Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Anti Korupsi
Kelas: AP/G/V
ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2018
1
PEMBENTUK INTENSI PERILAKU KORUPTIF
Sufatul Ulum Mutatun Afia1, Susan Julianti2, Wulan Damayanti3
Jurusan Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Islam Negri (UIN) Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung,
Jln. A.H. Nasution 105 Bandung 40614
E-mail: sufatulafia@gmail.com, susanjulianti250@gmail.com,
wulandamayanti1998@gmail.com
ABSTRACT
2
ABSTRAK
3
A. PENDAHULUAN
B. KERANGKA KONSEPTUAL
Pembentuk intensi perilaku
Definisi Korupsi
Mewujudkan intensi
positif yang kuat
Tipologi Korupsi
4
Intensi Perilaku Koruptif
Schiffman dan Kanuk (2007) menyatakan bahwa intensi adalah hal yang
berkaitan dengan kecenderungan seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau
berperilaku tertentu. Chaplin (1999) menyatakan bahwa intensi merupakan suatu
usaha untuk mencapai tujuan tertentu. Intensi menurut Corsini (2002) adalah
keputusan bertindak dengan cara tertentu, atau dorongan untuk melakukan suatu
tindakan, baik itu secara sadar atau tidak sadar. Menurut Sudarsono (1993)
menyatakan intensi adalah niat, tujuan, keinginan untuk melakukan sesuatu,
mempunyai tujuan. Ajzen (2005), menyatakan bahwa intensi adalah indikasi
seberapa kuat keyakinan seseorang akan mencoba suatu perilaku, dan seberapa
besar usaha yang akan digunakan untuk melakukan perilaku.4
Korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan
jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan
negara. Jadi korupsi merupakan gejala: salah pakai dan salah urus dari kekuasaan,
demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara
dengan menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya dengan
alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri. 5
C. METODE
5
Penelitian deskriptif mempunyai karakteristik-karakteristik bahwa (1)
penelitian deskriptif cenderung menggambarkan suatu fenomena apa adanya
dengan cara menelaah secara teratur-ketat, mengutamakan obyektivitas, dan
dilakukan secara cermat. (2) tidak adanya perlakuan yang diberikan atau
dikendalikan, dan (3) tidak adanya uji hipotesis.
1. Sumber Data.
2. Instrumen Penelitian.
6
3. Teknik Pengumpulan Data.
a. Observasi.
b. Wawancara (Interview).
7
Menurut Sugiyono (2014 : 157), wawancara digunakan sebagai teknik
pengumpulan data, apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk
menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin
mengetahui hal-hal dari informan yang lebih mendalam dan jumlah respondennya
sedikit/kecil. Dalam pelaksanaannya terdapat dua jenis wawancara yaitu:
c. Studi Dokumentasi.
8
sejarah kehidupan (life history), ceritera, biografi, peraturan, kebijakan.
Dokumen yang berbentuk gambar, misalnya foto, gambar hidup, sketsa
dan lain-lain. Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan
metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif.
d. Informan Penelitian.
4. Analisis Data
9
(2012 : 339), reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan, pengabstraksian, dan transformasi data kasar
yang muncul dari catatan-catatan tertulis dilapangan.
Berdasar pada pengertian diatas maka, tahap reduksi yang peneliti lakukan
ialah peneliti merangkum, memilih data-data hasil observasi dan wawancara yang
pokok, dan memfokuskan pada hal-hal yang penting, data yang tidak perlu di
buang dan tidak dilanjutkan analisisnya.
c. Conclusion Drawing/Verification.
6
Engkus, dkk. Kualitas Pelayanan Perpustakaan Berbasis Radio Frequency Identification
10
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Definisi Korupsi
Kata korupsi berasal dari bahasa latin “corruptio” atau corruptus yang
bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Menurut para
ahli bahasa, corruptio berasal dari kata kerja corrumpere, suatu kata dari Bahasa
Latin yang lebih tua. Kata tersebut kemudian menurunkan istilah corruption,
corrups (Inggris), corruption (Perancis), corruptie/korruptie (Belanda) dan
korupsi (Indonesia).7
11
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara.
Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat, yang
memakai uang sebagai standar kebenaran dan sebagai kekuasaan mutlak. Sebagai
akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang
berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat
dihormati. Mereka ini juga menduduki status sosial yang tinggi.
12
Ketidakberhasilan mewujudkan perilaku sesuai dengan sikap, dapat
menimbulkan ketidakpuasan, tetapi juga mungkin tidak. Salah satu faktor
penentunya adalah norma subjektif orang yang bersangkutan. Apabila dia
memegang erat norma mengenai korupsi, kegagalannya untuk tidak melakukan
tindakan korupsi akan menimbulkan ketidakpuasan terhadap dirinya sendiri.
