Tuti Widiastuti
Jl. HR. Rasuna Said Kav. C-22, Kuningan, Jakarta Selatan 12920
Telp: 021-526 1448 ext. 247, Faks: 021-526 3191, HP: 0816 1659649
E-mail: tuti.widiastuti@bakrie.ac.id
Abstrak
Pendahuluan
Buktinya, Organisasi Fund for Peace merilis Failed State Index 2012 di mana Indonesia
berada di posisi 63 (Huda & Malau, 2012). Fund for Peace salah satunya menggunakan
1
indikator dan sub-indikator yaitu indeks persepsi korupsi dalam menyusun indeks
tersebut. Dari 182 negara, Indonesia berada di urutan 100 berdasarkan indeks lembaga
ini.
menempati skor CPI sebesar 3,0, naik 0,2 dibanding tahun sebelumnya sebesar 2,8. Bila
dikaitkan dengan indikator Global Corruption Barrometer, maka data dari TI menunjukkan
bahwa polisi, parlemen, dan pengadilan juga ditempatkan sebagai institusi-insitusi yang
paling bermasalah terkait kasus korupsi di Indonesia (Wibowo & Wahono, 2011).
Celakanya, meski telah banyak penindakan atas pelaku dan kasus korupsi,
Indonesia tetap dianggap negara paling korup. Meskipun dapat dikatakan bahwa Indeks
Persepsi Korupsi Indonesia bergerak naik dari 2,8 menjadi 3, tetapi peningkatan IPK
bukan dipengaruhi oleh banyaknya penindakan yang dilakukan KPK (Kusumadewi &
Adam, 2011). Penyebabnya, indeks tersebut berkenaan dengan masih marak praktek-
Menurut Robert Klitgaard (2000: 2-3) dalam bukunya berjudul Corrupt Cities: A
Practical Guide to Cure and Prevention, korupsi bisa berarti menggunakan jabatan untuk
memungut uang bagi layanan yang sudah seharusnya diberikan, atau menggunakan
wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah (Rahman, 2011: 14). Berdasarkan
definisi tersebut, tampaknya apa yang terjadi pada sektor pelayanan publik di Indonesia di
mana masih dijumpai praktek-praktek suap dalam rangka mempercepat urusan, dapat
Korupsi bukan hanya terjadi di tingkat pemerintahan pusat, tetapi korupsi juga
terjadi di level pemerintahan desa sekalipun (Rahman, 2011: 13). Otonomi daerah
disinyalir sebagai biang maraknya korupsi di daerah. Tetapi bila diteliti lebih dalam,
kurang tepat rasanya untuk mengatakan bahwa korupsi di daerah baru saja terjadi
2
setelah diterapkannya kebijakan desentralisasi. Desentralisasi sangat mungkin telah
memberi latar baru bagi pentas korupsi di tingkat lokal, entah menyangkut bergesernya
relasi kekuasaan antara pusat dan daerah atau eksekutif dan legislatif yang memunculkan
pelaku korupsi baru dengan modus operandi yang semakin bervariasi. Dengan kata lain,
praktek korupsi secara konsisten terjadi sejak lama sebelum kebijakan desentralisasi
Banyak sudah upaya yang dilakukan untuk memberantas korupsi di Tanah Air,
satu di antaranya yang telah dilakukan oleh Transparency International Indonesia (TII).
Sebelumnya TII bersama KPK, USAID Indonesia, MSI, dan Cangkir Kopi telah
memproduksi film bertema anti korupsi “Kita versus Korupsi” atau “KvsK” (Rini, 2012).
Dari sekian banyak upaya yang telah dilakukan oleh KPK dan lembaga-lembaga
korupsi secara signifikan. Perang melawan korupsi merupakan perang melawan hawa
nafsu karena pada hakikatnya tindakan kejahatan itu berakar pada moralitas manusia.
seseorang mengenai dirinya sendiri dan dunianya misalnya praktik korupsi selalu
berhubungan dengan tarik menarik antara dua kemungkinan, yaitu melakukan korupsi
dan tidak melakukan korupsi. Mereka yang terlibat baik langsung atau pun tidak dalam
3
tindak korupsi mengalami tarik menarik yang menyebabkan terjadinya „ketidak-
seimbangan kognisi‟.
