Anda di halaman 1dari 24

EGOISME PSIKOLOGIS

TUGAS INDIVIDU DALAM MATA KULIAH FILSAFAT ILMU

Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. Jufri, M.Pd

Disusun Oleh
Adriani Syam (1854040020)

PROGRAM STRATA ( S1 ) PENDIDIKAN BAHASA JERMAN


FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
OKTOBER 2018
EGOISME PSIKOLOGIS
ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untukmengembangkan Teoriegoisme
psikologis. Teori egoisme psikologis menyatakan bahwa manusia selalu bertindak
sesuai dengan kepentingan diri (self interest) dan tidak mungkin bisa lepas dari
kepentingan diri.Egoisme menempatkan diri ditengah satu tujuan serta tidak
peduli dengan penderitaan orang lain, termasuk yang dicintai atau yang dianggap
sebagai teman dekat. Egoisme psikologis berusaha membantu manusia menyadari
bahwa seseorang melakukan tindakan yang tampaknya tidak mempedulikan
kepentingannya sendiri, tetapi sebenarnya ia bertindak karena didorong oleh
kepentingan diri dia sendiri.Dalam pemikiran Immanuel Kant mempunyai dua
kritik terhadap egoisme psikologis bagaimana tindakan yang dilakukan orang
tersebut.Hal ini berbeda dengan egoisme etis, perbedaan antara egoisme
psikologisdan egoisme etis adalah bahwa egoisme psikologis berbicara tentang
sifat perbuatan manusia, sedangkan egoisme etis berbicara tentang bagaimana
seharusnya kita berbuat. Sehingga bisa disimpulkan egoisme psikologis dapat
merugikan orang lain dan egoisme etis tidak merugikan orang lain.Sebagai hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa dari tokoh Immanuel Kant egoisme
psikologis hanya akan mementingkan diri sendiri dan akan merugikan orang lain
dikarenakan tindakan dan perilaku yang dilakukan senantiasa melakukan perkara-
perkara yang hanya akan memuaskan hati mereka dan orang lainlah yang
merasakan kerugiannya.
KATA KUNCI :teori,tindakan,perilaku, kritik, perbedaan
PENDAHULUAN

Egoisme merupakan perilaku seseorang dimana dia hanya mementingkan


dirinya sendiri sedangkan Psikologis adalah persamaan kata dari psikis, mental,
atau jiwa.Definisi Psikologis berarti berkaitan dengan bagaimana pikiran bekerja
dan berpikir dan merasa yang mempengaruhi perilaku.Kata Psikologis tidak boleh
kehilangan satu katapun misalnya, jika membacanya kekurangan ”S” menjadi
Psikologi. Psikologi itu adalah ilmunya, yaitu ilmu yang mempelajari tentang jiwa
atau perilaku manusia.Jika membacanya kekurangan dua huruf kata berubah
menjadi Psikolog. Psikolog adalah seorang ahli dalam bidang psikologi, bidang
ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan proses mental.

Menurut teori egoisme psikologis bahwa setiap tindakan manusia


dimotivasikan oleh kepentingan diri.Kita boleh yakin diri kita luhur dan suka
berkorban, tetapi hal itu hanyalah ilusi.Dalam kenyataannya, kita peduli hanya
pada diri kita. Orang yang paling baik pun yang terbilang dermawan diantara yang
lain pasti memiliki motif-motif tertentu yang berasal dari dalam diri yang
membuat dirinya melakukan kegiatan dermawan tersebut.setidaknya minimal
orang tersebut ingin mendapatkan balasan dari Tuhan atas perbuatannya itu, ingin
mendapatkan kebahagiaan untuk kehidupannya. Sehingga disini kita masuk
kedalam dua argument yakni, yang pertama apakah yang kita kerjakan untuk
menyesuaikan dengan apa yang kita inginkan. Yang k`edua apakah yang kita
kerjakan dapat membuat kita sejahtera.

Perilaku egoisme psikologis contohnya :

1. Selalu ingin menang sendiri (tidak mau mengalah)


2. Tidak mau memahami atau memikirkan perasaan orang lain
3. Tidak peduli dengan orang lain
4. Sering menyakiti hati orang lain
5. Berbuat untuk diri sendiri dengan berbagai cara
Itu merupakan perilaku dari egoisme psikologis yang hanya akan merusak
hubungan dan nilai murni.

Argumentasi untuk menolak kemungkinan adanya sikap altruis sungguh-sungguh:

 Setiap tindakan yang dilakukan dengan bebas pada dasarnya muncul dari
pilihan pelakunya untuk melakukan sesuatu yang paling ia ingin untuk
dilakukan. Misalnya seorang yang menyumbangkan uangnya ke proyek sosial
pengumpulan dana bagi para korban gempa bumi tidak dapat dikatakan bahwa
ia bersikap altruis, sedangkan yang memakainya untuk menonton film bersikap
egois. Karena pada keduanya, si pelaku hanyalah melakukan apa yang masing-
masing memang paling mereka ingin lakukan. Yang satu justru merasa senang
dan bahagia kalau dia dapat menyumbangkan uangnya pada proyek sosial,
sedangkan yang lain merasa senang dan bahagia kalau dapat melakasanakan
apa yang ia inginkan, dan dalam hal ini yang ia inginkan adalah menonton
film. Jadi kedua-duanya sebenarnya mencari apa yang menguntungkan untuk
dirinya sendiri.
 Suatu tindakan hanya nampaknya saja tidak bersifat egois atau altruis. Kalau
motivasi sesungguhnya dapat diketahui, maka akan menjadi nyata bahwa
tindakan itu sebenarnya didasari oleh cinta diri. Misalnya orang yang
menyumbangkan uangnya ke proyek sosial tadi, setelah melakukan apa yang
ingin dia lakukan, ia merasa senang dan puas dan kemudian dapat tidur dengan
pulas di waktu malam karena merasa telah menunaikan tugasnya dengan baik.
Sedangkan kalau ia tidak menyumbangkan uangnya pada proyek sosial, maka
hatinuraninya terus merasa terganggu. Jadi dalam melakukan pemberian dana
itu sebenarnya ia mempunyai pamrih pribadi.
Tanggapan kritis:

