Anda di halaman 1dari 25

REALISME

TUGAS INDIVIDU MATA KULIAH FILSAFAT ILMU

Dosen Pembimbing:

Prof. Dr. Jufri, M.Pd

Disusun oleh :

HARDIANTI (1854041021)
KELAS B
Email: hhardianti5@gmail.com

PRODI PENDIDIKAN BAHASA JERMAN


FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
JURUSAN BAHASA ASING
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2018
Abstrak:Karya tulis ini untuk mengkaji Realisme dalam metode filsafat
yang secara logis/ilmiah. Hal ini bertujuan untuk memperoleh
pemahaman secara logis mengenai realisme tersebut. Pengkajian
realisme dalam ilmu filsafat dilakukan dalam tiga macam
pembahasan yaitu ontologis, epistemologis, dan secara aksiologis.
Realisme secara ontologis didalamnya dibahas mengenai hakekat
dari ontologi. Untuk mengkaji hakekat dari realisme, maka
diambil pengertian/definisi dari para ahli. Realisme secara
epistemologis adalah cara untuk menentukan kebenaran dari
realisme tersebut, atau dengan kata lain, segala sesuatu yang dapat
dijadikan sebagai cara untuk mencari kebenaran atau untuk
membuktikan kelogisan dari realisme tersebut. Dan realisme
secara aksiologis adalah tentang pemanfaatan atau perwujudan
atau contoh nyata dari realisme tersebut, berkaitan dengan
indikator-indikator pembuktiannya dalam epistemologi. Pada
akhirnya, diketahui bahwa realisme merupakan hal yang tidak
bisa disimpulkan dan didefinisikan secara umum, karena masing-
masing orang memiliki definisi tersendiri dalam memperoleh dan
ciri tersendiri dalam menyatakannya, berdasarkan pandangannya
masing-masing mengenai realisme tersebut. Jadi, realisme dan
kajiannya dalam karya tulis ini, dapat berupa pandangan secara
umum, yang diadopsi dari gejala-gejala kemanusiaan yang terlihat
secara umum.
Katakunci: Realisme, Filsafat, Ilmu, Subjek-objek, Nilai absolut
PENDAHULUAN

Aliran realisme muncul dalam khasanah kesusastraan inggris pada periode


abad ke 19. Aliran ini semata-mata didasarkan pada pengamatan berdasarkan apa
adanya atau berdasarkan kenyataan yang ada. Pada kurun waktu 1830 sampai
1880 dapatlah dikatakan sebagai periode Realisme.

Realisme adalah reaksi terhadap keabstrakan dan”kedunia-lainan”


dari filsafat idealisme. Titik tolak utama realisme adalah bahwa objek-objek dari
indera muncul dalam bentuk apa adanya (Knight, 2007:81).

Realisme adalah suatu aliran filsafat yang luas yang meliputi materialism
di satu sisi dan sikap yang lebih dekat kepada idealisme objektif di pihak lain.
Realisme adalah pandangan bahwa objek-objek indera adalah riil dan berdiri
sendiri tanpa bersandar kepada pengetahuan lain atau kesadaran akal.
Diketahuinya atau menjadi objek pengalaman, tidak akan mempengaruhi watak
sesuatu benda atau mengubahnya. Benda-benda ada dan kita mungkin sadar dan
kemudian benda-benda tersebut tidak ada, tetapi hal itu tidak mengubah watak
benda-benda tersebut. Benda-benda atau objek memang mungkin memiliki
hubungan dengan kesadaran, namun benda-benda atau objek tersebut tidak
diciptakan atau diubah oleh kenyataan bahwa ia diketahui oleh subjek
(Titus,1984:335-336).

Aliran Realisme dalam filsafat bersanding dekat dengan aliran Idealisme


meski dalam posisi yang dikotomik. Dalam pengertian filsafat, realisme berarti
anggapan bahwa objek indera kita adalah real. Benda-benda ada, adanya itu
terlepas dari kenyataan bahwa benda itu kita ketahui, atau kita persepsikan atau
ada hubungannnya dengan pikiran kita (Titus,1984:328). Realisme menegaskan
bahwa sikap commonsense yang diterima orang secara luas adalah benar, artinya
bahwa bidang alamat atau objek fisik itu ada, tak bersandar kepada kita, dan
bahwa pengalaman kita tidak mengubah fakta benda yang kita rasakan.
Dalam perspektif epistemologi maka aliran realisme hendak menyatakan
bahwa hubungan antara subjek dan objek diterangkan sebagai hubungan
dimana subjek mendapatkan pengetahuan tentang objek murni karena pengaruh
objek itu sendiri dan tidak tergantung oleh si subjek. Pemahaman subjek dengan
demikian ditentukan atau dipengaruhi oleh objek (Joad, 1936:366 ).

Realisme dalam filsafat terdiri dari beberapa jenis, mulai dari personal
realisme, realisme Platonik atau konseptual atau klasik. Asumsi yangdipakai
adalah bahwa yang riil itu bersifat permanen dan tidak berubah sehingga ide
atau universal adalah lebih riil dari pada yang individual. Selain itu muncul pula
jenis realisme yang lebih menarik yang diwakili oleh Aristoteles. Menurutnya
dunia yang riil adalah dunia yang dirasakan sekarang, dan bentuk serta materi
tak dapat dipisahkan. Realitas justru terdapat dalam benda-benda kongkrit atau
dalam perkembangan benda-benda itu ( Titus, 1984:331).

Di Amerika Serikat sendiri pada dasawarsa pertama dari abad ke-20


muncul dua gerakan realis yang kuat, yaitu newrealism atau neorealism dan
criticalrealism. Neorealism adalah serangan terhadap idealism dan
criticalrealism adalah kitrik terhadap idealism dan neorealism.

Kelompok neorealism menolak subjektivism, monisme, absolutisme dan


pandangan-pandangan yang menyatakan bahwa benda-benda yang non mental
itu diciptakan atau diubah oleh akal yang mengetahui. Mereka mendukung
doktrin commonsense tentang dunia yang riil dan objektif dan diketahui secara
langsung oleh rasa indrawi. Pengetahuan tentang sesuatu objek tidak
mengubah objek tersebut. Pengalaman dan kesadaran bersifat selektif dan
bukan konsitutif yang berarti bahwa subjek memilih untuk memperhatikan
benda-benda tertentu lebih dari pada yang lain dan subjek tidak menciptakan
atau mengubah benda-benda tersebut hanya karena subjek mengalaminya.
Objek tidak dipengaruhi oleh adanya pengalaman subjek atau tidak adanya
pengalaman subjek tentang benda tersebut. Jika aliran idealism menekankan
akal atau jiwa sebagai realitas pertama, maka aliran realisme cenderung untuk
menganggap akal sebagai salah satu dari beberapa benda yang keseluruhannya
dinamakan alam dan juga penekanan bahwa dunia luar berdiri sendiri dan tidak
tergantung pada subjek. Perhatian diarahkan bukan kepada akal yang
memahami akan tetapi, kepada realitas yang dipahami. Dengan demikian, maka
realisme mencerminkan objektivisme yang mendasari dan menyokong sains
modern. Realisme menerima kenyataan bahwa dunia ini berbeda-beda
tergantung kepada pengalaman maisng-masing subjek. Realisme bertentangan
secara tajam dengan idealisme. Realisme adalah juga sikap untuk menjaga
subjek dari penilaiannya terhadap benda-benda, dengan membiarkan objek-
objek berbicara sendiri kepada subjek. Realisme melukiskan dunia ini
sebagaimana adanya dan tidak menurut keinginannya. Penekanannya, kepada
dunia luar yang berdiri sendiri.

