Anda di halaman 1dari 13

DISTINGSI: JOURNAL OF DIGITAL SOCIETY,

Vol 1 No. 1 2022

ARTIKEL

INTENSI PERILAKU KORUPTIF APARATUR SIPIL NEGARA (ASN)


Engkus1) *, Dini Pebriyani1), Dwi Melliani1), Ega Ratnasari1), Handika Ardana Pamungkas1)
UIN Sunan Gunung Djati Bandung1)
Email:engkus@uinsgd.ac.id*

Abstract
Corruption is a behavior that intentionally enriches oneself or another person or a group in
a deviant and illegal way, where the behavior is detrimental to the state or government or the
people, or an agency. The main cause of corruption is the behavior of the individuals themselves.
If the individual has a distorted perspective seeing wealth, then it can encourage individuals to
commit corruption. Individuals included in this group are those who are greedy, lacking in faith,
and consumptive. Then the individual's behavior is supported by the opportunity. The opportunity
can come from several aspects, such as environmental, political, legal, economic, and others. This
study uses a qualitative approach, with data collection techniques literature study. Every behavior
that is done consciously comes from the potential for a behavior called intentions. Potential
behavioral intentions are attitudes, which consist of three factors, namely cognition, affect, and
psychomotor, where all three synergize to form a certain behavior. The results of the study reveal
that the corruption/anti-corruption behavior raised by individuals is based on the intention of
corruption/anti-corruption behavior in which there is a synergy of three cognition, affective and
psychomotor factors.
Keywords: Corruption, Individual, Intention, Behavior

Abstrak
Korupsi adalah suatu perilaku yang dengan sengaja memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau suatu kelompok dengan cara yang menyimpang dan illegal, dimana perilaku tersebut
merugikan negara atau pemerintah atau rakyat atau sebuah instansi. Penyebab utama korupsi
adalah perilaku inidividu itu sendiri. Apabila individu tersebut memiliki cara pandang yang
menyimpang dalam melihat kekayaan, maka hal itu dapat mendorong individu untuk melakukan
korupsi. Individu yang termasuk dalam golongan tersebut adalah mereka yang bersifat tamak,
kurang iman, dan konsumtif. Kemudian perilaku individu tersebut didukung dengan adanya
kesempatan. Kesempatan itu dapat berasal dari beberapa aspek, seperti aspek lingkungan, politik,
hukum, ekonomi, dan lain-lain. Penelitian ini menggunakan Pendekatan kualitatif, dengan Teknik
pengumpulan data studi kepustakaan. Setiap perilaku yang dilakukan secara sadar berasal dari
potensi perilaku disebut dengan intensi. Potensi intensi perilaku tersebut adalah sikap, yang terdiri
dari tiga faktor yaitu kognisi, afeksi dan psikomotor, dimana ketiganya bersinergi membentuk
suatu perilaku tertentu. Hasil penelitian mengungkap perilaku korupsi/antikorupsi yang
dimunculkan oleh individu didasari oleh adanya intensi perilaku korupsi/anti-korupsi yang di
dalamnya terjadi sinergi tiga faktor kognisi, afeksi dan psikomotorik.
Kata kunci: Korupsi, Individu, Intensi, Perilaku.

A. PENDAHULUAN
Korupsi, suatu hal yang sedang merajalela di Indonesia dan hingga kini belum bisa diberantas
secara tuntas. Apabila melihat sejarah korupsi di Indonesia, bahkan hal ini sudah terjadi sejak
zaman pra kemerdekaan. Penyebab utama korupsi adalah perilaku inidividu itu sendiri. Apabila

https://jurnal.panengen.com/index.php/djods/ 42
Publisher: Panengen Publishing
issn:
DISTINGSI: JOURNAL OF DIGITAL SOCIETY,
Vol 1 No. 1 2022

ARTIKEL
individu tersebut memiliki cara pandang yang menyimpang dalam melihat kekayaan, maka hal itu
dapat mendorong individu untuk melakukan korupsi. Individu yang termasuk dalam golongan
tersebut adalah mereka yang bersifat tamak, kurang iman, dan konsumtif.
Kemudian perilaku individu tersebut didukung dengan adanya kesempatan. Kesempatan itu
dapat berasal dari beberapa aspek, seperti kesempatan yang timbul dari lingkungan atau organisasi
yang cenderung mendukung terjadinya korupsi. Selanjutnya kesempatan yang timbul dari aspek
politik, yaitu dengan adanya kecurangan untuk melakukan politik uang dengan tujuan tertentu.
Aspek hukum juga bisa mendukung terjadinya korupsi, seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
bahwa lemahnya peraturan perundang-undangan dan lemahnya penegakan hukum dapat
memberikan kesempatan bagi para pelaku korupsi. Berikutnya yaitu aspek ekonomi, meskipun
rendahnya tingkat gaji bukan alasan mutlak seseorang melakukan korupsi, namun dalam keadaan
tertentu hal tersebut mungkin terjadi. Dikatakan bukan merupakan faktor mutlak karena selama
ini banyak sekali ditemukan para pelaku korupsi yang telah memiliki jumlah kekayaan melimpah,
tapi tetap melakukan korupsi.
Kini kesadaran dan partisipasi masyarakat menjadi salah satu alternatif pemecahan lingkaran
setan korupsi. Kesadaran dan partisipasi masyarakat merupakan satu bentuk kekuatan yang dalam
banyak hal telah terbukti mencegah dan mereduksi berbagai epidemi sosial, seperti masalah
kriminalitas. Bila seluruh lapisan masyarakat sepakat bahwa korupsi juga merupakan penyakit
sosial yang baik langsung maupun tidak langsung merugikan kepentingan masyarakat luas, amat
masuk akal bila kesadaran masyarakat luas dimobilisir untuk memerangi korupsi.

B. KAJIAN PUSTAKA
Kerangka konseptual adalah keterkaitan antara teori–teori atau konsep yang mendukung
dalam penelitian yang digunakan sebagai pedoman dalam menyusun sistematis
penelitian. Kerangka konseptual menjadi pedoman peneliti untuk menjelaskan secara sistematis
teori yang digunakan dalam penelitian.

