Anda di halaman 1dari 17

UJIAN TENGAH SEMESTER

MATA KULIAH KAJIAN FILOSOFIS MANUSIA


SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2022 / 2023

● Metafisika: Kesadaran, Objek, dan Ateisme

Dalam tulisannya yang berjudul “Thirteen Theories of Human Nature”, Leslie Stevenson
berpendapat bahwa teori yang mendasari pemikiran Sartre adalah adanya perbedaan antara being
for inself (kesadaran seseorang yang menjadikan orang lain sebagai objeknya) dan being in itself
(kesadaran bebas untuk dirinya). Teori ini memiliki kemiripan dengan teori dualisme jiwa dan
badan milik Descartes. Akan tetapi, Sartre menyanggahnya dengan ajaran bahwa manusia bukan
terdiri atas dua substansi (being), melainkan memiliki dua cara untuk ber”ada”. Selain itu,
terdapat perbedaan antara reflektif (sadar akan sesuatu di luar subjek dan bersifat membutuhkan
sesuatu untuk diobjekan-positional) dan kesadaran pre-reflektif.
Contoh : "Dalam contohnya, jika saya menghitung rokok dalam kasus saya, saya
sadar akan rokok dan ada selusin rokok; dan saya sadar secara pra-reflektif bahwa saya
sedang menghitungnya, seperti yang ditunjukkan oleh jawaban yang saya berikan saat
ditanya apa yang saya lakukan; tetapi saya tidak sadar secara reflektif akan aktivitas saya
sampai seseorang bertanya kepada saya (atau saya bertanya pada diri sendiri apa yang
sedang saya coba lakukan)” (232).
Ketika ia sedang menghitung rokok, Sartre bertanya-tanya pada dirinya, bukankah
kesadarannya mengobjekan dirinya sendiri? Hal ini dikarenakan kesadaran akan secara otomatis
sadar sebagai suatu objek. Atas pertanyaannya, ia menjawab dengan memberikan konsep
kesadaran non-positional (pre-reflektif). Konsep ini hanya khusus dapat diterapkan pada
kesadaran yang sedang menyadari dirinya sendiri. Hal ini bisa terjadi ketika sedang berefleksi.
Sartre melihat bahwa kesadaran secara khusus menyadari dirinya sendiri, bukan menyadari
pribadiku (my awareness that conscious of itself, not awareness of myself). Semua bentuk
kesadaran ini terjadi secara otomatis.
Selain kesadaran dan objek, Leslie berpendapat bahwa pandangan Sartre yang tidak kalah
penting adalah penolakan terhadap Tuhan (ateis). Sartre melihat bahwa adanya dorongan dari
manusia untuk menjadi serupa dengan Tuhan, yang memiliki sifat sempurna dan menjadi being
for and itself secara bersama-sama. Sartre melihat bahwa adanya ketidakmungkinan suatu being
yang menjadi itself dan for secara bersamaan. Maka, Sartre berpendapat bahwa tidak ada realitas
Tuhan itu sendiri. Pandangan Sartre tentang ateisme menjadikan manusia bebas menentukan
hidup yang mereka inginkan. Ateisme telah membuat hidup manusia menjadi absurd. Kehidupan
mereka menjadi sangat menyedihkan serta terabaikan karena tidak ada pribadi yang menjaga dan
merawatnya. Yang ada hanyalah dirinya sendiri dan dirinya menjadi penentu kehidupannya.
Kehidupan yang absurd menjadikan putusan-putusan yang bernilai bergantung pada pilihan
pribadi itu sendiri. Ketidakadaan pihak eksternal menjadikan hidup manusia hanya berisikan
kebebasan yang digunakan untuk menentukan hidupnya.

