Anda di halaman 1dari 7

Mengeja Eksistensialisme Emmanuel Levinas

Wahyu Budi Nugroho


Sosiologi Universitas Udayana


Etika sarat mendahului filsafat.
[E. Levinas]

Saya perlu mengucapkan terima kasih kepada Romo Thomas Hidya Tjaya,
yang karena bukunya, Enigma Wajah Orang Lain: Menggali Pemikiran
Emmanuel Levinas (KPG, 2012), saya dapat masuk lebih jauh ke alam
pemikiran Levinas. Sebelumnya, sebagai awam yang menggeluti pemikiran
eksistensialisme Jean Paul Sartre, saya insyaf betul pentingnya posisi
pemikiran Levinas bagi eksistensialisme Sartre, posisi tersebut, yang meski
boleh dikata kurang harmonis, namun dapat pula diucap mengisi satu sama
lain.
1
Sayang, literatur mengenai Levinas di tanah air masih terbilang jarang,
dan jikapun ada, penulis harus berdebat dengan rangkaian kalimat
terjemahan yang meracau, pun dengan kesadaran penuh sebelumnya bahwa
filsafat Levinas sendiri memang begitu ruwet bagi pembacaan awam.
Seperti diungkap Romo Magnis, Levinas berusaha berfilsafat dengan
kosakata yang belum digunakan manusia, ia berfilsafat tentang sesuatu
yang sesungguhnya tak dapat dikatakan atau dituliskan. Alhasil, Levinas
berputar-putar menggunakan konsep-konsep atau terminus yang
sesungguhnya tak memadai melainkan sekedar mendekati. Namun tukas
Romo Magnis, bila kita tekun mengikuti alur pemikirannya, kita akan
segera mengetahui maksud Levinas. Perkara yang tak mudah dan
membutuhkan pengorbanan cukup besar bagi penulis pribadi, setidaknya
hingga menemukan buku Romo Thomas di atas. Oleh karenanya, kepada
Beliaulah tulisan ini dipersembahkan.

Menggugat Kesadaran bagi Keberlainan
Levinas berangkat dari konsep kebenaran sejati ala Aristotelian dan
guru fenomenologi-nya sendiri, Husserl, yang mengandaikan kebenaran
sebagai kesesuaian antara pemikiran dengan forma (being/Ada). Sebagai
misal, apabila saya mengatakan, di kotak itu ada cerutu, dan nyatanya

1
Bahkan John Scott terlampau berani mengatakan bahwa pemikiran keduanya saling
mempengaruhi secara langsung.

cerutu itu memang benar-benar ada di situ, maka ini merupakan kebenaran
sejati yang tak terelakkan. Sedikit berbeda dengan Aristoteles, pemikiran
Husserl menjadi lebih canggih dengan menyertakan konsep epoche dan tak
menganggap pengetahuan kita tentang suatu forma sebagai ihwal yang
telah jadi layaknya pola pikir rasionalisme. Kebaruan dalam metode
Husserl terletak pada konsep epoche di mana subyek sarat melakukan
penangguhan sementara atau memberikan tanda kurung-kurawal pada
suatu obyek sehingga kemurnian dari obyek tersebut pun tertangkap.
Pemberian tanda kurung-kurawal itu termanifestasi melalui penghilangan
asumsi, prasangka, ataupun pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya
atas suatu obyek. Semisal, ketika seorang anak kecil tengah berada dalam
bus dan ia dibingungkan dengan pertanyaan seputar siapa yang
sesungguhnya bergerak; ia yang berada di dalam bus, ataukah
pemandangan di luar bus; jika anak ini menjawab pemandangan di luar
buslah yang bergerak, maka anak ini benar, secara fenomenologi Husserl.
Hal ini dikarenakan kesesuaian antara pemikiran sang anak dengan forma
yang hadir di hadapannya, dengan kata lain, representasi atau penampakan
sebuah obyek selalu selaras dengan kesadaran. Demikianlah fenomenologi
Husserl berupaya menginvestigasi proses kesadaran murni manusia
terhadap obyek yang ada di sekelilingnya.
Levinas, tak puas dengan skenario di atas, kesadaran dinilainya
terlalu egois, memaksakan apa yang tampak layaknya kesadaran itu sendiri.
Bagi Levinas yang mengisi sebagian besar hidupnya dengan pencarian
makna Other Yang lain bagi sesamanya, ia serasa memperoleh jawaban
lewat bagaimana proses kesadaran itu bekerja. Kesadaran selalu hendak
menaklukkan, mengkooptasi, dan menyerap segala sesuatu ke dalamnya.
Hal ini sebagaimana ungkap dalil umum psikologi: kita cenderung tak
menyukai seseorang yang berbeda dengan kita. Relasi antara orang tua dan
anak yang penuh dengan tuntutan dan permintaan (dalam bahasa Lacan)
dapat menjadi misal bagaimana proses penindasan kesadaran bekerja.
Orang tua sering kali menanamkan harapan-harapan tertentu pada
anaknya, tindakan yang dilakukan orang tua tersebut sesungguhnya
merupakan bentuk pemaksaan kesadaran orang tua terhadap sang anak
bahwa kau harus menjadi seperti yang kuinginkan. Inilah mengapa, sering
kali orang tua merasa benci, gagal, atau kecewa ketika si anak menjadi
berbeda dari yang dimauinya,
2
ia serasa kehilangan kontrol, ada sesuatu

