Anda di halaman 1dari 5

Suara Hati Pedoman Dan Tolok Ukur Moral

Penilaian moral adalah penilaian baik buruknya tingkah laku manusia sebagai
manusia. Kebaikan manusia dinilai dari segi lahiriah maupun batiniah. Untuk
penilaian tersebut dibutuhkan alat atau tolok ukur, yakni ukuran normal.
Ada dua ukuran yang berbeda, yakni suara hati sebagai ukuran dlam diri kita, dan
norma sebagai ukuran yang dipakai orang lain untuk menilai kita. Suara hati atau hari
nurani menyediakan ukuran subjektif, sedangkan norma-norma menenjuk pada
ukuran yang bersifat objektif. Baik yang subjektif maupun yang objektif mengandung
ukuran yang benar atas moralitas manusia.
Dalam menjalani hidupnya, manusia dipandu oleh dua macam pedoman moral.
Pertama, pedoman objektif, yaitu dari luar dirinya yang disebut norma yang
menggariskan mana yang baik atau buruk menurut persepsi kelompok atau
masyarakat.
Kedua, pedoman subjektif, yang datang dari dalam dirinya yaitu suara hati/hati
nurani, yaitu yang menggariskan mana yang baik atau buruk menurut persepsi
masing-masing subjek baik norma maupun hati nurani mempunyai arah sama, yaitu
memberi pedoman atas petunjuk ke arah perilaku yang baik, yaitu sesuai dengan
keluruhan martabat manusia dan mengarah pada summum bonum (kebaikan tertinggi).