Dalam filsafat pendidikan Realisme mendefinisikan dirinya sebagai


aliran filsafat pendidikan dengan basis dasar 3 kategori yaitu ontologi,
epistemologi, dan aksiologi bahwa dunia luar berdiri tanpa tergantung
keberadaan kita, realitas dapat diketahui melalui pikiran manusia. (Ornstein,
1985:191).

PEMBAHASAN

Pada pembagian pembahasan ini dijelaskan mengenai ontologis, epistemologis,


dan aksiologis tentang realisme. Ketiga aspek ini di uraikan sebagai berikut;
Ontologis

Berdasarkan bentuk kata (etimologi) Realisme berasal dari kata dalam


bahasa inggris yaitu real, atau yang nyata, dapat juga diartikan juga yang ada
fakta, tidak dibayangkan atau diperkirakan. Adapun kata fakta dalam bahasa
Indonesia berarti hal (keadaan, peristiwa) yang merupakan kenyataan; sesuatu
yang benar-benar ada atau terjadi. Realisme juga berasal dari bahasa latin realis
yang berarti nyata dan benar. Realisme adalah filsafat yang menganggap bahwa
terdapat satu dunia eksternal nyata yang dapat dikenali. Karena itu, realisme
berpandangan bahwa objek persepsi indrawi dan pengertian sungguh-sungguh
ada, terlepas dari indra dan budi yang menangkapnya karena objek itu memang
dapat diselidiki, dianalisis, dipelajari lewat ilmu, dan ditemukan hakikatnya
dalam ilmu filsafat. Dalam bidang metafisika, realisme berarti konsep-konsep
umum yang disusun oleh budi manusia yang sungguh juga terdapat dalam
kenyataan, lepas dari pikiran manusia.

Aliran realisme adalah aliran filsafat yang memandang bahwa realitas


sebagai dualitas. Aliran realisme ini memandang dunia ini mempunyai hakikat
realitas terdiri dari dunia fisik dan dunia rohani. Hal ini berbeda dengan filsafat
aliran idealisme yang bersifat monistis yang memandang hakikat dunia pada
dunia spiritual semata. Hal ini berbeda dari aliran materialisme yang memandang
hakikat kenyataan adalah kenyataan yang bersifat fisik semata.

Menurut aliran realisme, pengetahuan adalah gambaran atau kopi yang


sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata (dari fakta atau hakikat).

Dalam pandangan realisme, realitas itu dipahami sebagai sesuatu yang


sifatnya objektif, tersusun atas materi dan bentuk serta berdasarkan hukum
alam. Sesuatu yang objektif adalah sesuatu yang berada diluar kesadaran
manusia seperti keberadaan benda-benda, seperti misalnya meja, kursi, binatang,
pintu, pohon, air, matahari dan lain sebagainya. Benda-benda ini secara objektif
juga mengikuti hokum alam, dimana benda-benda tersebut dapat rusak. Sifat-
sifat benda yang secara objektif mengikuti hokum alam ini di dalam pelajaran-
pelajaran sekolah dekat kepada pembelajaran soal-soal sains.

Realisme adalah aliran filsafat yang memandang bahwa dunia materi


diluar kesadaran, ada sebagai suatu yang nyata dan penting untuk kita kenal
dengan mempergunakan intelegensi. Objek indra adalah real, yaitu benda-benda
ada, adanya itu terlepas dari kenyataan bahwa benda itu kita ketahui, atau kita
persepsikan atau ada hubungannya dengan pikiran kita.

Para penganut realisme mengakui bahwa seseorang bisa salah lihat pada
benda-benda atau dia melihat terpengaruh oleh keadaan sekelilingnya. Namun,
mereka paham ada benda yang dianggap mempunyai wujud tersendiri, ada
benda yang tetap kendati diamati. Sebagai aliran filsafat, realisme berpendirian
bahwa ada yang ditangkap panca indra dan yang konsepnya ada dalam budi itu
memang nyata ada. Contohnya, kaki yang tersandung batu yang ada di jalan
yang baru dialami memang ada. Dan bunga mawar yang bau harumnya
merangsang hidung sungguh-sungguh nyata ada yang bertengger pada ranting
pohonnya di taman bunga.

Tokoh aliran realisme ini adalah Aristoteles (384-322). Plato percaya


bahwa materi tidak mempunyai akhir realitas dan bahwa kita seharusnya
memperhatikan diri kita sendiri dengan ide-ide. Aristoteles adalah seorang
murid Plato yang telah mengembangkan gagasan bahwa sementara gagasan-
gagasan mungkin penting bagi diri mereka sendiri, pembelajaran yang utama
tentang materi mengantarkan kita pada gagasan-gagasan yang jelas yang lebih
baik. Aristoteles belajar dan mengajar di akademi milik plato kurang lebih
selama dua puluh tahun kemudian dia membuka sekolah sendiri, Lysium.
Perbedaannya dengan plato dikembangkan secara teratur dan dalam
penghormatan yang tinggi dia tidak pernah keluar dari bawah pengaruh
pemikiran Plato.
Menurut Aristoteles, gagasan-gagasan (atau bentuk-bentuk), seperti ide
tentang Tuhan atau ide-ide tentang sebuah pohon bisa ada walaupun tanpa
materi, tapi tidak ada materi yang ada tanpa bentuk. Setiap bagian dari materi
memiliki baik sebuah sifat penting bagi biji dan itulah perbedaan biji dari semua
biji yang lain. Sifat sifat ini termasuk ukurannya, bentuk, berat dan warna. Tidak
ada biji yang serupa sama sekali, jadi kita bisa mengatakan bahwa beberapa sifat
penting dari sebuah biji sebagaimana perbedaan yang mendasar dari hal-hal
pada semua biji yang lain. Hal ini bisa disebut dengan “bebijian” dan itu
adalah hal yang universal dengan semua biji yang lain. Mungkin hal ini bisa
dipahami lebih baik dengan mengembalikan manusia pada poin ini. Orang juga,
berbeda dalam sifat-sifat tertentu mereka. Mereka memiliki perbedaan bentuk
dan ukuran, dan tak ada dua orang pun yang sama persis. Karena semua manusia
sesungguhnya berpegang pada sesuatu yang universal, dan ini bisa disebut
dengan “kemanusiaan” mereka. Baik kemanusiaan dan dan berbijian adalah
realitas dan mereka ada secara bebas dan dihargai bagi satu jenis sifat manusia
atau biji apapaun. Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa bentuk-bentuk
(universal, gagasan, atau esensi) adalah aspek-aspek non-material dari masing-
masing objek materi tertentu yang menghubungkan pada semua objek-objek
penting lainnya dari kelas tersebut.