2
Seperti ungkap Chomsky, Kita hanya melihat apa yang ingin kita lihat.
yang hilang atau terlepas dari dirinya, sedang sesuatu itu sesungguhnya
lebih menghendaki untuk terbebas darinya.
Ada satu pertanyaan urgen yang diajukan Levinas berkenaan dengan
masa lalunya yang kelam: Bagaimana bisa seseorang dapat menjadi
demikian berbeda dari yang lain, hingga karena perbedaan-perbedaan itu
seseorang tak lagi dianggap sebagai manusia, dan dengan mudah dihilangkan
nyawanya?. Pertanyaan ini, merupakan manifestasi pemberontakan
Levinas atas kenyataan pahit bahwa seluruh keluarganya yang berdarah
Yahudi menjadi korban pembantaian Nazi selama Perang Dunia II. Dalam
kegetirannya, ia pun menyimpulkan jika kesadaran menjadi biang dari
semua tragedi ini. Kesadaran bekerja dengan cara mendikitomi antara
Yang sama dengan Yang lain. Yang sama dalam konteks ini,
merupakan pikiran atau kesadaran itu sendiri, kesadaran yang tercetus dari
The I (Sang Aku/Ego), sementara Yang lain adalah berbagai obyek yang
ada di luar kesadaran atau The I. Kesadaran ini, meski oleh Husserl telah
dijinakkan (baca: ditundukkan) melalui epoche, namun pada akhirnya akan
selalu jatuh pada asumsi dan prasangka yang dibuatnya sendiri. Kesadaran
murni tak lagi benar-benar bersifat transenden (mengatasi segala sesuatu),
melainkan menemui wujudnya sebagai transasendensi, yakni sebuah
gerakan mengatasi yang mengarah ke luar, akan tetapi bakal selalu kembali
ke dalam. Dengan kata lain, kesadaran murni terjebak pada kesadaran
murni itu sendiri. Sifat kesadaran yang seperti inilah ungkap Levinas, yang
bakal melahirkan kesewenang-wenangan, iakesadaranakan selalu
menyerap dan menyamakan Yang lain sebagaimana dirinya, tanpa berpikir
panjang bahwa dirinya juga merupakan Yang lain bagi Yang lain.
3


Menolak Kesetaraan bagi Kemanusiaan
Jangan sakiti orang lain, mereka sama seperti diri kita. Serangkai
kalimat tersebut umum diterima sebagai kebenaran awam; bahwa orang
lain layaknya diri kita yang bisa terluka, oleh karenanya, jangan berlaku
sewenang-wenang, bahkan hingga menyakitinya. Orang lain yang mudah
terluka digambarkan Levinas sebagai kulit yang membungkus ketubuhan
manusia. Kulit yang menjadi bagian terluar tubuh manusia sangatlah tipis
dan rentan terluka, entah karena tergores, terbakar, iritasi, atau sebab-
sebab lainnya. Pun, lewat kulit inilah mau tak mau manusia sarat siap
tersakiti dan membawa luka itu kemana pun ia pergi. Namun, Levinas