1. Arti Suara Hati


Pada bagian sebelumnya sudah dijelaskan berkaitan dengantiga lembaga normatif
yang memberikan norma-norma kita pada masyarakat, yang dimaksud adalah
keluarga, lingkungan, sekolah, komunitas, tempat kerja, negara dan sebagainya.
Superego, adalah perasaaan moral spontan. Perasaan malu,bersalah yang muncul
secara otomatis dalam diri kita apabila kita melanggar norma yang telah kita
batinkan. Perasaan itu juga muncul apabila tidak ada orang lain yang menyasikkan
pelanggaran kita. Ideologi, yang dimaksud adalah segala macam ajaran tentang
makna kehidupan, nilai-nilai dasar, dan tentang bagaimana manusia harus hidup
dan bertindak. Kekuatan ideologi terletak pada hati dan akal kita. Agama bisa
masuk dalam kelompok ini. Tiga lembaga normatif itu mempengaruhi bagaimana
suara hati membuat suatu keputusan.
Suara hati adalah kesadaraan moral kita dalam situasi konkret. Dalam pusat
kepribadiannya yang disebut hati, kita sadar apa yang sebenarnya dituntut dari
kita. Mungkin ada banyak pihak yang mengatakan apa yang wajib kita lakukan,
tetapi dalam hati kita sadar bahwa hanya kitalah yang mengetahuinya. Secara
moral kitalah yang akhirnya harus memutuskan sendiri apa yang akan dilakukan.
Kita tidak dapat melempar tanggung jawab itu pada orang lain, tidak boleh
mengikuti begitu saja pendapat orang, juga tidak secara buta mentaati tuntutan
ideologi tertentu, melainkan secara mandiri harus mencari kejelasan tentang
kewajiban kita. Setiap orang dalam hatinya memiliki suatu kesadaran mengenai
apa yang menjadi tanggung jawab dan kewajibannya. Kesadaran itu sering
dilalaikan(perlu diasah, dikembangkan, dipertajam supaya tidak salah). Suara hati
adalah kesadaran dalam batin saya mengenai kewajiban dan tanggung jawab saya
sebagai manusia dalam situasi konkret. Suara hati harus selalu ditaati. Nilai kita
sebagai manusia tergantung pada ketaatan kita terhadap suara hati.
Kita merasa bersalah bila mengelak dari suara hati. Suara hati dapat keliru, tetapi
kita harus selalu taat kepadanya, karena suara hati adalah kesadaran langsung
mengenai kewajiban kita. Apa yang kita sadari sebagai kewajiban, dengan
sendirinya harus kita lakukan, apapun pandapat orang lain. Suara hati adalah pusat
kemandirian manusia. Tuntutan lembaga-lembaga normatif(masyarakat, ideologi,
superego) tidak berhak mengikat hati kita begitu saja, meskipun apa yang mereka
kemukakan tetap diperhatikan. Suara mereka wajib ditaati sejauh sesuai dengan
suara hati. Tuntutan suara hati bersifat mutlak.
Bagaimana menilai orang lain? Biasanya bertolak dari kelakukan yang dapat
dilihat atau hasil perbuatannya. Penilaian bahwa orang itu berbudi luhur tidak
hanya mengenai kelakuannya, tetapi juga orangnya, karakternya, sikap moralnya,
dan motivasinya. Karena tindakan lahiriah dapat juga dilakukan dengan
perhitungan dan pamrih. Atau sebaliknya maksudnya baik, tetapi kelakuannya
salah. Maka, kita tidak mungkin menilai seseorang secara moral melulu dari
tindakan-tindakan lahiriah. Untuk menilai watak, sikap dasar dan mutu
kepribadian, harus mengetahui motivasinya. Yang dapat kita nilai adalah sikap
lahiriah, tetapi kita tidak berhak langsung menarik kesimpulan bahwa orang itu
sendiri baik atau buruk.
Kita juga tidak berhak memvonis orang lain berdosa yang dapat kita katakan
hanyalah bahwa kelakuan orang itu menurut hemat kita tidak sesuai dengan
kehendak Tuhan. Dari sudut pandang agama kelakuannya salah tetapi kita tidak
bisa melihat dalam hatinya apakah hatinya berdosa. Hanya Tuhanlah yang dapat
menilai. Namun demikian juga tidak dibenarkan bahwa yang penting adalah
maksud baik dari tindakannya, bukan pelaksanaan konkret. Maksud baik tidak
disertai usaha sekuat tenaga untuk melaksanakannya, maksud baik itu sendiri
tidak pernah nyata, hanya angan-angan saja. Maksud baik tanpa usaha sepenuh
kemampuan untuk merealisasikan, tidak bermutu, bahkan tidak ada maksud baik.
Suara hati adalah kesadaran dalam diri manusia untuk mengetahui apakah
perbuatannya baik atau buruk. Kesadaran moral kita dalam situasi konkret yakni
mengenai apa yang menjadi tanggung jawab dan kewajiban kita menjadi manusia.
Kesadaran itu merupakan kesadaran batin bahwa kita berkewajiban mutlak untuk
selalu menghendaki bagi apa yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab kita.
Jadi dari kehendak itulah bergantung kebijakan saya sebagai manusia dan bahwa
diri sendirilah yang mengetahui apa yang menjadi tanggung jawab dan kewajiban.
Suara hati bersifat mutlak, dalam arti, entah kita menuruti atau tidak, tuntutan
tersebut tetap ada.
o Pengenalan dan kesadaran
Pengenalan adalah kemampuan yang diperoleh oleh panca indera. Pengenalan
bukan monopoli manusia; binatang juga mampu mengenal. Misalnya anjing
mampu mengenali bau lebih baik daripada manusia. Kesadaran adalah
kemampuan yang diperoleh melalui akal budi untuk mengenali diri.
Contohnya saya menyadari bahwa saya sedang berada dikampus saat ini.
Suara hati = kesadaran moral dalam situasi konkret dan aktual.
Dikatakan “konkret” maksudnya keputusan suara hati terjadi dalam situasi
nyata dan tertentu, bukan dalam situasi umum.
Dikatakan “aktual” maksudnya keputusan suara hati hanya terjadi pada saat itu
saja atau tak bisa diulangi.
o Suara hati bersifat personal
Dikatakan “personal” maksudnya suara hati selalu berkaitan erat denga pribadi
yang bersangkutan, diwarnai kepribadian orang tersebut dan akan berkembang
juga bersama dengan perkembangan kepribadiannya.
Hati nurani hanya berbicara atas nama saya dan hanya memberi penilaian
tentang perbuatan saya. Hati nurani tidak memberi penilaian tentang perbuatan
orang lain.
o Suara hati bersifat adipersonal
Selain bersifat pribadi, suara hati juga seolah-olah melebihi pribadikit atau
seakan –akan merupakan instansi diatas kita. Dalam hati nurani seolah-olah
ada cahaya dari luar yang menerangi hati dan budi kita. Terhadap hati nurani
kita seolah-olah sebagai pendengar yang sedang membuka diri terhadapnya.
Suara hati mempunyai aspek transenden yakni melebihi diri kita. Karena
aspek adipersonal inilah, maka orang-orang beragama kerap kali menyatakan
bahwa suara hati adalah suara Tuhan.
o Suara hati bersifat subyektif
Kesadaran tiap pribadi tidak terwakili oleh orang lain, melainkan melekat pada
dirinya masing-masing dan diwarnai oleh perkembangan atau kekayaan akal
budinya. Keputusan akal budi hanya berlaku atau mendesak diriku.
o Suara hati sebagai norma moral subyektif
Mengikuti suara hati merupakan hak dasar bagi setiap manusia. Tak ada orang
lain yang berwenang campur tangan dalam keputusan hati nurani seseorang.
Dipandang dari sudut subjek hati nurani adalah norma terakhir untuk
perbuatan-perbuatan kita. Putusan hati nurani adalah norma normal yang
subyektif bagi tingkah laku subyektif.
o Suara hati dan norma-norma
Norma memberitahukan padaku mana yang benar atau salah, mana yang baik
dan yang buruk. Suara hati dengan tegas memberitahukan kepadaku kebaikan
yang harus kukejar, kulakukan.

