Jacques Lacan
Jacques Lacan
Bayu Aktami
28 April 2015
Pemikiran Jacques Lacan (Lacan) menggabungkan psikoanalisa (Freud) dan strukturalisme (de
Saussure). Dia mengkritik psikologi ego1 yang menekankan aspek “kesadaran penuh,” yakni kesadaran
yang dapat menentukan dirinya sendiri. Bagi Lacan, kesadaran tidak pernah sepenuhnya sebagai
kesadaran, dan bahkan dalam pandangan yang lebih jauh, Lacan menyebutkan, bahwa kesadaran tidak
pernah sampai kepada yang sesungguhnya, “yang real”. Kita dapat memiliki pengertian hanya melalui
perantara, yang dijelaskan Lacan dengan analogi “cermin.” Realitas yang kita ketahui hanyalah pantulan
dari cermin (bayangan).
Psikologi Ego
Psikologi ego merupakan suatu pandangan tentang manusia yang menganggap manusia sebagai
subjek, sebagai pusat dunia, yang memiliki kepenuhan, dan sadar diri. Aku sebagai subjek, sadar penuh
akan diriku, dan aku menentukan sendiri apa diri (identitas)‐ku ini. Aku adalah pusat, dan penentu
duniaku. Segala yang di luar diriku adalah objek, dia ditentukan oleh diriku. Itulah psikologi ego, yang
berpusat pada aku sebagai aku yang sadar penuh akan diriku dan duniaku.
Lacan menolak itu semua. Baginya ego tidak sepenuhnya sadar, dan bahkan dia mengatakan
kesadaran diri yang “real” itu tidak pernah ada. Untuk itu, pembahasan Lacan akan sampai pada
pengkajian ulang terhadap masalah subjek atau “aku.”
Psikoanalisa Freudian
Freud mengatakan bahwa yang mendeterminasi perilaku manusia adalah bawah sadarnya.
Kesadaran dipengaruhi sepenuhnya oleh bawah sadar. Bawah sadar itu sendiri merupakan hasil represi
dari dorongan‐dorongan libidinal yang tidak dapat disalurkan ke dunia sadar. Represi‐represi itu
melahirkan fantasi sebagai pelarian karena ketidakmampuan ego mengolah dorongan id menjadi
terealisasi dan dapat diterima oleh super ego. Jadi, Freud menekankan determinasi bawah sadar atas
kesadaran, dan fantasi sebagai akibat dari ketakterpenuhinya dorongan‐dorongan libidinal. Freud juga
menekankan libido (dorongan seksual biologis) sebagai penggerak perilaku.
Berangkat dari itu, pemikiran Lacan mencoba untuk sedikit mengkritisi psikoanalisa Freud. Freud
yang cenderung melihat perilaku manusia akibat determinasi biologis, tapi Lacan mengangkatnya lebih
kepada bentuk determinasi simbolik (bahasa)2.
1
Elliott, A., Lemert, C., Introduction to Contemporary Social Theory, h. 157.
2
Ibid., h. 161.
1
Pertama‐tama, Lacan menolak dorongan libidinal sebagai penggerak utama perilaku manusia.
Bahkan, lebih jauh lagi, Lacan malah mengatakan apa yang dikatakan Freud sebagai fantasi merupakan
akibat represi tindakan, malah bagi Lacan justru fantasi itulah penggerak perilaku, namun tidak dengan
menggunakan istilah fantasi melainkan menggantinya dengan istilah “imajinasi.” Imajinasi adalah faktor
penggerak perilaku.
Cermin, Imajinasi, dan Narsisistik
Lacan terkenal dengan analogi cerminnya. Analogi itu sangat baik dalam menyampaikan gagasan
Lacan untuk mengerti, “Apa itu aku?” Seperti telah disebutkan sebelumnya, Lacan menolak konsep ego
yang mengerti dirinya secara penuh. Bagi Lacan, diri ini adalah suatu yang lain. Dalam arti, benar‐benar
suatu yang lain, yang tidak bisa ditangkap oleh kesadaran kita sebagai sebuah pengetahuan. Bagaimana
Lacan melihat aku sebagai yang lain itu?
Pada usia sekitar 6 sampai 18 bulan, seorang anak belumlah memiliki keterpusatan pada dirinya
(mengerti aku sebagai aku), melainkan dia melihat dirinya dan dunia tidak ada bedanya. Kala anak kecil
itu berdiri dihadapan cermin, dia tidak dapat menentukan mana itu dirinya, cermin, dan bayangan baik
itu bayangan dirinya maupun bayangan orang lain. Bagi anak pada usia itu, seluruh dunia melebur, dia
belum memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi (memilah‐milah). Beranjak ke fase berikutnya, anak
mulai mengerti bahwa yang dia lihat dalam cermin hanyalah bayangan, bukan dirinya yang sebenarnya.