Berpikir pada non-material mungkin kita bisa sampai padanya dengan


menguji objek-objek material yang ada dalam diri mereka sendiri, terbebas dari
kita.Aristoteles berkeyakinan kita harus banyak terlibat dalam mempelajari dan
memahami realitas pada benda-benda itu semua. Memang, dia setuju dengan
Plato dalam posisinya. Bagaimanapun mereka berbeda, dengan hal tadi
Aristoteles merasa seseorang bisa mendapatkan suatu bentuk dari pembelajaran
benda-benda materi tertentu, dan Plato yakin bentuk bisa dicapai hanya dengan
melalui beberapa jenis alasan yang dialektis.

Aristoteles menentang bahwa bentuk adalah benda, sifat universal dari


suatu objek (benda), berada tetap dan tidak pernah berubah padahal komponen-
komponen penting sungguh (bisa) berubah. Sel dalam suatu biji mungkin tidak
bisa dipadukan dan sebuah biji mungkin bisa dihancurkan, tapi bentuk dari semua
biji-bijian atau bebijian tetap. Dalam istilah pada manusia lagi, meskipun person
individu mati, kemanusiaannya tetap ada. Bahkan jika semua manusia harus mati,
kemanusiaan akan tetap ada, sebagaimana halnya konsep perputaran akan ada
bahkan jika keberadaan lingkaran materi dihancurkan. Jika kita melihat pada
istilah ini pada perkembangan manusia, kita dapat melihat bahwa seperti anak,
masing-masing individu memiliki karakteristik tertentu dari kekanakan. Karena
mereka tumbuh, lebih lanjut, badan mereka berubah dan mereka memasuki pada
masa pertumbuhan yang disebut dengan masa adolesen (remaja); kemudian
mereka menjadi dewasa. Sifat kemanusiaan tetap bahkan meskipun proses
pertumbuhan pada individu tersebut berubah berapa kali.

Dengan demikian, bentuk tetap konstan sedangkan sifat materi berubah.


Aristoteles dan Plato menyetujui pada poin bahwa bentuk konstan dan materi
selalu berubah. Tapi Aristoteles meyakini bentuk ada dalam materi tertentu dan
bahkan motivasi kekutan pada materi tersebut. Dengan tanda yang sama, filosuf
modern yaitu Henri Bergson berbicara tentang sebuah hal mendasar atau prinsip
dasar bahwa setiap objek memilikit dan mengarahkanya pada istilah yang
memenuhi/mengisi tujuanya. Ini bisa dilihat dalah perkembangan yang benar pada
sebuah biji yang mengisi tujuannya dalam menjadi sebuah pohon. Ia harus
mengambil sejumlah sinar matahari dan air yang cukup, ia harus membentuk
akarnya semakin dalam dan ia harus menerima makanan denan cara yang
pas/tepat. Masing-masing objek, Aristoteles berpikir, memiliki sebuah “jiwa”
yang sempit yang mengarahkannya dalam jalan yang tepat.

Thomas Aquinas lahir dekat Napoli, Italia pada tahun 1225. pendidikan
formalnya dimulai pada saat berumur lima tahun ketika dia dikirim ke kerajaan
Benedictin di Monte Casino. Lalu, dia belajar di Universitas Napoli dan pada
tahun 1244 dia menjadi seorang biarawan Dominican, mengabdikan kehidupannya
untuk beribadah. Hidup dalam kemiskinan dan pekerja keras intelektual. Pada
tahun 1245 dia dikirim ke Universitas di Paris, disana dia belajar dibawah
bimbingan Albertus Magnus, seorang cendikiawan pengikut folosofi Aristoteles
yang terkenal. Dia belajar dan mengajar pada Universitas di Paris hingga tahun
1259, ketika orang-orang Dominic mengirimnya kembali ke Italia untuk
membantu mengatur kurikulum bagi sekolah-sekolah Dominic. Dia kembali lagi
ke Paris pada tahun 1268 dan dia dikenal dan diingat dalam kehidupanya sebagai
seorang Profesor teologi dan sebagai seorang pemimpin eduakatif bagi orang-
orang Dominic. Dia meninggal pada tanggal 7 maret tahun 1274.

Gagasan-gagasan Aristoteles memiliki sejumlah dampak pemikiran orang


Kristen, dan dalam banyak anggapan mereka memiliki niatan untuk menggali
sekularisasi di Gereja, sebagai oposisi terhadap aliran biarawan/wati yang
dilahirkan oleh tulisan-tulisan Agusitine. Secara bertahap, gagasanAristoteles
dikorporasikan kedalam agama Kristen dan disediakan sebuah dasar filosofis.
Thomas Aquinas menjadi kekuasaan yang mengantarkan Aristoteles kedalam
abad pertengahan dan tidak menemukan konflik yang besar antara gagasan-
gagasan paganisme para filosuf dan gagasan-gagasan wahyu agama Kristen. Dia
menentang bahwa karena Tuhan adalah sebab yang murni, kemudian alam adalah
sebab dan dengan menggunakan alasan kita, sebgaimana yang ditegaskan oleh
Aristoteles, kita bisa mengetahui hal-hal yang benar. Aquinas juga meletakan
penekanan dalam menggunakan indera kita dalam rangka memperoleh
pengetahuan tentang dunia, dan bukti-buktinya tentang existensi Tuhan, sebagai
contoh, berdasarkan observasi sensoris yang sungguh-sungguh.

