Anda di halaman 1dari 2

Egois atau Altruis?

Kebingungan menghantui, Kematian mengikuti, Kebahagiaan tak didapati

Matahari akan terlihat begitu perkasa dengan nyala dan hangatnya pada siang hari. Namun bulan
juga terlihat begitu romantis dengan sinar dan lekuk bentuknya pada malam yang dingin ini. Dari masing –
masing yang terlihat perkasa dan romantis tersebut, manusia mencoba untuk memaknai setiap hal yang
dilihatnya. Namun, manusia tak pernah melihat dirinya sendiri yang begitu tak tertandingi dari sekian
makhluk Tuhan yang telah diciptakan. Bahkan Tuhan sendiri yang mengatakan bahwa manusia adalah
ciptaannya yang paling sempurna. Namun kenapa manusia musti atau bahkan harus memaknai hal di luar
dirinya? Mungkin agar tidak terlalu sombong atau bahkan manusia tak sempat memikirkan dirinya sendiri.
Lantas mengapa ia musti takut untuk terlampau sombong?

“Untuk dapat melihat dirimu sendiri, coba bayangkan dirimu ketika bercermin. Kamu harus mengambil
jarak dari dirimu maka akan terlihat bagaimana kamu terlihat.” Begitulah kata Fahruddin Faiz

Bepergian kesana kemari. Mencari tempat yang dianggap aman. Penghakiman adalah setan, Peng-
iya-an adalah teman. Namun, keduanya adalah semu jika itu hanyalah pemuas egosentris. Memahami apa
– apa yang sejatinya ada dalam diri sendiri merupakan jalan yang sangat perlu ditempuh oleh manusia.
Yang diinginkan, yang tak pernah sesuai, yang tersusun rapi dalam harap dan yang dapat diusahakan. Kira
– kira begitulah segala hal yang musti manusia pikirkan. Keadaan yang tak sesuai dengan keinginan diri
adalah kondisi yang tak akan pernah diinginkan oleh manusia karena sejatinya manusia adalah pencari
kebahagiaan. Kebahagiaan yang hanya disandarkan pada pemuas nafsu belaka. Terkadang nafsu memang
berbicara terkait keinginan hidup manusia. Hanya dengan ambisilah mereka kemudian dapat terus
menjalankan hidupnya.

Namun, pernah terbesit tentang sebuah pertanyaan yang seringkali bertentangan. Apakah manusia
kudu menjadi sosok yang egois atau altruis? Banyak yang kemudian hanya menyandarkan sifat altruis
hanya pada pengorbanan diri untuk kepentingan orang lain. Bagaimana kemudian jika paradigmanya coba
diubah. Mementingkan kepentingan bersama dengan mengajak orang lain pula untuk menuju pada titik
tertentu yang dicita – citakan. Alih-alih mencapai titik itu sendirian, namun seorang altruis akan mengajak
yang lainnya untuk mencapai dan saling membantu. Ini yang kemudian sering bertentangan dengan
paradigma egosentris. Mereka yang egois sering kemudian bersembunyi dibalik kata “mencintai diri
sendiri” untuk kemudian menghalalkan nafsu dirinya. Apakah salah? Bukan tentang salah atau tidaknya.
Justru mereka yang menggunakan paradigma ini terlihat sangat tidak mampu untuk mencintai sesamanya,
bukankah kemudian mencintai sesamanya berarti juga memikirkan dan bahkan berkorban untuk saling
membantu satu sama lain atau dalam bahasa yang lebih halus adalah berdampak baik untuk lainnya, tidak
hanya dirinya sendiri.

Barangkali bagi si egois, mereka merasa ketakutan untuk tidak terjaminnya hal – hal tentang diri
sendiri. Memang kemudian altruis tidak mengajarkan untuk hanya memikirkan diri sendiri namun orang
lain pula. Lantas bagaimana cara kita mendamaikan atau menyatukan itu semua? Manusia diciptakan
dengan kemampuan komunikasi lengkap dengan alat pemroses bahasanya entah secara kognitif atau
emosional. Dengan kemampuan ini kemudian manusia dapat memahami satu sama lain. Menjelaskan suatu
hal secara detail dan rasional menjadi hal yang harus ditempuh bagi altruistik.

Kemampuan untuk memahami satu sama lain sangat tidak mungkin dipisahkan di proses
kehidupan. Bagaimana mungkin, dunia berjalan karena sistem yang berlaku. Pada akhirnya semua bergerak
karena sinergi yang dibangun sesuai fungsional atau peran masing – masing. Dalam sosiologi, kemudian
menjadi pokok pembahasan dalam lingkup sistem sosial. Dalam pandangan sosiologi, Peran – peran ini
dapat diciptakan dengan penentuan melalui system yang sengaja untuk dibentuk dan pandangan lain
menyebut bahwa peran berangkat dari kepentingan atau keinginan dari manusia itu sendiri tanpa pembagian
“paksa” melalui system.

Berbicara terkait kebebasan manusia, atau kemampuan manusia dalam menentukan keputusannya
sendiri. Jika kemudian penulis menggunakan perspektif eksistensialism, Jean Paul Sartre, Kebebasan kait
eratnya dengan kemampuan sadar nalar terhadap pengambilan keputusan berdasar pada kondisi realitas
kehidupan. Jika kemudian menukil sedikit dari penjelasan Sartre maka dapat kita Tarik sebuah kesimpulan
bahwa kebebasan bukanlah pengambilan keputusan berdasar pada respon hewaniyah belaka namun juga
berdasar pada kemampuan analisis rasional manusia dalam mempertimbangkan segala keputusan. Hal ini
tentu didasari oleh pengetahuan atau dalam bahasa lain adalah paradigma.

Di riuhnya hidup, mata memandang ke seluruh penjuru. Mengamati, memahami, hingga


mengimani segala hal yang hinggap dalam benak. Bunuh diri atau tidak,harapan musti hadir layaknya
nafas.

Anda mungkin juga menyukai