Sampai pada tahap lebih lanjut, akhirnya anak tahu dan bisa membedakan mana bayangan dirinya dan
mana bayangan orang lain.3
Analogi cermin ini menggambarkan inti seluruh pemikiran Lacan. Pertama, tentang perlu adanya
cermin. Manusia tidak dapat mengerti dirinya tanpa ada suatu yang lain dari dirinya. Cermin, sebagai
suatu yang lain dari diri manusia, memberikan gambaran tentang wajah manusia. Ini mengibaratkan
manusia untuk mengerti dirinya, butuh relasi dengan yang lain. Relasi itulah yang membentuk bagaimana
dirinya, dalam hal ini, gambaran tentang dirinya. Manusia tidak dapat mengetahui dirinya oleh dirinya
sendiri.
Kedua, bagaimana kondisi cermin itu mempengaruhi bayangan yang dihasilkan. Dengan kata lain,
pengaruh lingkungan luar sangat menentukan citra dari manusia itu. Lingkungan seperti apa yang ada di
sekitarnya, seperti itulah dia akan dibentuk (mengidentifikasi dirinya). Jika cerminnya cekung, maka
bayangan yang didapat kecil dari aslinya, jika cerminnya cembung, maka bayangan yang didapat besar
dari aslinya. Jika cerminnya datar sekalipun, tetap menghasilkan bayangan yang bias dari aslinya. Jadi
sebagaimana cermin yang menghasilkan bayangan yang terdistorsi, diri yang kita dapat dari refleksi diri
terhadap lingkungan juga memiliki distorsi, kendati kita berusaha seobjektif mungkin, tetap saja diri yang
sebenarnya tidak pernah dapat diketahui.
Dengan demikian, apa yang kita katakan sebagai aku adalah hasil penilaian kita atas diri kita
sendiri yang kita dapat dari interaksi kita dengan lingkungan. Apa yang kita anggap sebagai diri adalah apa
yang kita identifikasi sebagai apa yang dikatakan lingkungan tentang diri kita. Namun, dikemudiannya,
bayang cermin itu kita terima begitu saja sebagai diri kita, dan kita terobsesi padanya (narsisistik).
3
Sarup, M., Postrukturalisme & Posmodernisme, h. 6.
2
Dalam psikologi ego, kesadaran memegang peran inti dalam diri manusia. Namun, bagi Lacan,
kesadaran penuh seperti itu tidak mungkin, karena apa yang dianggap kesadaran itu bukanlah kesadaran
sesungguhnya melainkan sebuah imajinasi. Apa yang kita pikirkan sebagai rasional, itu tak lebih dari obsesi
terhadap pantulan cermin yang diidealkan. Sejatinya, itu adalah imajinasi, suatu bayangan yang diterima
akibat relasi kita dengan lingkungan (sesuatu yang di luar diri). Sehingga, Lacan, lebih menekankan
pentingnya imajinasi dibanding rasio. Imajinasi dalam hal ini bersifat arbitrer, berbeda dengan rasio yang
memiliki konsistensi pola. “Logika” dari imajinasi sangat acak, dan mengandaikan pertukaran simbol terus
menerus (yang berarti selalu ada dalam relasi, pengaruh lingkungan).
Lebih lanjut, Lacan menjelaskan bahwa manusia digerakkan oleh dorongan narsisistik4 oleh
karena imajinasi itu. Citra‐citra yang dibayangkan manusia, entah kenapa mendorong manusia untuk
mengidealkannya, dan ingin memiliki suatu citra yang tetap. Keingginan terhadap suatu citra yang tetap
ini menuntut berhentinya pertukaran simbol yang berarti melepaskan diri dari komunikasi dan relasi.
Itulah yang mendorong pada rasionalisasi segala sesuatu, menginginkan suatu yang tidak lagi berubah‐
ubah, memiliki suatu gambaran diri yang utuh dan permanen, sehingga mengisolasi dirinya dari
pertukaran simbol yang semestinya terjadi. Rasionalisasi merupakan gerakan untuk memuaskan
dorongan narsisistik tersebut.
Hasrat dan Phallus
Bagi Lacan, manusia sudah selalu dalam relasi. Ini tentunya konsekuensi dari pendekatan
strukturalis Lacan, bahwa signifier tidak ditentukan oleh signified. Signifier bersifat abitrer, namun untuk
memiliki suatu makna, signifier harus dalam relasi dengan signifier lain. Dalam hal ini, Lacan melihat
psikoanalisa dengan kacamata strukturalis, dengan kata lain, bawah sadar (sebagai khas dari psikoanalisa)
diperlakukan sebagaimana bahasa, ketidaksadaran sebagai bahasa. Seperti apa ketidaksadaran (sebagai
bahasa) itu?
