Anda di halaman 1dari 3

Menurut Butler kita harus membedakan dua macam pengalaman batin, yang pertama: dorongandorongan spontan yang langsung

dan yang kedua kemampuan untuk merefleksikan dorongan-dorongan itu. Suatu perasaan termasuk dorongan spontan. Hakikat moralitas tidak terletak dalam perbagai perasaan yang barangkali menyertainya, melainkan dalam kenyataan bahwa ia mempertimbangkan dan menilai baik dorongan-dorongan spontan maupun tantangan-tantangan lainnya yang kita alami. Jadi moralitas pada hakikatnya bukan perasaan, melainkan kemampuan untuk berefleksi. Yang termasuk dorongan-dorongan spontan : naluri, keinginan, nafsu, termasuk dorongan-dorongan fisiologis lain, seperti : takut atau marah, nafsu membalas dendam, godaan untuk mencuri atau untuk menonjolkan diri, mencari kedudukan, kekayaan, dan nikamat kemudian dorongan-dorongan sosial, seperti rasa belas kasih dan keinginan untuk berbuat baik kepada orang lain yang muncul begitu saja dalam diri kita, tanpa kita menghendakinya. Dorongan-dorongan ini buta, dalam arti bahwa mereka langsung terarah pada subjek tanpa pertimbangan apa-apa. contoh : orang yang lapar akan terdorong untuk makan, orang yang menangis akan terdorong untuk mengeluarkan air mata, dan orang yang terharu melihat pengemis akan membantu. Semua itu tanpa pertimbangan apakah itu baik atau tidak, tepat waktunya atau tidak, menguntungkan bagi diri sendiri atau bagi orang lain. Dorongan itu, yang kita nilai baik dan yang kita nilai buruk, buta terhadap hal baik dan buruk, itu terjadi secara spontan. Moralitas itu sangat penting bagi diri manusia (kemampuan untuk merefleksikan dorongan-dorongan spontan). Hanya karena manusia dapat mengambil jarak terhadap segala macam perasaan dan dorongan spontan, lalu menilainya dan akhirnya menentukan bagaimana ia bersikap terhadapnya, manusia itu bebas. Tanpa kemampuan refleksi atau suara hati manusia hanyalah sekedar objek berbagai gerakan batin. Ia akan begitu saja mengikuti mana yang paling kuat, persis seperti binatang. Namun karena manusia dapat mengambil jarak dan memberikan penilaian, ia menyetujui atau menolak nafsu dan dorongan-dorongan di dalam dirinya, dan ia bebas terhadap mereka. Karena itu, anggapan yang mengembalikan moralitas pada perasaan tidak tepat. Moralitas merupakan pelaksanaan kemampuan refleksi manusia, kemampuan untuk bertanggung jawab. Suara hati bukanlah emosi, melainkan mengatakan apa yang wajib kita lakukan. 9. Tentang kodrat manusia Apa acuan refleksi atau suara hati? Bertindak secara moral sama dengan bertindak sesuai dengan apa yang dianggap rasional, dan bagi Butler, rasionalitas diukur dari kodrat manusia. Manusia hidup dengan seutuhnya apabila ia hidup sesuai kodratnya sebagai manusia. Jadi, acuannya adalah kodrat manusia. Kekhasan kodrat manusia terlihat apabila kita memperhatikan perbedaan antara manusia dan binatang. Binatang selalu berlaku sesuai kodratnya, ia mengikuti instingnya. Atas sebuah rangsang, binatang selalu memberikan jawaban yang sesuai dengan struktur instingtualnya. Manusia tidak demikian. Ia selalu mempertimbangkan apakah itu baik atau tidak, tepat atau tidak, menguntungkan atau tidak. Selalu masih ada jarak, ia masih harus mengambil sikap dulu; mengikuti dorongan itu atau tidak. Itulah kodrat khas manusia, itulah moralitas. Kalau manusia begiu saja mengikuti dorongan batin paling kuat yang dirasakannya, ia justru tidak sesuai dan bertentangan dengan kodratnya.