Seperti pernah secara cukup jeli dikemukakan oleh James


Rachels,argumentasi yang mendasari faham egoisme psikologis sepintas nampak
sulit dibantah, namun argumentasinya sebenarnya muncul karena beberapa
kerancuan pengertian.Kalau kerancuan tersebut dapat diurai, menjadi jelas bahwa
argumentasi mereka yang menganut egoisme psikologis tidak dapat
dipertahankan.Sekurang-kurangnya terkandung tiga jenis kerancuan pengertian
dalam argumentasi yang dikemukakan oleh para penganut dan penganjur egoisme
psikologis.Kerancuan yang pertama adalah kerancuan pengertian antara egoisme
dalam arti mendahulukan kepentingan diri sendiri (selfishness) dan egoisme
dalam arti berguna untuk diri sendiri (self-interest).Keduanya tidak sama. Kalau
saya mematuhi hukum yang berlaku atau bekerja keras di kantor, ini tidak dapat
dikatakan bahwa saya egois dalam arti hanya mendahulukan kepentingan diri saya
sendiri.Perbuatan itu memang pada dasarnya berguna (atau mungkin lebih tepat
bernilai) untuk diri saya sendiri.Arti yang kedua ini sebenarnya tidak tepat untuk
disebut egois. Dalam pengertian egois sebenarnya selalu terkandung penilaian
negatif bahwa si pelaku tidak mempedulikan kepentingan orang lain dan hanya
mementingkan dirinya sendiri.

Kerancuan yang kedua adalah kerancuan antara pengertian perilaku yang


mengejar kepentingan diri (self-interested behavior) dan perilaku yang disukai,
karena memberi nikmat (the pursuit of pleasure).Dalam kehidupan sehari-hari
banyak hal seringkali kita lakukan memang karena kita menyukainya.Tetapi
kenyataan bahwa kita melakukan suatu perbuatan karena kita menyukainya, atau
bahwa perbuatan itu membawa kenikmatan tersendiri bagi kita, tidak dengan
sendirinya dapat dikatakan bahwa perbuatan kita itu muncul berdasarkan motif
egoisme, dalam arti hanya mengejar kepentingan diri sendiri.Kalau ada orangyang
suka menghisap rokok kretek dalam-dalam setelah makan siang, karena hal itu
terasa nikmat untuknya, kita tidak dapat mengatakan bahwa perbuatan orang itu
dengan sendirinya bermotifkan egoisme.Baru kalau dalam menghisap rokok
tersebut ia sama sekali tidak peduli akan keluhan tetangganya yang sedang sakit
flu, maka perbuatan itu dapat dikatakan sebagai perbuatan yang egois.

Kerancuan yang ketiga adalah kerancuan pengertian bahwa suatu


perhatian akan kepentingan diri sendiri selalu tidak dapat diselaraskan dengan
kepentingan sejati dari orang lain. Karena sudah jelas bahwa setiap orang (atau
hampir setiap orang) selalu memperhatikan apa yang menjadi kepentingannya,
para penganut egoisme psikologis menarik kesimpulan bahwa setiap orang itu
egois dan tidak pernah secara sungguh-sungguh memperhatikan kepentingan
orang lain.Anggapan ini tentu saja keliru. Pengejaran kepentingan diri sendiri
tidak dengan sendirinya bertabrakan dengan kepentingan orang lain. Memang
tidak jarang terjadi bahwa timbul tabrakan antara kepentingan diri kita sendiri
dengan kepentingan orang lain. Tetapi hal ini tidak selalu terjadi, dan kalau itu
terjadi, tidak dengan sendirinya pula bahwa kita mendahulukan kepentingan diri
kita sendiri seraya mengorbankan kepentingan orang lain. Kenyataan bahwa ada
orang yang secara tulus berkorban untuk orang lain, seperti seorang ibu bagi
anaknya, seorang gadis bagi pemuda idamannya, dsb., membuktikan bahwa dalam
berbuat, orang pada dasarnya secara psikologis tidak selalu didorong oleh
egoisme.

Dalam usaha untuk menemukan faktor pokok yang menentukan tindakan


manusia, para penganut egoisme psikologis melupakan bahwa motivasi tindakan
manusia itu dapat bersifat kompleks.Menyatakan bahwa semua tindakan manusia
pada dasarnya didorong oleh motivasi egois merupakan suatu penyederhanaan
yang mengabaikan kompleksitas tersebut.Pernyataan yang bersifat reduksionistik
(terlalu menyederhanakan) itu juga mengungkapkan sikap yang terlalu sinis
terhadap perbuatan baik orang. Dengan alasan menekankan kejujuran untuk
mengakui apa yang sesungguh-nyamenjadi motivasi seseorang untuk bertindak,
lalu secara sinis terlalu cepat curiga akan maksud baik orang lain.
PEMBAHASAN

Pada Bagian Pembahasan Ini Dijelaskan Mengenai Ontologis, Epistemologi, dan


Aksiologi tentang egoisme psikologi. Ketiga aspek ini di uraikan sebagai berikut.

Ontologis

Ontologi yaitu merupakan suatu teori atau ilmu yang mengkaji tentang
wujud atau ‘ada’ dan asal mula hakikat suatu kehidupan di dunia yang bersifat
realitas dengan melihat dari sisi belakang atau dibalik benda-benada fisik,
serta ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan  ultimate
reality, baik yang berbentuk jasmani atau konkret, maupun rohani atau abstrak.

Egoisme Psikologis adalah suatu teori yang menjelaskan bahwa semua


tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan berkutat diri. Egoisme Psikologis
dapat didefinisikan juga sebagai pandangan yang menyatakan bahwa semua orang
selalu dimotivasi oleh sebuah perbuatan atau perilaku demi kepentingan dirinya
belaka yang semua itu dikarenakan adanya keinginan dan minat dari pelaku
egoisme. Egoisme ini disebut psikologis karena terutama mau mengungkapkan,
bahwa motivasi satu-satunya dari manusia dalam melakukan perilaku apa saja
adalah untuk mengejar kepentingannya sendiri.