Aquinas meyakini Tuhan menciptakan materi bukan dari satu apapun dan
Tuhan, sebagai mana yang telah Aristoteles tetapkan, adalah Penggerak Yang
Tak-Bergerak yang memberikan arti dan tujuan kepada alam semesta. Dalam
karya monumentlnya, Summa Theologica, dia mengumpulkan pendapat-pendapat
yang setuju dengan agama Kristen. Dia menggunakan pendekatan rasional yang
diusulkan/ditegaskan oleh Aristoteles dalam menganalisa dan mencocokan dengan
pertanyaan-pertanyaan keagamaan yang variatif. Sebagai buktinya, banyak
pendapat-pendapat yang mendukung dalam agama Kristen adalah henar-benar
berasal darinya, tanpa memperhatikan pada cabang apa dalam agama Kristen
didasarkan. Katolik Roma menganggap pemikiran Thomas sebagai filosofi utama.
Thomas Aquinas adalah orang paling utama dari orang-orang gereja.
Menurutnya semua kebenaran abadi pada Tuhan. Kebenaran telah diberikan oleh
Tuhan kepada manusia dengan wahyu keTuhanan, tapi tuhan juga telah
memberkati manuisa dengea kemampuan akal untuk mencari kebenaran. Sebagai
mana ia menjadi orang gereja, Aquinas tidak menjadikan alasan subordianat
kewahyuan, tapi dia benar-benar ingin memberikan alasan pada sebuah tempat
yang utama. Pada kepentingannya, dia mewacanakan teologi sebagai perhatian
utama dan filosofi sebagai “teologi handmaiden”. Dengan demikian, dengan
pengenalan supremasi teologi, dia mampu menjelajahi perkembangan filosofis
pada pemikiran keagamaan secara lebih penuh.

Aquinas sepaham dengan Aristoteles bahwa kita datang ke alam semesta


dengan sebuah pembelajaran tertentu. Dia menerima tesis kebebasan dan
“bentuk” sebagai prinsip cirri dari semua wujud. Dia menjunjung tinggi
“Prinsip Keberadaan” Yang sama dengan pandangan Aristoteles pada setiap
eksistensi yang bergerak menuju kesempurnaan dalam bentuk (isi). Sedangkan dia
menyetujui bahwa jiwa adalah bentuk dari badan, dia berpegangan bahwa jiwa
bukan berasal dari akar-akar biologis manusia. Cukup, jiwa dari sebagai ciptaan
tuhan, musnah dan dari tuhan, Aquinas melambangkan pemikiran “skolastik”
abad pertengahan, sebuah pendekatan yang menekakankan sebuah keabadian jiwa
manusia dan keselamatan. Skolastik menggabungkan filosofi Aristoteles dengan
pengajaran-pengajaran gereja, dan Aquinas mengisi sebuah aturan penting dalam
latihan ini dengan menyusun hubungan antara akal dan iman.

Terlebih dahulu perlu dikemukakan bahwa Realisme merupakan aliran


filsafat yang luas dan bervariasi. Di satu pihak, realisme meliputi materialisme;
di lain pihak, realisme juga meliputi pandangan yang mendekati kepada
idealisme. Titus dkk (1979) antara lain mengidentifikasi tiga jenis realisme,
yaitu realisme mekanis, realisme objektif, dan realisme pluralistik. Tampak
bahwa realisme cukup rumit untuk bisa dijelaskan secara ringkas dengan
harapan mencakup semua jenis realisme yang ada. Sehubungan dengan hal di
atas, dalam rangka memahami filsafat pendidikan realisme, uraian di bawah ini
hanya akan menyajikan ide-ide umum filsuf realisme sebagaimana telah
diuraikan oleh Calahan and Clark dalam karyanya “Foundations of
Education” (1983).

Simak apa kata para ahli mengenai pengertian realisme :

Menurut Sadulloh (2003:36) tokoh realisme adalah Aristoteles (384-322


SM).Pada dasarnya aliran ini berpandangan bahwa hakekat realisme adalah fisik
dan roh, jadi realisme adalah dualistik.Ada 3 golongan dalam realisme yaitu
realisme humanistik, realisme sosial, dan realisme yang bersifat ilmiah.

Lebih jauh Sadulloh menjelaskan bahwa realisme humanistik


menghendaki pemberian pengetahuan yang luas, ketajaman pengalaman, berfikir
dan melatih ingatan. Realisme sosial berusaha mempersiapkan individu untuk
hidup bermasyarakat. Realisme yang bersifat ilmiah atau realisme ilmu
menekankan pada penyelidikan tentang alam.

Berkaitan dengan pendapat tersebut, Francis Bacon (2018)


mengemukakan bahwa manusia memiliki pikiran untuk menguasai alam.

Lebih jauh Francis Bacon menjelaskan bahwa alam harus dikuasai


manusia. Artinya, alam ditentukan oleh kemampuan manusia menggunakan
pikirannya. Baik buruknya alam sekitar dipengaruhi pergerakan manusia itu
sendiri.

Pendapat lain dikemukakan oleh Ornstein (1985:191) bahwa realisme


berkaitan dengan kecerdasan akal pikir dan daya tangkap indera, atau tentang hal
yang nyata dan benar.

Lebih jauh dijelaskan bahwa realisme berupa idealism yang memandang


bahwa realitas itu dikotomik, yakni ada dunia penampakan yang kita tangkap
lewat indera dan ada dunia realitas yang kita tangkap melalui kecerdasan akal
pikir yang terfokus pada ide-gagasan, dan ide-gagasan yang enternal itu lebih
dahulu ada dan lebih penting dari pada dunia empiris-inderawi, maka Realisme
menyatakan bahwa benda-benda itulah yang pertama hadir tanpa harus diketahui
oleh kesadaran kita. Bagi realis ada dunia material dan ada yang independen, dan
di luar pikiran orang yang tahu. Dasar untuk memahami reality ditemukan di
dunia benda dan persepsi tentang benda-benda ini. Semua keberatan terdiri dari
materi. Materi harus terbungkus dalam bentuk dan harus mengasumsikan struktur
objek tertentu. Manusia bisa mengetahui benda-benda ini melalui akal dan akal
mereka. Mengetahui adalah proses yang melibatkan dua tahap: sensasi dan
abstraksi ".

Berkaitan dengan pendapat tersebut, Smith berpendapat bahwa alam itu


abstrak. Artinya, semua benda di alam ini tidak ada yang mempunyai roh (2018).

Lebih jauh dijelaskan bahwa realisme berhubungan dengan apa yang


disebut filsuf sebagai “alam” atau pola invarian dalam realitas yang
memberikan berbagai macam contoh yang tidak terbatas dari berbagai macam
hal. Seperti menjelaskan berbagai macam partikel menggunakan satu atau
beberapa bentuk umum, membuat ilmu menjadi mungkin. Lous menyatakan
bahwa realis berpendapat hanya sebutan dari ilmu fisika dan bentuk-bentuk
abstrak yang terhubung dengan gaya acuan. Pada akhirnya realis menerima
pendapat yang kuat dari ilmuwan realisme yang menganggap IPA, termasuk
fisika memberikan kriteria utama. Berdasarkan filsuf-filsuf tersebut, pertanyaan
“Semesta seperti apa yang disana?” adalah pertanyaan yang empiris yang
harus dijawab olef fisikawan : semesta tersebut dibutuhkan untuk
memformulasikan teori fisika terbaik yang ada.