● Teori Sifat Manusia: Eksistensi dan Esensi, Negasi dan Kebebasan

Banyak orang beranggapan bahwa individu manusia pertama-tama adalah sebuah esensi.
Akan tetapi, menurut Leslie, Sartre berpendapat bahwa eksistensi manusia merupakan langkah
awal sebelum esensinya. Oleh karena itu, hal yang paling mendasar dalam pribadi manusia
adalah eksistensinya itu sendiri. Ketika manusia dilahirkan ke dunia, ia tidak membawa sebuah
esensi. Ia tidak membawa sifat tertentu yang berasal dari Tuhan atau dari campur tangan evolusi.
Baginya, “eksistensi kita di dunia bukan berasal dari pilihan kita sendiri” (233). Dengan
tidak berpegang pada kehendaknya sendiri, manusia lahir dan eksis di dunia. Kemudian, setelah
kelahirannya, banyak pilihan hidup yang membentuk esensi dirinya. Pilihan-pilihan tersebut ada
dalam kebebasan manusia seperti yang ia katakan bahwa manusia ditakdirkan untuk menjadi
bebas. Akhirnya, menurut Leslie, Sartre menyimpulkan hal tersebut dengan istilah ‘kesadaran
intensional’.
Menurut Leslie, Sartre melihat bahwa ada konektivitas antara konsep ketiadaan dan
kesadaran. Dalam tulisan Leslie, Sartre berpendapat bahwa “ketiadaan membuat hubungan
konseptual antara kesadaran dan kebebasan karena kemampuan untuk memahami apa
yang tidak terjadi mensyaratkan adanya kebebasan untuk membayangkan kemungkinan
lain dan mencoba mewujudkannya” (234). Dengan demikian, manusia dapat mengetahui
sesuatu yang lain apabila ia sadar. Manusia yang memiliki kesadaran akan selalu dihadapi
tentang apa yang harus dipikirkan dan lakukan. Akan tetapi, satu hal yang harus diperhatikan
bahwa manusia tidak akan pernah bisa menjadi seperti Tuhan (yang ada dalam dirinya dan untuk
dirinya sendiri).
Di dalam kesadaran tersebut juga dapat berlangsung sebuah negasi. Menurut Leslie,
Sartre melihat negasi terjadi ketika “subjek menyadari dengan cara pra-reflektif bahwa yang
dirasakan objek bukanlah subjek: ia memiliki (atau diyakini memiliki) keberadaannya
yang terpisah” (233). Leslie memberikan contoh, misalnya ketika seseorang menanyakan
sesuatu kepada orang lain, tetapi ia sebenarnya sudah mengetahui bahwa jawaban yang akan
diberikan adalah jawaban negatif. Oleh karena itu, negasi membawa kita untuk memiliki
kebebasan yang lebih luas untuk berpikir, membayangkan adanya kemungkinan baru serta
tindakannya, dan mencoba untuk mengaktualisasikan kemungkinan tersebut.
Dalam kehidupan mental manusia, Leslie melihat Sartre menolak klaim-klaim psikologi
determinisme Freud dan ide mengenai ketidaksadaran. Dalam tulisan Leslie, Sartre berpendapat
bahwa manusialah yang memilih kondisi mentalnya seperti emosi-emosi yang ada dalam dirinya.
Baginya, “emosi mengandaikan dua hal, yaitu keyakinan dan penentuan nilai” (235).
Kemarahan kita akan hilang apabila kita tidak meyakini bahwa seseorang telah berbuat salah dan
berhenti untuk menilai seseorang berdasarkan kesalahannya. Jika kita marah terhadap seseorang,
hal tersebut bukanlah karena perbuatan orang itu, tetapi cara yang kita ambil untuk memberi
respon pada dirinya dan dunia. Oleh karena itu, manusialah yang harus bertanggung jawab
terhadap emosi-emosi dirinya.
Menurut Leslie, pendapat Sartre mengenai karakter dan kepribadian kita dihadapkan pada
dua kata kunci, yaitu tanggung jawab dan kebebasan. Manusia bertanggung jawab atas apa yang
sudah menjadi kebiasaan dan kepribadiannya sendiri. Kepribadian dan karakter manusia
bukanlah suatu fakta karena manusia selalu memiliki potensi untuk bebas bertindak berbeda
dalam situasi apapun yang ia mau. Sebagai contoh, deskripsi diri “Saya pemalu” bergantung
pada cara kita berperilaku dalam situasi tertentu dan kita selalu bebas untuk berperilaku berbeda,
atau setidaknya mencoba melakukannya. Penegasan atas dirinya sendiri itu hanya bertujuan
untuk mengantisipasi bagaimana seseorang akan bertindak terhadap dirinya sendiri dan
bagaimana orang lain akan bereaksi terhadapnya di masa depan. Namun, benar bahwa bukti
genetik pada kepribadian dan seksualitas juga berpengaruh. Leslie melihat Sartre menanggapinya
dengan berusaha untuk memperluas kebebasan dan tanggung jawab kita lebih kepada semua
yang kita pikirkan, rasakan, dan lakukan. Dia mengklaim bahwa undangan, inspirasi, atau
resolusi kita di masa lalu tidak ada gunanya di saat-saat pencobaan atau keragu-raguan. Sebagai
contoh, saat seorang bapak memutuskan untuk tidak berjudi dan dihadapkan pada situasi teman-
temannya sedang berjudi, resolusi masa lalunya tidak akan membantunya untuk menghindari
judi. Setiap saat membutuhkan pilihan baru. Jika manusia menghadapi keinginan bebasnya
berdasarkan resolusi masa lalunya, itu membawa penderitaan untuk menggambarkan kesadaran
akan kebebasan manusia sendiri. Penderitaan bukanlah tujuan tetapi subjektif dari orang yang
sadar tentang ketidakpastian perilakunya sendiri dalam situasi tertentu.
● Diagnosis: Penderitaan dan Bad Faith, Konflik dengan orang lain
Ketika seseorang menyadari bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa terhadap pilihan apa
yang akan dibuatnya, ia merasa menderita. Dengan kata lain, kebebasan yang dimiliki seseorang
hanya akan membawanya pada penderitaan. Menurut Leslie, Sartre berkesimpulan bahwa
kehidupan ini adalah “ sebuah kesadaran yang tidak menyedihkan tanpa kemungkinan untuk
melampaui tahap kesedihannya sendiri” (236).
Tentang itikad buruk, Sartre mengatakan bahwa ini merupakan sebentuk sikap “pelarian
diri” dengan mencoba untuk menjadi diri orang lain yang sebetulnya bertolak belakang dengan
pilihan pribadinya. Itikad buruk, dengan demikian, sama artinya dengan tindakan “menipu diri
sendiri”. Tujuannya adalah supaya seseorang dapat lari dari penderitaan, padahal penderitaan itu
adalah keniscayaan dari kebebasannya sendiri. Dengan demikian, sebagai solusinya, Sartre
menegaskan bahwa “penting untuk menjadikan diri kita apa adanya” (236). Seseorang perlu
“memeluk” kebebasannya dengan menerima segala macam konsekuensinya. Tindakan seseorang
tidak “didikte” oleh aturan-aturan eksternal yang berujung pada itikad buruk, melainkan oleh
diriku sendiri. Bagi Sartre, hanya keputusan yang diperbaharui dari seseorang sajalah yang
menyokong setiap tindakan, pilihan, dan perannya dalam hidup.