Egoisme Psikologis berusaha membantu manusia menyadari bahwa


seseorang melakukan tindakan yang tampaknya tidak mempedulikan
kepentingannya sendiri, tetapi sebenarnya ia bertindak karena didorong oleh
kepentingan diri dia sendiri. Sehingga bisa ditarik kesimpulan tidak ada tindakan
manusia yang sepenuhnya terlepas dari kepentingan dirinya sendiri. Inti dari
tindakan Egoisme adalah bahwa tindakan dari setiap orang pada dasarnya
bertujuan untuk mengejar pribadi dan memajukan dirinya sendiri.
Kutipan dari berbagai pendapat para ahli:

Ismail Faruqi (2016) egoisme psikologi menyatakan bahwa manusia melakukan


segala sesuatu karena menginginkan hal tersebut. Namun, egoisme psikologi
manganggap bahwa semua motivasi tersebut pada dasarnya adalah keinginan
juga.

Emma Muthmainnah (2012) egoisme psikologiadalah pandangan yang


menyatakan bahwa semua orang selalu menyatakan bahwa semua orang selalu
dimotivasi oleh perilaku, demi kepentingan dirinya belaka. Egoisme ini disebut
psikologi karena terutama mau mengungkapkan, bahwa motivasi satu-satunya
dari manusia dalam melakukan perilaku apa saja adalah untuk mengejar
kepentingannya sendiri.

Rachels (2004) egoisme psikologis, adalah suatu teori yang menjelaskan bahwa
semua tindakan manusia di motivasi oleh kepentingan berkutat diri (self servis).

Muhammad Mufid ( 2009:183 ) egoisme adalah pemikiran etis yang menyatakan


bahwa tindakan atau perbuatan yang paling baik adalah memberikan manfaat bagi
diri sendiri dalam jangka waktu yang di perlukan atau waktu tertentu.Dalam
praktek sehari-hari egoisme etis mempunyai bentuk dalam pemikiran hedonisme
dan eudaemonisme. Tema pokok dalam hedonisme adalah perolehan kesenangan.
Epicurus pernah menyatakan bahwa hal yang baik adalah hal yang memuaskan
keinginan manusia, teristimewa keinginan akan kesenangan. Hal ini lebih nyata
bahwa manusia mengunakan waktu dan kesempatan untuk bersenag-senang. Tesis
utama eudaemonisme adalah kebahagian. Timbulnya rasa bahagia adalah akibat
adanya suatu yang bersifat rohani. Seimbang dengan dirinya , sosial, dan alam
lingkungannya. Pada dasarnya, kebahagian adalah tujuanyang dicari oleh kodrat
manusia. Kebahagian etis berangkat dari kemampuan manusia untuk
merealisasikan bakat dan kesenangan diri.

Carole wade dan Carol Tavris ( 2008 : 4 ) psikologi adalah sebuah disiplin ilmu
yang berfokus pada perilaku dan berbagai proses mental serta bagaimana perilaku
dan berbagai proses mental ini dipengaruhi oleh kondisi mental organisme dan
linkungan eksternal.

Adapun pengertian egoisme psikologi menurut pendapat saya dari


beberapa ahli tersebut, dapat saya simpulkan:

Berkaitan dengan egoisme psikologi, orang bertindak sesuai dengan apa


yang paling diinginkan. Fakta bahwa manusia selalu melakukan hal yang paling
diinginkan tidak selalu berarti bertindak egois dan tidak pernah bisa melakukan
tindakan moral. Mereka yang bertindak egoisme psikologi adalah mereka yang
mencari kebahagiannya sendiri walaupun dengan cara yang kurang baik tapi bagi
mereka yang bertindak egoisme psikologi merasa dirinya sudah melakukan hal
yang baik untuk memuaskan keinginan dan hasratnya dan merasakan kebanggaan
tersendiri dalam diri.

Egoisme berasal dari kata ego, yang artinya persepsi individu tentang
dirinya sendiri yang berpengaruh pada tindakannya. Jadi, ego merupakan pusat
kesadaran, proses alami individu, yang merupakan gabungan antara pemikiran,
gagasan, perasaan, memori, dan persepsi sensoris (Raymond Corsini, Psikoterapi
Dewasa Ini, 2003). Jadi, kalau seseorang selalu mengutamakan kepentingan
dirinya sendiri disebut orang egois. Ciri-ciri orang egois yang paling kentara,
yaitu mengutamakan kepentingan sendiri ketimbang kepentingan orang lain, sulit
menerima saran sepanjang tidak menguntungkan dirinya, tidak kooperatif, mau
menang sendiri, rasa toleransi kecil, kurang memiliki empati, perhitungan, kurang
pengertian, keras kepala. Dalam psikologi perkembangan, terbentuknya
kepribadian seseorang pada umur 0-5 tahun. Pada usia ini anak memiliki karakter
egosentris. Menurut psikolog Michele Borba (penulis buku-buku parenting) asal
Amerika, orang yang egois biasanya tidak mau menjadi bagian dari sekitarnya.Ia
selalu berusaha agar segala sesuatu sesuai keinginannya tanpa memedulikan
perasaan orang lain.
Menurut pendiri aliran psikoanalisis, Sigmund Freud  (1856-1939),
manusia memiliki tiga struktur kepribadian, yaitu id (es), ego (ich), dan superego
(uber ich). Id adalah keinginan manusia seperti makan minum dan seks.Sebuah
keinginan yang mengarah pada pemenuhan keinginan daging.Keinginan ini
memang selalu ada selama manusia hidup dalam tubuh yang fana ini.Id menuntut
kepuasan.Ego adalah diri kita sendiri ini yang lebih mengarah kepada pikiran,
perasaan, kemauan, yang seluruhnya berputar pada diri sendiri setiap saat.Faktor
ego yang memutuskan apakah mau mengikuti keinginan id atau menolaknya.Lain
halnya dengan superego, yang sifatnya sebagai penjaga moral. Selalu
mengingatkan ego apabila akan memenuhi keinginan id. Jadi, superego
bertentangan dengan id.Id selalu ingin dipuaskan, sedangkan superego selalu
memberi warning.Jadi, seseorang yang lebih mementingkan id dalam hidupnya,
maka orang ini dinilai egois.Raymond Corsini dalam buku Psikologi Dewasa Ini
(2003) mengatakan bahwa ego itu terlalu lemah terhadap id.Id menggebu,
sedangkan ego mudah tergiring, menggiring pada gairah buta (blind passion) dan
mengabaikan pertimbangan-pertimbangan rasional dengan konsekuensi yang
begitu besar.Sebagai penutup, perlu diketahui tentang Anna Freud (1895-1982),
putri Sigmund Freud. Anna sangat tertarik pada teori psikoanalisis Sigmund
Freud, tetapi dari segi dinamika kejiwaan manusia,bukan pada struktur kejiwaan.

