Anda di halaman 1dari 9

Tugas Pendidikan Moral (Kode Etik)

Tantangan Relativisme Kultural, Egoisme Psikologis dan Egoisme Etis

Disusun Oleh: Arif Fathurrahman Elok faiqoh Anna Wahidah Nadira Mahdia Nabila Devi Ventik A Amalia Jiandra 110710179 110911003 110911004 110911024 110911083 110911112

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Tantangan Relativisme Kultural, Egoisme Psikologis dan Egoisme Etis Relativisme Kultural Kunci untuk memahami moralitas adalah kebudayaan yang berbeda mempuyai kode moral yang berbeda. Suatu adat istiadat tidak dapat dikatakan benar atau salah, karena hal itu mengimplikasikan seolah-olah ada suatu standar kebenaran atau kesalahan yang tak tergantungdan dengan standar ini adat istiadat yang lain dapat dinilai. Namun, pada kenyataannya tidak ada standar semacam itu karena setiap standar selalu terikat pada kebudayaan tertentu. Relativisme Kultural memiliki pemikiran bahwa tidak ada hal yang disebut dengan kebenaran universal dalam etika; yang ada hanya kode-kode budaya yang bermacam ragam. Sebagai permulaan terdapat tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh kaum relativis kultural. Tuntutan-tuntutan trsebut yaitu: a. Masyarakat berbeda mempunyai kode moral berbeda; masyarakat itu; artinya, jika kode moral dari suatu masyarakat mengatakan bahwa sesuatu tindakan adalah benar, maka tindakan itu memang benar, paling tidak untuk masyarakat itu sendiri; c. d. e. Tidak ada standar objektif yang dapat digunakan untuk menilai sesuatu kode masyarakat secara lebih baik dari yang lain; Kode moral dari masyarakat kita sendiri tidak mempunyai status istimewa karena hanya merupakan salah satu dari antara yang banyak; Tidak ada kebenaran universla dalam etika yang berarti tidak ada kebenaran-kebenaran moral yang berlaku untuk semua orang dalam segala zaman; f. Adalah kesombongan apabila kita mencoba menilai perilaku orang lain. Kita harus mengambil sikap toleransi terhadap praktek-praktek kebudayaan lain ( Rachels 2004:46).
b. Kode moral dari suatu masyarakat menentukan apa yang benar dalam

Relativisme Kultural tidak tahan uji, jika diperiksa secara kritis. Kritik ini bisa dijalankan dengan melihat konsekuensi yang mustahil, senadainya realtivisme kultural itu benar.
a.

Seandainya relativisme moral benar, maka tidak bisa terjadi bahwa dalam satu kebudayaan mutu etis lebih tinggi atau rendah daripada dalam kebudayan lain. Setiap kebudayaan akan kebal terhadap kritik atas praktek-praktek moralnya. Tidak akan pernah mungkin kita mengatakan tentang praktekpraktek dalam suatu lingkup budaya : hal itu tidak etis. Padahal, kita yakin bahwa kita berhak mengkritik masyarakat lain yang menggunakan normanorma moral yang kita tolak. Kita yakin bahwa mutu etis setiap masyarakat tidak sama.

b. Seandainya relativisme moral benar, maka kita hanya perlu memperhatikan

kaidah-kaidah moral suatu masyarakat untuk mengukur baik tidaknya perilaku manusia dalam masyarakat itu,. Kalau begitu, norma moral dalam setiap masyarakat harus dianggap sempurna. Tidak akan mungkin memperbaiki norma-norma moral dalam suatu masyarakat. Padahal, kita yakin bahwa kadang-kadang norma-norma moral dalam suatu kebudayaan harus direvisi. Dari segi etis, tidak semua kebudayaan sempurna. c. Seandainya relativisme moral benar, maka tidak mungkin terjadi kemajuan di bidang moral. Kemajuan terjadi bila cara bertingkah laku yang buruk diganti dengan tingkah laku yang kebih baik. Meskipun relativisme memiliki kelemahan-kelemahan, namun aliran ini didasarkan pada pandangan sejati, bahwa banyak praktek dan sikap yang kita anggap begitu wajar ternyata hanyalah hasil kultural. Maka bisa dikatakan bahwa norma dalam suatu adat istiadat pasti berbeda dan tidak ada yang benar ataupun salah. Sehingga kita harus memiliki sikap toleransi terhadap keberagaman norma yang ada. Contoh kasus relativisme kultural : Penduduk Callatia yang merupakan salah satu suku di India biasanya memakan jenazah orang tuanya ketika meninggal. Maksud dari tindakan ini adalah agar

arwah orang tua mereka selalu bersama mereka. Ini berarti mereka melakukana hal itu dengan tujuan yang baik atau sebagai suatu bentuk penghormatan. Ingin agar arwah orang tua tetap bersama keluarganya yang masih hidup adalah sebuah nilai moral dalam suku Callatia, lalu tindakan etisnya adalah memakan jenazah orang tuanya tersebut. adalah Tentu saja kode moral seperti ini akan dianggap menjijikan oleh suatu penganut kode moral yang berbeda. Namun, pada intinya jika kode moral dari suatu masyarakat mengatakan bahwa sesuatu tindakan itu adalah benar, maka tindakan itu memang benar, paling tidak untuk masyarakat itu sendiri.