Dalam bagian ketiga dari Being and Nothingness yang berjudul Being-for-Others, Sartre
memberikan analisis filosofisnya mengenai hubungan intrapersonal dan mengakhiri dengan
beberapa kesimpulan yang pesimis. Menurut Leslie, Sartre menyoroti masalah filosofis tentang
dalam pengalaman umum, kita seringkali memiliki kesadaran langsung yang tidak dapat
menyimpulkan keadaan mental orang lain. Sartre menegaskan kekuatan spesial dimiliki oleh
tatapan orang lain terhadap kita. Contohnya ketika kita melihat wajah seseorang, orang tersebut
dapat langsung tahu kalau sedang diamati dan bisa merasa malu karena sadar orang lain akan
mengkritik tindakan kita.
Sartre berargumen bahwa, “hubungan antara dua makhluk yang sadar selalu melibatkan
konflik.”(238) Menurut Leslie, Sartre menjelaskan hanya ada dua strategi untuk menangkal
ancaman tersebut: pertama, seseorang dapat menganggap orang lain sebagai objek tanpa
kebebasan, atau seseorang dapat “memiliki” kebebasan mereka. Namun, menurut Leslie, terdapat
kontradiksi antara desakan Sartre terhadap kebebasan dan analisinya mengenai kondisi manusia
yang ditentukan oleh cara-cara tersebut. Sartre menegaskan bahwa semua bercita-cita untuk
mengisi kekosongan yang adalah esensi dari keberasaan kita sebagai makhluk yang sadar,
selanjutnya Sartre juga menegaskan bahwa setiap hubungan selalu melibatkan konflik, sebuah
upaya menyangkal atau memiliki kebebasan seseorang. Menurut Leslie, kedua cara tersebut
merepresentasikan kehidupan manusia yang berjuang tanpa henti untuk sesuatu yang tidak
mungkin.

● Resolusi: Pilihan Reflektif


Menurut Leslie, Sartre menolak segala way of life yang pasti bagi keseluruhan manusia,
seperti yang ditawarkan oleh kebanyakan filsuf-filsuf. “Manusia adalah citra Tuhan, maka kita
harus senantiasa berbuat baik seperti Tuhan”, pendapat yang populer seperti ini tidaklah benar
bagi Sartre. Manusia itu sendirilah yang mencari esensinya masing-masing. Maka dari itu, ia
menolak bad faith, sebuah kondisi bagi subjek tidak jujur dengan dirinya dan mengabaikan
pilihan dengan berpegang pada prinsip-prinsip umum. Dengan pandangan Eksistensialis, ia
mengedepankan kebebasan manusia untuk secara sadar memilih pilihannya. Walaupun bad faith
itu sudah sering terjadi dalam kehidupan manusia, bukan berarti memilih pilihan sendiri itu
menjadi hal yang salah atau tidak mungkin bisa dilakukan.
Dalam ilustrasi yang diberikan oleh Sartre mengenai seorang pemuda Perancis yang
dihadapkan pada pilihan, ikut berperang melawan Nazi atau tidak ikut berperang dan tinggal di
rumah dengan ibunya. Tidak ada sebuah doktrin etika yang dapat menjadi penengah, sebab
pilihan itu semua kembali lagi dengan keputusan pribadinya. Oleh karena itu, konsultasi moral
dan nasihat lainnya hanyalah menjadi sebuah pilihan-pilihan lainnya. Oleh karena itu, Sartre
hanya akan berkata, “Kamu itu bebas, maka pilihlah”. Hal ini menyatakan bahwa tidak ada nilai-
nilai etika yang dapat memberikan jawaban yang spesifik bagi masalah-masalah yang dihadapi
manusia. Oleh karena itu, ia lebih menekankan pada kebebasan memilih secara otentik dari
masing-masing individu.
Sartre ingin memperluas sistem kebebasan yang terkandung dalam manusia, Oleh karena
itu, kebebasan yang ia maksud bukan hanya berdasarkan tindakan kita, melainkan pula emosi,
perilaku, dan reaksi. Dalam keseharian manusia, sering terdengar seseorang yang mencela emosi,
perilaku, dan reaksi seseorang, seperti “Kok kamu marah dengan hal sepele ini?”, “Aku tidak
suka dengan tingkah laku kamu yang seperti itu”. Hal ini bukanlah kesalahan berbahasa dalam
percakapan, melainkan sebuah realita bahwa hal-hal itu sebenarnya dapat dikendalikan dengan
kehendak manusia itu sendiri. Oleh karena itu, semakin orang sadar dengan perilaku atau
emosinya, maka akan semakin dimungkinkan bagi mereka untuk mengendalikannya.
Menurut Leslie, Sartre menolak pandangan mengenai kondisi ketidaksadaran oleh mental
dari Freud. Ia menolak dengan sebuah pandangan bahwa semua hal itu menjadi bagian dari
kesadaran, jika direfleksikan. Hal itu didapatkan dengan teori prareflektif yang di dalamnya ia
memasukkan teori ketidaksadaran Freud. Dengan demikian, teori ketidaksadaran Freud adalah
sebuah prareflektif yang merupakan bagian dari kesadaran. Oleh karena itu, ketidaksadaran itu
tidak ada.
Sartre lebih mencari sebuah makna dari pada sebab yang saintifik dari perilaku
seseorang. Hal ini menarik, sebab dalam perilaku seseorang saat itu terdapat sebuah alasan yang
melatarbelakangi. Akan tetapi, ia mengatakan bahwa manusia itu utuh, tidak ter diri dari
perilaku, kebiasaan, dan kecenderungan yang tak berhubungan. Oleh karena itu, haruslah ada
sesuatu yang mendasari, “original project” (240). Tidak berarti bahwa manusia hanya
digeneralisasikan dengan satu dasar. Oleh karena itu, manusia mencari alasan dari pilihannya
berdasarkan dasar itu sendiri. Dengan sebuah ilustrasi, lebih baik seseorang yang memilih untuk
membantai orang lain dari kesadaran yang otentik dan reflektif dari dirinya sendiri, daripada
seseorang yang menolong orang hanya karena mematuhi sebuah norma atau peraturan.