Namun apabila dia tidak memegang erat norma mengenai korupsi, mungkin ada
nilai-nilai lain yang lebih kuat, misalnya nilai ekonomi, maka dia tidak akan
mengalami kekecewaan terhadap dirinya sendiri.
Sesuai dengan teori tersebut, hal ini dapat diterapkan untuk menjelaskan
bagaimana terbentuknya perilaku yang direncanakan. Meski demikian teori ini
tidak dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku-perilaku lain yang bersifat
spontan. Berdasarkan gambaran tentang keterkaitan antara perilaku dengan
beberapa komponennya seperti dikemukakan di atas, maka menjadi lebih jelas
alasan sikap dan perilaku seseorang tidak selalu dapat seiring.
13
tertentu dan penilaian terhadap akibat yang mungkin timbul. Tiap-tiap faktor
ini dapat bervariasi antar indvidu dalam menentukan sikap terhadap perilaku
tertentu. Contoh dua orang yang sama-sama meyakini bahwa penyelundupan
BBM ke luar negeri dapat meningkatkan penghasilan. Yang satu menilai
bahwa hal ini beresiko tinggi merugikan negara dan dapat membuahkan
tuduhan subversif, sementara orang yang lainnya menilai bahwa hal itu sebagai
peluang emas yang tidak terlalu mengandung resiko.
Persepsi kontrol perilaku atau dapat disebut dengan kontrol perilaku adalah
persepsi individu mengenai mudah atau sulitnya mewujudkan suatu perilaku
tertentu (Ajzen, 2005).
14
segala sesuatu, apakah tergantung pada usahanya sendiri atau faktor lain di luar
dirinya (Rotter, 1975).9
1. Menyadari Diri.
9
https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-teori-perilaku-terencana-atau-theory-of-
planned-behavior/4897
15
kita agar sesuai dengan tujuan. Ini dapat dicapai melalui cara selalu berpikir
positif terhadap diri kita sendiri setelah kita berusaha mengenali diri kita sendiri.10
10
https://rukantokas.wordpress.com/2010/08/14/mewujudkan-perilaku-sesuai-dengan-
sikap/
16
c. Di dalam proses pengalaman ini peserta didik memperoleh inspirasi dan
termotivasi utk bebas berprakarsa, kreatif dan mandiri.
d. Pengalaman proses pembelajaran merupakan aktifitas mengingat,
menyimpan dan memproduksi informasi, gagasan-gagasan yang
memperkaya kemampuan dan karakter peserta didik.11
4. Tipologi Korupsi
Korupsi sudah mewabah dan terjadi di mana-mana, korupsi bukan hanya
soal penjabat publik yang menyalahgunakan jabatannya, tetapi juga soal orang,
setiap orang menyalahgunakan kedudukannya, dengan de,ikian akan memperoleh
uang dengan mudah, yang memang bertujuan untuk memperkaya dirinya sendiri
dan kroni-kroninya.
Korupsi dapat terjadi bila peluang dan keinginan dalam waktu yang
bersamaan. Korupsi dapat dimulai dari sebelah mana saja. Misalnya, suap yang
ditawarkan pada seorang penjabat atau seorang penjabat meminta (atau bahkan
memeras) uang pelicin. Orang yang menawarkan suap melakukannya karena ia
menginginkan sesuatu yang bukan haknya, dan ia menyuap penjabat bersangkutan
supaya penjabat itu mau mengabaikan peraturan, atau karena ia yakinpenjabat
bersangkutan tidak akan mau memberikan kepadanya apa yang sebenarnya yang
menjadi aknya tanpa imbalan uang.
1. Kelas bawah
KKN yang dilakukan secara kecil-kecilan, namun berdampak luas
karena menyangkut ujung tombak dari pelaksanaan birokrasi. KKN pada
tingkat ini dilakukan, pada dasarnya adalah untuk sekadar bertahan hidup,
baik bagi lembaga ujung tombak birokrasi itu sendiri maupun kehidupan
11
Harto, Kasinyo. Pendidikan Anti Korupsi. 2014. Vol. 20, No. 1.
17
awaknya. Hal ini dilakukan pda umumnya dengan mempersulit pelayanan
yang seharusnya dapat dipermudah. Berbagai penyebab dari meluasnya
KKN semacam ini, yang utama dan strategis adalah karena kecilnya gaji
dan krangnya sarana untuk dapat melakukan fungsinya secara wajar,
namun kemudian berubah menjadi semacam kenikmatan yang
kecederungannya harus dipertahankan oleh yang bersangkutan.