Egoisme Psikologis Pengertian Egoisme Psikologis Egoisme psikologis pada pokoknya berpendapat bahwa kodrat manusia dalam kenyataannya secara psikologis cenderung memilih tindakan yang menguntungkan bagi dirinya sendiri. Menurut teori egoisme psikologis bahwa setiap tindakan manusia dimotivasikan oleh kepentingan diri. Kita boleh yakin diri kita luhur dan suka berkorban, tetapi hal itu hanyalah ilusi. Dalam kenyataannya, kita peduli hanya pada diri kita.( Rachels, 2004). Perilaku altruitstik sendiri dalam kenyataan berkaitan dengan hal-hal seperti ini, hasrat untuk dikenal umum, perasaan kepuasan pribadi, dan harapan akan ganjaran surgawi. Menurut Hobbes ada dua motif umum yang melandasi manusia untuk berbuat sesuatu untuk orang lain. yang pertama adalah cinta-kasih dan yang kedua adalah belas kasih. Cinta kasih merupakan kesenangan yang diperoleh seseorang dalam memperlihatkan kekuatan dalam dirinya. Orang yang mengasihi memperlihatkan kekuatan dirinya dan kepada dunia, bahwa dia lebih mampu daripada yang lain. Ia tidak hanya peduli pada dirinya, ia bahkan mempunyai kemampuan sisa untuk yang lain, yang tidak semampu dia. Dia hanya pamer atas kelebihannya. Sementara belas kasih lebih pada menaruh simpati pada orang lain atas apa yang telah kita lakukan. Alasan bahwa mereka mau menolong karena

terganggu oleh kemalangan yang lain, selain itu mereka teringatkan akan hal yang mungkin akan menimpanya pula. Dari kedua motif umum tersebut kemudian kita masuk kedalam sebuah pemikiran yang lebih kompleks lagi mengenai kepentingan diri. Sebenarnya apa yang kita lakukan adalah apa yang kita rasa penting untuk dilakukan. Sebenarnya apa yang kita lakukan adalah apa yang dapat membuat kita senang, dan apa yang kita lakukan sebenarnya adalah apa yang dapat membuat kita nikmat. Argumen Pendukung Egoisme Psikologis Dua Argumen umum sering diajukan untuk mendukung Egoisme Psikologis. Argumen-argumen umum ini mencoba untuk menetapkan bahwa semua tindakan secara menyeluruh, dan bukan hanya sekelompok tindakan tertentu, dimotivatikan oleh kepentingan diri (self-interest)
1. Argumen bahwa yang kita lakukan adalah apa yang paling kita

inginkan. Dalam Argumen ini tidak menitik beratkan bahwa tindakan tersebut tulus atau tidak, ada motif tertentu atau tidak. Yang terpenting adalah apa yang ia lakukan adalah apa yang ia inginkan. Misalnya: Seseorang yang menjadi sukarelawan dalam bencana longsor di Jawa Barat. Terlepas ia melakukan hal tersebut agar dinilai orang lain menjadi pribadi yang penolong, yang terpenting bahwa ia ingin menjadi sukarelawan karena hal tersebut adalah hal yang paling ia inginkan
2. Argumen bahwa yang kita lakukan apa yang membuat kita merasa

enak. Pendapat ini pertamakali dikemukakan oleh Abraham Lincoln. Argumen umum yang kedua untuk Egoisme Psikologis mengundang fakta bahwa tindakan yang disebut tidak berkutat-diri menghasilkan suatu pemahaman diri kepuasan-diri dalam diri orang yang melakukannya. Bertindak tanpa berkutat-diri membuat orang merasa enak (feel good)

mengenai dirinya. Dan itulah pokok yang sesungguhnya dari tindakan. Dalam intinya dari argument tersebut bahwa ada kaitannya dengan sifat keinginan dan objeknya. Kita semua mempunyai keinginan banyak hal. Misalnya: uang, mobil baru, bermain catur, kawin, dan sebagainya. Dan karena kita menginginkan hal-hal ini, kita bisa memperoleh kepuasaan dari melakukan hal ini. Egoisme Etis Berbicara tentang moralitas, kita sebenarnya dituntut untuk