Pembahasan
Dalam teori ini diceritakan bahwa ada seekor rubah yang melihat anggur
bergantungan di pohon lalu si rubah ingin mengambil buah anggur tersebut, namun apa
yang terjadi si rubah kecewa karena buah anggur tersebut tidak dapat diambilnya, lalu si
rubah berputus asa untuk mengambil anggur tersebut dan si rubah berpersepsi bahwa
anggur tersebut asam dan anggur tersebut tidak akan disukai olehnya padahal belum
kekecewaannya karena si rubah tersebut tidak bisa mengambil buah anggur tersebut.
between a person’s two beliefs or a belief and an action (Griffin, 2012: 217). Disonansi
ketidakseimbangan atau kekecewaan yang diakibatkan oleh sesuatu dari individu tersebut
agar orang tersebut kembali pada kondisi yang seimbang. Pada cerita ini,
ketidakseimbangan terjadi akibat si rubah tidak mendapatkan anggur yang dia inginkan,
sang rubah menyerah dan dia membuat persepsi untuk dirinya sendiri dengan
menganggap bahwa anggur tersebut asam dan tidak akan disukai olehnya. Padahal
persepsi tersebut belum tentu benar. Hal tersebut hanya untuk membuat dirinya sendiri
tidak terlalu kecewa dengan apa yang terjadi sebenarnya. Di buku ini Leon mengatakan
Disonansi kognitif merupakan suatu proses penghilangan stress yang disebabkan oleh
4
Pada pertama kalinya Festinger mempublikasi teorinya mengenai disonansi
kognitif, dia memilih topik merokok sebagai ilustrasi yang dapat menjelaskan teorinya
tersebut. Semua perokok pasti mengetahui bahaya rokok, akan tetapi sebagian besar dari
perokok tidak menghentikan kebiasaan merokok mereka. Sebagian besar dari perokok
berpikiran bahwa penyakit seperti kanker tidak hanya disebabkan oleh rokok, akan tetapi
juga bisa disebabkan radiasi atau hal lainnya. Hal tersebut dijadikan alasan bagi mereka
untuk tetap merokok karena beranggapan kanker yang mungkin akan mereka alami
bukan dari kebiasaan merokok, dan menyebabkan mereka tetap melanjutkan kebiasaan
merokok.
Para perokok juga biasa memiliki alasan seperti merokok dapat membuat mereka
lebih relaks, jika tidak merokok mereka akan merasa pusing, bahkan ada juga yang
berpikiran “kalau tidak merokok tidak gaul”. Hal tersebut merukapan salah satu dari
mendominasi dibandingkan pikiran kita mengenai sesuatu. Jadi sikap atau kebiasaan kita
dapat memengaruhi suatu kepercayaan. Seperti contoh merokok tadi, para perokok
dengan kebiasaan mereka yang merokok membuat mereka dissonance atau membentuk
persepsi-persepsi baru yang mendukung atau membenarkan dari sikap atau kebiasaan
mereka tersebut. Dari penelitiannya terhadap para perokok di Amerika, teori Festiger
fokus kepada perubahan belief dan attitude yang terjadi diakibatkan cognitive dissonance.
yang dapat menambah ketidak-cocokan. Tidak hanya orang suka untuk mendengar opini
5
dan membaca sesuatu yang sesuai dengan pendapatnya, tapi kita juga memilih untuk
bergaul dengan orang-orang yang sejalan dan sepikiran dengan kita. Contoh selective
exposure theory terjadi pada kampanye bahaya merokok. Festinger menemukan bahwa
kampanye tersebut, karena menurut mereka hal itu tidak sesuai dengan kepercayaan
mereka harus memilih informasi mana yang akan mereka dengar atau baca. Dave
selective disclosure. Manusia cenderung memilih informasi yang cocok dengan apa yang
mereka yakini dan menolak fakta atau ide yang bertolak belakang dengannya. Tapi
kekuatan alasan dari tendesi ini relatif kecil. Teori selective exposure hanya menjelaskan
sebesar 5% tentang alasan mengapa seseorang memilih untuk mau meneriman informasi
2006 dan menghasilkan bahwa 755 dari seluruh film Hollywood menampilkan perokok
aktif dan hal ini mengakibatkan anak muda yang tinggal di lingkungan bebas-rokok
mencoba-coba untuk merokok. Peneliti dari Harvard School of Public Health secara
proaktif meminta kepada para produser film untuk tidak menampilkan rokok ke dalam film
mereka. Contohnya dalam film The Devil Wears Prada yang tidak menampilkan karakter
perokok sama sekali, tetapi penonton tidak sadar akan hal tersebut.