2. Kelas menengah
KKN yang dilakukan oleh pegawai negeri dan awak birokrasi
lainnya, dengan menggunakan kekuasaan atau kewenangan yang ada
padanya, karena kedudukannya yang strategis, walaupun tidak memegang
kunci kebijakan. KKN pada tingkat ini, tidak lagi sekadar bertahan hidup,
namun sudah untuk mempertahankan posisi dan menambah kekayaan. Hal
ini sudah berkaitan erat dengan dengan upaya link dengan penentu
kebijakan pemosisian sumber daya manusia pada tiap lembaga. Hal ini
terjadi mulai dari tahapan rekruitmen sampai dengan keputusan penetuan
jabatan (posisi, jenisnya, lamanya dan sebagainya).
3. Kelas atas
KKN yang dilakukan oleh para penentu kebijaksanaan, yang dalam
pelaksanaanya bekerja sama dengan para konglomerat atau para pelaku
bisnis multinasional, dengan cara-cara yang sukar untuk di-deteksi,
karena hasil-hasil KKN semacam ini, biasanya telah mengakomondasi
hukum dan perundang-undangan, di samping pergerakan finansial sebagai
hasil keuntungan KKN semacam ini, telah memanfaatkan rekening bank
internasional sebagai sarana mobilitas dana hasil KKN .
18
Bentuk-bentuk korupsi yang paling umum dikenal sebagaimana dikutip
oleh Jeremy Pope dari Gerald E. Caiden dalam Toward a General Theory of
Offical Corruption, Asian Journal of Public Administration, Vol. 10 No. 1 Tahun
1998, yakni sebagai berikut.
19
15. Menerima hadiah, uang jasa, uang pelicin, dan hiburan, perjalanan yang
tidak pada tempatnya
16. Berhubungan dengan organisasi kejahatan, operasi pasar gelap.
17. Perkoncoan, menutupi kejahatan.
18. Memata-matai secara tidak sah, menyalahgunakan telekomunikasi dan
pos.
19. Menyalahgunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan, dan hak
istimewa jabatan.
20
negara yang cepat rusak karena terlalu sering dipakai untuk keperluan
pribadi, ongkos perbaikan pembangunan pemerintah dengan biaya yang
sengaja dilebih-lebihkan, (over begroot), ongkos pemugaran rumah
pribadi, dan sebagainya.
1. Korupsi politis.
21
klientelisme, penyalahgunaan pemungutan suara, dan sebagainya. Arnold
A.Rogow dan Harold D.Lasswell menyebut para penjabat yang melakukan
korupsi politik sebagai game politician (politisi pendapatan). Latar
belakang psikologis yang mendorong korupsi politis adalah keinginan-
keinginan untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain, keinginan untuk
dituankan, dan dianggap sebagai pemimpin oleh sebanyak mungkin orang.
Maka deprivasi (perasaan kehilangan atau kekurangan) yang dialami oleh
penjabat-penjabat itu berkaitan dengan nilai-nilai perbedaan (different
values), yaitu perasaan bahwa dirinya berbeda dari orang lain, merasa diri
sendiri lebih pintar atau lebih besar dari orang-orang lain, sehingga pantas
untuk memperoleh pengakuan, penghormatan, dan kekuasaan yang besar
atas orang-orang tersebut.
2. Korupsi material.
Korupsi material kebanyakan berbentuk manipulasi, penyuapan,
penggelapan, dan sebagaina. Korupsi material lebih didorong oleh
keinginan untuk memperoleh kenyamanan hidup, kekayaan, dan
kemudahan dalam segala aspek. Jadi deprvasi yang dialami oleh penjabat-
penjabat yang melakukan korupsi material terutama menyangkut nilai-
nilai kesejahteraan (welfare values), sehingga korupsi yang dilakukannya
kebanyakan ditunjukan untuk memperoleh keuntungan material yang
sebanyak-banyaknya.12
12
Hafidz, Arsyad Jawade. 2013. Korupsi dalam Perspektif HAN (Hukum
Administrasi negara). Jakarta Timur. Sinar Grafika.hlm:21-26
22
E. SIMPULAN
Untuk mewujudkan niat atau intensi positif yang kuat, langkah awal yang
perlu dilakukan adalah menyadari diri, intensi perilaku anti korupsi, dan
Pembelajaran Berpusat Siswa (Student-Centered Learning).
23
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Hafidz, Arsyad Jawade. (2013). Korupsi dalam Perspektif HAN (Hukum
Administrasi negara). Jakarta Timur: Sinar Grafika.
Harto, Kasinyo. (2014). Pendidikan Anti Korupsi, Intizar, Vol. 20, No. 1
Kartono, kartini. (1999). Patologi Sosial. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Internet:
24