Keharusnya moral bukan sesuatu yang disuruh dari luar. Keharusan itu disadari dalam hati karena mencerminkan kodrat manusia. Dari kodratnya manusia sadar bahwa ia harus mempertimbangkan dulu sikap dan perbuatan mana yang tepat dan lalu bertindak sesuai dengan hasil pertimbangan itu. Manusia yang menaati suara hati, menaati dirinya sendiri. Karena itu salah, jika beranggapan melawan desakan nafsu adalah berarti bertindak melawan kodrat. Karena, melawan kodrat justru, jika suara hati di parkir dan tidak digunakan untuk mempertimbangkan mana yang baik atau tidak, mana yang berguna atau tidak, mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak harus dilakukan. Tentang CInta diri tenang Orang sering menyamakan sikap moral yang tercela dengan egoisme. Egoisme disini dimengerti sebagai sikap yang selalu menomorsatukan kepentingan sendiri. Lawannya adalah altruism, sering juga moralitas disamakan dengan altruism. Apa yang disebut egoism, seperti orang yang mengikuti hawa nafsu dan emosinya, jangan disebut egoism. Kalau egoism dimengerti dengan tepat, egoism merupakan sikap yang positif dan menunjang pembangungan kepribadian yang matang. Kalau orang menjadi pemabuk dan penjudi lama-kelamaan menghancurkan kehidupannya sendiri dan kehidupan keluarganya, kalau ia sering marah terhadap istrinya, tidak dapat menguasai nafsu seks dan akhirnya ketularan virus HIV, kalau ia iri hati, emosi, sentiment dan lain-lain. Apakah itu egoism? Bukankah sikap-sikap dan kelakuan-kelakuan itu malah bertentangan dengan si pelaku sendiri? Bukankah ia sendiri yang rugi? Sikap dan kelakuan cacat itu bukan karena orang itu terlalu memikirkan kepentingannya, melainkan karena ia tidak berpikir (tidak merefleksikan dorongan-dorongan spontan); ia lebih membiarkan diri dibawah hawa nafsu daripada dengan tenang berpikir apa yang paling baik dan tepat untuknya. Kedosaan sikap-sikap itu tidak terletak dalam perhatian kepada dirinya sendiri, melainkan orang itu tidak memakai akal dan perhatian, ia membiarkan diri dikuasai oleh dorongandorongan spontan yang irasional seperti binatang yang selalu bertindak sesuai dengan instingnya. Hakikat dosa bukan bahwa orang mempertimbangkan kepentingannya sendiri, melainkan bahwa ia melepaskan kekuasaan atas dirinya sendiri, bahwa ia tidak merefleksikan dorongan-dorongan spontan tersebut, ia menjadi budak perasaan-perasaannya. Dan sering, yang dirugikan bukan hanya orang lain, melainkan juga dirinya sendiri. Sebaliknya, orang yang selalu merefleksikan dorongan-dorongan spontan, melakukan perbuatan yang sudah melewati proses penyaringan benar atau tidak, baik atau tidak, tepat atau tidak, berguna atau tidak. Ia adalah orang yang matang secara mental dan emosional serta memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri. Dosa-dosa terbesar bukan karena orang mengejar apa yang menjadi kepentingannya, melainkan karena ia membiarkan diri di bawah dan diperbudak oleh perasaan dan hawa nafsunya. Nilai positif dari cinta diri (egoisme dalam arti yang sebenarnya). Ia bicara tentang cinta,bukan yang lain. Ia seorang pecinta dan bukan seorang pecundang. Ia seorang yang menghargai cinta terhadap diri sendiri, ia bicara tentang cool self-love, cinta diri yang tenang. Cinta diri merupakan padanan refleksi atau suara hati. Cinta diri yang tenang merupakan bagian dari suara hati yang menilai baik buruknya sebuah tindakan,

mempertimbangkan apa yang seharusnya dilakukan, tepat atau tidak, berguna atau tidak, dilihat dari kodratnya sebagai manusia. Karena itu dalam membangun kepribadian moral yang dewasa, jangan hanya ditekankan kepada kebaikan terhadap orang lain dan melupakan diri sendiri. Kepribadian yang seimbang mampu membenarkan dan mencintai dirinya sendiri. Karena ia bersikap positif kepada dirinya sendiri, ia mudah bersikap positif kepada orang lain. Ia tidak bisa merubah orang lain menjadi baik jika dirinya bukan orang baik. Dirinya dengan orang lain diubah harus sejalan. Manusia itu makhluk sosial, tidak bisa hidup sendiri. Aku tidak dapat mengembangkan diriku kalau tidak sekaligus mendukung perkembangan orang lain. Aku juga tidak dapat bersikap positif terhadap orang lain apabila tidak mantap dengan diriku sendiri. Cinta diri tenang ditemukan pada orang yang matang secara moral. Orang yang matang secara moral adalah oran gyang berefleksi menggunakan suara hati dorongan-dorongan spontan dalam diri. Moralitas lebih dari sekedar benevolence (sikap baik kepada orang lain). Ia bukan suatu perasaan, ia sikap moral yang berefleksi dengan suara hati mempertimbangkan baik atau tidak, tepat atau tidak tepat, sesuai dengan kodrat manusia. Tindakan itu dapat mewujudkan sikap baik kepada orang lain, juga usaha yang dapat dilaksanakan sesuai dengan cinta diri yang tenang. Cinta diri yang tenang tidak bertentangan dengan benevolence, justru sikap baik kepada orang lain sesuai dengan kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Karena itu, orang yang mencintai diri sendiri juga terbuka dengan orang lain, tidak egois dalam arti sempit.

Batang besar : egosentris. Batang bolong, emosional, tenaga

Anda mungkin juga menyukai