6
Menurut Festinger, keputusan yang dibuat secara tiba-tiba dapat menimbulkan
ketegangan dan keraguan dalam diri setelah semua keputusan itu dibuat. Tiga keadaan
pilihan.
Kondisi ini membuat kita menyesal akan keputusan yang telah kita ambil atas
suatu pilihan. Contoh post-decission dissonance adalah ketika seseorang membeli mobil.
Banyak model-model mobil yang ditawarkan, harga yang ditunjukkan pun mahal, tapi
customer diyakinkan oleh pihak marketing bahwa ia bisa membayar mobil tersebut
dengan cicilan yang murah setiap bulannya. Akhirnya setelah kontrak pembelian ditanda-
tangani, pembeli tetap mencari informasi mengenai mobil yang dibelinya untuk
memastikan bahwa mobil yang dipilihnya itu adalah pilihan yang tepat.
Keputusan yang sulit dialami juga oleh para perokok ketika mereka akan
memutuskan untuk berhenti merokok atau tidak. Bahkan menurut mereka, berhenti
merokok lebih sulit dari berhenti mengkonsumsi alkohol. Pecandu alkohol pun butuh
setidaknya satu orang yang bisa berasal dari lingkungan teman, keluarga, rekan atau
siapapun untuk mendukungnya dan selalu mengingatkan dia akan usahanya itu.
keputusan akhir, karena bisa saja orang tersebut kembali merokok sewaktu-waktu.
Dukungan moral dari lingkungan sekitar sangat dibutuhkan untuk menghadapi keraguan
dan ketakutan yang muncul setelah keputusan untuk berhenti merokok diambil. Karena
perokok yang berhenti merokok dihadapai oleh ketakutan. Mereka terus dihadapi oleh
pesan yang mengatakan bahwa kesehatan mereka terancam ketika mereka merokok.
Orang-orang yang sayang dengan mereka terus mengatakan hal yang sama dan
7
Hipotesis 3: Minimal Justification for Action Induces a Shift in Attitude
Anggap seseorang yang ingin membujuk mantan perokok yang menderita kanker
keinginan perusahaan tersebut untuk memasarkan produk mereka. Hal inilah yang
dilakukan oleh Nick Naylor, chief spokesman dari Marlboro, dalam film „Thank you For
Smoking‟. Naylor mencoba untuk merubah mind-set orang-orang tentang intensi dari
perusahaan rokok Marlboro, dan meredam hujatan yang beredar. Untuk melakukan hal
ini, ia harus meyakinkan atasannya dulu mengenai pesan apa yang akan ia sampaikan ke
masyarakat, yaitu tentang intensi yang baik dari Marlboro, yang hanya ingin memasarkan
produk mereka, bukan memasarkan penyakit. Hal ini menunjukkan bahwa sikap dan
Attitude Behavior
Behavior Attitude
Hipotesis ini menyarankan Naylor untuk terlebih dahulu merubah opini masyarakat
yang cukup (minimum) kepada publik yang mengkritik. Hal ini akan mengacu kepada
mengetahui apakan insentif yang diberikan akan merubah attitude yang diminta atau
tidak. Festinger bersama rekannya James Carlsmith merekrut beberapa mahasiswa dari
Stanford University untuk menjadi sampel dalam penelitian ini. Setiap mahasiswa
dimasukkan ke sebuah lab dan diberikan tugas yang membosankan dan repetitif, yaitu
menggulung benang ke dalam 12 bagian. Prosedur penelitian ini sengaja dibuat monoton
dan melelahkan bagi responden. Festinger meminta kepada seluruh responden untuk
8
berkata bahwa pekerjaan yang mereka lakukan di dalam menyenangkan dan tidak
Beberapa dari koresponden dijanjikan sebesar $20 untuk melakukan hal tersebut,
dan selebihnya hanya dibayar sebesar $1 saja. Hasil dari penelitian menyatakan bahwa
mereka yang dibayar sebesar $20 akhirnya mengakui bahwa pekerjaan tersebut
membosankan dan tidak berguna, namun bagi mereka yang dibayar sebesar $1 tetap
Three State of the Art Revisions: the Cause and Effect of Dissonance
Festinger dan pengikutnya fokus pada perubahan sikap sebagai hasil akhir dari
disonansi. Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana jika keyakinan awal seseorang itu
berbahaya dan salah? Apakah teori ini bisa merubah keyakinan tersebut?
yang signifikan dalam diri seseorang agar mengembangkan suatu hubungan yang
bersahabat. Dalam kondisi seperti demikian, posisi orang akan cenderung lebih selective
exposure dan menghindari ide mengancam. Jika seseorang pada akhirnya mengadopsi
sudut pandang orang lain, maka ikatan akan berkelanjutan ke post-decision dissonance.