● Otentisitas dan Kebebasan bagi Semua Orang

Menurut Leslie, Sartre menjelaskan bahwa kebebasan manusia ada dalam keadaan
yang faktisitas, yang sedang terjadi, namun ada juga keadaan faktisitas yang dapat
membatasi kebebasan manusia (241). Contoh keadaan faktisitas yang membatasi kebebasan
manusia ialah penyakit yang menyerang manusia akibat kerentanan tubuh. Misalkan ketika
manusia terkena Demam Berdarah atau TBC, membuat kebebasan orang itu terbatas. Contoh
lainnya lagi adalah situasi seseorang di dalam masyarakat misalkan seseorang bekerja sebagai
pekerja kebersihan, “pekerja sex” dan masih banyak lagi. Dari berbagai situasi pekerjaannya,
mereka hanya punya sedikit pilihan untuk menanggapi situasi itu. Berdasarkan hal ini, Sartre
melihat bahwa mereka akan merasa tertipu kalau menganggap kebebasan hanya bermodalkan
kesadaran semata, ternyata ada faktor lain yang membuat kebebasan itu menjadi terbatas.
Menurut pandangan filsafat being and nothingness manusia itu bebas padahal kenyataannya
tidak hal ini ditambahkan, menurut Leslie, Sartre berpandangan bahwa faktor sosio –
ekonomi membatasi kebebasan manusia, namun tidak menentukan pilihan-pilihan kita
(242).
Dalam Notebooks, Sartre merefleksikan bahwa otentik manusia di satu sisi melepaskan
upaya menjadi ciptaan Tuhan dan disisi lain ialah menjadi pahlawan, bertanggung jawab pada
ciptaan melalui kebebasan yang dimiliki namun ditolak oleh agama. Sartre menambahkan bahwa
relasi yang “mengobjekkan” bukan lagi sebuah ancaman jika Other menolak melihat kebebasan
dalam diri pengada dan Other melihat pengada sebagai pribadi yang bebas juga. Hal ini menurut
Sartre dapat memperkaya dan memberi makna bagi pengada. Pemahaman simpatik terhadap
orang lain menurut Leslie, Sartre menggambarkannya dengan “cinta yang otentik” yang
bersukacita dengan orang lain tanpa merampas kebebasannya. Pemahaman ini mirip dengan
Cinta Agape Kristiani. Poin penting yang hendak disampaikan oleh Sartre ialah kebebasan
individu dimengerti bukan sebagai yang abstrak, namun ditunjukkan dengan cara-cara yang
konkrit seperti bertanggung jawab terhadap pilihan bebas seseorang, menghargai dan
menghormati kebebasan akan kesadaran dan rasio pengada.
Dalam Existentialism and Humanism, Sartre menjelaskan bahwa memilih untuk diri
sendiri berarti pilihannya itu berdasarkan gambaran orang lain atau bisa juga dikatakan bahwa
tujuan yang ia yakini sebagai tujuan yang juga ditempuh orang lain. Sedangkan dalam
Notebooks, Sartre memakai frase “kota tanpa akhir” sebagai tujuan yang “absolut”. Frase ini
mirip dengan pemikiran Agustinus “City of God” dan pemikiran Kant “Kingdoms of Ends”,
namun Sartre tujuan yang dimaksud ialah munculnya masyarakat tanpa kelas-kelas (sosialis),
manusia yang bebas (sama seperti paham komunis Marx).

Menurut Leslie mengenai filosofi Sartre ini membawa tantangan praktis bagi kita
yaitu, kita perlu menjadi lebih sadar bahwa kebebasan yang kita miliki dapat mengubah
diri menjadi lebih baik dan berjalan bersama dengan masyarakat dunia menunjukkan
bahwa setiap orang punya kesempatan yang sama untuk menggunakan
kebebasannya(243).

Rian ()
1. Sebagai seorang filsuf eksistensialis, Sartre menekankan eksistensi manusia di dunia
dibandingkan esensinya. Ketika manusia lahir ke dunia, eksistensi manusia ada dengan
sendirinya. Sebaliknya, manusia tidak memiliki esensi natural yang membuat manusia memiliki
sifat atau tujuan tertentu dari Allah, campur tangan evolusi, atau berbagai hal lainnya. Esensi
manusia diperoleh berdasarkan pilihan-pilihan hidup yang diambil manusia dalam seluruh
dinamika kehidupannya. Dengan kata lain, manusia menjadi fondasi bagi dirinya sendiri. Oleh
karena itu, Sartre menganggap bahwa hidup manusia itu “absurd/tidak bermakna” karena tidak
ada acuan nilai-nilai objektif transenden yang menjadi ketetapan bagi manusia, seperti perintah
Tuhan, bentuk Platonis mengenai Kebaikan, dan makna atau tujuan keberadaan manusia seperti
dalam telos Aristoteles. Manusia dengan bebas menentukan dirinya sendiri berdasarkan
keputusan-keputusan yang diambil dalam hidupnya. Keputusan-keputusan tersebut bersifat
sangat pribadi dan mandiri yang dianggap merupakan sebuah kebenaran bagi diri orang tersebut.
Baginya, semua hal bersifat subjektif karena tidak ada kebenaran objektif yang berada di luar diri
manusia. Akan tetapi, penting untuk diperhatikan bahwa apabila tidak ada standar baku yang
ditetapkan, manusia tidak dapat mencapai apapun dengan kebebasannya. Hal ini dimengerti
karena pencapaian mensyaratkan sebuah ketetapan yang sudah ada sebelumnya.
Menurut saya, apabila kita memahami hidup manusia seperti yang dipahami oleh Sartre,
hidup manusia sungguh sangat absurd. Absurditas tersebut disebabkan oleh tidak adanya nilai
objektif yang ingin diperjuangkan karena setiap orang berjalan berdasarkan ketetapan yang ia
buat sendiri. Ketika seseorang menjalani kehidupannya berdasarkan kebenaran yang ia percayai,
sementara itu ada orang lain yang menjalankan kehidupannya berdasarkan kebenaran yang
berbeda dengan orang tersebut, maka di situ muncul sebuah absurditas sebab tidak ada sesuatu
yang jelas secara objektif. Dengan demikian, kita dapat menyatakan bahwa hidup manusia
menjadi tidak jelas arahnya dan kehilangan makna yang sejati.
Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa sebenarnya hidup manusia tidaklah seburuk apa
yang dikatakan oleh Sartre. Hidup manusia tidaklah absurd. Sebagai seorang filsuf eksistensialis,
Sartre melawankan dua hal, yakni kodrat dan kebebasan. Baginya, absurditas hidup manusia
berasal dari anggapan bahwa kodrat membatasi kebebasan manusia. Ia meyakini bahwa manusia
dapat dengan bebas menentukan bagi dirinya sendiri apa yang benar bagi dirinya. Ia menolak
semua faktor eksternal (kodrat) yang melawan kebebasan manusia. Jika diperhatikan secara
saksama, sebenarnya kebebasan manusia dapat terjadi apabila ada kodrat. Dengan adanya kodrat,
manusia dapat menjadi bebas dengan dirinya karena kodrat merupakan tempat untuk
merealisasikan kebebasan tersebut. Tanpa kodrat maka kebebasan tidak ada artinya. Oleh karena
itu, kodrat dan kebebasan adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Satu kesatuan
tersebut menunjukkan bahwa hidup manusia tidaklah absurd seperti yang dikatakan oleh Sartre
karena kodrat membuat kebebasan manusia mendapatkan tempat dan maknanya.