Epistimologi

Epistimologi berasal dari kata Yunani episteme berarti pengetahuan,


dan logos berarti teori. Epistimologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat
yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya
(validitasnya) pengetahuan.

Egoisme psikologis pada pokoknya berpendapat bahwa kodrat manusia


dalam kenyataannya secara psikologis cenderung memilih tindakan yang
menguntungkan bagi dirinya sendiri, terlihat juga dari perilaku yang dilakukan
dalam tindakan egoisme. Menurut faham ini, apa yang disebut sebagai sikap
altruis sikap mau mencintai dan berkorban diri demi kepentingan orang lain
hanyalah mitos belaka. Kalau dalam praktek kehidupan sehari-hari nampaknya
terjadi, hal itu memang hanya nampaknya saja demikian. Sebab apabila orang
mau meneliti apa motivasi sesungguhnya yang mendorong dilakukan tindakan itu,
akan menjadi nyata bahwa tindakan altruis itu tidak lain hanyalah bentuk
terselubung dari cinta diri.

Tindakan disituasi kebakaran, seseorang tidak menyelamatkan mangsa


kebakaran karena khawatir akan membahayakan nyawa sendiri, tindakan memilih
untuk tidak menolong orang buta melintas jalan karena ingin sampai ke tempat
kerja pada waktu yang ditetapkan. Suatu tindakan hanya nampaknya saja tidak
bersifat egois atau altruis. Kalau motivasi sesungguhnya dapat diketahui, maka
akan menjadi nyata bahwa tindakan itu sebenarnya didasari oleh cinta diri.
Misalnya orang yang menyumbangkan uangnya keproyek social tadi, setelah
melakukan apa yang ingin dia lakukan, ia merasa senang dan puas, kemudian
dapat tidur dengan pulas diwaktu malam karena merasa telah menunaikan
tugasnya dengan baik. Sedangkan kalauia tidak menyumbangkan uangnya pada
proyek sosial, maka hati nuraninya terus merasa terganggu. Jadi dalam melakukan
pemberian dana itu sebenarnya ia mempunyai pamrih pribadi.Kritik terhadap
Egoisme Psikologis.Pertama, orang bertindak sesuai dengan apa yang paling
diinginkan tidak lagi merupakan hipotesis empiris yang bisa dinilai benar atau
salah. Kedua, kritik logis, fakta bahwa manusia selalu melakukan hal yang paling
diinginkan tidak selalu berarti bertindak egois dan tidak pernah bisa melakukan
tindakan moral.

Sering dalam kehidupan sehari hari, kita mendengar kata ‘egois’. Dalam
KBBI daring yang saya akses pada 12 Desember 2016 pukul 18.54 WIB, ‘egois’
memiliki 2 arti. Arti ‘egois’ yang pertama adalah mementingkan diri sendiri.
Sementara yang kedua berarti penganut teori Egoisme. Saya yakin, arti yang
pertamalah yang sering dijadikan konteks percakapan dan yang selazimnya
dipahami banyak orang. Tapi apakah egois selalu mementingkan diri sendiri? Saya
akan jawab di belakang.

Pertanyaan pengantar untuk pembahasan teori Egoisme adalah seperti


berikut : “Kehidupan seperti apakah yang terbaik?”. Dua jawaban paling lazim
ditemui adalah : menjadi kaya dan menjadi tenar. Mari kita bahas satu persatu.
Menjadi kaya sering diartikan sebagai memiliki banyak uang. Namun keyakinan
bahwa memiliki banyak uang adalah hal yang baik dapat dikatakan sebagai sebuah
keanehan. Mengapa? Karena sejatinya, uang tidak bernilai apa apa kecuali
selembar kertas. Jika saja uang tidak dapat ditukarkan menjadi barang atau jasa,
tentu manusia tidak akan mau menyimpannya banyak banyak. Ini berarti bahwa
uang hanya memiliki nilai instrumental tanpa nilai intrinsik. Uang dapat menjadi
alat untuk mencapai sesuatu namun tidak memiliki nilai apa-apa dalam dirinya
sendiri. Seseorang sangat bisa memiliki uang yang berlimpah dan tetap tidak
mampu mendapatkan apa yang ia inginkan. Contoh sederhananya adalah saat
seseorang sedang tersesat di hutan lebat dengan segepok uang di ranselnya. Yang
ia inginkan hanyalah seteguk air setelah ia tersesat selama 2 hari, Uang di
punggungnya tidak berguna.

Jawaban bahwa kehidupan terbaik dapat diraih dengan menjadi tenar juga
memiliki masalah. Jawaban tersebut belum menjawab pertanyaan “Untuk apa
menjadi terkenal?”. Seseorang dapat menjadi terkenal dengan menemukan obat
HIV, atau membunuh ribuan orang tak bersalah dengan bom. Ada cara yang bak
dan kurang baik dalam menjadi terkenal. Kita perlu mengetahui hal terbaik yang
membuat kita tenar. Oleh karena itu menjadi tenar saja bukanlah sebuah jawaban.