Gambar 1. Kerangka Konseptual


Korupsi Pengertian

Faktor yang
Mempengaruhi Intensi
Intensi
Pembentuk Intensi
Perilaku Koruptif

Teori Planned
Behavior

(Sumber: Diolah Penulis, 2022)

https://jurnal.panengen.com/index.php/djods/ 43
Publisher: Panengen Publishing
issn:
DISTINGSI: JOURNAL OF DIGITAL SOCIETY,
Vol 1 No. 1 2022

ARTIKEL

C. METODE PENELITIAN
Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan Kualitatif. Menurut (Sugiyono, 2013 :15)
metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat
postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti
adalah sebagai instrument kunci. Tujuan penelitian kualitatif adalah untuk memahami kondisi
suatu konteks dengan mengarahkan pada pendeskripsian secara rinci dan mendalam mengenai
potret kondisi dalam suatu konteks yang alami, tentang yang sebenarnya terjadi di lapangan
studi.(Nugrahani, 2014)
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode
observasi, wawancara, dan dokumentasi. (1) Observasi : Menurut (Engkus, Suparman & Sulistia,
2019) Observasi dilakukan untuk mencari data dan informasi secara sistematis tentang gejala dan
fenomena (peristiwa atau kejadian) berdasarkan tujuan penelitian yang telah diformalkan.
Observasi dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat semua kejadian. Metode ini bertujuan
untuk menemukan kebenaran dan fakta di lapangan. (2) Dokumentasi : Menurut (Sugiyono, 2015)
Dokumentasi adalah suatu metode penggalian data dan informasi berupa buku, arsip, dokumen,
angka tertulis, dan gambar berupa laporan dan informasi yang berguna untuk penelitian.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini sumber data primer dan sekunder. Sumber
data primer berupa data langsung dari Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung. Sumber data
sekunder berupa data yang diperoleh peneliti melalui penelitian yang berhubungan dengan
literatur, internet, jurnal, dan buku. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
menggunakan teori (Milles dan Huberman, 1992) yang menyebutkan analisis terdiri dari tiga alur
kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu: reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan.
1. Reduksi data, Reduksi data adalah suatu bentuk analisis yang menajamkan,
mengklasifikasikan, memanipulasi, membuang, dan menata data sehingga dapat ditarik
kesimpulan akhir dan divalidasi.
2. Penyajian Data, Penyajian data adalah kumpulan informasi organisasi yang
memungkinkan penelitian untuk menarik kesimpulan. Penyajian data dirancang untuk
menemukan pola yang bermakna dan memberikan kesempatan untuk menarik
kesimpulan dan menyarankan tindakan.
3. Penarikan Kesimpulan, Penarikan Kesimpulan merupakan temuan yang dapat berupa
deskripsi sesuai objek yang berbentuk sementara dan akan berkembang dengan berupa
hubungan kausal atau interaktif, hipotesis/proposisi atau teori.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN


Korupsi sesungguhnya sudah lama ada terutama dejak manusia pertama kali mengenal tata
kelola administrasi. Korupsi juga sering dikaitkan dengan politik. Selain mengaitkan korupsi
dengan politik, korupsi juga dikaitakan dengan perekonomian, kebijakan publik, kebijakan
internasional, kesejahteraan sosial dan pembangunan nasional.
Korupsi berasal dari bahasa Latin: Corruption dari kata kerja corrumpere berarti busuk, rusak,
menggoyahkan, memutar balik, menyogok. Menurut Transparency International adalah perilaku
pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak
legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat denganya, dengan menyalahgunakan
kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

https://jurnal.panengen.com/index.php/djods/ 44
Publisher: Panengen Publishing
issn:
DISTINGSI: JOURNAL OF DIGITAL SOCIETY,
Vol 1 No. 1 2022

ARTIKEL
Dalam Kamus Al-Munawwir, korupsi bisa diartikan meliputi: risywah, khiyanat, fasad,
ghulul, suht, bathil. Sedangkan dalam kamus Al-Bisri kata korupsi diartikan kedalam bahasa Arab:
risywah, ikhtilas, dan fasad. Sedangkam dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) korupsi
secara harfiah berarti: buruk, rusak, sukai memakai barang (uang) yang depercayakan padanya,
dapat disogok (melalui kekauasaanya untuk kepentingan pribadi). Adapun arti terminologinya,
korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (ruang negara atau perusahaan) untuk
kepentingan pribadi atau orang lain.
Korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan dengan penuh perhitungan oleh mereka yang
justru sebagai kaum terdidik dan terpelajar. Korupsi juga bisa dimungkinkan terjadi pada situasi
dimana seseorang memegang suatu jabatan yang melibatkan pembagian sumber-sumber dana dan
memiliki kesempatan untuk menyalahgunakannya guna kepentingan pribadi. Kata korupsi telah
dikenal luas oleh masyarakat, tetapi definisinya belum tuntas dibukukan. Pengertian korupsi
berevolusi pada tiap zaman, peradaban, dan teritorial. Rumusnya bisa berbeda tergantung pada
titik tekan dan pendekatanya, baik dari perspektif politik, sosiologi, ekonomi dan hukum.
Sebetulnya pengertian korupsi sangat bervariasi. Namun demikian, secara umum korupsi itu
berkaitan dengan perbuatan yang merugikan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk
kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. (Miftah, 2014)
Teori Planned Behavior (Fishbein Dan Aizen: 1975)
Upaya memahami perilaku individu merupakan topik sentral dalam bidang psikologi. Salah
satu teori yang banyak digunakan adalah Theory of Reasoned Action (TRA) yang dikemukakan
oleh Fishbein dan Ajzen (1975). Teori ini dikembangkan lebih lanjut oleh Ajzen (1985) menjadi
Theory of Planned Behavior (TPB) yang ditujukan untuk memprediksi perilaku individu secara
lebih spesifik. (Ramdhani, 2016)
Untuk lebih memahami mengenai pengukuran sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku
terlebih dahulu diulas konsep atau faktor pembentuknya di dalam Theory of Planned Behavior.
Gambar 2. Theory of Planned Behavior