2. Ya, berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Sartre, kita memilih emosi diri kita
sendiri. Hal ini berdasarkan pemahamannya yang menyatakan bahwa manusia memiliki suatu
kesadaran. Pandangannya tersebut bertolak belakang dengan pemahaman Freud yang
menyatakan bahwa manusia dipengaruhi oleh alam bawah sadar. Dengan demikian, emosi-emosi
yang dirasakan oleh manusia adalah keputusan bebas yang diambilnya secara sadar untuk
merasakan emosi tersebut. Emosi tersebut merupakan tanggapan manusia terhadap rangsangan
yang mengenai dirinya.
Beberapa orang mungkin mendapatkan suatu pengalaman yang sama. Akan tetapi, orang-
orang tersebut dapat merasakan emosi yang berbeda tergantung pilihan yang diambil untuk
menanggapi pengalaman tersebut. Misalnya, ketika ada 3 mahasiswa yang ditegur oleh dosen,
bisa jadi mahasiswa pertama dan kedua menerima hal tersebut dengan lapang dada, tetapi
mahasiswa ketiga menjadi dengki terhadap dosen tersebut. Oleh karena itu, pilihan emosi para
mahasiswa tersebut adalah reaksi pribadi yang diberikan dirinya dalam menanggapi dunia, dalam
hal ini adalah teguran dosen tersebut.
Emosi dapat semakin terlihat jelas apabila dihadapi bersama peran yang kita hidupi.
Misalnya, seorang pramugari sangat sabar dalam menghadapi penumpang yang sulit diatur. Ia
menjalankan tugas itu dengan keramahan yang tinggi. Akan tetapi, ketika sampai di rumah, ia
bisa saja marah dengan adik-adiknya yang tidak sopan terhadapnya. Oleh karena itu, emosi
dalam hubungannya dengan peran menunjukkan bahwa hal tersebut adalah pilihan pribadi yang
diambil seseorang dalam menanggapi suatu rangsangan yang berasal dari luar dirinya. Pendapat
Sartre ini masih dapat diperdebatkan apabila emosi yang muncul diakibatkan oleh metabolisme
dan sistem biologis manusia.

Gabe Yohanes (220102013)


1. Apa yang Sartre maksud dengan mengatakan kehidupan manusia “absurd”?
Dengan pandangan Eksistensialis, Sartre mengatakan bahwa manusia sebenarnya hidup
di dunia ini tanpa tujuan dan maksud, atau dengan ungkapan yang sering didengar
“keterlemparan”. Dengan demikian tidak ada natur ataupun esensi yang sejati dalam diri
manusia. Tidak ada nilai-nilai khusus ataupun norma-norma yang mengikat manusia, seperti
adanya Tuhan dan rahmat-rahmat ilahi yang menunjukkan manusia untuk berbuat apa. sebab
sejatinya manusia hidup berdasarkan kebebasannya sendiri. Hal inilah yang dimaksudkan
“absurd” oleh Sartre. Walaupun dalam kenyataan dapat ditemui banyak value-value yang
objektif, hal itu semua hanyalah hasil refleksi dari kebebasan manusia sepanjang sejarah yang
justru sering menjatuhkan manusia kedalam ketidakaslian dalam bertindak (bad faith). Sebab,
manusialah yang mencari esensinya (eksistensi mendahului esensi)

Apakah ini benar?