Egoisme datang untuk menjawab pertanyaan tersebut. Egoisme berasal dari


bahasa Latin ‘ego’ yang berarti ‘aku’. Gagasan ini menyatakan bahwa kehidupan
terbaik adalah kehidupan dimana kita mendapatkan apa yang kita inginkan.
Kembali ke pertanyaan diatas, apakah egois sama dengan mementingkan diri
sendiri? Egois adalah melakukan segala sesuatu yang kita anggap penting. Menjadi
egois tidak selalu mementingkan diri sendiri. Sebagai contoh, ketika seorang laki-
laki mendaki gunung bersama kekasihnya, ia akan rela membawa perbekalan lebih
berat dibandingkan kekasihnya. Ia tidak mementingkan dirinya ketika melakukan
itu, namun dia egois karena itulah yang dia anggap penting. Pertanyaan selanjutnya
adalah : “Bisakah kita hanya mengejar apa yang kita inginkan dalam hidup ini?”.

Tesis yang menyatakan bahwa orang hanya melakukan hal yang mereka
inginkan laizm disebut sebagai egoisme psikologis, karena tesis tersebut
menjadikan hasrat egoistik sebagai penjelasan psikologis paling fundamental.
Dengan kata lain, tesis tersebut menyatakan bahwa seluruh tindakan manusia harus
dijelaskan dengan menggunakan kacamata hasrat manusia dalam melakukan
tindakan tersebut.[1]

Singkatnya, egoisme psikologis menyatakan bahwa manusia melakukan


segala sesuatu karena menginginkan hal tersebut. Lalu bagaimana menjelaskan
fenomena seorang tawanan perang yang enggan memberikan informasi kepada
musuh bahkan setelah disiksa? Lazimnya kita menganggap bahwa selalu ada
motivasi dibalik setiap tindakan yang dilakukan seseorang. Motivasi tersebut bisa
beragam, bisa jadi seseorang melakukan sesuatu karena itu mendatangkan uang
yang banyak baginya, demi harga diri atau hanya karena melakukan sesuatu
tersebut akan membuatnya tetap tersenyum selama seminggu kedepan. Namun,
egoisme psikologis menganggap bahwa semua motivasi tersebut pada dasarnya
adalah keinginan juga. Mengapa tawanan tersebut tidak memberikan informasi
bahkan setelah disiksa? Jawabannya adalah karena tawanan tersebut
menginnginkannya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa egoisme psikologis
menggunakan kata “keinginan” atau “hasrat” dalam konteks yang mendukung
klaim egoisme. Selain egoisme psikologis terdapat teori egoisme lain yang
direpresentasikan terutama oleh Callicles, yaitu egoisme rasional yang menyatakan
bahwa seseorang harusmenganggap pemenuhan keinginan individu sebagai pusat
dari kehidupan terbaik karena satu satunya alasan yang masuk akal
(rasional) dalam bertindak adalah karena seseorang tersebut menginginkannya.
Timbul pertanyaan selanjutnya : “Mengapa seseorang harus bertindak sesuai
keinginannya?

Siapakah yang harus bertanggungjawab atas pembuktian klaim dari kaum


egois mengenai landasan manusia bertindak? Apakah kaum egois, ataukah kaum
moralis yang harus membuktikan keabsahan klaim tersebut secara filsafat? Kaum
egois yang hanya menempatkan keinginan sebagai landasan dalam bertindak
mendapat keuntungan dalam urusan pembuktian ini. Seseorang bebas melakukan
apapun berdasarkan keinginannya, karena keinginannya pun sepenuhnya miliknya.
Sehingga ketika kaum moralis menyerukan bahwa tidak boleh melakukan A
dengan pertimbangan B, C, D sampai Z, kaum moralis harus bisa menjelaskan
mengapa pertimbangan B sampai Z tersebut dapat diperhatikan. Sementara
argumen kaum egois tidak dapat diperlakukan demikian. Tidak ada yang perlu
dipertimbangkan karena satu satunya motivasi adalah keinginan.

Walau begitu kita belum mendapatkan jawaban yang memuaskan terkait


cerita tentang seorang tawanan perang yang disiksa diatas. Tidak ada yang
menginginkan untuk disiksa kecuali seseorang yang sakit mental. Lalu mengapa
kasus demikian masih banyak terjadi? Mengapa tawanan tersebut memilih untuk
disiksa? Versi yang lebih baik menjelaskan bahwa titik tolak egoisme bukan
terletak pada hasrat, tapi pada minat. Dalam hal ini hasrat
merupakan keinginan dan minat adalah hal-hal yang penting bagi seseorang.
Hasrat dan minat tidak selalu berada dalam posisi yang sama. Sebagai contoh
seorang pecandu minuman keras yang sudah mengalami dampak buruk dari
kebiasaannya itu memiliki minat untuk tidak lagi minum minuman keras. Demi
kepentingannya, yaitu kesehatannya. Namun, karena levelnya sudah sampai pada
kecanduan, maka suatu saat ia akan merasakan dorongan yang luar biasa untuk
kembali menenggak minuman kerasnya. Ia tetap bertahan tidak meminumnya
karena ia memiliki minat untuk menjaga tubuhnya tetap sehat. Dengan demikian,
argumennya menjadi seseorang belum tentu selalu melakukan yang ia inginkan
namun ia selalu bisa mengutamakan apa yang menjadi minatnya. Sehingga
permasalahaan seorang tawanan perang tadi pun dapat terjawab. Ia tidak sedang
melakukan apa yang ia inginkan melainkan mengutamakan minatnya.

[1] Graham, G. (2015). Teori-Teori Etika. Bandung : Penerbit Nusa Media. hlm.


31.

Aksiologi

Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang
berarti sesuai atau wajar.Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologidipahami
sebagai teori nilai.

Dalam tindakan Egoisme dapat dikatakan bahwa apa yang dilakukan


dalam tindakan egoisme itu merupakan tindakan yang Negatif, hanya dapat
menguntungkan dirinya sendiri bukan orang lain, tetapi dari sikap Egois ini
terdapat manfaat positif akan merasa percaya diri dan mandiri, merasa percaya
diri itu karena orang egois tidak malu untuk meminta promosi karena selalu ingin
mencapai kesuksesan lebih tinggi, mandiri pelaku dari egoisme ini mampu
mengurus segala sesuatu seorang diri tanpa harus menunggu keputusan dan
campur tangan orang lain. Pelajaran tentang orang lain dilatih terus-menerus.