Berkaitan dengan pendapat tersebut, Callahan and Clark (1983)


berpendapat bahwa dunia adalah perpaduan antara substansi dan materi yang
bersifat nyata. Artinya, dunia itu substansial dan material yang hadir dengan
sendirinya (entity).

Lebih jauh dijelaskan bahwa realisme dalam alam bersifat nyata dan dapat
dijelaskan lewat keberadaannya berupa substansi dan materi yang ada.Dalam
alam tersebut terdapat hukum-hukum (hukum-hukum alam) yang menentukan
keteraturan dan keberadaan setiap yang hadir dengan sendirinya dari alam itu
sendiri.

Berkaitan dengan pendapat tersebut, Imam Bernadib dalam Jalaluddin dan


Abdullah (2011:96) berpandangan bahwa realisme sama dengan substansi ide-ide
manusia sebagai bentuk kekuasaan Tuhan.

Lebih jauh dijelaskan bahwa di balik dunia fenomenal ini ada jiwa yang
tidak terbatas, yaitu Tuhan yang menciptakan kosmos. Manusia sebagai makhluk
yang berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan.Tuhan menguji dan
menyelidiki ide-ide manusia sehingga manusia dapat mencapai kebenaran, yang
sumbernya adalah Tuhan sendiri.

Berkaitan dengan pendapat tersebut, Uyoh Sadulloh (2007:103)


berpendapat bahwa hakikat realitas adalah terdiri atas dunia fisik dan dunia
rohani.

Lebih jauh dijelaskan bahwa realisme yaitu subjek yang menyadari dan
mengetahui di satu pihak dan di pihak lainnya adalah adanya realisme di luar
manusia yang dapat dijadikan sebagai objek pengetahuan.

Berkaitan dengan pendapat tersebut, Loux (2018) menyatakan bahwa


realis berpendapat hanya sebutan dari ilmu fisika dan bentuk-bentuk abstrak yang
terhubung dengan gaya acuan.

Selanjutnya dijelaskan bahwa pada akhirnya realisme menerima pendapat


yang kuat dari ilmuwan realisme yang menganggap IPA, termasuk fisika
memberikan kriteria utama. Berdasarkan filsuf-filsuf tersebut pertanyaan
“Semesta seperti apa yang ada disana?” adalah pertanyaan empiris yang harus
dijawab oleh fisikawan semesta tersebut dibutuhkan untuk memformulasikan
teori fisika terbaik yang ada.

Adapun pengertian realisme menurut pendapat saya dari beberapa ahli


tersebut, dapat saya simpulkan :
Berkaitan dengan realisme, realisme adalah aliran filsafat yang
memandang bahwa dunia materi diluar kesadaran, ada sebagai suatu yang nyata
dan penting untuk kita kenal dengan mempergunakan intelegensi. Objek indra
adalah real, yaitu benda-benda ada, adanya itu terlepas dari kenyataan bahwa
benda itu kita ketahui, atau kita persepsikan atau ada hubungannya dengan
pikiran kita.Dan juga alam itu bersifat abstrak. Artinya, semua benda di alam ini
tidak ada yang mempunyai roh.Alam ditentukan oleh kemampuan manusia
menggunakan pikirannya. Baik buruknya alam sekitar dipengaruhi pergerakan
manusia itu sendiri.Alam bersifat nyata dan dapat dijelaskan lewat
keberadaannya berupa substansi dan materi yang ada.

Para ahli menyimpulkan bahwa ada 3 golongan dalam realisme yaitu


realisme humanistik, realisme sosial, dan realisme yang bersifat ilmiah.
Realisme humanistik menghendaki pemberian pengetahuan yang luas, ketajaman
pengalaman, berfikir dan melatih ingatan. Realisme sosial berusaha
mempersiapkan individu untuk hidup bermasyarakat. Realisme yang bersifat
ilmiah atau realisme ilmu menekankan pada penyelidikan tentang alam. Alam itu
abstrak. Artinya, semua benda di alam ini tidak ada yang mempunyai roh. Alam
ditentukan oleh kemampuan manusia menggunakan pikirannya. Baik buruknya
alam sekitar dipengaruhi pergerakan manusia itu sendiri.Alam bersifat nyata dan
dapat dijelaskan lewat keberadaannya berupa substansi dan materi yang ada.
Dalam alam tersebut terdapat hukum-hukum (hukum-hukum alam) yang
menentukan keteraturan dan keberadaan setiap yang hadir dengan sendirinya dari
alam itu sendiri. Realisme berkaitan dengan kecerdasan akal pikir dan daya
tangkap indera, atau tentang hal yang nyata dan benar. Manusia sebagai makhluk
yang berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan. Dan subjek yang
menyadari dan mengetahui di satu pihak dan di pihak lainnya adalah adanya
realisme di luar manusia yang dapat dijadikan sebagai objek pengetahuan.Dan
pada akhirnya realisme menerima pendapat yang kuat dari ilmuwan realisme
yang menganggap IPA, termasuk fisika memberikan kriteria utama. Berdasarkan
filsuf-filsuf tersebut pertanyaan “Semesta seperti apa yang ada disana?” adalah
pertanyaan empiris yang harus dijawab oleh fisikawan semesta tersebut
dibutuhkan untuk memformulasikan teori fisika terbaik yang ada.

Epistemologis

Epistemologi adalah telaah filsafat yang berkaitan dengan masalah


pengetahuan termasuk di dalamnya masalah kebenaran. Sejumlah pertanyaan
dalam epistemologi diantaranya adalah apakah hakekat pengetahuan itu?
bagaimana pengetahuan dapat diperoleh? Dan beberapa pertanyaan mendasar
lainnya yang lebih berkaitan dengan kajian hubungan antara subjek dan objek.

