Anda di halaman 1dari 4

Ilusi Identitas dan Sindiran Lacan

Oleh: Muhajir
(muhajirian.blogspot.co.id)
Seseorang bisa saja mengatakan dirinya aku bugis, aku makassar,
aku cantik, aku tampan , aku........... Tapi bagaimana jika segala
identitas manusia tak lahir dari otonomi kesadarannya sendiri? Maka, dari
sini, muncul pertanyaan baru: kalau begitu, dari mana identitas kita
bermula? Disinilah manusia disindir tanpa ampun oleh pemikir yang satu
ini: Jacques Lacan. Menurut Lacan, seorang psikoanalis tersohor, aku,
sebut saja juga ego, sebenarnya hanyalah ilusi, hanyalah produk dari
ketidaksadaran.
Sindiran Lacan bisa kita interpretasikan seperti ini: Jika kesadaran_menilik
cogito Cartesian_ adalah ego rasional dan memegang kendali atas diri,
maka, ketidaksadaran adalah diri irasional dan diri yang dikendalikan
oleh bukan dirinya: Sang lain (selanjutnya disebut Liyan). Pengendalian
diri oleh Liyan, tak lain dan tak bukan, justru karena diri tak memiliki
pusat kendali: kesadaran itu. Sehingga, intervensi Liyan terus menghantui
sang subjek melalui apa yang Lacan sebut sebagai Hasrat. Maka, apa yang
dimaksud identitas hanyalah sebuah konstruksi dari proses identifikasi
seseorang melalui Liyan. Identifikasi ini, pastinya bermula dari meluapnya
hasrat, yang nantinya mendorong keinginan untuk menjadi dan
memiliki, sembari mengejar kepuasan diri.
Di zaman ini, suatu masa dimana setiap orang ingin diakui, selalu akan
ada individu yang bersedia merumuskan dirinya sebagaimana hasratnya
memagut citra ideal Sang Liyan. Maka orang lain selalu adalah cermin
untuk memastikan bahwa di hadapanku juga adalah diriku. Identifikasi
demikian selalu akan berakhir pada pemantapan identitas melalui
peniruan citra ideal dari orang-orang yang selalu ibarat cermin. Hal
demikian sudah menjadi semacam hukum penyusunan individu yang
bermula sejak seseorang berada dalam keadaan masih bayi, sejak
seseorang, yang dalam bayangan Lacan, sudah berusia 6 bulan.
Pada mulanya melalui cermin sungguhan. Sang bayi melihat bayangannya
di cermin dan mengidentifikasi citra cermin sebagai dirinya yang utuh
yang sebenarnya bayangan dirinya, bukan diri yang sebenarnya: citra
cermin sebenarnya berposisi sebagai Liyan. Maka menurut lacan, sejak

kecil,
seseorang sudah salah mengenali tentang ke-aku-an-nya.
Disinilah ego sang anak yang dihadirkannya melalui identifikasi tadi,
dengan sendirinya mengalami keretakan, ia terbelah antara dirinya dan
imaji tentang dirinya (Robert: 2010). Hal tersebut terus berlangsung saat
sang anak membentuk identitasnya dengan menghasrati citra yang
nampak dalam cermin hiperbolis (ibu, ayah, kakak dan orang lain).
Kulminasi dari pembentukan identitas manusia, pada saat memasuki
ranah simbolik, saat dimana manusia telah mengenal bahasa. Lacan
membahasakan ranah Simbolik sebagai arena manusia memasuki
kebudayaan. Pada fase ini, identitas manusia selalu adalah hasil fabrikasi
oleh sistem penandaan (penanda dan petanda) yang terhampar menjalin
dalam struktur bahasa. Konsep hukum penanda diadopsi Lacan dari
Ferdinand de Saussure. Sedang, penanda sebagai gambaran mental dan
petanda konsep yang di asosiasikan dengan bunyi tersebut (Robert: 2010).
Sistem penandaan dalam bahasa akan menjadi hukum yang dipatuhi
seseorang sebagai syarat terbentuknya identitas: Laki-laki adalah lakilaki karena ia bukan Perempuan. Relasi penanda dalam sistem oposisibiner seperti itu akan menjadi perangkap simbolik sang subjek guna
mengkonstitusi identitasnya.
Maka jati diri seseorang sebagai aku selalu tersusun menurut intervensi
jejaring penandaan dalam struktur bahasa. Terkadang selalu melalui
kata orang: kalau ingin menjadi cantik/tampan dan fashionable harus
memiliki atribut yang juga dipakai artis tersohor. Atau bisa juga seperti ini
bentuk kata orang: lelaki itu kuat, tangkas dan bekerja, sedang
perempuan lemah lembut dan mengasihi dan sebagainya dan seterusnya.
bagaimana dengan kata iklan? : Apapun makanannya, minumnya teh
botol sosro.
Sebelum dilanjut, saya minum kopi dan merokok dulu...
Syahdan, sampai disini, ada yang sebenarnya tak beres dari konstruk
identitas manusia. Oleh karena identitas hanyalah fabrikasi tatanan
simbolik, maka identitas tak pernah utuh mengisi dan menyatu pada diri
dalam totalitas. Itu artinya, objek hasrat yang ingin direngkuh sebagai
identitas selalu menghilang, atau lebih tepatnya selalu di sangka hilang.