3
Kalimat ini adalah satu contoh kecil betapa sulitnya membahasakan filsafat Levinas.
menolak konsep kesetaraan atau penyamaan antara manusia satu dengan
yang lainnya. Memang, setiap manusia dapat terluka, tetapi bukan berarti
mereka sama; masing-masing mereka tetaplah berbeda dan unik.
Bagi Levinas, pendasaran etika ataupun moral kemanusiaan melalui
prinsip kesamaan akan menemui kegagalan. Hal tersebut hanya akan
membuat seseorang berfokus pada kesamaan-kesamaan yang terdapat
antara dirinya dengan orang lain, sedang tak menyiapkan diri bagi
perbedaan yang bersifat nyata ataupun laten
4
. Ini seperti ketika kita
mengkaji semiotika Barthes di mana terdapat lapisan-lapisan terselubung
pada tanda. Dalam konteks filsafat Levinas, berbagai lapisan tersebut
adalah manusia itu sendiri. Dapatlah diandaikan, begitu mudah
menemukan persamaan antara diri kita dengan orang lain; bahwa orang
lain juga bernafas, memiliki wajah, tangan serta kaki, dan lain sebagainya.
Kesamaan-kesamaan ini, dikarenakan telah menjadi ciri paling kentara dari
eksistensi manusia dan biasa kita temui dalam keseharian hidup, pada
akhirnya menjadi sesuatu yang bersifat sui generic atau taken for granted
apa adanya. Kita telah terbiasa dengan kedirian manusia yang bersifat
fisik-biologis,
5
namun tidak pada unsur-unsurnya yang bersifat instrinstik.
Umumnya, kita akan lebih mudah menyematkan label other atau liyan
pada mereka yang berbeda secara ras, keyakinan (agama), afiliasi politik,
serta ideologi. Sampai pada titik ini, kesamaan-kesamaan yang terbangun
bersifat semu, sekedar berfokus pada kesamaan yang benar-benar sama
antara sesama individukesamaan bakal mandul ketika menjumpa
perbedaan.
Terkait hal di atas, Levinas tak sekedar mengkonsepnya secara
abstrak, melainkan telah mengalaminya secara nyata. Sebagaimana telah
disinggung sebelumnya, keluarga Levinas menjadi korban pembantaian
Nazi. Pengalaman pahit ini membuka matanya tentang bagaimana
seseorang dapat menjadi demikian berbeda di antara sesamanya.
Dikarenakan perbedaan ciri fisik dan ideologi, eksistensi manusia lain
dengan mudah tereduksi; ia tak dipandang layaknya manusia lain yang
memiliki keluarga, dengan susah-payah dilahirkan dan dibesarkan, pun
yang terparah: dinilai tak memiliki perasaan serta dapat terluka seperti diri

4
Ada namun tak kentara.
5
Di luar konteks ras dan perbedaan-perbedaan fisik yang sangat kentara. Konsep persamaan
ini sesungguhnya menunjuk pada kesamaan yang benar-benar sama antara satu individu dengan
individu lain; semisal antarindividu dalam suatu komunitas, kelompok, organisasi, partai, suku bangsa
atau bangsa.
kita. Bagi Levinas, hal ini tak lepas dari bagaimana proses kesadaran itu
bekerja.
Sebagai alternatif jalan keluarnya, Levinas menawarkan prinsip etika
yang sarat dibangun berdasarkan ihwal yang lebih tinggi. Inilah mengapa
ungkap Levinas, terdapat istilah-istilah seperti; After you, Mam [Silakan
Anda duluan, Bu], Please, Sir [Silakan, Pak], dan lain sejenisnya. Prinsip
menempatkan orang lain di atas diri kita memang memiripkan bentuknya
sebagai altruisme, namun bukan itu yang dimaksud Levinas.
6
Ia
memunculkan pihak ketiga dalam setiap jalinan dua individu yang tengah
berinteraksi. Pihak ketiga ini, seperti bagaimana kita bakal memperlakukan
individu-individu lainnya, atau dengan kata lain, perwakilan (percontohan)
dari seluruh umat manusia di dunia. Pertanyaannya, lalu kapan diri kita
akan diperlakukan secara lebih tinggi oleh manusia-manusia lainnya?. Di
sinilah letak keterbatasan kosakata manusia dalam membahasakan filsafat
Levinas. Menyangkut persoalan ini, secara sederhana Levinas berpijak pada
kebaikan yang telah ditentukan. Jika kebaikan itu telah sedemikian rupa
ditentukan Tuhan, maka tak ada jalan lain bagi manusia selain berbuat baik;
kebaikan bersifat solid dan tanpa celah. Lebih jauh, pengkajian ini akan
menemui bentuknya yang lebih kentara dalam filsafat Levinas mengenai
wajah manusia sebagai jejak tak terbatas.