AttitudeToward
the Behavior

Subjective
Intention Behavior
Norm

Perceived Behavioral
Control

(Sumber: Ajzen, 2005)


https://jurnal.panengen.com/index.php/djods/ 45
Publisher: Panengen Publishing
issn:
DISTINGSI: JOURNAL OF DIGITAL SOCIETY,
Vol 1 No. 1 2022

ARTIKEL
Hubungan antara ketiga dimensi penentu niat dan perilaku dapat dilihat di Gambar.1, dengan
penjelasan singkat dari masing-masing komponen sebagai berikut:
1. Attitude Towards The Behavior, atau disebut Sikap
Ajzen (2005) mengemukakan bahwa sikap terhadap perilaku ini ditentukan oleh keyakinan
mengenai konsekuensi dari suatu perilaku atau secara singkat disebut keyakinan-keyakinan
perilaku (behavioral beliefs). Keyakinan berkaitan dengan penilaian subjektif individu terhadap
dunia sekitarnya, pemahaman individu mengenai diri dan lingkungannya, dilakukan dengan cara
menghubungkan antara perilaku tertentu dengan berbagai manfaat atau kerugian yang mungkin
diperoleh apabila individu melakukan atau tidak melakukannya. Keyakinan ini dapat memperkuat
sikap terhadap perilaku itu apabila berdasarkan evaluasi yang dilakukan individu, diperoleh data
bahwa perilaku itu dapat memberikan keuntungan baginya.
2. Subjective Norm atau disebut Norma Subjektif
Norma subjektif adalah persepsi individu terhadap harapan dari orang-orang yang
berpengaruh dalam kehidupannya (significant others) mengenai dilakukan atau tidak
dilakukannya perilaku tertentu. Persepsi ini sifatnya subjektif sehingga dimensi ini disebut norma
subjektif. Sebagaimana sikap terhadap perilaku, norma subjektif juga dipengaruhi oleh keyakinan.
Bedanya adalah apabila sikap terhadap perilaku merupakan fungsi dari keyakinan individu
terhadap perilaku yang akan dilakukan (behavioral belief), maka norma subjektif adalah fungsi
dari keyakinan individu yang diperoleh atas pandangan orang-orang lain terhadap objek sikap yang
berhubungan dengan individu (normative belief).
Di dalam kehidupan sehari-hari, hubungan yang dijalin setiap individu dapat dikategorikan ke
dalam hubungan yang bersifat vertikal dan horizontal. Hubungan vertikal adalah hubungan antara
atasan– bawahan, guru–murid, profesor–mahasiswa, atau orang tua–anak. Hubungan horizontal
terjadi antara individu dengan teman-teman atau orang lain yang bersifat setara. Pola hubungan ini
dapat menjadi sumber perbedaan persepsi. Pada hubungan yang bersifat vertikal, harapan dapat
dipersepsi sebagai tuntutan (injunctive) sehingga pembentukan norma subjektif akan diwarnai oleh
adanya motivasi untuk patuh terhadap tuntutan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu
perilaku. Sebaliknya, pada hubungan yang bersifat horizontal harapan terbentuk secara deskriptif
sehingga konsekuensinya adalah keinginan untuk meniru atau mengikuti (identifikasi) perilaku
orang lain di sekitarnya
3. Perceived Behavioral Control atau disebut Persepsi Kontrol Perilaku
Persepsi kontrol perilaku atau dapat disebut dengan kontrol perilaku adalah persepsi individu
mengenai mudah atau sulitnya mewujudkan suatu perilaku tertentu (Ajzen, 2005). Untuk
menjelaskan mengenai persepsi kontrol perilaku ini, Ajzen membedakannya dengan locus of
control atau pusat kendali yang dikemukakan oleh Rotter (1975; 1990). Pusat kendali berkaitan
dengan keyakinan individu yang relatif stabil dalam segala situasi. Persepsi kontrol perilaku dapat
berubah tergantung situasi dan jenis perilaku yang akan dilakukan.
Pusat kendali berkaitan dengan keyakinan individu tentang keberhasilannya melakukan segala
sesuatu, apakah tergantung pada usahanya sendiri atau faktor lain di luar dirinya (Rotter, 1975).
Jika keyakinan ini berkaitan dengan pencapaian yang spesifik, misalnya keyakinan dapat
menguasai keterampilan menggunakan komputer dengan baik disebut kontrol perilaku (perceived
behavioral control).
Konsep lain yang agak dekat maksudnya dengan persepsi kontrol perilaku adalah self efficacy
atau efikasi diri yang dikemukakan Bandura (dalam Ajzen, 2005). Secara umum, efikasi diri
adalah keyakinan individu bahwa ia akan berhasil menguasai keterampilan yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan tugas-tugas tertentu (Bandura, 1977; Pajares, 1996). Konsep persepsi kontrol
https://jurnal.panengen.com/index.php/djods/ 46
Publisher: Panengen Publishing
issn:
DISTINGSI: JOURNAL OF DIGITAL SOCIETY,
Vol 1 No. 1 2022

ARTIKEL
perilaku yang dikemukakan oleh Ajzen ini dipengaruhi oleh riset yang dilakukan oleh Bandura
mengenai efikasi diri dengan menambahkan pentingnya kontrol yang dimiliki individu terhadap
sumber daya yang dibutuhkan untuk mewujudkan perilaku tertentu (Ajzen, 2002).
Dalam TPB, Ajzen (2005) mengemukakan bahwa persepsi kontrol perilaku ditentukan oleh
keyakinan individu mengenai ketersediaan sumber daya berupa peralatan, kompatibelitas,
kompetensi, dan kesempatan (control belief strength) yang mendukung atau menghambat perilaku
yang akan diprediksi dan besarnya peran sumber daya tersebut (power of control factor) dalam
mewujudkan perilaku tersebut. Semakin kuat keyakinan terhadap tersedianya sumber daya dan
kesempatan yang dimiliki individu berkaitan dengan perilaku tertentu dan semakin besar peranan
sumberdaya tersebut maka semakin kuat persepsi kontrol individu terhadap perilaku tersebut.

Gambar 3. Keyakinan sebagai sumber informasi dari intensi dan perilaku

Behavioral Attitude Toward


and Beliefs
The Behavior

Normative Subjective
beliefs norms Intention Behavior

Perceived
Control beliefs behaviora
l control

(Sumber: Ajzen, 2005)


4. Pengertian Intensi
Intensi (niat) dipengaruhi oleh sikap, norma subjektif dan pengendalian perilaku yang
disadari. Intensi (niat) dalam kamus besar bahasa Inggris-Indonesia oleh Echolas & Sadili (2000)
melalui kata dasarnya memiliki arti maksud, pamrih, atau tujuan, disengaja. Intents yang artinya
adalah niat. (Haines et al et al., 2019)
Pengertian Intensi menurut para ahli, diantaranya yaitu:
a) Menurut Notoatmodjo (2007) menerangkan tentang Teori Snehandu B. Kar bahwa
behaviour intention merupakan niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan
kesehatan atau perawatan kesehatanya.

https://jurnal.panengen.com/index.php/djods/ 47
Publisher: Panengen Publishing
issn:
DISTINGSI: JOURNAL OF DIGITAL SOCIETY,
Vol 1 No. 1 2022

ARTIKEL
b) Villis (2000) mendeskripsikan intensi (niat) adalah penetapan tujuan yang merupakan
sebuah perkiraan perilaku.
c) Conner & Norman (2005) menerangkan bahwa pada Social Cognitif Theory dalam
psikologi sosial mengenai kesehatan, intensi (niat) merupakan konstruksi inti dalam
memahami intensi (niat) perilaku terkait dengan kesehatan, tindakan atau perubahan
perilaku. Pada perilaku yang akan dilakukan adalah intensi (niat) behavioral yang
merupakan intensi (niat) untuk melakukan tindakan kesehatan yang teratur, dimana
terdapat kemungkinan yang semakin meningkat untuk melakukan tindakan kesehatan
tersebut (Albery & Munafo, 2011). Intensi (niat) merupakan kumpulan keyakinan yang
dapat disebut dengan berniat.
d) Menurut Albery & Munafo (2011), Intensi (niat) perilaku ditentukan oleh sikap, norma
subjektif dan pengendalian perilaku yang disadari. Kecenderungan untuk memilih
melakukan tindakan atau tidak, intensi (niat) ini ditentukan sejauh mana individu memilih
untuk melakukan perilaku tertentu mendapat dukungan dari orang lain yang berpengaruh.
e) Fishbein dan Ajzen (dalam Azwar, 2005) mengajukan teori terbentuknya tingkah laku
berdasarkan hubungan timbal balik antara keyakinan atau belief, sikap atau attitude, dan
intensi atau intention individu. Dalam pandangan ini keyakinan dikategorikan sebagai
aspek kognitif individu yang didalamnya melibatkan pengetahuan, pendapat, dan
pandangannya terhadap suatu objek. Sikap dikategorikan sebagai aspek afektif yang
mengacu pada perasaan individu terhadap suatu objek serta evaluasi yang dilakukan.
Intensi dikatagorikan sebagai aspek konatif atau kecenderungan berperilaku, yang
menunjukkan intensi individu dalam bertingkah laku dan bertindak atau behavioral
intention, saat berhadapan langsung dengan objek, ubahan ini yang akan membentuk
perilaku (tindakan nyata).
Gambar 4. Kerangka Intensi

(Sumber: Ajzen dalam Albery & Munafo, 2011)

Intensi (niat) perilaku atau niat dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu sikap, norma subjektif
dan pengendalian perilaku yang disadari. Komponen sikap terdiri dari keyakinan dan evaluasi
hasil, sikap terhadap intensi (niat) ditentukan oleh keyakinan seseorang yang diperoleh mengenai
konsekuensi dari suatu perilaku dan orang tersebut akan berperilaku bila menilai konsekuensi dari
perilaku tersebut bersifat positif.
https://jurnal.panengen.com/index.php/djods/ 48
Publisher: Panengen Publishing
issn:
DISTINGSI: JOURNAL OF DIGITAL SOCIETY,
Vol 1 No. 1 2022

ARTIKEL
Norma subjektif dibangun oleh keyakinan normatif dan motivasi pencapaian, sehingga
pembentukan norma subjektif diawali adanya keyakinan seseorang untuk melakukan atau tidak
melakukan suatu intensi (niat) dengan harapan tercipta motivasi atau keinginan untuk meniru atau
mengikuti perilaku orang lain disekitarnya. Pengendalian perilaku yang disadari merupakan
perasaan seseorang mengenai mudah atau sulitnya mewujudkan suatu intensi (niat) perilaku.
Dari beberapa bahasan yang telah di kemukakan sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa intensi merupakan besarnya usaha atau niat dalam mewujudkan suatu perilaku yang
didasari oleh keyakinan (belief) dan sikap (attitude) yang ada akan suatu perilaku.
5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Intensi
Ajzen dan Fishbein (1975) mengemukakan tiga faktor utama yang mempengaruhi kuatnya
hubungan antara intensi dan perilaku yaitu:
a) Derajat hubungan intensi dan perilaku dalam tingkat spesifikasi. Semakin besar derajat
spesifitas, semakin tinggi korelasi antara intensi dan perilakunya. Hal ini ditunjukkan oleh
semakin spesifik/rincinya sebuah intensi yang pada gilirannya akan memperbesar
prediksi terhadap suatu perilaku.
b) Stabilitas intensi. Intensi seseorang dapat berubah atau berganti seiring berlalunya waktu
dengan melihat kemungkinan diperolehnya informasi-informasi baru atau munculnya
kejadian-kejadian tertentu yang dapat mempengaruhi intensi semula selama interval
waktu antara intensi dan perilaku. Dalam hal ini tingkat ketergantungan terhadap orang
lain atau kejadian lain juga turut mempengaruhi stabilitas intensi. Semakin besar tingkat
ketergantungannya, semakin rendah tingkat korelasi intensi perilaku.
c) Kendali kemauan. Kemauan merupakan usaha seseorang untuk mencapai tujuan tertentu
yang begitu kuat sehingga mendorong orang untuk mengorbankan nilai-nilai yang lain,
yang tidak sesuai dengan pencapaian tujuan (Richard & Hamber).
Kuhl, Liska, Sarver dan Triandis dalam (Ajzen, 1988) turut mengemukakan beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi intensi, antara lain adalah:
a) Faktor Internal, meliputi :
 Informasi, keterampilan dan kemampuan
Ketiga hal diatas merupakan kendali seseorang dalam membentuk intensinya atas
keinginan untuk melakukan suatu perilaku tertentu. Sebagai contoh adalah keinginan
seseorang untuk membantu temannya dalam memperbaiki sepeda motornya namun tidak
memiliki keterampilan dan kemampuan untuk itu.
 Emosi dan Kompulsitas
Emosi dan kompulsitas merupakan faktor internal yang dapat mempengaruhi
pembentukan intensi seseorang, terutama ketika muatannya berbeda dan tidak searah
dengan isi intensi. Sebagai contoh, intensi seseorang untuk belajar akan menjadi sulit
terwujud ketika emosinya sedang marah atau tertekan
b) Faktor Eksternal meliputi:
 Kesempatan
Pada banyak kejadian, maka intensi seseorang untuk melakukan suatu perilaku banyak
bergantung pada kesempatan yang dimiliki untuk melakukannya.
 Ketergantungan pada orang lain
Beberapa perilaku hanya dapat diwujudkan jika ada aksi orang lain yang mendahului atau
menyertainya. Pada perilaku semacam ini, kontrol individu akan perilaku maupun
intensinya cukup rendah. (Azwar, 2010)

https://jurnal.panengen.com/index.php/djods/ 49
Publisher: Panengen Publishing
issn:
DISTINGSI: JOURNAL OF DIGITAL SOCIETY,
Vol 1 No. 1 2022

ARTIKEL
6. Pembentuk Intensi Perilaku Koruptif
Pada dasarnya korupsi merupakan perilaku yang dimunculkan oleh individu secara sadar dan
disengaja. Secara psikologis terdapat beberapa komponen yang menyebabkan perilaku tersebut
muncul. Setiap perilaku yang dilakukan secara sadar berasal dari potensi perilaku (perilaku yang
belum terwujud seacara nyata), yang diistilahkan dengan intensi (Wade dan Tavris: 2007).
Potensi intensi perilaku tersebut adalah sikap, yang terdiri dari tiga faktor yaitu kognisi, afeksi,
dan psikomotor, dimana ketiganya bersinergi membentuk suatu perilaku tertentu (Azwar: 2006).
Dengan demikian, perilaku korupsi/anti korupsi yang dimunculkan oleh individu didasari oleh
adanya intensi perilaku korupsi/anti korupsi yang didalamnya terjadi sinergi tiga faktor kognisi,
afeksi, dan psikomotorik. Metode matakuliah anti korupsi hendaknya memberikan sinergi yang
seimbang antara ketiga komponen tersebur, sehingga benar-benar dapat berfungsi untuk
memperkuat potensi perilaku anti korupsi mahasiswa. (Kurniadi et al., 2011)
Tindakan korupsi merupakan tindak kejahatan yang terjadi akibat penyelewengan wewenang
atau tanggung jawab. Perilaku korupsi menyangkut berbagai hal yang bersifat kompleks. Faktor –
faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku – pelaku korupsi dan juga bisa berasal dari situasi
lingkungan yang kondusif untuk melakukan korupsi (faktor eksternal). Dengan demikian secara
garis besar penyebab korupsi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: faktor internal dan faktor
eksternal.
Faktor Internal, merupakan faktor pendorong korupsi yang berasal dari dalam diri setiap
individu. Faktor internal dapat diperinci menjadi:
a) Sifat tamak/rakus manusia
Sifat tamak merupakan sifat yang berasal dari dalam diri setiap individu. Hal itu terjadi ketika
seseorang mempunyai hasrat besar untuk memperkaya diri dan tidak pernah merasa puas terhadap
apa yang telah dimiliki. Sifat serakah dan tamak dengan segala kelicikan dan nafsu duniawinya
yang besar menjadi motivasi yang paling utama. Sekarang ini bukan faktor kemiskinan lagi,
apalagi dengan tingkat pendidikan karena realitas yang ada sekarang ini justru amat ironis, penjara
para koruptor diisi oleh pejabat atau orang-orang kaya yang berpendidikan tinggi dan memiliki
kedudukan terhormat di masyarakat.
b) Gaya hidup konsumtif
Pada era-modern ini, terutama kehidupan dikota-kota besar merupakan hal yang sering
mendorong terjadinya gaya hidup konsumtif. Oleh karena itu, apabila perilaku konsumtif tidak di
imbangi dengan pendapatan yang memadai, maka hal tersebut akan membuka peluang seseorang
untuk melakukan berbagai tindakan demi memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan
itu adalah dengan korupsi.
c) Moral yang kurang kuat
Seseorang yang mempunyai moral lemah cenderung mudah tergoda untuk melakukan
tindakan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahan, atau pihak lain
yang memberi kesempatan untuk melakukan korupsi. Efek moralitas seseorang sangat berdampak
dalam melakoni dan melakukan ucapan, tindakan atau perbuatan pada kehidupannya di dunia ini.
Demikian pula dalam melaksanakan pekerjaan, tugas, kewenangan, dan amanah yang
dipercayakan kepadanya sangat tergantung pada personality tersebut.
Bila moralitas pribadinya baik, maka dapat diprediksi mampu melaksanakan tugas dan
tanggungjawab dengan baik pula. Namun jika memiliki moral atau kepribadian yang lemah dan
keimanan yang kurang, maka tidak akan mengherankan apabila banyak terjadi penyimpangan dan
pencapaian kinerja yang buruk menyertai track record dalam mengemban amanah yang
dipercayakan kepadanya tersebut. Oleh karena itu dalam rekruitmen pegawai atau karyawan
https://jurnal.panengen.com/index.php/djods/ 50
Publisher: Panengen Publishing
issn:
DISTINGSI: JOURNAL OF DIGITAL SOCIETY,
Vol 1 No. 1 2022

ARTIKEL
senantiasa digunakan psikotest untuk mengukur tingkat kejiwaan, kepribadian, dan watak
seseorang guna mendapatkan pegawai yang optimal sesuai dengan yang diharapkan.
Moralitas atau karakteristik pribadi banyak dipengaruhi pula oleh beberapa faktor seperti;
genetika, keluarga, lingkungan sosial, suku, agama, ras/bangsa, tekanan, hingga masa lalu, dan
adat istiadat atau budaya yang berkembang di lingkungannya. Faktor moralitas atau karakteristik
pribadi ini memiliki relevansi dengan teori yang dikemukakan oleh M. Romney, dkk (1980)
dimana dinyatakan bahwa, “Personal characteristics (ethics) mempengaruhi terjadinya
kecurangan (fraud-motivating forces)”. Bila dijelaskan kurang lebih memiliki makna bahwa jika
karakterisitik pribadi seseorang rendah, maka sangat memungkinkan terjadi kecurangan (fraud),
sebaliknya bila karakteristik pribadi orang tersebut tinggi, maka tidak terjadi kecurangan (no
fraud). Sehingga dari hasil pemaparan inilah yang mendasari sebuah karakteristik pribadi atau
moralitas menempati salah satu indikator penyebab terjadinya perilaku koruptif.
d) Adanya Kekuasaan
Faktor yang pertama yakni power atau kekuasaan merupakan prasyarat mutlak terlahirnya
sebuah korupsi. Kasus perilaku korupsi yang terjadi hampir pasti selalu dimodali dengan sebuah
kekuasaan baik dalam lingkup kecil maupun besar. Para oknum koruptor yang sekarang ini banyak
mendekam di penjara, tervonis melakukan korupsi karena awalnya memiliki kekuasaan dan
kewenangan. Sulit atau tidak mungkin menemukan koruptor yang tanpa di bekali sebuah
kekuasaan. Makin besar kekuasaannya maka makin luas dan besar pula peluang melakukan
korupsi tersebut.
Kekuasaan sangat dekat dengan korupsi hal ini sesuai dengan pernyataan anggota parlemen
Inggris, Lord Acton, seabad yang lalu yang mengatakan bahwa kekuasaan cenderung korup,
“power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely” (kekuasaan cenderung
disalahgunakan dan kekuasaan yang mutlak menghasilkan korupsi yang mutlak pula). Pernyataan
ini merupakan opini dengan melihat fenomena yang berlaku saat itu dan hingga kini masih sangat
relevan dengan kondisi saat ini. Kekuasaan cenderung memberikan seseorang kebebasan untuk
melakukan apa saja, sehingga sekecil apapun kekuasaan itu bila tidak dibatasi, diatur,
dikendalikan, dan diberlakukan secara bijak, maka niscaya akan menjerumuskan ke hal-hal yang
berdampak negatif dan kurang baik. Banyak kasus dan peristiwa yang menyebabkan sebuah
kehancuran akibat penggunaan kekuasaan yang tidak memiliki batasan dan kearifan, salah satu
contohnya adalah tumbangnya rezim Suharto di tahun 1998 lalu.
Demikian pula halnya dengan teori Robert Klitgaard yang mencantumkan kekuasaan sebagai
rumusan awal terciptanya korupsi dengan memaknai korupsi sebagai akibat dari adanya monopoli
kekuasaan dan diskresi kewenangan disertai akuntabilitas yang lemah. Kekuasaan dan
kewenangan amat mempengaruhi sebuah tindakan perilaku korupsi. Apalagi ditunjang dengan
lemahnya akuntabilitas atau transparansi.
e) Lemahnya Sistem
Selanjutnya yang menjadi penyebab terjadinya korupsi adalah adanya faktor penerapan sistem
yang lemah. Akibat adanya sistem-sistem yang rapuh tersebut secara tidak langsung menciptakan
terwujudnya perilaku koruptif.
Hal yang paling vital menentukan adalah sistem tata pemerintahan dan birokrasi yang kurang
mampu menutup peluang terjadinya korupsi seperti; lemahnya komitmen dan ketegasan para
pemimpin, akuntabilitas pemerintah yang terkesan formalitas belaka, adanya kecenderungan
monopoli kewenangan yang pada beberapa aspek kurang melibatkan sektor swasta, kultur
penguasa yang masih sangat kuat ketimbang sebagai pelayan masyarakat, SDM dan
profesionalisme birokrasi yang masih rendah, kurangnya keteladanan para pemimpin, rekruitmen
https://jurnal.panengen.com/index.php/djods/ 51
Publisher: Panengen Publishing
issn:
DISTINGSI: JOURNAL OF DIGITAL SOCIETY,
Vol 1 No. 1 2022

ARTIKEL
pegawai yang sarat KKN, struktur dan administrasi pemerintahan yang penuh ketimpangan
seperti; gemuk, boros, dan sangat inefisiensi, sistem pengawasan yang belum optimal, reward dan
punishment belum maksimal, distribusi kewenangan ke daerah yang besar namun kurang didukung
oleh kontrol yang tegas, munculnya politisasi birokrasi, kompensasi gaji yang masih rendah,
budaya feodalisme yang cenderung masih kuat, kurangnya transparansi, lemah dalam perencanaan
dan evaluasi, job discreption yang tumpang tindih, dan lain sebagainya.
Faktor Eksternal, merupakan faktor pemicu terjadinya tindakan korupsi yang berasal dari
luar diri pelaku. Faktor eksternal dapat dibagi menjadi empat, yaitu:
a) Faktor Politik
Politik merupakan salah satu sarana untuk melakukan korupsi. Hal ini dapat di lihat ketika
terjadi intrabilitas politik atau ketika politisi mempunyai hasrat untuk mempertahankan
kekuasaannya. Demikian pula untuk sistem perpolitikan yang berlaku terbukti banyak memiliki
kelemahan seperti; besarnya kemauan atau kepentingan politik dalam penyelenggaraan
pemerintahan seiring dengan masuknya era reformasi, lemahnya check and balance kekuasaan,
lemahnya kontrol dari lembaga legislatif pusat dan daerah (DPR/D), biaya politik yang sangat
besar untuk merebut pengaruh masyarakat dan melanggengkan kekuasaan, adanya biaya
kampanye dan pemenangan kandidat baik untuk kepala daerah atau anggota legislatif , tidak ada
parpol oposisi yang tegas mengontrol jalannya pemerintahan, kewenangan lembaga legislatif yang
sangat besar dan sangat berpotensi menekan birokrasi untuk kepentingan lain, lemahnya kesadaran
dan pemahaman masyarakat dalam dunia politik, masih kuatnya peran mafia politik, fungsi
budgeting lembaga legislatif yang kebablasan menyuburkan calo anggaran dan calo proyek, upaya
reformasi yang setengah-setengah, dan lain sebagainya.
b) Faktor Hukum
Hukum bisa menjadi faktor terjadinya korupsi dilihat dari dua sisi, disatu sisi dari aspek
perundang – undangan, dan disisi lain dari lemahnya penegak hukum. Hal lain yang menjadikan
hukum sebagai sarana korupsi adalah tidak baiknya substansi hukum, mudah ditemukan aturan –
aturan yang diskrimatif dan tidak adil, rumusan yang tidak jelas dan tegas sehingga menumbulkan
multi tafsir, serta terjadinya kontradiksi dan overlapping dengan aturan lain.
Sistem hukum yang rapuh menyangkut antara lain; lemahnya law enforcement, sosok penegak
hukum yang mudah disuap, masih kuatnya kontrol eksekutif, adanya potensi korupsi pada lembaga
yang menangani korupsi, undang-undang korupsi yang lemah, sistem hukum yang memberi
peluang, penerapan sanksi yang tidak menjerakan, kurangnya SDM, kuantitas, dan
profesionalisme aparat penegak hukum, lemahnya sosialisasi hukum, independensi lembaga
hukum yang belum optimal, celah dalam regulasi untuk terjadinya penyimpangan (seperti dalam
pembahasan anggaran oleh komisi di DPR/D hingga satuan tiga, kewenangan pejabat publik, dan
pengelolaan pajak), sarana dan prasarana hukum yang belum optimal, masih terjaganya eksistensi
mafia hukum dan mafia peradilan, masih saratnya intervensi dalam penetapan peraturan, jual beli
pasal, dan sebagainya, tebang pilih dalam pengusutan dan penerapan sanksi, mudahnya menerima
keringanan hukuman, remisi, dan pengurangan masa tahanan, masih berkutat pada tindakan
represif bukan preventif, upaya pelemahan kewenangan lembaga anti korupsi seperti KPK, dan
lain sebagainya. Realitas ini semakin nyata dengan pengungkapan kasus suap yang membelit Akil
Mochtar mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dalam penanganan masalah pilkada beberapa
waktu lalu.
c) Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi juga merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal itu dapat dilihat
ketika tingkat pendapat atau gaji yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya, maka
https://jurnal.panengen.com/index.php/djods/ 52
Publisher: Panengen Publishing
issn:
DISTINGSI: JOURNAL OF DIGITAL SOCIETY,
Vol 1 No. 1 2022

ARTIKEL
seseorang akan mudah untuk melakukan tindakan korupsi demi terpenuhinya semua kebutuhan.
d) Faktor Organisasi
Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, tidak hanya organisasi yang
ada dalam suatu lembaga, tetapi juga sistem pengorganisasian yang ada didalam lingkungan
masyarakat. Faktor - faktor penyebab terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi meliputi:
(1) Kurang adanya teladan dari pemimpin; (2) Tidak adanya kultur organisasi yang benar; (3)
Sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai; (4) Manajemen cenderung menutupi
korupsi di dalam organisasi;(5) Lemahnya pengawasan.
e) Faktor sosial
Dari sistem sosial yang lemah tersebut, indikator yang amat berperan adalah menyangkut
mengenai kontrol masyarakat atau social control. Sistem kontro sosial memiliki tingkat urgenitas
yang besar dalam mewujudkan terjadinya korupsi. Tanpa adanya partisipasi masyarakat dalam
bentuk pengawasan seperti ini akan menciptakan peluang terjadinya berbagai bentuk
penyimpangan dan penyelewengan sebagaimana yang telah dirasakan sekarang ini.
Faktor pendorong perilaku korupsi di Indonesia sangat beragam. Salah satunya adalah gaya
hidup bermewah-mewahan yang mengacu pada kesenangan material. Pernyataan tersebut sesuai
dengan pendapat Jenier (2013), bahwa korupsi merupakan salah satu dampak yang diakibatkan
dari gaya hidup hedonis. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kasus korupsi yang dilakukan
oleh GT. Perilaku korupsi GT tersebut didukung dari fasilitas yang didapatkan pada jabatannya.
Diketahui bahkan dalam keadaan terdesak pun pegawai yang hanya berpangkat IIIA di Dirjen
Pajak tersebut masih mempertahankan gaya hidup hedonisnya dengan memilih tinggal di hotel
mewah di Singapura.
Menurut Japarianto (Umami, 2013), hedonisme adalah suatu konsep yang dimiliki seseorang
berdasarkan kesenangan semata demi memenuhi kepuasan pikiran mereka sendiri. Hopkinson &
Pujari (Kirgiz, 2014) menyatakan bahwa kesenangan adalah keindahan tertinggi, dan gaya hidup
hedonis bertujuan untuk mencari kesenangan. Aktivitas yang dilakukan oleh seseorang yang
memiliki gaya hidup hedonis akan cenderung mengarah pada kebiasaan hidup glamor,
menghamburkan-hamburkan uang, dan menghabiskan waktu untuk bersenang-senang Wijaya,
dalam (Kusumastuti, 2006).
Di Indonesia, saat ini sudah sering dijumpai bahwa setiap individu memiliki gaya hidup yang
mengarah ke arah hedonisme. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya orang yang memilih model
pakaian, tas dan barang-barang dengan merk terkenal, menggunakan handphone dengan fasilitas
layanan terbaru, berbelanja di pusat perbelanjaan modern dan jalan-jalan untuk sekedar mengisi
waktu luang. Gaya hidup hedonis umumnya tidak hanya dimiliki oleh orang dewasa yang sudah
bekerja saja, namun justru lebih banyak ditemukan di kalangan mahasiswa. Mahasiswa merupakan
individu yang berada pada tahap pencarian jati diri sehingga mudah untuk dipengaruhi oleh adanya
perubahan serta memiliki keinginan untuk mencoba hal-hal yang baru.
Jadi, penyebab utama korupsi adalah perilaku inidividu itu sendiri. Apabila individu tersebut
memiliki cara pandang yang menyimpang dalam melihat kekayaan, maka hal itu dapat mendorong
individu untuk melakukan korupsi. Individu yang termasuk dalam golongan tersebut adalah
mereka yang bersifat tamak, kurang iman, dan konsumtif. Kemudian perilaku individu tersebut
didukung dengan adanya kesempatan. Kesempatan itu dapat berasal dari beberapa aspek, seperti
aspek lingkungan, politik, hukum, ekonomi, dan lain-lain.

https://jurnal.panengen.com/index.php/djods/ 53
Publisher: Panengen Publishing
issn:
DISTINGSI: JOURNAL OF DIGITAL SOCIETY,
Vol 1 No. 1 2022

ARTIKEL
E. SIMPULAN
Secara umum korupsi itu berkaitan dengan perbuatan yang merugikan kepentingan publik
atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.Intensi (niat) dipengaruhi
oleh sikap, norma subjektif dan pengendalian perilaku yang disadari. Pada dasarnya korupsi
merupakan perilaku yang dimunculkan oleh individu secara sadar dan disengaja. Secara psikologis
terdapat beberapa komponen yang menyebabkan perilaku tersebut muncul. Setiap perilaku yang
dilakukan secara sadar berasal dari potensi perilaku (perilaku yang belum terwujud seacara nyata),
yang diistilahkan dengan intensi. Potensi intensi perilaku tersebut adalah sikap, yang terdiri dari
tiga faktor yaitu kognisi, afeksi, dan psikomotor, dimana ketiganya bersinergi membentuk suatu
perilaku tertentu. Dengan demikian, perilaku korupsi/anti korupsi yang dimunculkan oleh individu
didasari oleh adanya intensi perilaku korupsi/anti korupsi yang didalamnya terjadi sinergi tiga
faktor kognisi, afeksi, dan psikomotorik. Metode matakuliah anti korupsi hendaknya memberikan
sinergi yang seimbang antara ketiga komponen tersebur, sehingga benar-benar dapat berfungsi
untuk memperkuat potensi perilaku anti korupsi mahasiswa.

REFERENSI

Azwar, D. (2010). Kerangka konseptual untuk meramalkan suatu intensi atau perilaku tertentu.
10–39.
Engkus, E. (2017). Administrasi Publik dalam Perspektif Ekologi. JISPO Jurnal Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, 7(1), 91-101.
Engkus, E. (2017). The Influence Of organizational Behavior On Work Ethics Employees In
Bandung Regency Goverment. IASET, 1(1), 1-16.
Engkus, E. (2020). Digital-Era Government (DEG): Policy Analysis in Government West
Bandung Regency, Indonesia. Advances in Social Science, Education and Humanities
Research, 560, 1-4.
Haines et al, (2019), goleman, daniel; boyatzis, Richard; Mckee, A., Haines et al, 2019, goleman,
daniel; boyatzis, Richard; Mckee, A., Haines et al, 2019, & goleman, daniel; boyatzis,
Richard; Mckee, A. (2019). Tinjauan Pustaka. Journal of Chemical Information and
Modeling, 53(9), 1689–1699.
Hidayat, A., Engkus, E., Suparman, N., Sakti, F. T., & Irmaniar, I. (2018). E-participation Melalui
Implementasi Program Pesan Singkat Penduduk (Pesduk). Jurnal Penelitian
Komunikasi, 21(2).
Kristian, I., Alfitri, A. T., Riandi, A., & Febrianti, A. (2021). ETIKA BIROKRASI SEBAGAI
PENCEGAHAN PERILAKU KORUPTIF. Jurnal Dialektika: Jurnal Ilmu Sosial, 19(1), 57-
63.
Kurniadi, N. T. P. M. E. S. I. S. U. Y., Karsona, A. I. S. A. M., Bura, G. L. B. R. O., & Wibowo,
A. P. (2011). Anti-Korupsi Anti-Korupsi Pendidikan.
Miftah, A. (2014). Korupsi dan dampaknya. Korupsi Dan Dampaknya, 14–37.
http://eprints.walisongo.ac.id/3925/3/104211009_Bab2.pdf
Ramdhani, N. (2016). Penyusunan Alat Pengukur Berbasis Theory of Planned Behavior. Buletin
Psikologi, 19(2), 55–69. https://doi.org/10.22146/bpsi.11557
Suparman, N. et al .(2020). Bureaucratic Corruptive Behavior: Causes And Motivation of State
Civil Aparatures in Indonesia. International Journal of Psychosocial Rehabilitation, 24(2),
5290-5303.

https://jurnal.panengen.com/index.php/djods/ 54
Publisher: Panengen Publishing
issn:

Anda mungkin juga menyukai