Disini, Lacan hanya ingin mengatakan bahwa sang individu tidak akan
pernah merengkuh secara utuh objek hasrat, oleh karena selalunya objek
hasrat melecut dalam kenikmatan memagutnya. Sebab, sistem penandaan
yang berseliweran membentuk identitas, menyemai makna yang juga
selalu tergelincir, tak terjangkar dan tak pernah tetap.
Bagi Lacan, setiap kata tak harus merujuk kata yang lain, seperti yang
dikira Saussure. sistem penandaan senang tiasa tidak stabil dan
manasuka. Ia independen, dan membentuk dirinya sendiri. Kita ambil
contoh ringan dari Donny: cobalah berpikir tentang orang baik yang juga
seorang pemberontak atau pejuang kemerdekaan. Meskipun individunya
sama, sikap kita terhadapnya benar-benar berbeda. Kata orang bisa
menjadi manusia, mamalia, atau hewan (2011).
Maka, seperti misalnya penanda fashinable yang dilekatkan sebagai
identitas seseorang, bisa sebagai ihwal kemoderenaan yang menawan,
juga bisa sebagai ihwal yang menjijikkan ketika direlasikan dengan
penanda alay. Maka dari sini, terkadang sang individu yang sudah merasa
fashionable, kemudian tidak lagi merasakannya saat ia dibilangi jijik karena
identitasnya itu.
Tapi, ke-selalu-hilang-an identitas manusia justru membuat manusia tak
pernah puas karena merasa tidak merebut objek penyebab hasratnya.
Melalui ketidakpuasan itulah manusia selalu akan bertindak untuk
mencapai kepuasan diri agar kembali merengkuh identitasnya yang
sebenarnya tak pernah ada sebagai keutuhan. Yang merasa pesolek selalu
tak akan puas kalau ada sebuah penanda bahasa yang menawarkan gaya
berhias baru dan orang lain sudah mulai merayakannya. Tapi tetap,
bagaimanapun juga, diri menawan dari para pesolek tak akan pernah
direngkuh sepenuhnya sebagai identitas utuh: ia selalu adalah ilusi.
Tak direngkuhnya objek penyebab hasrat itu, justru dibilangkan Lacan
sebagai ranah Real manusia: yang Real dalam manusia adalah ke-takpenuh-an dan kekurangan itu. Mark Bracher membahasakan fase Real
Lacanian sebagai sebuah usaha untuk mendapatkan bagian yang hilang
dari yang ada pada seseorang (2009). Yang hilang tak lain dan tak bukan
adalah objek penyebab hasrat, atau Lacan membahasakan sebagai objek a,
yang dalam bahasa Bracher, berfungsi sebagai pusat dorongan tempat

dibangunnya fantasi (2009). Objek a bisa juga dibilangkan sebagai objek


petit a atau objek a kecil: a = autre (other atau yang lain). Objek a inilah
yang dihasrati sang subjek, untuk dimiliki, untuk ditiru. Tapi karena ia
adalah juga sebagai sesuatu yang kabur, maka hasrat tak pernah sampai
untuk berlabu memasang jangkarnya. Hasrat selalu adalah hasrat yang
salah arah ara, salah pengertian.
Daftar bacaan
Donny gahral Adian. 2011. Setelah marxisme: Sejumlah Teori Ideologi
Kontemporer. KoeKoesan
Mark Bracher. 2009. Jacques Lacan, Diskursus, dan Perubahan Sosial:
Pengantar Kritik-Budaya Psikoanalisis. Jalasutra
Robertus Robert. 2010. Manusia Politik: Subyek Radikal dan Politk
Emansipasi di Era Kapitalisme Global Menurut Slavoj iek. MarjinKiri

Anda mungkin juga menyukai