KELEMAHAN TEORI EGOISME

Egoisme tidak mengutamakan kemurahan hati karena mengejar kepentingan diri


sendiri,

Merusak hubungan dan nilai murni yang tidak dapat diterapkan,

Nilai Sosial dalam bermasyarakat tidak dapat ditanamkan,

Melahirkan individu yang pentingkan diri.


KEKUATAN TEORIEGOISME

Kepuasan sendiri dapat dicapai,

Membantu dalam membina keyakinan dan prinsip sendiri yang kuat,

Egoisme juga dapat membantu sesuatu tanpa bantuan orang lain.

Perbedaanya dengan Egoisme Etis

Egoisme Etis

Pendapat pokok faham egoisme etis:

Egoisme etis adalah suatu faham etika normatif yang menyatakan bahwa
setiap orang wajib memilih tindakan yang paling menguntungkan bagi dirinya
sendiri. Dengan kata lain, menurut faham ini, tindakan yang baik dan dengan
demikian wajib diambil adalah tindakan yang menguntungkan bagi diri sendiri.
Satu-satunya kewajiban manusia adalah mengusahakan agar kepentingannya
sendiri dapat terjamin.

Ini tidak berarti bahwa kepentingan orang lain harus senantiasa diabaikan.
Karena, bisa jadi demi pencapaian hasil yang paling menguntungkan untuk diri
sendiri, orang justru perlu mengindahkan kepentingan orang lain. Namun dalam
hal ini kenyataan bahwa tindakan itu membawa keuntungan atau kebaikan untuk
orang lain bukanlah hal yang membuat tindakan tersebut benar. Yang membuat
tindakan itu benar adalah fakta bahwa tindakan itu menunjang usaha untuk
memperoleh apa yang paling menguntungkan bagi dirinya.
Faham ini juga tidak bermaksud menganjurkan untuk mencari nikmat
pribadi sepuas-puasnya, seperti halnya diajarkan oleh faham Hedonisme. Justru
dalam banyak hal faham Egoisme Etis melarang pencarian nikmat pribadi, karena
hal itu dalam jangka panjang justru tidak menguntungkan. Yang dianjurkan oleh
Egoisme Etis adalah agar setiap orang melakukan apa yang sesungguhnya dalam
jangka panjang akan menguntungkan untuk dirinya (“A person ought to do what
really is to his or her own best advantage, over the long run.”) Egoisme Etis
memang menganjurkan “selfishness” tetapi bukan “foolishness”.

Argumen-argumen untuk mendukung Egoisme Etis:

Argumen pertama yang biasanya dipakai untuk mendukung Egoisme Etis


adalah kenyataan bahwa kalau kita mau mengusahakan hal-hal yang
menguntungkan semua pihak, masing-masing orang justru wajib memperhatikan
kepentingannya sendiri. Karena yang paling tahu tentang apa yang paling
dibutuhkan oleh seseorang adalah orang itu sendiri, dan bukan orang lain. Kalau
kita cenderung mau mengurusi orang lain, dapat terjadi bahwa kita justru tidak
menguntungkan semua pihak.

Seperti dinyatakan oleh Robert G. Olson dalam bukunya The Morality of


Self-Interest (1968), “The individual is most likely to contribute to social
betterment by rationally pursuing his own best long-range interests” (“Masing-
masing individu akan paling menyumbang pada perbaikan sosial [kalau masing-
masing individu] dengan secara rasional mengejar apa yang dalam jangka panjang
menjadi kepentingannya sendiri yang paling baik”). Masing-masing orang sendiri
lah yang paling tahu akan apa yang diinginkan dan dibutuhkannya. Kita tidak
pernah tahu persis apa yang diinginkan dan dibutuhkan orang lain. Kalau kita
mencampuri urusan orang lain, campurtangan ini justru malah hanya merusak
kesejahteraannya, karena bersifat ofensif bagi kebebasannya untuk menentukan
diri. Mencampuri urusan orang lain dapat melanggar prinsip “privacy” seseorang.
Menjadikan orang lain sebagai objek atau sasaran perbuatan karitatif kita, sama
saja dengan merendahkan martabatnya. Dengan memperhatikan kepentingan
orang lain, kita dapat menciptakan situasi ketergantungan dan kurang menghargai
kemampuan serta harga diri orang yang ditolong.

Argumen yang kedua mendasarkan diri pada keunggulan Egoisme Etis


dibandingkan dengan Etika Altruis dalam menjunjung tinggi nilai hidup masing-
masing individu. Seperti dinyatakan oleh Ayn Rand (dalam bukunya The Virtues
of Selfishness), Egoisme Etis merupakan satu-satunya filsafat moral yang
menghormati integritas kehidupan masing-masing individu. Menurut dia, Etika
Altruis bersifat merusak nilai hidup manusia sebagai individu di dunia ini. Etika
Altruis yang cenderung mengatakan pada setiap orang “hidupmu hanyalah sesuatu
yang bersifat sementara dan pantas dikorbankan,” dapat dikatakan cenderung
menolak nilai diri pribadi manusia. Perhatian pokok kaum altruis bukan
bagaimana dapat hidup sepenuh-penuhnya di dunia ini, tetapi bagaimana mati suci
(bagaimana mengorbankan hidup ini) bagi orang lain. Perhatian pokok macam ini
dapat membuat orang kurang menghargai dan memperkembangkan hidupnya
semaksimal mungkin.Argumen tersebut kalau mau dirumuskan secara singkat
akan berbunyi sebagai berikut:(1) Setiap pribadi manusia hanya memiliki satu
hidup untuk dihayati. Kalau kita memandang setiap individu bernilai sungguh-
sungguh, atau kalau setiap individu secara moral bernilai dalam dirinya sendiri,
maka kita mesti menyetujui bahwa hidup kita yang satu ini amatlah penting untuk
dipertahankan dan dikembangkan sepenuhnya.(2) Etika Altruis memandang hidup
masing-masing individu sebagai suatu yang bila perlu mesti direlakan untuk
dikorbankan bagi orang lain.(3) Maka Etika Altruis tidak menganggap serius nilai
hidup masing-masing individu manusia.(4) Sedangkan, Egoisme Etis, yang
memperkenankan setiap pribadi manusia memandang hidupnya sendiri sebagai
bernilai paling tinggi, sungguh mengambil serius nilai hidup masing -masing
individu manusia; bahkan Egoisme Etis dapat dika-takan merupakan satu-satunya
teori moral yang melakukan hal itu.(5) Maka Egoisme Etis merupakan teori moral
yang wajib diterima.