2. Fungsi Suara Hati


o Suara hati berfungsi prospektif
Suara hati melihat ke masa depan dan menilai perbuatan kita yang akan
datang, menunjuk apa yang harus dipilih atau dilakukan. Suara hati
mengingatkan kita tentang akibat-akibat baik atau buruk kalau kita melakukan
tindakan tersebut.
o Suara hati berfungsi introspektif
Suara hati berfungsi mawas diri, menilai suatu tindakan yang telah dilakukan
sebagai baik atau buruk atau berfungsi mengadili diri.
o Suara hati berfungsi retrospektif
Suara hati memberikan penilaian tentang penilaian perbuatan-perbuatan yang
telah terjadi dimasa lalu. Suara hati menilai perbuatan-perbuatan yang telah
lewat dan menyatakannya sebagai baik atau buruk. Hati nurani memberi
hukuman bila tindakan kita buruk/salah berupa rasa salah, malu,gelisah, resah
bahkan muak dengan diri sendiri. Sebaliknya suara hati memberikan ganjaran
bila tindakan kita baik/benaar berupa rasa damai, puas, tenang.
o Fungsi suara hati terhadap norma
Pertama, suara hati merekam, membatinkan(internalisasi), norma-norma dan
menyuarakannya kembali dalam situasi konkret. Kedua, suara hati menangkap
nilai-nilai yang ada dibalik norma-norma lalu mempertimbangkannya, serta
membuat urutaan menurut bobotnya. Ketiga, suara hati mendorong tindakan-
tindakan yang mewujudkan nilai-nilai secara benar. Keempat, membina
otonomi atau kemandirian moral, yakni orang pada akhirnya memilih sesuatu,
memutuskan sesuatu dan bertindak berdasarkan norma-norma yang
diyakininya. Dengan suara hati tiap orang menentukan dirinya sendiri.

3. Mempertanggung Jawabkan Suara Hati


Suara hati tidak mempunyai jaminan bahwa tidak pernah keliru. Padahal mutlak
harus ditaati. Maka, kita harus betul-betul berusaha agar suara hati kita tepat. Oleh
arena itu keputusan suara hati harus dipertanggungjawabkan. Suara hati adalah
kesadaran akan kewajiban kita dalam situasi konkret. Yang dilakukan oleh suara
hati adalah meberikan penilaian moral. Suara hati dengan penilaian moralnya
bukan sekedar perasaan, karena ada unsur rasionalitas dan objektivitas sehingga
dapat diertanggungjawabkan secara rasional dan objektif. Hal itu tidak berarti
bahwa setiap pandangan moral harus dibuktikan dulu, tetapi harus terbuka bagi
setiap argumen, sangkalan, pertanyaan, maupun keraguan-keraguan dari orang
lain atau daidalam hati kita sendiri. Kemudian kita bisa memberikan argumentasi
yang masuk akal. Namun bila penilaian moral suara hati kelihatan sungguh-
sungguh tak dapat dipertanggungjawabkan, kita harus bersedia mencari orientasi
baru.
Jadi,yang diperlukan adalah sikap terbuka. Artinya bersedia membiarkan pendapat
sendiri dipersoalkan, bersedia memikirkan kembali pendirian kita, mencari segala
informasi yang relevan, sehingga dapat menemukan keputusan yang mana yang
paling tepat.

4. Mengembangkan Suara Hati


Untuk mencapai kematangan pribadi, kita harus mempertajam dimensi kognitif
dan afektif agar suara hati dapat memberikan penilaian berdasarkan pengertian
yang tepat. Dengan kata lain kita harus memdidik suara hati. Mengapa? Suara hati
kita sangat dipengaruhi oleh perasaan moral yang terbentuk selama dalam
pendidikan, pengaruh pandangan moral lingkungan yang sudah dibatinkan.
Dengan mendidik suara hati kita berusaha membebaskan dari prasangka-
prasangka, agar kita dapat mengambil jarak, dan menilainya dengan kritis.
Mendidik suara hati berarti harus terus-menerus bersikap terbuka, mau belajar,
mau mengerti seluk beluk masalah yang kita hadapi, mau memahami
pertimbangan-pertimbangan etis yang tepat, dan seperlunya memperbaharui
pandangan kita, sehingga suara hati semakin sesuai dengan norna-norma morlal
yang objektif dan struktur-struktur nyata persoalan yang kita hadapi. Usaha
mendidik suara hati menuntut keterbukaan dan keinginan kita untuk belajar, juga
demi perkembangan kepribadian kita.
Apakah suara hati sama dengan suara Tuhan? Pertama, suara hati dapat
keliru,sedangkan suara Tuhan tidak dapat keliru. Maka, sudah jelas bahwa suara
hati tidak begitu saja boleh disamakan dengan suara Tuhan. Suara hati dengan
amat jelas mencerminkan pengertian dan prasangka kita sendiri, sehingga jelas
merupakan suara kita sendiri. Kedua, dalam suara hati memang ada unsur yang
tidak dapat diterangkan dari realitas manusia saja, yaitu kemutlakannya. Suara hati
memuat kewajiban yang mutlak harus dilakukan tanpa syarat. Dari mana unsur
mutlak itu, padahal manusia tidak mutlak, yang mutlak hanya satu, Allah. Jadi
kemutlakan suara hati menunjuk pada Allah. Fenomena ini menjelaskan bahwa
kita benar-benar memiliki pengalaman transendensi, tentang Dia yang mengatasi
segala ciptaan. Suara hati peling tepat untuk memahami bahwa Allah itu ada (JH
Newman, 1997).
Oleh karena itu suara hati bersifat subjektif, maka suara hati tidak selalu benar. Suara hati
bisa salah, sesa, bahkan bisa buta dan tumpul. Suara hati perlu dibina terus menerus dengan
cara, 1) mawas diri, yaitu dengan membedakan yang baik dan yang buruk. Orang perlu
mencari tahu alasan-alasan mengapa baik, mengapa buruk. 2) mampu mempertimbangkan
mna yang harus diutamakan(skala prioritas) pada saat kita menghadapi masalah-masaalah
moral. 3) membiasakan diri untuk selalu peka dan mentaati suara hati, memperkaya diri
dengan wawasan yang baik, dan mau belajar hidup dari siapa saja.

Anda mungkin juga menyukai