Jika Freud menjelaskan bahwa dorongan alamiah manusia itu adalah libido, maka Lacan,
dipengaruhi oleh strukturalis, melihat bahwa dorongan manusia mestilah sesuatu yang bersifat simbolis.
Lacan menyebut hasratlah sebagai dorongan alamiah manusia. Layaknya signifier, hasrat juga selalu
mencari relasi dengan hasrat‐hasrat lain untuk melahirkan suatu makna. Makna baru itupun, akan
mencari relasi baru demi makna baru lagi. Jadi, pertukaran simbolik, yang berarti komunikasi terjadi terus
menerus dan selalu melahirkan makna baru. Dalam hal ini, hasrat merupakan suatu dorongan yang tak
terpuaskan, karena dia akan selalu mencari bentuk baru melalui komunikasi dan pertukaran simbolisnya
dengan hasrat‐hasrat (signifier) lain. Namun, dari sekian signifier‐signifier dalam ketidaksadaran ada satu
signifier yang bersifat unik, yakni phallus.
Phallus bersifat unik lantaran, berbeda dengan signifier pada umumnya yang selalu mencari relasi
dan melakukan pertukaran simbolik (menjalin komunikasi), dia (phallus) merupakan signifier yang
menciptakan jarak, memisahkan hubungan antar signifier. Kendati demikian, dengan adanya phallus
makna malah menjadi lebih bermakna (lebih jelas). Phallus bisa diibaratkan spasi dalam sebuah kalimat,
yang menciptakan jarak, dan justru karena ada jarak itu, maka signifier‐signifier dalam kalimat dapat
bertukar makna, dan kalimat memiliki makna yang lebih berarti. Dalam kehidupan sosial, phallus dapat
4
Op. Cit., 158.
3
dikatakan sebagai suatu hukum5 atau regulator yang mengatur hubungan (interaksi) individu‐individu
dalam masyarakat.
Kesimpulan
Jadi, dapat kita simpulkan, bahwa Lacan mencurigai kesadaran. Bagi Lacan, kesadaran itu suatu
bentuk paranoid yang terobsesi pada suatu yang bersifat imajiner. Lacan menekankan suatu keberlainan
yang ekstrim, bahwa aku adalah benar‐benar suatu yang lain. Aku adalah asing bagi diriku sendiri. Namun,
keterasingan aku tidaklah mengisolasi aku, melainkan mengembalikan pengalaman aku ke dalam relasi
dengan yang lain. Aku adalah pertukaran makna terus menerus dengan yang lain, namun bukan dalam
bentuk sadar, melainkan hasrat dalam ketidaksadaran, sehingga makna‐makna yang lahir adalah makna
ketidaksadaran yang tidak bisa pahami hanya dengan logika sadar.
Pemikiran Lacan ini, paling tidak, telah mengingatkan kita untuk hati‐hati terhadap totalitas
kesadaran (rasionalitas). Totalitas itu mampu mengisolasi diri kita, dan mengasingkan diri kita dari diri
yang sejati yakni diri yang sudah selalu dalam relasi. Lacan mengingatkan, bahwa manusia terbatas dalam
pengertian‐pengertiannya, sehingga perlu untuk menghindari suatu absolutitas makna. Makna selalu
mencari makna baru, dan tidak pernah tinggal sama, dan pertukaran makna itupun bukan sesuatu yang
dapat direduksi kepada logika sadar. Makna bertukar dengan sewenang‐wenang, kita tidak dapat
membatasi diri pada makna tertentu, harus terbuka pada perkembangan makna.
Namun, pemikiran Lacan juga sangat dapat dikritik karena meremehkan kemampuan ego (sadar)
manusia. Kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri tidak dapat dikesampingkan begitu
saja. Manusia juga punya self‐reflection yang mampu memahami dirinya sendiri secara kritis, tanpa harus
mengkonfirmasinya pada lingkungan luar. Manusia mampu melampaui batas‐batas yang terberi padanya,
dan bertindak secara bebas (autonomy) untuk mengaktualisasikan dirinya sendiri. Hal seperti ini, yang
dalam pemikiran Lacan kurang mendapat tempat yang semestinya.
Daftar Pustaka
Elliott, A., Lemert, C., Introduction to Contemporary Social Theory, New York: Routledge, 2014.
5
Sarup, M., Postrukturalisme & Posmodernisme, h. 18.
4