menyeimbangkan kepentingan kita dengan kepentingan orang lain. Kita mempunyai tugas alami kepada orang lain semata-mata karena mereka adalah orang yang dapat ditolong atau diganggu oleh tindakan-tindakan kita. Berdasarkan pandangan seperti itu, maka kita wajib melakukannya (memikirkan kepentingan orang lain). Inilah yang disebut sebagai pandangan moral. Namun, di satu sisi pandangan Egoisme Etis mengatakan bahwa sebenarnya kita tidak memiliki kewajiban alami terhadap orang lain, setiap orang harus mengejar kepentingannya sendiri secara ekslusif. Egoisme psikologis mengatakan bahwa orang memang selalu mengejar kepentingannya sendiri. Sedangkan, Egoisme etis sebaliknya, merupakan teori normatif yaitu teori mengenai bagaimana seharusnya kita bertindak, tanpa memandang bagaimana kita biasanya bertindak. Egoisme Etis mengatakan kita tidak memiliki kewajiban moral. Selain menjalankan apa yang paling baik bagi diri kita sendiri. Egoisme Etis adalah pandangan yang radikal bahwa satu-satunya tugas adalah membela kepetingan dirinya sendiri. Menurut Egoisme Etis hanya ada satu prinsip perilaku yang utama, yakni prinsip kepentingan diri, dan prinsip ini merangkum semuua tugas dan kewajiban alami seseorang. Namun Egoisme Etis juga tidak melarang untuk harus menghindari tindakan untuk menolong orang lain, selagi tindakan menolong orang lain itu bertujuan utama untuk menguntungkan dirinya sendiri. Teori Egoisme Etis ini mengatakan bahwa seseorang seharusnya melakukan apa yang sesungguhnya paling menguntungkan

bagi dirinya untuk selanjutnya. Jadi teori ini mendukung sikap berkutat diri ( selfishness), tetapi tidak untuk kebodohan ( foolishness). Tiga Argument Pendukung Egoisme Etis Alasan yang mengatakan bahwa teori Egoisme Etis ini benar adalah: 1. Argumen Bahwa Altruism Menghancurkan Diri Sendiri. Pemikiran bahwa kalau kita suka peduli pada orang lain, sering kita menjadi ceroboh dan hasilnya lebih sering berakhir dengan kekacauan daripada kebaikan. Pada hakikatnya memperdulikan orang lain sama halnya seperti campur tangan urusan orang lain. Membuat orang lain sebagai objek cinta kasih kita itu merendahkan orang lain, merampas mereka dari martabat pribadi dan hormat dirinya. 2. Argumen Ayn Rand Ayn Rand memandang etika altruism adalah gagasan yang sama sekali destruktif. Altruisme menurut dia mengantarkan pada suatu penyangkalan nilai individu. Sebab Altruisme mengajarkan hidup-mu merupakan sesuatu yang hanya dapat dikorbankan. 3.

Egoisme Etis Dianggap Cocok dengan Moralitas Akal Sehat. Egoisme Etis merupakan teori bahwa semua kewajiban kita pada akhirnya diturunkan dari satu prinsip fundamental, yakni kepentingan diri (selfinterest). Jika demikian, maka Egoisme Etis bukan doktrin yang radikal. Ajaran ini tidak menentang moralitas akal sehat, tetapi hanya mencoba menjelaskan dan mensistematisasikannya. Dan itu berhasil.

Tiga Argument Melawan Egoisme Etis

1.

Argumen Bahwa Egoisme Etis Tidak Dapat Memecahkan Konflik Kepentingan.

Kurt Baier berpendapat bahwa Egoisme Etis tidak menolong memecahkan konflik-konflik kepentingan, bahkan justru memperparah.

2.

Argumen Bahwa Egoisme Etis secara Logis Konsisten. Sejumlah filsuf termasuk Baier, menyatakan perlawanannya pada teori Egoisme Etis pada tataran yang serius. Mereka mengatakan bahwa hal itu merupakan ajaran yang secara logis tidak konsisten. Artinya ajaran itu membawa kontradiksi logis. Jikalau ini benar, maka Egoisme Etis merupakan teori yang keliru.

3.

Argumen Bahwa Egoisme Etis sewenang-wenang dan Tidak Dapat Diterima.

Kita harus peduli pada kepentingan-kepentingan orang lain demi alasan yang persis sama dengan mengapa kita peduli pada-kepentingankepentingan kita. Jikalau kita tidak menemukan perbedaan yang relevan antara mereka dan kita, maka kita juga harus menerima bahwa kebutuhan kita harus terpenuhi, begitu pula juga kebutuhan mereka. Kenyataanya semacam ini, bahwa kita sejajar dengan orang lain, merupakan alasan terdalam mengapa moralitas kita harus mencangkup pengertian terhadap kebutuhan-kebutuhan yang lain dan mengapa karena Egoisme Etis gagal menjadi teori moral.

Daftar Pustaka Bertens, K. (2007). Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Rachels, J. (2004). Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai