Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. Jufri, M.Pd
Disusun Oleh
Adriani Syam (1854040020)
Setiap tindakan yang dilakukan dengan bebas pada dasarnya muncul dari
pilihan pelakunya untuk melakukan sesuatu yang paling ia ingin untuk
dilakukan. Misalnya seorang yang menyumbangkan uangnya ke proyek sosial
pengumpulan dana bagi para korban gempa bumi tidak dapat dikatakan bahwa
ia bersikap altruis, sedangkan yang memakainya untuk menonton film bersikap
egois. Karena pada keduanya, si pelaku hanyalah melakukan apa yang masing-
masing memang paling mereka ingin lakukan. Yang satu justru merasa senang
dan bahagia kalau dia dapat menyumbangkan uangnya pada proyek sosial,
sedangkan yang lain merasa senang dan bahagia kalau dapat melakasanakan
apa yang ia inginkan, dan dalam hal ini yang ia inginkan adalah menonton
film. Jadi kedua-duanya sebenarnya mencari apa yang menguntungkan untuk
dirinya sendiri.
Suatu tindakan hanya nampaknya saja tidak bersifat egois atau altruis. Kalau
motivasi sesungguhnya dapat diketahui, maka akan menjadi nyata bahwa
tindakan itu sebenarnya didasari oleh cinta diri. Misalnya orang yang
menyumbangkan uangnya ke proyek sosial tadi, setelah melakukan apa yang
ingin dia lakukan, ia merasa senang dan puas dan kemudian dapat tidur dengan
pulas di waktu malam karena merasa telah menunaikan tugasnya dengan baik.
Sedangkan kalau ia tidak menyumbangkan uangnya pada proyek sosial, maka
hatinuraninya terus merasa terganggu. Jadi dalam melakukan pemberian dana
itu sebenarnya ia mempunyai pamrih pribadi.
Tanggapan kritis:
Ontologis
Ontologi yaitu merupakan suatu teori atau ilmu yang mengkaji tentang
wujud atau ‘ada’ dan asal mula hakikat suatu kehidupan di dunia yang bersifat
realitas dengan melihat dari sisi belakang atau dibalik benda-benada fisik,
serta ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate
reality, baik yang berbentuk jasmani atau konkret, maupun rohani atau abstrak.
Rachels (2004) egoisme psikologis, adalah suatu teori yang menjelaskan bahwa
semua tindakan manusia di motivasi oleh kepentingan berkutat diri (self servis).
Carole wade dan Carol Tavris ( 2008 : 4 ) psikologi adalah sebuah disiplin ilmu
yang berfokus pada perilaku dan berbagai proses mental serta bagaimana perilaku
dan berbagai proses mental ini dipengaruhi oleh kondisi mental organisme dan
linkungan eksternal.
Egoisme berasal dari kata ego, yang artinya persepsi individu tentang
dirinya sendiri yang berpengaruh pada tindakannya. Jadi, ego merupakan pusat
kesadaran, proses alami individu, yang merupakan gabungan antara pemikiran,
gagasan, perasaan, memori, dan persepsi sensoris (Raymond Corsini, Psikoterapi
Dewasa Ini, 2003). Jadi, kalau seseorang selalu mengutamakan kepentingan
dirinya sendiri disebut orang egois. Ciri-ciri orang egois yang paling kentara,
yaitu mengutamakan kepentingan sendiri ketimbang kepentingan orang lain, sulit
menerima saran sepanjang tidak menguntungkan dirinya, tidak kooperatif, mau
menang sendiri, rasa toleransi kecil, kurang memiliki empati, perhitungan, kurang
pengertian, keras kepala. Dalam psikologi perkembangan, terbentuknya
kepribadian seseorang pada umur 0-5 tahun. Pada usia ini anak memiliki karakter
egosentris. Menurut psikolog Michele Borba (penulis buku-buku parenting) asal
Amerika, orang yang egois biasanya tidak mau menjadi bagian dari sekitarnya.Ia
selalu berusaha agar segala sesuatu sesuai keinginannya tanpa memedulikan
perasaan orang lain.