Satu dari 20 penelitian sudah dimodifikasi berkali-kali dalam upaya mencari tahu
mengapa perilaku yang tidak konsisten menyebabkan perubahan sikap ketika imbalan
1. Self consistency
Elliot Arronson yang tertarik dengan teori kognitif disonansi yang dikemukakan
teori ini berasal dari beberapa ketidak-jelasan konseptual. Dia menyatakan bahwa
keinginan orang untuk konsisten antara kepercayaan yang dimiliki dan perbuatan
9
yang dilakukannya dapat menimbulkan disonansi, sehingga orang cenderung
Joel Cooper setuju dengan Arronson bahwa perilaku yang tidak konsisten tidak dapat
merupakan keadaan yang merangsang orang untuk berperilaku sedemikian rupa yang
disebabkan oleh suatu hal. Adanya tanggung jawab terhadap bahaya yang akan
terjadi kepada orang lain jika kita memberikan disonansi. Semakin besar responsibility
yang kita berikan maka disonansi yang akan terbentuk makin besar pula dan akhirnya
memunculkan rasa bersalah pada diri seseorang dan menjadikan mereka tidak
Claude Steele tidak berasumsi bahwa disonansi selalu mendorong orang untuk
membenarkan tindakan mereka dengan mengubah sikap mereka. Dia berpikir bahwa
beberapa orang beruntung dapat memanggil sejumlah pikiran positif tentang diri
mereka yang akan menghapuskan perhatian untuk memulihkan konsistensi. Jika dia
benar, harga diri yang tinggi adalah sumber daya untuk pengurangan disonansi yang
buruk.
Steven Hassan menyatakan bahwa dalam diri seseorang ada tiga unsur intrinsik,
yaitu: thought, emotions, dan behavior (Lifton & Hassan, 2009). Kemudian dia juga
aspek yang sejalan dengan tingkatan konsistensi tersebut. Contoh dalam tindak korupsi,
jika seseorang berpikir bahwa adalah salah untuk melakukan korupsi, secara umum
mereka akan mengekspresikan emosi negatif terkait dengan tindak korupsi, dan mereka
10
tidak akan melakukan tindak korupsi. Hal ini berpeluang besar akan membuat orang tidak
berani korupsi. Sekarang bayangkan jika orang didorong untuk melakukan korupsi untuk
berbagai alasan, maka ini akan menimbulkan tekanan psikologis yang besar karena
pikiran dan emosi akan bertentangan dengan perilakunya. Jika seseorang dipaksa untuk
korupsi untuk jangka waktu yang cukup lama, maka orang tersebut akan menciptakan
Menurut Hassan (Lifton & Hassan, 2009), jika sebuah kekuatan personal atau grup
dapat menyentuh suatu aspek pengendalian diri dalam diri seseorang, maka mereka akan
memiliki kemungkinan besar untuk merubah aspek-aspek lainnya dalam diri orang
tersebut. Dalam kaitannya dengan masalah korupsi, dorongan untuk anti-korupsi pada
karena sifat alamiahnya pada bagaimana otak manusia bekerja, akan beralih pada
akomodasi perilaku yang lebih sesuai. Jika tekanan pada disonansi kognitif begitu kuat
dan secara psikologis menyakitkan, kebanyakan orang akan mengikuti langkah yang
11
paling resisten, merubah elemen-elemen yang tersisa dari akomodasi elemen itu sendiri
Hassan kemudian menyertakan aspek „information‟ sebagai elemen lain dari diri
seseorang karena ketika seseorang dibombardir dengan informasi, maka terjadi pula
yang namanya disonansi dan tindakan yang menyakitkan seperti halnya elemen lain
dalam diri orang tersebut. Informasi bukan hanya akan menambah keyakinan seseorang,
personal tetapi lebih banyak dikarenakan dorongan kelompok. Pada umumnya kelompok
informasi eksternal yang bertolak-belakang dengan pesan dan informasi grup, atau grup
akan memperbolehkan informasi yang terseleksi untuk disaring dalam kelompok setelah
12
informasi tersebut diubah atau terbebas dari konotasi negative yang berlawanan dengan
tujuan kelompok.