Dalam masalah filsafat pendidikan, maka epistemologi banyak berbicara


mengenai masalah kurikulum, cara belajar dan metode pembelajaran, dan juga
sumber-sumber pengetahuan, yaitu apakah sumber pengetahuan mutlak hanya
berasal dari guru, ataukah ada sumber-sumber pengetahuan lainnya.
Aliran realisme menyatakan bahwa pengetahuan seseorang diperoleh
lewat sensasi dan abstraksi. Sensasi dalam hal ini adalah digunakannya panca
indera manusia untuk menemukan pengetahuan bagi dirinya. Melalui panca
inderanya maka manusia dapat menangkap berbagai macam objek riil diluar
dirinya dan kemudian dilanjutkan dengan proses abstraksi, yaitu proses
pengambilan kesan-kesan umum sehingga kesan ini kemudian disimpan dalam
kesadaran seseorang.
Epistemologi Realis ini berbeda dengan epistemologi Idealis yang
mengatakan bahwa mengetahui berarti memikirkan kembali gagasan-gagasan
yang sudah dimiliki dan tersembunyi sehingga pengetahuan manusia bersifat
apriori. Realisme justru menyatakan bahwa pengetahuan manusia lebih banyak
bersifata posteriori, karena pengetahuan diperoleh dari perjumpaan sumber
dengan objek. Dari pertemuan antara subjek dan objek yang diamati itulah lahir
pengetahuan mengenai objek yang dimaksud.
Pandangan epistemologi realisme dapat dirujuk dasar-dasar metafisika
atau ontologinya, sebagaimana telah disebutkan terdahulu. Epistemologi realisme
beranjak dari tiga tingkatan kebenaran yang diakuinya, yaitu kebenaran sensual,
logis, dan etis. Pengakuan terhadap kebenaran sensual, logis, dan etis
menunjukkan realisme mengakui indera, akal, dan juga hati (akal-budi) sebagai
alat perolehan ilmu pengetahuan. Karena itu, seperti rasionalisme, raealisme
menganut sistem epistemologi nomethetik. Yaitu sistem epistemologi yang
berupaya membuat hukum melalui generalisasi, melalui telaah hubungan sebab-
akibat. Tidak ada akibat tanpa sebab demikian sebaliknya tidak ada sebab tanpa
akibat.

Pengetahuan menurut para realis berawal dari objek-objek fisik yang


kemudian dipikirkan secara logis ataupun dimaknai secara etis. Objek-objek fisik
pengetahuan sendiri bersifat independen dari tindakan mengetahui. Objek tidak
akan mengalami perubahan apapun perbedaan pengetahuan manusia tentangnya.
Sehingga objek tidak akan pernah terpengaruh oleh interpretasi yang dapat benar
ataupun mengelabui. Meja kayu tetapakan berupa kayu apapun konsepsi manusia
tentangnya. Konsep atau pengetahuan yang dibangun dan dibentuk oleh proses
mental pada dasarnya hanyalah alat untuk mengetahui objek,dan ia bukanlah
representasi yang sesungguhnya dari objek itu sendiri.

Merujuk pada pandangan para tokoh realisme metafisik, pengetahuan pada


dasanya hanyalah interpretyasi manusia yang subjektif terhadap objek, atau
realitas. Karena itu, tidak ada pensaklakan yang baku terhadap proses perolehan
pengetahuan, akal, sensual, ataupun akal-budi dapat digunakan dalam
menginter[retasikan objek. Hasil interpretasi itu sendiri tidak memiliki kebenaran
mutlak. Ia bersifat realtif dan senantiasa terpola oleh alam pikir, sistem pikir, dan
juga institusi pikir manusia. Setiap manusia bebas menginterpretasikan realitas,
dan perbedaan hasil interpretasi merupakan keragaman yang harus diakui dalam
sistem kebenaran yang realatif. Apa saja boleh digunakan dalam proses
interpretasi untuk menghasilkan satu pandangan ilmu pengetahuan yang
progressif dan semakin dekat pada kebenaran.
Dalam hubungannya dengan pendidikan, pendidikan harus universal,
seragam, dimulai sejak pendidikan yang paling rendah, dan merupakan suatu
kewajiban. Pada tingkat pendidikan yang paling rendah, anak akan menerima jenis
pendidikan yang sama. Pembawaan dan sifat manusia sama pada semua orang.
Oleh karena itulah, metode, isi, dan proses pendidikan harus seragam. Namun,
manusia tetap berbeda dalam derajatnya, di mana ia dapat mencapainya. Oleh
karena itu, pada tingkatan pendidikan yang paling tinggi tidak boleh hanya ada
satu jenis pendidikan, melainkan harus beraneka ragam jenis pendidikan. Inisiatif
dalam pendidikan terletak pada pendidik bukan pada peserta didik. Materi atau
bahan pelajaran yang baik adalah bahan pelajaran yang memberi kepuasan pada
minat dan kebutuhan pada peserta didik. Namun, yang paling penting bagi
pendidik adalah bagaimana memilih bahan pelajaran yang benar, bukan
memberikan kepuasan terhadap minat dan kebutuhan pada peserta didik. Memberi
kepuasan terhadap minat dan kebutuhan siswa hanyalah merupakan alat dalam
mencapai tujuan pendidikan, atau merupakan strategi mengajar yang bermanfaat.

Menurut Power (1982), implikasi filsafat pendidikan realisme adalah


sebagai berikut: (1) Tujuan: penyesuaian hidup dan tanggung jawab sosial. (2)
Kurikulum: komprehensif mencakup semua pengetahuan yang berguna berisi
pentahuan umum dan pengetahuan praktis. (3) Metode: Belajar tergantung pada
pengalaman baik langsung atau tidak langsung. Metodenya harus logis dan
psikologis. Metode pontiditioning (Stimulua-Respon) adalah metode pokok yang
digunakan. (4) Peran peserta didik adalah menguasai pengetahuan yang handal
dapat dipercaya. Dalam hal disiplin, peraturan yang baik adalah esensial dalam
belajar. Disiplin mental dan moral dibutuhkan untuk memperoleh hasil yang baik.
(5) Peranan pendidik adalah menguasai pengetahuan, terampil dalam teknik
mengajar dan dengan keras menuntut prestasi peserta didik.

Pendidikan menurut aliran filsafat realisme menekankan pada


pembentukan peserta didik agar mampu melaksanakan tanggung jawab sosial
dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Untuk mencapainya diperlukan
pendidikan yang ketat dan sistematis dengan dukungan kurikulum yang
komprehensif dan kegiatan belajar yang teratur di bawah arahan oleh tenaga
pendidikan.

Berkaitan dengan pendapat tersebut, Ornstein (1985:191-192)


berpendapat bahwarealisme adalah proses yang melibatkan dua tahap yaitu
sensasi dan abstraksi.

Selanjutnya dijelaskan bahwa pertama, melihat objek dan mencatat data


sensorik tentang itu seperti warna, ukuran, berat, bau, atau suara. Data sensoris
ini dipilah dalam pikiran ke dalam kualitas yang selalu hadir dalam objek dan
sifat-sifat yang kadang-kadang ada dalam objek. Setelah abstraksi kualitas yang
diperlukan dari suatu benda , pelajar datang ke konsep objek. Konseptualisasi.
Hasilnya, pikiran telah meringkas bentuk objek dan telah mengenali objek itu
sebagai milik sebuah kelas. Objek diklasifikasi ketika mereka dikenali sebagai
memiliki kualitas yang mereka bagikan dengan anggota lain dari kelas yang
sama namun tidak dengan objek yang termasuk dalam kelas yang berbeda

Berkaitan dengan pendapat tersebut, Joad (1936:366) berpendapat bahwa


realisme berhubungan antara subjek dan objek. Sebagaimana diterangkan sebagai
hubungan dimana subjek mendapatkan pengetahuan tentang objek murni karena
pengaruh objek itu sendiri dan tidak tergantung oleh si subjek.