Menurut pendiri aliran psikoanalisis, Sigmund Freud (1856-1939),
manusia memiliki tiga struktur kepribadian, yaitu id (es), ego (ich), dan superego
(uber ich). Id adalah keinginan manusia seperti makan minum dan seks.Sebuah
keinginan yang mengarah pada pemenuhan keinginan daging.Keinginan ini
memang selalu ada selama manusia hidup dalam tubuh yang fana ini.Id menuntut
kepuasan.Ego adalah diri kita sendiri ini yang lebih mengarah kepada pikiran,
perasaan, kemauan, yang seluruhnya berputar pada diri sendiri setiap saat.Faktor
ego yang memutuskan apakah mau mengikuti keinginan id atau menolaknya.Lain
halnya dengan superego, yang sifatnya sebagai penjaga moral. Selalu
mengingatkan ego apabila akan memenuhi keinginan id. Jadi, superego
bertentangan dengan id.Id selalu ingin dipuaskan, sedangkan superego selalu
memberi warning.Jadi, seseorang yang lebih mementingkan id dalam hidupnya,
maka orang ini dinilai egois.Raymond Corsini dalam buku Psikologi Dewasa Ini
(2003) mengatakan bahwa ego itu terlalu lemah terhadap id.Id menggebu,
sedangkan ego mudah tergiring, menggiring pada gairah buta (blind passion) dan
mengabaikan pertimbangan-pertimbangan rasional dengan konsekuensi yang
begitu besar.Sebagai penutup, perlu diketahui tentang Anna Freud (1895-1982),
putri Sigmund Freud. Anna sangat tertarik pada teori psikoanalisis Sigmund
Freud, tetapi dari segi dinamika kejiwaan manusia,bukan pada struktur kejiwaan.
Epistimologi
Sering dalam kehidupan sehari hari, kita mendengar kata ‘egois’. Dalam
KBBI daring yang saya akses pada 12 Desember 2016 pukul 18.54 WIB, ‘egois’
memiliki 2 arti. Arti ‘egois’ yang pertama adalah mementingkan diri sendiri.
Sementara yang kedua berarti penganut teori Egoisme. Saya yakin, arti yang
pertamalah yang sering dijadikan konteks percakapan dan yang selazimnya
dipahami banyak orang. Tapi apakah egois selalu mementingkan diri sendiri? Saya
akan jawab di belakang.
Jawaban bahwa kehidupan terbaik dapat diraih dengan menjadi tenar juga
memiliki masalah. Jawaban tersebut belum menjawab pertanyaan “Untuk apa
menjadi terkenal?”. Seseorang dapat menjadi terkenal dengan menemukan obat
HIV, atau membunuh ribuan orang tak bersalah dengan bom. Ada cara yang bak
dan kurang baik dalam menjadi terkenal. Kita perlu mengetahui hal terbaik yang
membuat kita tenar. Oleh karena itu menjadi tenar saja bukanlah sebuah jawaban.
Tesis yang menyatakan bahwa orang hanya melakukan hal yang mereka
inginkan laizm disebut sebagai egoisme psikologis, karena tesis tersebut
menjadikan hasrat egoistik sebagai penjelasan psikologis paling fundamental.
Dengan kata lain, tesis tersebut menyatakan bahwa seluruh tindakan manusia harus
dijelaskan dengan menggunakan kacamata hasrat manusia dalam melakukan
tindakan tersebut.[1]
Aksiologi
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang
berarti sesuai atau wajar.Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologidipahami
sebagai teori nilai.
Egoisme Etis
Egoisme etis adalah suatu faham etika normatif yang menyatakan bahwa
setiap orang wajib memilih tindakan yang paling menguntungkan bagi dirinya
sendiri. Dengan kata lain, menurut faham ini, tindakan yang baik dan dengan
demikian wajib diambil adalah tindakan yang menguntungkan bagi diri sendiri.
Satu-satunya kewajiban manusia adalah mengusahakan agar kepentingannya
sendiri dapat terjamin.
Ini tidak berarti bahwa kepentingan orang lain harus senantiasa diabaikan.
Karena, bisa jadi demi pencapaian hasil yang paling menguntungkan untuk diri
sendiri, orang justru perlu mengindahkan kepentingan orang lain. Namun dalam
hal ini kenyataan bahwa tindakan itu membawa keuntungan atau kebaikan untuk
orang lain bukanlah hal yang membuat tindakan tersebut benar. Yang membuat
tindakan itu benar adalah fakta bahwa tindakan itu menunjang usaha untuk
memperoleh apa yang paling menguntungkan bagi dirinya.
Faham ini juga tidak bermaksud menganjurkan untuk mencari nikmat
pribadi sepuas-puasnya, seperti halnya diajarkan oleh faham Hedonisme. Justru
dalam banyak hal faham Egoisme Etis melarang pencarian nikmat pribadi, karena
hal itu dalam jangka panjang justru tidak menguntungkan. Yang dianjurkan oleh
Egoisme Etis adalah agar setiap orang melakukan apa yang sesungguhnya dalam
jangka panjang akan menguntungkan untuk dirinya (“A person ought to do what
really is to his or her own best advantage, over the long run.”) Egoisme Etis
memang menganjurkan “selfishness” tetapi bukan “foolishness”.