Lifton (Lifton & Hassan, 2009) menyatakan bahwa isolationism atau withdrawal
sering kali dijadikan sebagai adaptasi yang tidak bisa dihindari. Anggota grup belajar lebih
cepat mengenai sumber dan informasi yang seharusnya dihindari karena mereka akan
mengalami disonansi kognitif ketika dihadapkan dengan kebenaran. Setiap pesan yang
halnya korupsi.
Kesimpulan
Meskipun teori disonansi kognitif tidak pernah memberikan suatu ukuran yang
pasti untuk mendeteksi seberapa besar disonansi dalam diri seseorang, tetapi teori ini
telah memberikan pengetahuan bahwa sikap seseorang bisa berubah ketika orang
mendapatkan informasi yang sejalan atau berlawanan dengan sikap mereka terhadap
Dalam pandangan teori disonansi kognitif bahwa keputusan untuk berhenti korupsi
bukan merupakan keputusan akhir, karena bisa saja orang tersebut kembali
dari lingkungan sekitar sangat dibutuhkan untuk menghadapi keraguan dan ketakutan
yang muncul setelah keputusan penting akan diambil oleh seseorang karena keputusan
untuk berubah akan dihadapi oleh ketakutan. Untuk itu orang yang akan mengambil
keputusan penting dalam hidupnya perlu terus dihadapi oleh pesan yang mengatakan
13
Untuk bisa menjadi agen perubahan yang efektif, maka seseorang harus mampu
memberikan dorongan yang cukup untuk orang lain mencoba perilaku baru yang
berangkat dari cara berpikir biasa, menghindari membuat tawaran yang orang tidak bisa
menolak. Selama mungkin untuk mengadopsi keyakinan yang mendukung apa yang
mereka lakukan, semakin besar usaha yang terlibat dalam bertindak dengan cara ini,
maka semakin besar kesempatan bahwa sikap mereka akan berubah untuk
Daftar Pustaka
Ginting, Ahmad Arif. 8 Maret 2012. Mengapa Korupsi di Indonesia Sulit Sekali
Diberantas? Harian Analisa. http://www.analisadaily.com/news/read/2012/03/08/
39395/mengapa_korupsi_di_indonesia_sulit_sekali_diberantas/, diakses 22 Juni
2012.
Griffin, Em, 2012, A First Look at Communication Theory, New York: McGraw-Hill.
Huda, Eko, dan Ita Lismawati F. Malau. 21 Juni 2012. Indeks Persepsi Korupsi, Indonesia
Urutan 100, Kekerasan terhadap Kelompok Agama Minoritas Menjadi Hambatan
yang Signifikan. http://nasional.vivanews.com/news/read/327659-indeks-persepsi-
korupsi--indonesia-urutan-100, diakses 22 Juni 2012.
Kusumadewi, Anggi, & Mohammad Adam. 5 Desember 2011. KPK: Korupsi Ditindak,
Indonesia Tetap Korup, Pelayanan publik di Negeri ini Dinilai Marak Suap-
Menyuap. http://nasional.vivanews.com/news/read/269630-kpk--korupsi-ditindak--
indonesia-tetap-korup, diakses 22 Juni 2012.
Lifton, Robert, & Steven Hassan. March 10, 2009. Understanding Cognitive Dissonance.
http://undermoregrace.blogspot.com/2009/03/understanding-cognitive-dissonance.
html, diakses 22 Juni 2012.
Rahman, Fathur. 2011. Korupsi di Tingkat Desa. Jurnal Governance, Vol. 2, No. 1,
November 2011. Bekasi: Universitas Islam 45.
Rinaldi, Taufik, Marini Purnomo, & Dewi Damayanti. 2007. Memerangi Korupsi di
Indonesia yang Terdesentralisasi, Studi Kasus Penanganan Korupsi Pemerintah
Daerah. Jakarta: Bank Dunia.
14
Rini. 20 April 2012. Kampanye Anti-Korupsi Dikembangkan ke Format Lain.
http://www.indonesiabersih.org/info-indonesia-bersih/kampanye-anti-korupsi-
dikembangkan-ke-format-lain/, diakses 22 Juni 2012.
Stevanus, Subagija. 8 April 2004. Korupsi yang Sebenar-benarnya. Bandung: Pikiran
Rakyat.
Wibowo, Ary, & Tri Wahono. 1 Desember 2011. Indonesia Peringkat Ke-100 Indeks Persepsi Korupsi
2011. http://nasional.kompas.com/read/2011/12/01/17515759, diakses 22 Juni
2012.
15