Anda di halaman 1dari 6

Emmanuel Levinas: Tanggung Jawab terhadap Orang Lain sebagai Struktur Diri

Manusia
©Patritiusarifin

Emmanuel Levinas merupakan salah satu filsuf Yahudi dan tokoh etika kontemporer
yang sulit diabaikan. Etika adalah ‘filsafat pertama’ (prote philosophia) menurutnya. Inti
etika Levinas ialah tanggung jawab terhadap Yang Lain (The Other) yang melampaui lapisan
realitas ontologis. Karena itu, etika Levinas tidak berbicara mengenai sederet prinsip tingkah
laku, melainkan keterbukaan total kepada Yang Lain sebagai satu posisi eksistensial manusia.
Baginya, yang etis melampaui konsep. Etika melampaui ontologi atau di seberang esensi.
Pertanyaannya ialah, bagaimana memahami tanggung jawab terhadap Yang Lain sebagai
posisi eksistensial atau struktur diri manusia itu?

1. Tanggung Jawab terhadap Orang Lain: dari Ontologi ke Metafisika (etika)1


Mengambil inspirasi dari fenomenologi Husserl yang sudah dikembangkan sedemikian
rupa di tangan Heidegger, Levinas menolak pendekatan totalistis terhadap realitas yang
mewarnai seluruh filsafat Barat. Ia beralih dari ontologi ke metafisika. Menurutnya,
sementara ontologi berbicara mengenai Ada, metafisika membuka ruang bagi dimensi tak
berhingga, “yang lain dari pada Ada” (otherwise than being) yang tidak dapat ditundukkan
pada pemahaman egologis.
Karena itu, salah satu tesis pokok Levinas ialah bahwa metafisika harus diprioritaskan di
atas ontologi sebab metafisika pada kodratnya bersifat etis. Metafisika menekankan relasi
dengan manusia dan dunia secara konkret, dan menghindari sikap teoretis. Sebaliknya,
ontologi mereduksi atau mentotalisasi realitas ke dalam konsep atau pemahaman egologis
dan mengorbankan eksistensi konkret demi idea-idea. Padahal bagi Levinas, yang pertama
bukanlah upaya mencari pemahaman, melainkan relasi etis kita dengan Yang Lain. Relasi-
relasi konkret itu selalu mendahului konsep-konsep. Sebagaimana Plato, ide “Baik” harus
diletakkan di seberang ide “Ada”. Dari sanalah tampak bahwa fokus filsafat Levinas terarah
pada persoalan etika.
Dalam Totalité et infini: essai sur l'extériorité (1961) (Totalitas dan Tak Berhingga: Esai
tentang Eksterioritas) Levinas menjelaskan bahwa pada dasarnya segala totalitas didobrak
oleh apa yang ia sebut “Yang Tak Berhingga”, satu realitas yang secara prinsipiel tidak
mungkin dimasukkan ke dalam lingkup pengetahuan dan kemampuan saya, yakni Orang Lain

1
K. Bertens, Filsafat Kontemporer Jilid II Prancis, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2014), 271-287.

Page 1 of 6
(Autrui, l’Autre). Sesuai subjudul buku tersebut, pembahasan filsafat Levinas lantas tidak lagi
tentang “filsafat mengenai yang sama” (la philosophie du mȇme) dengan ‘ego’ sebagai
pusatnya, melainkan mengenai “Yang Lain”, suatu eksterioritas (l'extériorité) yang disebut
tak berhingga itu. Orang Lain tidak merupakan bagian dari suatu totalitas. Orang lain tidak
dapat menjadi tema. Ia tidak dapat dimasukkan ke dalam keseluruhan, tidak takluk pada
konsep, selalu sendiri, selalu mempertahankan otonomi dan kepadatan yang tak terselami.
Totalitas yang saya susun dengan seksama, langsung buyar ketika berjumpa dengan Orang
Lain.
Pengalaman perjumpaan dengan Orang Lain ini oleh Levinas disebut dengan istilah:
‘Wajah’, suatu istilah untuk menggambarkan kehadiran langsung tanpa perantara, penengah
atau konteks. Dengan kata lain, perjumpaan ini tidak berlangsung dalam taraf pengenalan
teoretis, melainkan dalam taraf praktis. Dalam perjumpaan langsung dengan Wajah itulah
relasi etis terbentuk sebab wajah Orang Lain merobohkan egoisme saya.2 Untuk dapat
menjumpainya, saya dipaksa keluar dari imanensi saya. Dengan kata lain, dalam perjumpaan
dengan ‘wajah’, sayalah yang ‘takluk’ pada yang asing (l’Etranger) itu. Dengan demikian,
relasi etis yang terbentuk dalam perjumpaan dengan Orang Lain itu tidak berciri resiprokal
atau timbal balik, melainkan satu arah saja, yakni saya kepada Orang Lain, karenanya disebut
asimetri. Di sini Levinas mengajukan sebuah cara berfilsafat yang lain yang mendasarkan diri
pada melihat Yang Lain dan mengutamakan Yang Lain untuk mengembalikan
“irreduktibilitas Yang Lain” itu.
Lebih lanjut Levinas menjelaskan bahwa tampilnya Orang Lain mengakibatkan saya
bertanggung jawab. Wajah menyapa saya dan saya tidak boleh tinggal tak acuh saja. Ia
mewajibkan saya, tetapi saya tidak boleh menuntut balas terhadapnya (asimetri). Relasi
asimetri itulah relasi etis yang sesungguhnya menurut Levinas, relasi yang terus keluar
menuju Orang Lain, dan tidak pernah kembali lagi kepada saya. “Tanggung jawab tanpa
pamrih” (asimetri) ini merupakan ide inti etika Levinas yang membedakannya dari relasi
timbal balik I-Thou (Aku-Engkau) dari Martin Buber.
Akan tetapi, ide tanggung jawab Levinas ini bagi kebanyakan orang terkesan eksentrik
sebab kita biasanya memahami tanggung jawab sebagai linear terhadap kebebasan, bahwa
saya bertanggung jawab hanya terhadap hal-hal di mana saya menjadi sebab atasnya. Dalam
arti itu sulitlah memahami bagaimana tanggung jawab terhadap Orang Lain begitu saja
diwajibkan kepada seseorang seperti dipikirkan oleh Levinas. Bertolak dari persoalan itu
2
Wajah yang dimaksud bukanlah hal fisis atau empiris yang terdiri dari hidung, mata, mulut dan seterusnya,
melainkan menunjuk pada keberlainan orang lain sebagai lain sama sekali, yang luput dari segala tematisasi atau
pengkonsepan, wajah yang begitu saja, polos dan telanjang.

Page 2 of 6
muncullah pertanyaan berikut ini, yakni di atas dasar apakah tanggung jawab yang radikal itu
didasarkan? Mengapa Yang Lain begitu saja menjadi tanggung jawabku? Berikut kita
membahas persoalan tersebut.

2. Asal-usul Tanggung Jawab terhadap Orang Lain


Gagasan etika Levinas memang sulit dimengerti oleh pemikiran yuridis kita yang selalu
menyetarakan pertanggungjawaban dengan kebebasan. Untuk memahami kedalaman diskusi
etika Levinas, kita perlu keluar dari domain Ada (Being), dan masuk ke suatu wilayah yang
belum pernah sungguh-sungguh dipikirkan dalam filsafat Barat, yakni wilayah yang
mendahului kesadaran, pengetahuan atau konsep (pra-reflektif). Di sanalah titik pijak
pembicaraan etika itu, sekaligus asal-usul tanggung jawab terhadap Orang Lain. Levinas
sendiri menulis bahwa saya (I) sudah terarah (bertanggung jawab) kepada Orang Lain (Thou)
secara lebih dulu dari segala kemunculan atau asal-usul (pre-original), mendahului segala
pengetahuan, mendahului kesadaran, mendahului “cogito” Descartes dan Husserl.3
Tentang hal itu dijelaskan secara rinci oleh Levinas dalam buku Otherwise than Being or
Beyond Essence (1974) (Lain daripada Ada atau di Seberang Esensi). Dalam buku tersebut
secara khusus diusahakan untuk berpikir lebih radikal lagi tentang subjektivitas (the self).
Mengenai subjek (the self), Levinas menulis demikian, bahwa the self merupakan sesuatu
yang melampaui masa lalu yang dapat kita ingat atau dengan kata lain, mendahului
kesadaran. The self melampaui segala ingatan. Ia sama sekali tidak bisa dibawa ke
kesadaran.4 Ia merupakan sisi yang berada di seberang waktu sekarang, hal mana segala
identitas yang teridentifikasi dalam perkataan terbentuk. 5 Realitas inilah yang menurut
Levinas kita maksudkan dengan sebutan Self, I, Ego.6
Tentang subjektivitas (The Self) tersebut diterangkan Levinas pada bagian ke IV buku
Otherwise than Being or Beyond Essence. Di sana, Levinas lebih dulu mengeritik
kecenderungan dalam filsafat Barat yang menganggap subjek dan kesadaran sebagai satu hal
yang sama.7 Menurutnya, ego atau the self sama sekali tidak bisa direduksi menjadi sekadar
kesadaran (consciousness). The self tidak mempunyai ekspresi apapun dalam Ada (expelled

3
Stephan Strasser, “Philosophical Reflections on an Opposition”, dalam Levinas and Buber: Dialogue and
Difference, ed. Peter Atterton, Matthew Calarco, and Maurice Friedman (Pittsburg: Duquesne University Press,
2004), 45.
4
Emmanuel Levinas, Otherwise than Being, (Netherland: Cluwer Academic Publisher, 1991), 104.
5
Levinas, Otherwise than Being, 105.
6
Levinas, Otherwise than Being, 106.
7
Levinas, Otherwise than Being, 103.

Page 3 of 6
from being, outside of being), tereduksi menjadi dirinya sendiri. Hal inilah yang disebut
pasivitas atau subjektivitas (the self) itu.
Di sini timbul masalah. Bukankah sesuatu yang tanpa bentuk, tak terekspresikan, yang
hanya dirinya sendiri, bukanlah apa-apa? Bukankah hal itu berarti ketiadaan? Atau justru
sebaliknya, bahwa ‘pengenyahan diri dari diri sendiri’ ini merupakan substitusi bagi Yang
Lain? Bahwa dengan keluar dari diri sendiri atau ‘yang sama’ (the same) seseorang terbuka
pada Yang Lain (The Other)? Bukankah demikian yang dimaksudkan dengan ‘the self
emptying itself from itself?12 Jadi bagi Levinas, semakin saya melampaui diri saya atau ‘yang
sama’ (the same), saya menemukan bahwa saya bertanggung jawab bagi Yang Lain. Itu
artinya bahwa subjek (the self) atau kepasifan yang dimaksud tidak mempunyai nama lain
selain ‘tanggung jawab terhadap Yang Lain’.
Tanggung jawab terhadap Yang Lain sebagai pasivitas atau subjektivitas berarti ‘suatu
situasi tersandera’, bahwa saya sudah selalu dituntut untuk bertanggung jawab terhadap Yang
Lain sebelum tindakan sadar atau intensionalitas saya. Jadi, dengan pasivitas dimaksudkan
bahwa tanggung jawab terhadap Yang Lain ini dipahami bukan sebagai tindakan (action)
intensional saya, melainkan satu hal yang dikenakan begitu saja padaku. Dengan kata lain,
bagian terdalam diri manusia sudah terikat pada sesuatu ‘Yang serba Lain’ (The absolutely
Other) di luar keputusannya. Ia tersandera. Tersandera berarti bahwa ia hanya mendapati
dirinya terstruktur demikian tanpa bisa mengelak kecuali menjawab tuntutan tanggung jawab
itu.8 Jadi, tanggung jawab dalam arti tertentu, alih-alih merupakan sebuah kesewenangan,
justru merupakan aktualisasi diri subjek (the self) itu sendiri.
Oleh karenanya, pertanyaan mengapa Yang Lain menjadi tanggung jawabku? Apakah
saya penjaga saudara saya? muncul dari pengandaian bahwa ego saya hanya memperhatikan
dirinya sendiri. Kita lupa bahwa ego dalam keadaan pra-historisnya berbicara tentang
tanggung jawab terhadap Yang Lain. Posisi tanggung jawab di sini melebihi egoisme atau
altruisme. Bagi Levinas, hal itu merupakan religiositas dari the-self, bahwa sejak kondisi pra-
historisnya, subjektivitas telah tersubstitusi bagi Yang Lain (I am an Other).9 Dengan kata
lain, tanggung jawab terhadap Yang Lain adalah struktur esensial, utama dan fundamental
dari subjektivitas.10 Dari sifat dasar subjek (the self) yang merupakan keterbukaan total pada
yang lain, Levinas lalu menjabarkan luasnya tanggung jawab yang muncul. Menurutnya,
subjek menanggung beban alam semesta, bertanggung jawab untuk apapun termasuk
8
Levinas, Otherwise than Being, 111.
9
Levinas, Otherwise than Being, 118.
10
Responsibility for the Other is the “essential, primary and fundamental structure of subjectivity” E. Levinas,
Ethics and Infinity, Trans. R. Cohen, (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1985), 95.

Page 4 of 6
tanggung jawab terhadap tanggung jawab orang lain. Menjadi oneself berarti selalu memiliki
tanggung jawab satu tingkat lebih besar terhadap Yang Lain.11

3. Catatan Kritis
Etika Levinas pada dasarnya menempatkan tanggung jawab kepada Yang Lain sebagai
struktur atau identitas subjek. Tanggung jawab itu mendahului keputusan bebas saya, bahwa
saya hanya menemukan diri saya terstruktur demikian. Artinya, tanggung jawab kepada Yang
Lain bebas dari kepentingan saya, dan karenanya menjadi sepenuhnya tentang Yang Lain.
Inilah etika yang sesungguhnya bagi Levinas. Sedangkan, tindakan-tindakan intensional
betapapun baiknya tidaklah termasuk yang etis sebagaimana dimaksud sebab tindakan etis
menunjuk pada tanggung jawab yang benar-benar transenden, bukan pura-pura transenden
tapi lalu kembali ke diri sendiri (resiprokal).
Di satu sisi, Levinas dengan metafisikanya memang berhasil mendudukkan etika pada
posisi yang sulit dibantah. Tanggung jawab terhadap Orang Lain sebagai semacam
‘determinisme’ eksistensial menempatkan setiap orang pada tuntutan etis itu. Dengan kata
lain tidak ada alasan untuk tidak bertanggung jawab terhadap orang lain, sebab tanggung
jawab mendahului komitmen bebas saya.
Akan tetapi di sisi lain, bangunan etika Levinas menyimpan kelemahan tertentu. Simon
Lumsden dalam artikelnya “Absolute Difference and Social Ontology: Levinas Face to Face
with Buber and Fichte”12 mengajukan kritik bahwa Levinas, menyangkut konsepnya
mengenai keberlainan Yang Lain, pada kenyataannya tidak sepenuhnya keluar dari ontologi
yang ia kritik. Dengan menempatkan Yang Lain sebagai ‘tak berhingga’ (infinity), Levinas
ingin meruntuhkan ‘proyek pemahaman’ (project of comprehension) yang menurutnya
merupakan karakter tradisi filsafat Barat. Levinas menyebut bahwa Yang Lain sama sekali
tidak bisa dipahami. Ia hanya hadir sebagai ‘pewahyuan’ (revelation). Karena itu, kata-kata
seperti “wajah”, “orang asing”, atau bahkan “Yang Lain” hanyalah ekspresi terbatas tentang
yang tak berhingga itu. Karenanya, Levinas menolak segala konsep penengah, penghubung
atau perantara. Tak ada mediasi dalam relasi dengan Yang Lain itu. Menurut Simon Lumsden
persis ketakterhubungan (ketakterpahaman) Yang Lain itulah problem pemikiran Levinas.
Masalah bagi Yang Lain itu lalu adalah absoluditasnya hal mana persis merupakan problem
pada ontologi yang ingin dihindari Levinas
Bibliografi

Levinas, Otherwise than Being, 117.


11

Simon Lumsden, “Absolute Difference and Social Ontology: Levinas Face to Face with Buber and Fichte”,
12

Human Studies, Vol. 23, No. 3 (2000): 227-241.

Page 5 of 6
Bertens, K. Filsafat Kontemporer Jilid II Prancis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2014.

Levinas, Emmanuel. Ethics and Infinity. Trans. R. Cohen. Pittsburgh: Duquesne University
Press, 1985.

. Otherwise than Being. Netherland: Cluwer Academic Publisher, 1991.

Lumsden, Simon. “Absolute Difference and Social Ontology: Levinas Face to Face with
Buber and Fichte”. Human Studies, Vol. 23, No. 3 (2000): 227-241.

Strasser, Stephan. “Philosophical Reflections on an Opposition”. In Levinas and Buber:


Dialogue and Difference, edited by Peter Atterton, Matthew Calarco, and
Maurice Friedman, 37-48. Pittsburg: Duquesne University Press, 2004.

Page 6 of 6

Anda mungkin juga menyukai