Argumen yang ketiga yang biasanya dipakai untuk mendukung teori moral
Egoisme Etis adalah kemampuannya untuk secara jelas dan sederhana
memberikan satu prinsip dasar untuk menjelas-kan macam-macam aturan dan
pedoman perilaku manusia sehari-hari. Di balik macam-macam aturan yang
mengikat manusia dalam hidupnya sehari-hari, seperti: tidak boleh menyakiti
orang lain, wajib mengatakan yang benar, wajib menepati janji, dsb., menurut
Egoisme Etis, ada satu prinsip dasar, yakni prinsip mengejar kepentingan diri
sendiri. Aturan-aturan tersebut dapat diterangkan berdasarkan prinsip mengejar
kepentingan diri sendiri. Mengapa kita tidak boleh menyakiti orang lain,
misalnya, dapat dijelaskan demikian: apabila kita biasa menyakiti orang lain,
maka orang lain pun tidak akan segan-segan atau ragu-ragu untuk menyakiti kita.
Kalau kita menyakiti orang lain, orang itu akan melawan dan membalas. Dapat
terjadi pula bahwa karena kita menyakiti orang lain, kita akan dihukum dan
dimasukkan penjara karenanya. Dengan menyakiti orang lain, akhirnya kita
sendiri akan rugi. Maka pada dasarnya merupakan keuntungan bagi diri kita
sendiri apabila kita tidak menyakiti orang lain. Logika pemikiran yang sama dapat
dipakai untuk menjelaskan aturan-aturan lain yang wajib kita patuhi setiap hari.
Tanggapan Kritis:
Kalau kita perhatikan argumen pertama di atas secara kritis, maka akan
nampak bahwa argumen tersebut sebenarnya tidak mendukung prinsip egoisme
etis. Mengapa demikian? Alasan pokok yang diberikan dalam argumen pertama
untuk mendukung Egoisme Etis adalah bahwa kalau setiap orang mengejar apa
yang dalam jangka panjang menjadi kepentingannya sendiri yang paling baik,
maka perbaikan sosial atau terpenuhinya kepentingan semua pihak justru akan
terjamin, karena masing-masing individu lah yang paling tahu apa yang dia
butuhkan. Kalau Egoisme Etis sungguh konsisten dengan prinsipnya, maka ia
tidak perlu peduli akan perbaikan sosial atau keterjaminan bahwa kepentingan
semua pihak akan lebih terpenuhi. Kenyataan bahwa dalam argumen pertama hal
tersebut dipedulikan dan bahkan dijadikan alasan untuk bersikap egoistik, maka
walaupun Egoisme Etis menganjurkan untuk berperilaku egoistik, prinsip dasarlah
yang melandasinya justru tidak egoistik.
Egoisme Etis biasanya mendasarkan diri pada apa yang dikemukakan oleh
Egoisme Psikologis. Tetapi kita sudah lihat di atas, bahwa pendapat pokok
Egoisme Psikologis tidak dapat dipertahankan. Sebagaimana Egoisme Psikologis,
Egoisme Etis meredusir kompleksitas motivasi tindakan manusia pada motif
mencari apa yang menguntungkan bagi diri sendiri. Tetapi ini tidak sesuai dengan
kenyataan. Bahwasanya Egoisme Etis dapat menjelaskan kewajiban moral atas
dasar prinsip kepentingan diri atau motif mencari apa yang menguntungkan bagi
diri sendiri, belumlah merupakan bukti bahwa kepentingan diri merupakan satu-
satunya dasar bagi kewajiban moral. Hanya kalau dapat dibuktikan bahwa
kepentingan diri merupakan satu-satunya dasar bagi kewajiban moral, maka
Egoisme Etis sebagai suatu teori moral normatif tidak dapat diterima.
Faruqi. Ismail. 2016. Pengantar Egoisme : Sebuah Teori Etika. Jakarta. Diambil
dari: https://medium.com/.../pengantar-egoisme-sebuah-teori-etika/. ( 1
Oktober 2018)
Rachel. James. 2009. The Elements of Moral Philisophy, hlm. 60-64. Diambil
dari:http://forumkuliah.wordpress.com/2009/01/23/egoisme-memilih-
yang-paling-menguntungkan-untuk-diri-sendiri/. (23 September 2018)