
Atau seberapa panjang bulu-bulunya berputatar di halaman
Apa gunanya mengingat
Lanturan tak masuk akal di senja hari
Sekali lagi
Di balik matahari di dalam mata perempuan kala fajar
Perempuan matahari di bawah ranting yang bergelantung
Seberapa banyak yang mati, mulutnya menganga pada
Adakah yang masih tersisa untuk diketahui?

Darah yang mongering, abu bakaran


Terlupakan di atas tanah dingin
Dari hutan yang menggelora atau bintang-bintang beku
Angin membuka sayap gelapnya
Tetapi apa yang bakal tetap dinyanyikan oleh sukma?

Cahaya Pertama

Cahaya pertama menembus buih


Mimpi yang mengendarai puncak hitam
Masih mengapung dalam
Tubuhmu yang lelap di sampingku

Kebutaan gemilang berkilau


Adalh bagaimana kanak-kanak dalam diriku
Mengenang sembarang peristiwa
Dunia yang kutahu
Temoat burung-burung yang membubung
Ke dalam dan ke luar
Orang tua dalam diriku terkenang kqnak-kanak
Seperti kenangan enggan
Akan rasa hangat di kerongkongan

Alangkah lembut tubuhmu berdenyut di pagi hari


Tubuhmu adalah mata yang mengantuk
Masih bersamakukah engkau
Kau, yang membuka jendela balkon
Agar malaikat terhuyung keluar berpisah
Menghilang di balik cahaya

Segala ini adalah cermin


Mesti kita temukan diri kembali

Yang termsuk anafora dalam puisi di atas yaitu:


- Kata tentang pada larik:
Tentang gorila tenangan sakit bokong tentang orang-orang cebol dab huruf-huruf hidup
yang bangsat
Tentang kata-kata yang bergerak dan menempatkan diri rata di atas kertas
- Kata dan pada larik:
Dan esok pagi daftar orang-orang terbunuh bertambah panjang lagi
Dan bertambah juga nyanyian sedih dari mereka yang masih hidup
- Kata kau harus pada larik:
Kau harus membantunya
Kau harus pura-pura percaya
- Kata harus kau pada larik:
Harus kau bacakan buku itu
Harus kau kucilkan diri, membisikinya
Yang termasuk bunyi epifora pada puisi di atas yaitu:
- Kata bangsat pada larik:
Tentang gorila tenangan sakit bokong tentang orang-orang cebol dab huruf-huruf hidup
yang bangsat
Kerabat- kerabat yang mati dan tetap demonstrasi lagi ten tang kehidupan yang bangsat

4.3.Interpretasi Hasil Penelitian

Dari puisi Breyten Breytenbach yang paling dominan adalah unsur bunyi efoni dan tidak
terdapat unsur bunyi kakafoni serta anomatope.

BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Dalam puisi karya Breyten Breytenbach terdapat unsur-unsur bunyi: irama, efoni, aliterasi,
asonansi, anafora dan epifora, serta tidak terdapat unsur bunyi kakafoni dan aliterasi. Puisi
karya Breyten Breytenbach meskipun di bangun oleh unsure bunyi efoni namun kesan yang
ditimbulkan puisi-puisi ini adalah kesan kakafoni atau kesan buram.

5.2 Saran
Dalam puisi-puisi karya Breyten Breytenbach seharusnya pengarang juga memakai unsur-
unsur bunyi kakafoni dan anomatope, karena kedua unsur bunyi ini juga memiliki keindahan
tersendiri jika di pakai dalam penulisan puisi.

Daftar Pustaka
Agusta, Leon.1979. Hukla. Jakarta: Puisi Indonesia.

Agustine, Upite. 2000. Nyanyian Anak Cucu: Kumpulan Puisi 1967-1999. Bandung: Angkasa

Anwar, Chairil 1987. Aku Binatang Jalang (Ed. Pamusuk Eneste). Jakarta: Gramedia.

Bachri, Sutardji Calzoum. 1981. O. Amuk, Kapak, Jakarta: Sinar Harapan

Damono, Supardi Djoko.1982. Mata Pisau. Jakarta: balai Pustaka.

_______. 1992. Perahu Kertas. Jakarta: Balai Pustaka.

_______. 2000. Ayat-Ayat Api. jakarta: Pustaka Firdaus.

Danarto, 1982. Adam Makrifah. Jakarta: Balai Pustaka.

Esten, Mursal 1987. Sepuuh Petunjuk dalam Memahami dan Membaca Puisi. Padang:
Angkasa Raya.

Hadi WM, Abdul. Anak Laut Anak Angin. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Hutagalung, M.S.1971. Memahami dan Menikmati Puisi. Jakarta: Gunung Mulia.

Junus,Umar.1970.Perkembangan Puisi Melayu Modern. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan


Pustaka.

_______. 1981. Dasar-Dasar Intepretasi Sajak. Kuala Lumpur: Heinemann Asia.

Keraf, Gorys. 1984. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.

Poerwadarminta, Wjs.1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Pradopo, Rahmat Djoko.1987. Pengkajian Puisi. Yogjakarta: Gadjah Mada University Press.

Rendra. Empat Kumpulan Sajak. Jakarta: Pustaka Jaya.

_______. 1983. Balada Orang-Orang Tercinta. Jakarta: Pustaka Jaya.

Riffaterre, Michael.1978. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University Press.

Rosidi, Ajib (Ed). 1977. Laut Biru Langit Biru. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sastrowardoyo, Subagio.1975. Keroncong Motinggo. Jakarta: Pustaka Jaya.

_______.1981. Sosok Pribadi Dalam Sajak. Jakarta: Balai Pustaka.

Semi. M. Atar.1984. Anatomi Sastra. Padang: Sridarma.

Sudjiman, Panuti.1984. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia.

Sukirnanto, Slamet, dkk. 1997. Antalogi Puisi Indonesia 1997. Bandung: Angkasa.
Suryadi AG, Linus. 1981. Pengakuan Pariyem. Jakarta: Sinar Harapan.

Anda mungkin juga menyukai