Wajah Manusia sebagai Jejak Tak Terbatas
Apabila kita teringat akan seseorang, maka ingatan itu pastilah
mengarah pada wajah seseorang; bukan leher, tangan, atau kakinya. Di
sinilah Levinas menempatkan wajah sebagai bagian terotentik dari
ketubuhan manusia. Ia kerap menggunakan istilah fenomenologi wajah
dalam kajiannya, namun fenomenologi wajah yang dimaksudkannya
tidaklah mengacu pada wajah-fisik atau biologis, melainkan wajah yang
bersifat metafisik atau transenden. Melalui pertemuan antarwajah manusia
inilah Levinas menyusun konsep etikanya. Kehadiran wajah manusia selalu
mengusik kita, menyita perhatian dan kebebasan kita, bahkan lebih jauh:
menuntut kita untuk bertanggung jawab atasnya.
Romo Thomas Hidya mencuplik bagian novel All Quite on the
Western Front karya Erich Maria Remarque guna menggamblangkan
konsep etika Levinas yang dibangun berdasarkan pertemuan antarwajah
manusia. Alkisah, seorang prajurit Jerman jatuh di parit yang salah dalam

6
Bukan pula konsep potlatch ala Marcel Mauss, konsepsi Levinas melampaui baik altruisme
maupun potlatchpemberian tanpa harapan (seketika).
medan pertempuran untuk menghindari masifnya gempuran musuh, ia
berharap prajurit musuh tak terjun ke parit yang sama bersamanya.
Sepanjang hari ia merasa was-was, disiapkannya pula bayonet guna berjaga-
jaga, sehingga ketika terdapat prajurit musuh yang masuk, sekonyong-
konyong ia dapat menikamnya. Ketika malam tiba, kegusarannya terbukti,
seorang prajurit musuh masuk ke dalam parit yang sama, namun prajurit ini
terluka parah dan tak mungkin melukai atau melakukan perlawanan. Gurat
wajahnya menyiratkan ketakutan akut dan permohonan agar ia tak
dibunuh. Sang prajurit Jerman yang mulanya bersikukuh membunuh setiap
prajurit lawan yang masuk ke paritnya pun kemudian tergetar dan luluh
karena menyaksikan ekspresi wajah penuh ketakutan itu. Akhirnya, sang
prajurit Jerman mengurungkan niat tuk membunuhnya, dan justru
membantunya mengobati luka; meski pada akhirnya prajurit tersebut tak
tertolong.
Seperti inilah konsep etika yang berupaya dibangun Levinas, tak
peduli atasan, komando, atau negara mempropagandakan kebencian pada
pihak lain; pertemuan antarwajah manusia selalu bersifat cair dan tak
hitam-putih (baca: saklek). Kita dapat mendiamkan sebuah kursi yang
patah, tetapi kita tak dapat berlaku sama jika itu seorang manusia; kita tak
bisa mendiamkannya, kita harus bertindak sesuatu. Wajah manusia
mengusik kenyamanan dan kebebasan kita, seolah menuntut kita
bertanggung jawab atas kehadirannya, wajahnya menyirat serangkai jejak
yang tak terbatas; memuat rekam historis yang tak sekedar bernarasi
mengenainya, tetapi juga garis keturunannya yang tak terbilang, relasi-
relasinya, serta posisinya di dunia inibahwa ketiadaannya bakal
membawa luka mendalam bagi mereka yang ditinggalkan; sanak famili,
sahabat, relasi, dan pihak-pihak lainnya yang tak kita kenal. Melalui
serangkaian pengalaman tersebut, Levinas mendaulat pertemuan dengan
wajah manusia sebagai sebentuk epifani, yakni sesuatu yang tiba-tiba
tersingkap dan menyibak segalanya, bahkan dengan cukup berani Levinas
mengatakan bahwa pertemuan tersebut tak ubahnya perjumpaan dengan
Tuhan.
Berbagai alasan di ataslah yang menyebabkan Levinas bersikukuh
membangun etika berdasarkan pertemuan antarwajah manusia, bukannya
premis-premis yang bersifat universal dan kaku. Bisa jadi, yang menjadi
pertanyaannya kemudian adalah; lalu, dimana posisi kesadaran dalam
proses perjumpaan tersebut?. Levinas secara tegas dan meyakinkan
mensubstitusi posisi kesadaran dengan sensibilitas atau perasaan.
Kesadaran bagi Levinas, terlalu riskan dalam perjumpaan antarmanusia,
perasaanlah yang benar-benar mampu menempatkan Yang lain sebagai
Yang lain bagi Yang lain.


*****


Denpasar, 8 Mei 2014

Anda mungkin juga menyukai