Secara logis, pandangan Sartre ini memang dapat diterima, akan tetapi hal ini belum
benar dalam keseluruhan. Menurut saya pandangan ini salah, karena Sartre memiliki pandangan
bahwa sepenuhnya tidak ada kodrat atau nilai yang terkandung dalam diri manusia. Segala
norma ataupun nilai-nilai yang ada sekarang hanyalah hasil perkembangan sejarah dalam
kebebasan manusia. Oleh karena itu, nilai itu bukan kodrat asali yang terkandung dalam diri
manusia.
Dengan ilustrasi, segala kedamaian yang kita alami sekarang ini dan peraturan-peraturan
untuk menjaga kedamaian itu hanyalah pilihan dari kebebasan manusia. Maka dari itu, dapat
dikatakan bahwa kebebasan manusia mungkin saja mengedepankan kejahatan dan persaingan
diri bila sejarah berkata lain. Menurut saya hal ini salah, sebab ada kodrat dalam manusia yang
menetap dalam setiap manusia, salah satunya adalah “Cinta Diri”. Manusia tidak suka terluka
secara fisik, dengan demikian terus berkembang, sehingga muncul rasa empati. Oleh karena itu,
upaya kemanusiaan semakin dijunjung tinggi dengan menolak perang, HAM, dan cinta damai.
Dengan demikian, usaha untuk menjaga kedamaian bukan hanya sebuah kebetulan dari
kebebasan sejarah, sehingga menjadi sebuah nilai yang objektif bagi keseluruhan manusia. Akan
tetapi, saya setuju dengan ajakan sadar secara bebas bagi manusia untuk menentukan pilihan
secara asli dan reflektif.
2. Apakah kita memilih Emosi kita?
Menurut Leslie, dalam rangka memperluas jangkauan dari kebebasan manusia, Sartre
menyatakan bahwa emosi juga adalah bagian dari pilihan kita. Ia menolak pandangan bahwa
emosi adalah sesuatu yang berada dalam kondisi tidak sadar ataupun di luar kontrol. Oleh karena
itu, manusia bertanggung jawab atas segala emosi yang kita pilih. Apabila seseorang marah,
seseorang itu bertanggung jawab sepenuhnya, sehingga tidak bisa hanya menyalahkan seorang
yang telah memantik amarahnya.
Emosi adalah hal irasional yang menjadi pilihan bagi manusia. Ketika seseorang berkata,
“kok kamu begitu saja nangis?” dan “Aku tidak suka melihat kamu marah”, hal ini bukanlah
kesalahan manusia dalam berbahasa untuk menyampaikan pandangan mereka mengenai emosi.
Hal ini merupakan sebuah realita yang menjadi bukti bahwa emosi itu merupakan pilihan yang
bebas setiap manusia. Lalu, bagaimanakah ketika ketika kondisi biologis mempengaruhi emosi
seseorang, seperti semakin mudah marah karena sakit, dsb? Hal itu bukan berarti menyatakan
bahwa emosi seperti itu di luar kendali manusia. Akan tetapi, kendali emosi itu semakin
dipersulit oleh pengaruh biologis tubuh manusia.

Albertus Pantra (220102004)


1. What does Sartre mean by calling human life “absurd”? Is he right?
Menurut Leslie, pemikiran Sartre tentang hidup manusia disebut absurd agak tepat,
karena hidup yang absurd berarti hidup yang terabaikan karena tidak ada yang membantu dan
memberi tahu manusia tentang apa yang harus dilakukan dalam artian lain manusia
“ditinggalkan”. Sebaliknya manusia yang bebas itu sendiri akan terkekang jika dikaitkan dengan
hal yang Transenden. Hal ini berbanding terbalik dengan pandangan kaum kelompok agama
yang memahami bahwa Tuhan ikut serta membantu manusia dalam perjalanan hidupnya. Namun
jika setiap orang hidup berdasarkan kebebasannya sendiri, apa yang ia pahami, pilihan-
pilihannya sendiri bukankah kehidupan pada akhirnya akan menjadi absurd karena semua
memiliki kebenarannya sendiri?
Menurut saya, manusia tidak bisa tidak memiliki esensi ataupun tujuan dalam hidupnya
jika hidup berdasarkan “kebebasan, pemahaman dan kebenarannya” sendiri. Sartre meniadakan
kodrat dengan alasan membatasi kebebasan, padahal kodrat sendiri menjadi esensi tempat
manusia melaksanakan/merealisasikan kebebasan dan kesadaran dirinya. Manusia yang autentik
tidak mungkin meniadakan kodrat yang sejalan dengan kebebasan dan dengan demikian manusia
dapat menemukan makna dalam hidupnya atau bisa dikatakan hidup manusia tidaklah absurd.

2. Do we choose our own emotions?


Manusia menganggap emosi itu berasal dari luar kehendak kita, sedangkan emosi
menurut Sartre adalah sesuatu hal yang rasional dan dapat dirasakan melalui kesadaran penuh
kita. Misalkan jika kita sedih, menurut Sartre kita marah karena kita memilih untuk sedih. Dari
contoh tersebut, bisa diakini bahwa emosi juga berarti sebagai cara untuk memahami dunia itu
sendiri. Dunia dengan berbagai macam situasinya tentu akan ditanggapi manusia secara berbeda
dengan manusia lainnya. Manusia bertanggung jawab sendiri atas emosinya masing-masing.
Menurut Leslie, Sartre menambahkan bahwa emosi itu “disengaja” dan memiliki
objeknya. Contoh: seseorang takut akan sesuatu kejadian, marah kepada seseorang karena suatu
hal. Emosi juga mengandaikan adanya nilai-nilai yang dianut. Maka ketika ketika orang berhenti
menilai pandangan seseorang, maka kemarahannya akan hilang. Namun pendapat Sartre ini
masih bisa diperdebatkan. Leslie memperdebatkan kalau emosi tidak melulu soal pilihan, bisa
juga disebabkan karena situasi biologis. Misalkan suasana hati seperti depresi, disebabkan oleh
masalah neurofisiologis.