Argumen yang ketiga yang biasanya dipakai untuk mendukung teori moral
Egoisme Etis adalah kemampuannya untuk secara jelas dan sederhana
memberikan satu prinsip dasar untuk menjelas-kan macam-macam aturan dan
pedoman perilaku manusia sehari-hari. Di balik macam-macam aturan yang
mengikat manusia dalam hidupnya sehari-hari, seperti: tidak boleh menyakiti
orang lain, wajib mengatakan yang benar, wajib menepati janji, dsb., menurut
Egoisme Etis, ada satu prinsip dasar, yakni prinsip mengejar kepentingan diri
sendiri. Aturan-aturan tersebut dapat diterangkan berdasarkan prinsip mengejar
kepentingan diri sendiri. Mengapa kita tidak boleh menyakiti orang lain,
misalnya, dapat dijelaskan demikian: apabila kita biasa menyakiti orang lain,
maka orang lain pun tidak akan segan-segan atau ragu-ragu untuk menyakiti kita.
Kalau kita menyakiti orang lain, orang itu akan melawan dan membalas. Dapat
terjadi pula bahwa karena kita menyakiti orang lain, kita akan dihukum dan
dimasukkan penjara karenanya. Dengan menyakiti orang lain, akhirnya kita
sendiri akan rugi. Maka pada dasarnya merupakan keuntungan bagi diri kita
sendiri apabila kita tidak menyakiti orang lain. Logika pemikiran yang sama dapat
dipakai untuk menjelaskan aturan-aturan lain yang wajib kita patuhi setiap hari.

Tanggapan Kritis:

Kalau kita perhatikan argumen pertama di atas secara kritis, maka akan
nampak bahwa argumen tersebut sebenarnya tidak mendukung prinsip egoisme
etis. Mengapa demikian? Alasan pokok yang diberikan dalam argumen pertama
untuk mendukung Egoisme Etis adalah bahwa kalau setiap orang mengejar apa
yang dalam jangka panjang menjadi kepentingannya sendiri yang paling baik,
maka perbaikan sosial atau terpenuhinya kepentingan semua pihak justru akan
terjamin, karena masing-masing individu lah yang paling tahu apa yang dia
butuhkan. Kalau Egoisme Etis sungguh konsisten dengan prinsipnya, maka ia
tidak perlu peduli akan perbaikan sosial atau keterjaminan bahwa kepentingan
semua pihak akan lebih terpenuhi. Kenyataan bahwa dalam argumen pertama hal
tersebut dipedulikan dan bahkan dijadikan alasan untuk bersikap egoistik, maka
walaupun Egoisme Etis menganjurkan untuk berperilaku egoistik, prinsip dasarlah
yang melandasinya justru tidak egoistik.

Dalam argumentasi kedua, Egoisme Etis nampaknya keluar sebagai teori


moral yang lebih baik atau lebih masuk akal daripada Etika Altruis. Akan tetapi
hal itu terjadi karena faham Etika Altruis digambarkan sedemikian ekstrim,
sehingga tidak sesuai dengan apa yang sesungguhnya diajarkan olehnya. Dalam
argumen tersebut diberi kesan bahwa Etika Altruis itu mengajarkan bahwa
kepentingan diri sendiri itu sama sekali tidak bernilai dibandingkan dengan
kepentingan orang lain, sehingga setiap tuntutan untuk mengorbannkannya demi
kepentingan orang lain wajib dipenuhi.

Akan tetapi gambaran tentang Etika Altruis, sebagaimana diberikan oleh


Ayn Rand sebagai penganjur Egoisme Etis, itu tidak fair, karena yang diajarkan
oleh Etika Altruis tidak seekstrim dalam gambaran tersebut. Yang diajarkan oleh
Etika Altruis adalah bahwa meskipun hidup masing-masing individu di dunia ini
merupakan suatu yang amat bernilai, namun bukanlah satu-satunya nilai dan juga
bukan nilai yang mutlak. Usaha mencapai kebagiaan hidup sejati manusia tidak
lepas dari perlunya bersikap baik terhadap orang lain dan kerelaan untuk
berkorban bagi manusia lain. Kalau hal tersebut samasekali diabaikan, karena
nilai hidup masing-masing individu di dunia ini dimutlakkan, maka kebahagiaan
sejati manusia justru tidak akan tercapai. Demikianlah, dengan terlalu
memutlakkan nilai hidup masing-masing individu manusia, Egoisme Etis justru
akan menggagalkan usahanya sendiri untuk mengejar apa yang paling menunjang
bagi terpenuhinya kepentingan diri yang sejati.

Berkenaan dengan argumentasi ketiga, argumen ini pun tidak berhasil


menegakkan Egoisme Etis sebagai teori moral normatif yang dapat dan perlu
diterima. Argumen tersebut hanya mampu menunjukkan bahwa sebagai pedoman
umum dapat dikatakan bahwa memang lebih menguntungkan bagi diri sendiri
untuk melaksanakan kewajiban dan tidak melanggar larangan sebagaimana diatur
dalam pedoman perilaku sehari-hari. Berusaha untuk tidak menyakiti orang lain
memang pada umumnya lebih menguntungkan untuk diri sendiri. Tetapi hal ini
tidak selalu demikian. Kadang-kadang dalam praktek orang lebih beruntung kalau
dapat menyakiti orang lain terlebih dulu daripada disakiti olehnya. Maka
kewajiban untuk tidak menyakiti orang lain dan kewajiban-kewajiban moral yang
lain tidak dapat diturunkan dari prinsip egoistik untuk mencari apa yang paling
menguntungkan untuk diri sendiri.

Selain itu, seandainya benar bahwa dengan mendermakan uangnya kepada


orang miskin pada akhirnya diri sendirilah yang diuntungkan, kiranya tidak dapat
ditarik kesimpulan bahwa keuntungan diri sendirilah yang menjadi motif pokok
tindakan mendermakan uang kepada orang miskin. Yang seringkali terjadi adalah
bahwa motif pokok tindakan tersebut memang kepentingan orang yang ditolong,
sedangkan untuk diri sendiri itu hanyalah sekunder atau merupakan akibat
samping dari tindakan mau menolong orang lain tersebut. Seandainya betul bahwa
semua tindakan altruistik itu bermotifkan kepentingan egoistik, maka hidup sosial
manusia akan menjadi lebih sulit, karena dipenuhi rasa kecurigaan. Setiap
perbuatan baik akan selalu ditanggapi dengan sikap sinis, karena toh bukan
kepentingan orang yang ditolong yang menjadi fokus perhatian, tetapi diri sendiri.
Orang yang mendapatkan pertolongan sulit untuk berterima kasih, karena melulu
hanya dijadikan sarana saja bagi pemenuhan kepentingan diri si penolong saja.

Egoisme Etis biasanya mendasarkan diri pada apa yang dikemukakan oleh
Egoisme Psikologis. Tetapi kita sudah lihat di atas, bahwa pendapat pokok
Egoisme Psikologis tidak dapat dipertahankan. Sebagaimana Egoisme Psikologis,
Egoisme Etis meredusir kompleksitas motivasi tindakan manusia pada motif
mencari apa yang menguntungkan bagi diri sendiri. Tetapi ini tidak sesuai dengan
kenyataan. Bahwasanya Egoisme Etis dapat menjelaskan kewajiban moral atas
dasar prinsip kepentingan diri atau motif mencari apa yang menguntungkan bagi
diri sendiri, belumlah merupakan bukti bahwa kepentingan diri merupakan satu-
satunya dasar bagi kewajiban moral. Hanya kalau dapat dibuktikan bahwa
kepentingan diri merupakan satu-satunya dasar bagi kewajiban moral, maka
Egoisme Etis sebagai suatu teori moral normatif tidak dapat diterima.

Ada banyak contoh yang membenarkan teori Egoisme Psikologis. Teori


ini juga memperkenalkan kita dengan argument yang cukup unik, yakni bahwa
orang mendapatkan kenikmatan tertentu ketika ia bersikap baik pada orang lain.
Inilah alasan utama bahwa mengapa orang suka bersikap baik kepada orang lain.
Orang akan menjadi sering membantu orang lain, walaupun tampaknya tidak aka
nada balasan dari orang yang dibantu itu. Balasannya adalah kenikmatan yang
diperoleh oleh dari tindakan membantu tersebut.

Kegunaan yang terkandung dalam Egoisme Psikologis itu sebuah teori


yang tidak memiliki makna, karena tidak seorang pun dapat melakukan sesuatu
yang bertentangan dengan keyakinannya.Hanya saja kita harus dapat melihat
dimana perilaku seseorang itu berada apakah terdapat pada sifat Egoisme atau
tidak.
PENUTUP

Seseorang hanya akan dikatakan Egois ketika orang itu menempatkan


dirinya yang hanya mementingkan dirinya sendiri, seseorang akan sering
membantu orang lain tetapi dia memiliki maksud tersendiri yang balasannya
kenikmatan yang diperoleh dari tindakannya tersebut. Tetapi tidak semua bisa
dikatakan egois, karena ada beberapa hal yang memang kita sukai dan memiliki
kenikmatan tersendiri, misalnya seseorang merokok dengan menghisap dalam-
dalam setelah ia makan siang, itu merupakan hal yang memang ia sukai, tidak bisa
dikatakan kalau ia telah berperilaku egois. Dalam kehidupan sehari-hari kita
berinteraksi dengan banyak orang yang mempunyai sifat berbeda-beda satu sama
lainnya. Seseorang bisa menjadi pribadi yang egois karena telah dibentuk sejak
kecil. Maka dari itu pentingnya pendidikan karakter anak sejak kecil sangat
berguna untuk dapat menhindari anak menjadi pribadi yang egois.Sikap egois ini
walaupun telah terbentuk sejak kecil, bukan berarti tidak bisa dihalangkan.Yang
dibutuhkan hanyalah kemauan diri dan kesadaran dari seseorang untuk mau
memperbaiki dirinya yang sering bersikap egois.
DAFTAR PUSTAKA

Carole. W, Carol. T. 2007. Psychology. Jakarta: Erlangga

Faruqi. Ismail. 2016. Pengantar Egoisme : Sebuah Teori Etika. Jakarta. Diambil
dari: https://medium.com/.../pengantar-egoisme-sebuah-teori-etika/. ( 1
Oktober 2018)

Kazhim.Musa.2007. Egoisme Psikologis dan Etis. Diambil dari:


http://musakazhim.wordpress.com/2007/06/30/egoisme-psikologis-dan-
etis/.(30 Oktober 2018)

Mufid. Muhamad. 2009. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Prenadamedia


Group

Muthmainnah. Emma. 2012. Pengertian Etika dan Perbedaan Egoisme Dan


Hedonisme. Diambil dari: https://emma610.blogsppt.com. (5 Oktober
2018)

Rachel. James. 2009. The Elements of Moral Philisophy, hlm. 60-64. Diambil
dari:http://forumkuliah.wordpress.com/2009/01/23/egoisme-memilih-
yang-paling-menguntungkan-untuk-diri-sendiri/. (23 September 2018)

Rachels. J. 2004. Filsafat Moral. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Ram.Ram. 2015. Egoisme. Diambil dari: lugcppl.blogspot.com > 2015/06 >


egoisme. (3 Juni 2015)

Suhanda. Irwan. 1017. Egoisme. Diambil dari:


https://lifestyle.kompas.com/read/2017/11/16/190100920/egoisme/. (11
November 2018)

Suryabrata.Sumardi. 2011. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Grafindo Persada

Anda mungkin juga menyukai