Lebih jauh dijelaskan bahwapemahaman subjek dengan demikian


ditentukan atau dipengaruhi oleh objek. Realis mempercayai pengetahuan yang
didapatkan berasal dari hal-ha yang nyata yang ada disekitar manusia, bukan
berasal dari pemikiran manusia.Dan pengetahuan manusia yang dipengaruhi oleh
alam bukan alam yang dipengaruhi oleh alam.Manusia dapat mengetahui suatu
objek melalui indera dan akal fikiran mereka. Proses mengetahui dari dua tahap
yaitu perasaan dan gambaran. Pertama, orang yang mengetahui melihat objek dan
panca indera merekam data di dalam pikiran seperti warna, ukuran, berat atau
bunyi.Pikiran memilah data ke dalam suatu sifat yang selalu muncul dalam
objek.Dengan mengidentifikasi sifat-sifat yang dibutuhkan manusia membentuk
konsep dari benda dan mengenalinya ke dalam kelas-kelas tertentu. Klasifikasi
ini akan membuat manusia memahami bahwa objek atau benda membagi sifat
tertentu dengan anggota lain dalam satu kelompok tetapi tidak dengan objek dari
kelompok yang berbeda.

Berkaitan dengan pendapat tersebut, William MC Gucken


(Brubacher,1950) berpendapat bahwa tanpa Tuhan tidak ada tujuan hidup, dan
pada akhirnya tidak aa tujuan pniikan.

Lebih jauh dijelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah mempersiapkan


manusia untuk da tujuan pendidikan. hidup di dunia sekarang dalam arti untuk
mencapai tujuan akhir yang abadi untuk hidup di dunia sana.

Aksiologi

Aspek aksiologis banyak berkaitan dengan bidang nilai. Pertanyaan-


pertanyaan dasarnya adalah apakah nilai itu bersifat absolut ataukah justru bersifat
relatif? Masalah nilai menjadi sangat penting dalam konteks filsafat pendidikan.
Dalam pendidikan tidak hanya berbicara mengenai proses transfer pengetahuan,
melainkan juga menyangkut penanaman nilai. Dalam kaitan dengan nilai,
pandangan Realisme menyatakan bahwa nilai bersifat absolut, abadi namun tetap
mengikuti hokum alam yang berlaku. Dalam kelas realis tanggung jawab utama
guru adalah untuk membawa ide-ide siswa tentang dunia ke dalam kesesuaian
dengan realitas dengan kemampuan seperti membaca, menulis, atau menghitung
pada subjek seperti sejarah matematika atau sains yang didasarkan pada
kewenangan dan keahlian pengetahuan. Meskipun mereka mengapresiasi murid-
murid secara emosional dengan baik sebagai manusia yang rasional, realis
menekankan pada pembelajaran kognitif dan penguasaan subjek meteri. Guru-
guru realis menentang kegiatan non akademik ke dalam sekolah yang
bertentangan dengan tujuan utama sebagai pusat disiplin penyelidikan akademik.

Realis percaya bahwa mempelajari kurikulum yang tersusun adalah cara


paling efektif mempelajari realitas. Penyusunan subjek materi seperti yang
dilakukan ilmuwan dan pelajar adalah metode yang sesuai untuk
mengelompokkan objek sebagai contoh pengalaman manusia dapat disusun
menjadi sejarah. Seorang siswa fisika mempelajari besaran berdasarkan
pengelompokannya yaitu besaran pokok dan besaran turunan. Realis memperoleh
pengetahuan tentang realitas melalui sistem inkuiri ke dalam subjek-subjek
tertentu.

Pendekatan mengajar dalam aliran realisme mengarah pada tujuan, dalam


evaluasi tes yang digunakan lebih cenderung pada tes objektif dari pada tes
subjektif. Tes dilakukan untuk mengukur kualitas belajar, menyajikan fakta secara
jelas dan masuk akal agar dipahami oleh siswa. Paham realisme mengedepankan
pengorganisasian yang baik dalam hal perencanaan pembelajaran seperti
penggunaan kirikukulum, silabus dan RPP (Adisasmita, 1989:60).

Berdasarkan berbagai pandangan tentang realisme dapat dinyatakan


bahwa: bukan sekedar khayalan atau apa yang ada dalam pikiran, tetapi
menunjukkan apa yang kita lihat secara real, dan realisme keadaan atau suatu
sifat benda yang ada atau nyata. Dalam filsafat menurut saya merupakan suatu
logika yang kita mainkan atau kita pahami dalam filsafat itu sendiri, dan logika
saya dalam filsafat realisme ini contohnya kita bisa merasakan air laut itu asin
karena kita secara real merasakan dan melihat itu sendiri, dan contoh kedua kita
bisa analogikan contohnya daun mangga itu hijau dan pahit. Dan satu dalam
realisme filsafat ini yang tidak bisa dilogikakan ada Tuhan, karena Tuhan
menurut pendapat saya itu tidak bisa dilogikakan, dan yang saya pahami tentang
filsafat adalah logika dan suatu ide-ide atau pikiran yang bebas dan dalam
memahami tentang filsafat sebaiknya kita harus mengerti dan membaca Ontologi,
Epistemologi dan Aksiologi.

Berkaitan dengan pendapat tersebut, Ornstein (1985:192) berpendapat


bahwa mata pelajaran yang dilaksanakan disekolah pada intinya adalah untuk
menerangkan realitas objektif dunia, sehingga studi-studi di sekolah lebih banyak
didasarkan pada kajian-kajian ilmu kealaman atau sains. Hal ini banyak
dimaklumi mengingat bahwa melalui sainslah realitas itu tergelar secara objektif
dan menantang manusia untuk memahaminya.

Berkaitan dengan pendapat tersebut, Ornstein (2008:168) berpendapat


bahwa dalam mata pelajaran fisika, paham realisme lebih banyak menggunakan
metode-metode yang memungkinkan siswa melakukan percobaan-percobaan
sehingga pada akhirnya siswa akan memperoleh pengetahuan. Demonstrasi-
demonstrasi di laboratorium juga sering menjadi metode pembelajaran yang
dianggap sangat efektif dalam memberikan pengetahuan kepada siswa. Peran guru
adalah sebagai fasilitator, memberikan serangkaian ide dasar, dan kemudian
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempraktekkan subjek atau bahan
ajar yang sedang di laksanakan. Aktifitas diskusi juga sangat penting dalam
kegiatan kelas bagi penganut aliran Realisme.