Lambok (220102021)
1. Apa yang Sartre maksud bahwa kehidupan manusia absurd? Apakah ia benar?
Berdasarkan tulisan Leslie mengenai Sartre, kehidupan manusia adalah kehidupan yang
absurd karena manusia 'berada' di dunia tanpa membawa tujuan (keterlemparan), tidak ada yang
membantu dan memberi tahu manusia tentang apa yang harus ia lakukan. Hanya ada manusia
pada dirinya sendiri yang menentukan hidupnya. Tidak ada pihak eksternal. Manusia hidup tanpa
tuntunan dari Tuhan sebagaimana dipercayai oleh kaum theis. Tidak ada Bapa di Surga yang
akan membantu. Dengan kata lain, manusia tidak memiliki finalitas apa pun. Dengan demikian,
ide tentang esensi/kodrat manusia yang bagi kaum theis dipercaya sebagai rencana Yang Maha
Kuasa atas manusia, ditolak. Baginya, esensi menjadi pembatas bagi manusia untuk mewujudkan
kebebasan. Sebagai fondasi, yang ada hanya diri manusia sendiri dan kebebasannya semata
sebagai pembuat keputusan-keputusan dalam hidupnya itu. Manusia hidup berdasarkan
pilihannya dan pilihan itu yang menentukan menjadi seperti apa mereka. Ia menganut kebebasan
radikal dan total.
Menurut saya, pandangannya benar ketika berbicara mengenai kebebasan. Saya setuju
dengan pandangannya bahwa melalui penihilan objektivitas pada kehidupan manusia, setiap
orang menentukan sendiri esensinya setelah dalam menjalani kehidupannya. Namun, Konsepnya
yang meniadakan kodrat (sebagai salah satu esensi, salah satu faktor eksternal, salah satu
“bawaan” dari Allah) dengan alasan akan mengekang kebebasan karena membuat manusia tidak
bisa secara bebas dan semata-mata hanya bergantung dari keputusannya sendiri, ternyata tidaklah
benar. Keduanya bukanlah hal yang bertentangan, melainkan saling melengkapi sebagai
kesatuan. Pelaksanaan kebebasan hanya mungkin ketika manusia menaati pembatasan kodrat?
Dalam hal ini, kodrat tidak bertentangan dengan kebebasan.

2. Apakah kita menentukan emosi kita sendiri?


Berdasarkan tulisan Leslie, Sartre meyakini bahwa emosi berada dalam kontrol manusia
karena manusia adalah makhluk yang berkesadaran. Kesadaran inilah yang memungkinkan
manusia untuk bertanggung jawab atas dirinya, termasuk atas sikap dan emosinya. Jika aku
berkata aku pemalu, ini mungkin terjadi jika aku telah memilih untuk merasa malu. Dengan
demikian, emosi bukanlah sekedar perasaan spontan yang muncul, melainkan cara manusia
memahami dan bereaksi terhadap dunia. Dalam artian ini, emosi mengandaikan adanya
kepercayaan dan penilaian akan makna. Contoh: kemarahan seseorang muncul karena ia percaya
bahwa seseorang berlaku salah kepadanya. Jika seseorang berhenti percaya bahwa orang lain
melakukan kesalahan atau jika seseorang berhenti menilai perlakuan orang lain sebagai
kesalahan, kemarahan tersebut hilang. Namun, pemahaman semacam ini dapat dikritisi dengan
melihat kesehatan dan kebutuhan untuk bebas dari rasa sakit bukan sebagai pilihan, melainkan
keterberian biologis. Pemahaman semacam ini tentu berbeda dengan Freud yang meyakini
peranan alam bawah sadar.

Chritofer Edgar Liauwnardo (220102009)


1. Sebelum sampai kepada keabsurdan hidup manusia yang dimaksudkan Sartre, konsep
ateisme yang diusungnya perlu dipahami terlebih dahulu. Menurut Leslie, Sartre menyatakan
bahwa cara “berada” manusia adalah “being for itself”. Dengan demikian, manusia merupakan
makhluk berkesadaran. Lewat kesadaran, manusia dapat menjadi berbeda satu sama lain. Di sisi
lain, manusia malah punya kecenderungan untuk menyerupai kesempurnaan dari Tuhan dengan
sekaligus menjadi “being for itself” dan “being in itself”. Hal ini dinilai kontradiktif karena
nyatanya kebenaran objektif (seperti yang dimiliki “being in itself”) tidak dimiliki manusia.
Dengan demikian, realitas Tuhan sebagai suatu kekuatan transenden itu pun tidak ada. Manusia
dengan kebebasannya sendiri punya kontrol penuh akan pilihan apa yang hendak dibuatnya.
Menurut Leslie, konsep ateisme dari Sartre turut memengaruhi pandangannya tentang
absurditas hidup manusia. Ia menyadari bahwa kebebasan manusia tidak disertai dengan suatu
“patokan” objektif. Dengan demikian, hidup manusia adalah hidup yang menyedihkan dan
terabaikan, tidak ada yang memberikan petunjuk tentang apa yang harus dipilihnya. Dengan kata
lain, tidak ada suatu objektivitas yang melandasi segala sesuatu. Setiap manusia punya
kebebasan untuk memilih apa yang dianggapnya sesuai dengan dirinya (subjektif).
Pandangannya tentang absurditas ini benar secara logis dan empiris. Secara logis,
penalaran Sartre konsisten dan valid. Ia berangkat dari cara berada manusia yang adalah sebagai
“being for itself”. Sejauh apapun manusia berusaha mencapai kesempurnaan Tuhan
(objektivitas), kebenaran tetaplah subjektif. Pendapatnya dapat dirangkum dalam bentuk
silogisme. Manusia yang menemukan suatu objektivitas berhasil membuktikan adanya Tuhan.
Namun, tidak ada manusia yang menemukan suatu objektivitas. Dengan demikian, Tidak ada
yang berhasil membuktikan adanya Tuhan. Sartre kembali ke kesimpulannya dengan
memberikan penilaian “absurd” kepada kebebasan yang diberikan tanpa suatu “patokan”.
Secara empiris, sejarah manusia telah membuktikan bahwa kebenaran itu relatif,
tergantung pada apa yang dianggap sebagai norma yang berlaku kala itu. Contohnya, sebelum
HAM ditetapkan pada 1948, praksis perbudakan dianggap lumrah, misalnya seperti yang terjadi
di Amerika Serikat.

2. Menurut Leslie, Sartre menyatakan bahwa kita bisa mengontrol atau memilih emosi kita.
Hal ini didasari pada konsepnya tentang kebebasan. Kebebasan lahir dari kesadaran yang
dimilikinya sebagai “being for itself”. Untuk menjelaskan hubungan keduanya (kebebasan dan
kesadaran), perlu dipahami konsep Sartre tentang “ketiadaan” (nothingness). Ketiadaan ini
memberikan manusia kemampuan untuk berpikir tentang apa yang ada dan tidak ada serta apa
yang benar dan salah. Kemampuan mengafirmasi dan menegasi ini membuat manusia dapat
memilih pilihan yang berbeda-beda. Dengan demikian, kesadaran yang dimiliki manusia
mengantarkannya pada kebebasan yang luas.
Jika dikaitkan dalam hal emosi, manusia juga dapat memilih dengan bebas terkait emosi
yang hendak dimunculkannya. Manusia bertanggung jawab penuh sebagai pribadi yang sadar
dan bebas. Contohnya, ketika sepasang kakak beradik menemui di suatu siang bahwa Doggy
(anjing peliharaan mereka) telah mati, sang Kakak sedih dan menangis tersedu-seduh. Namun,
sang Adik merasa biasa saja karena ia sadar bahwa Doggy memang sudah “waktunya” untuk
mati karena penyakit yang dideritanya.

Christopher Ehren (220102010)


1. Berdasar pada tulisannya, Leslie Stevenson menjelaskan bahwa kehidupan manusia
adalah kehidupan yang absurd. Absurd disini mendefinisikan hidup yang menyedihkan dan
terabaikan. Seorang manusia berada di dunia yang tidak membawanya pada tujuan, karena tidak
ada yang membantu dan memberi tahu bagaimana ia harus bertindak. Dengan kata lain, manusia
ini hidup dan menentukan pilihan tujuan hidupnya sendiri, berdasarkan pada putusan yang ia
pilih. Maka bisa dikatakan bahwa manusia ini menganut kebebasan radikal dan total. Efeknya
adalah setiap manusia akhirnya mempunyai kebenarannya sendiri-sendiri dan hal itu
membuatnya tidak memiliki batas objektifitas.
Apakah pendapat ini benar? Jika kita berbicara dalam konteks kebebasan, saya rasa
pandangan ini benar. Memang tidak bisa ditolak bahwa setiap manusia memiliki unsur
kebebasannya masing-masing. Kebebasan yang dimilikinya mencerminkan apa yang ia tentukan,
apa yang ia pilih, dan apa yang ia jalani. Tapi, bukankah kebebasan macam itu akhirnya
membuat hidup menjadi absurd. Semua ditentukan, dipilih, dan dijalankan sesuai kemauan
individu lepas individu. Maka dari itu, kebebasan perlu dilengkapi dengan kodrat. Kedua hal ini
bukanlah sesuatu yang bertentangan, malah saling melengkapi satu sama lain. Kebebasan hanya
dapat dilaksanakan dengan menaati kodrat yang dimiliki oleh setiap manusia. Jadi, hidup ini
sebenarnya tidak seabsurd itu. Tidak pernah seabsurd itu karena manusia memiliki kodrat dalam
dirinya dan karena kodratnya itu manusia tidak akan jatuh pada absurditas.

2. Melalui tulisan Leslie, Sartre berpendapat bahwa kita mampu mengendalikan emosi-
emosi yang ada di dalam diri kita. Manusia bisa bertanggung jawab atas dirinya sendiri secara
khusus atas sikap dan emosinya dikarenakan manusia memiliki kesadaran. Contoh: jika aku
berkata aku marah, hal ini mungkin terjadi karena aku memilih untuk merasakan marah. Maka
jelas bahwa emosi adalah sesuatu yang kita pilih. Emosi yang kita pilih itu juga dipilih atas dasar
kesadaran dan kebebasan yang dimiliki oleh manusia.
Dunia selalu akan menawarkan realitasnya kepada manusia. Tentu kita harus menanggapi
realitas tersebut dengan memberikan emosi kita. Jelas bahwa emosi adalah cara kita menanggapi
dunia. Cara-cara menanggapi dunia pun beragam, bisa dengan marah, senang, sedih, dan emosi-
emosi lainnya. Menjadi menarik ketika ada dua orang yang mengalami kejadian yang sama.
Apakah emosi mereka akan otomatis sama? Tentunya berbeda. Setiap manusia memiliki caranya
masing-masing untuk menanggapi dunia ini. Maka dari itu, emosi adalah sesuatu yang dipilih
dan dipertanggungjawabkan secara penuh oleh manusia. Akan tetapi, Sartre berpendapat bahwa
emosi timbul dari proses metabolisme tubuh dan susunan biologis manusia. Bagaimana sikap
kita menanggapi hal berikut? Saya rasa, kita bisa menimba inspirasi dari kisah seorang pelayan
yang dikisahkan oleh Sartre sendiri. Seorang pelayan tidak bisa melepaskan dirinya dari karakter
dan esensinya sebagai seorang pelayan. Tentu hal ini tidak hanya untuk satu atau dua orang
pelayan, namun untuk semua pelayan. Mereka mempunyai kesamaan dalam hal karakter dan
perannya. Lalu apa yang membuat mereka berbeda? Emosi adalah aspek yang mampu
membedakan mereka. Melalui emosi yang mereka pilih, hal ini menunjukkan bahwa terdapat
kemungkinan perubahan pada diri seorang pelayan tersebut. Jadi, emosi adalah suatu pilihan
yang berasal dari pribadi itu sendiri terhadap sesuatu.

Anda mungkin juga menyukai