Sebagai contoh bagaimana guru fisika yang berorientasi filsafat realis


menjelaskan hukum Issac Newton dalam gerak. Pertama, guru akan membantu
siswa menempatkan Newton dalam konteks sejarah sains dan mendiskusikan
kontribusi ilmunya. Kedua, guru mungkin mengilustrasi hukum gerak di
demostrasi laboratorium. Ketiga, murid-murid mediskusikan demonstrasi dan
kerangka berfikir ilmiah secara umum dari hal yang diilustrasikan. Akhirnya
murid-murid diberi tes untuk menunjukkan pemahaman mereka tentang hukum
gerak newton.

Menurut Edward J. Power (2018) berpendapat bahwa manusia adalah


bagian dari alam, maka manusia harus tunduk kepada hokum-hukum
alam.“Tingkah laku manusia diatur oleh hukum alam, dan pada tingkat yang
lebih rendah di uji melalui konvensi atau kebiasaan, dan adat istiadat di dalam
masyarakat.Aspek aksiologis banyak berkaitan dengan bidang nilai. Dalam
pendidikan tidak hanya berbicara mengenai proses transfer pengetahuan,
melainkan juga menyangkut penanaman nilai, pandangan realisme menyatakan
bahwa nilai bersifat absolut, abadi namun tetap mengikuti hokum alam yang
berlaku.
Penutup

Aliran realisme muncul dalam khasanah kesusastraan inggris pada periode abad ke 19.
Aliran ini semata-mata didasarkan pada pengamatan berdasarkan apa adanya atau berdasarkan
kenyataan yang ada. Pada kurun waktu 1830 sampai 1880 dapatlah dikatakan sebagai periode
Realisme.

Realisme adalah reaksi terhadap keabstrakan dan”kedunia-lainan” dari filsafat


idealisme. Titik tolak utama realisme adalah bahwa objek-objek dari indera muncul dalam
bentuk apa adanya (Knight, 2007:81).

Realisme adalah suatu aliran filsafat yang luas yang meliputi materialism di satu sisi dan
sikap yang lebih dekat kepada idealisme objektif dipihak lain. Realisme adalah pandangan
bahwa objek-objek indera adalah riil dan berdiri sendiri tanpa bersandar kepada pengetahuan
lain atau kesadaran akal. Diketahuinya atau menjadi objek pengalaman, tidak akan
mempengaruhi watak sesuatu benda atau mengubahnya. Benda-benda ada dan kita mungkin
sadar dan kemudian benda-benda tersebut tidak ada, tetapi hal itu tidak mengubah watak benda-
benda tersebut. Benda-benda atau objek memang mungkin memiliki hubungan dengan
kesadaran, namun benda-benda atau objek tersebut tidak diciptakan atau diubah oleh kenyataan
bahwa ia diketahui oleh subjek (Titus,1984:335-336).

Secara ontologis dalam pandangan realisme, realitas itu dipahami sebagai sesuatu yang
sifatnya objektif, tersusun atas materi dan bentuk serta berdasarkan hukum alam. Sesuatu
yang objektif adalah sesuatu yang berada diluar kesadaran manusia seperti keberadaan benda-
benda, seperti misalnya meja, kursi, binatang, pintu, pohon, air, matahari dan lain sebagainya.
Benda-benda ini secara objektif juga mengikuti hukum alam, dimana benda-benda tersebut
dapat rusak. Sifat-sifat benda yang secara objektif mengikuti hukum alam ini di dalam
pelajaran-pelajaran sekolah dekat kepada pembelajaran soal-soal sains. Dalam perspektif
epistemologi maka aliran realisme hendak menyatakan bahwa hubungan antara subjek dan
objek diterangkan sebagai hubungan dimana subjek mendapatkan pengetahuan
tentangobjek murni karenapengaruhobjekitusendiridantidaktergantung olehsisubjek.
Pemahaman subjek dengan demikian ditentukan atau dipengaruhi oleh objek (Joad,
1936:366 ). Aspek aksiologis banyak berkaitan dengan bidang nilai. Pertanyaan-pertanyaan
dasarnya adalah apakah nilai itu bersifat absolut ataukah justru bersifat relatif? Masalah nilai
menjadi sangat penting dalam konteks filsafat pendidikan. Dalam pendidikan tidak hanya
berbicara mengenai proses transfer pengetahuan, melainkan juga menyangkut penanaman
nilai. Dalam kaitan dengan nilai, pandangan Realisme menyatakan bahwa nilai bersifat
absolut, abadi namun tetap mengikuti hukum alam yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2018. Jurnal Internasional Filsafat Realisme. Jakarta. Wikipedia. Diakses pada 20
November 2018. Di https://scholar.google.com/scholar?
q=jURNAL+INTERNASIONAL+FILSAFAT+REALISME&hl=en&as_sdt=0&as_vis=1
&oi=scholart&sa=X&ved=0ahUKEwiNzIzYvvLWAhXGKJQKHcwcAskQgQMIJTAA
Anonym. 2015. Aliran-aliran Filsafat Pendidikan Bandung. Blogspot. Diakses pada 20
November 2018. Di http://khasanahilmubinongko.blogspot.com,
,
Anonym. 2015. Filsafat Realisme. Jakarta. Blogspot. Diakses pada 20 November 2018. Di
http://e-jurnalweb.id/search/jurnal-filsafat- pendidikan-realisme/

Dian Ekawati. 2012. Filsafat Ilmu Aliran Realisme. Yokyakarta. Blogspot. Diakses pada 20
November 2018. Di http://lindamubaraq.blogspot.com.

Joad, C.E.M. 1936, Guideto Philosophy. Random House, NewYork


Knight, Goerger, 2007. Filsafat Pendidikan. Dr. Mahmud Arif, M.Ag.Gama Media,Yogyakarta.

Neff, FrederickC. 1966. Philosophy and American Education. The Center For Applied Research
in Education, New York.
Ornstein, Allan C, & Levine, Daniel U. 1985. An Introduction to The Foundation of Education.
Houghton Mifflin Company, Boston.

Prof. Dr. H. Jalaluddin, Prof. Dr. H. Abdullah Idi, M.Ed. 2017. Filsafat Pendidikan. Depok,
Rajawali Pers.

Saputra. 2012. Filsafat Pendidikan Realisme . Jakarta. Wordpress. Diakses pada 20 Okotber
2018. Di https://randa26.wordpress.com.

Titus, Nolan, Smith. 1984. Living Issues in Philosophy. Alih bahasa HMR asjidi, Penerbit Buan
Bintang, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai