Anda di halaman 1dari 5

Teori Psikodinamika

Teori psikodinamika klasik menegenai depresi dari Freud (1917/1957) meyakini


bahwa depresi mewakili kemarahan yang diarahkan ke dalam diri sendiri dan bukan terhadap
orang-orang yang dikasihi. Rasa marah dapat diarahkan kepada self setelah mengalami
kehilangan yang sebenarnya atau ancaman kehilangan dari orang-orang yang dianggap
pentingini.
Freud mempercayai bahwa mourning (berduka) adalah proses yang sehat karena
dengan berduka seseorang akhirnya dapat melepaskan dirinya sendiri secara psikologis dari
seseorang yang hilang karena kematian, perpisahan, perceraian, atau alasan lainnya. Namun,
rasa duka yang patologis tidak mendukung perpisahan yang sehat. Malahan, hal ini akan
memupuk depresi yang tak berkesudahan. Rasa duka yang patologis cenderung terjadi pada
orang yang memiliki perasaan ambivalen yang kuat (suatu kombinasi dari perasaan positif
(cinta) dan negatif (marah, permusuhan)) terhadap orang yang telah pergi atau ditakutkan
kepergiannya. Freud menteorikan bahwa saat orang merasa kehilangan, atau bahkan takut
kehilangan, figure penting dari orang yang kepadanya mereka miliki perasaan ambivalen,
perasaan marah mereka terhadap orang tersebut berubah menjadi kemarahan yang ekstrem.
Namun, kemarahan yang ekstrem tersebut memicu rasa bersalah, yang justru mencegah
mereka untuk mengarahkan rasa marah secara langsung kepada orang yang telah pergi.
Untuk

mempertahankan

hubungan

psikologis

dengan

objek

yang

hilang,

mereka mengintrojeksikan, atau membawa ke dalam, suatu representasi mental dari objek itu.
Mereka kemudian menyatukan orang lain tersebut ke dalam self. Sekarang kemarahan terarah
ke dalam, berhadapan dengan bagian dari self yang mewakili representasi di dalam dari orang
yang hilang. Hal ini menimbulkan self-hatred, yang nantinya akan menimbulkan depresi.
Meskipun juga menekankan pentingnya kehilangan, model psikodinamika terbaru lebih
berfokus pada isu-isu yang berhubungan dengan perasaaan individual akan selfworth atau self-esteem. Suatu model, yang disebut model self-focusing, mempertimbangkan
bagaimana orang mengalokasikan proses atensi mereka setelah suatu kehilangan (kematian
orang yang dicintai, kegagalan personal, dll.). Menurut model ini, orang yang mudah terkena
depresi mengalami suatu periode self-examination (self-focusing) yang intens setelah
terjadinya suatu kehilangan atau kekecewaan yang besar. Mereka menjadi terpaku pada
pikiran-pikiran mengenai objek (orang yang dicintai) atau tujuan penting yang hilang dan
tetap tidak dapat merelakan harapan akan entah bagaimana cara mendapatkannya kembali

Teori perkembangan menurut Erick Erikson dan Sigmund


Freud
Erik Erikson (lahir di Frankfurt-am-Main, Jerman, 15 Juni 1902 meninggal di Harwich, Cape
Cod, Massachusetts, Amerika Serikat, 12 Mei 1994 pada umur 91 tahun) adalah seorang psikolog
Jerman yang terkenal dengan teori tentang delapan tahap perkembangan pada manusia.
Sebenarnya Erikson adalah seorang psikolog Freudian, namun teorinya lebih tertuju pada
masyarakat dan kebudayaan jika dibandingkan dengan para psikolog Freudian lainnya. Erikson
menjadi terkenal karena upayanya dalam mengembangkan teori tentang tahap perkembangan
manusia yang dirintis oleh Freud. Erikson menyatakan bahwa pertumbuhan manusia berjalan sesuai
prinsip epigenetik yang menyatakan bahwa kepribadian manusia berjalan menurut delapan tahap.
Berkembangnya manusia dari satu tahap ke tahap berikutnya ditentukan oleh keberhasilannya atau
ketidakberhasilannya dalam menempuh tahap sebelumnya. Pembagian tahap-tahap ini berdasarkan
periode tertentu dalam kehidupan manusia: bayi (0-1 tahun), balita (2-3 tahun), pra-sekolah (3-6
tahun), usia sekolah (7-12 tahun), remaja (12-18 tahun), pemuda (usia 20-an), separuh baya (akhir
20-an hingga 50-an), dan manula (usia 50-an dan seterusnya).
Siklus kehidupan menurut Erikson
1. Kepercayaan vs ketidak-percayaan, 0-1 tahun.
2. Otonomi vs rasa malu dan ragu ragu, 1-3 tahun.
3. Inisiatif vs rasa bersalah, 3-5 tahun.
4. Industri vs inferioritas, 6-11 tahun.
5. Identitas vs difusi, 12-18 tahun.
6. Keintiman vs absorpsi diri atau isolasi, 19-25 tahun.
7. Generativitas vs stagnasi, 25-45 tahun.
8. Integritas vs keputus asaan dan isolasi, 45-meninggal.
1. Masa bayi (infancy) ditandai adanya kecenderungan trust mistrust. Perilaku bayi didasari oleh
dorongan mempercayai atau tidak mempercayai orang-orang di sekitarnya. Dia sepenuhnya
mempercayai orang tuanya, tetapi orang yang dianggap asing dia tidak akan mempercayainya. Oleh
karena itu kadang-kadang bayi menangis bila di pangku oleh orang yang tidak dikenalnya. Ia bukan
saja tidak percaya kepada orang-orang yang asing tetapi juga kepada benda asing, tempat asing,
suara asing, perlakuan asing dan sebagainya. Kalau menghadapi situasi-situasi tersebut seringkali
bayi menangis.

2. Masa kanak-kanak awal (early childhood) ditandai adanya kecenderungan autonomy shame,
doubt. Pada masa ini sampai-batas-batas tertentu anak sudah bisa berdiri sendiri, dalam arti duduk,
berdiri, berjalan, bermain, minum dari botol sendiri tanpa ditolong oleh orang tuanya, tetapi di pihak
lain dia ga telah mulai memiliki rasa malu dan keraguan dalam berbuat, sehingga seringkali minta
pertolongan atau persetujuan dari orang tuanya.
3. Masa pra sekolah (Preschool Age) ditandai adanya kecenderungan initiative guilty. Pada masa ini
anak telah memiliki beberapa kecakapan, dengan kecakapan-kecakapan tersebut dia terdorong
melakukan beberapa kegiatan, tetapi karena kemampuan anak tersebut masih terbatas adakalanya
dia mengalami kegagalan. Kegagalan-kegagalan tersebut menyebabkan dia memiliki perasaan
bersalah, dan untuk sementara waktu dia tidak mau berinisatif atau berbuat.
4. Masa Sekolah (School Age) ditandai adanya kecenderungan industryinferiority. Sebagai
kelanjutan dari perkembangan tahap sebelumnya, pada masa ini anak sangat aktif mempelajari apa
saja yang ada di lingkungannya. Dorongan untuk mengatahui dan berbuat terhadap lingkungannya
sangat besar, tetapi di pihak lain karena keterbatasan-keterbatasan kemampuan dan
pengetahuannya kadang-kadang dia menghadapi kesukaran, hambatan bahkan kegagalan.
Hambatan dan kegagalan ini dapat menyebabkan anak merasa rendah diri.
5. Masa Remaja (adolescence) ditandai adanya kecenderungan identity Identity Confusion. Sebagai
persiapan ke arah kedewasaan didukung pula oleh kemampuan dan kecakapankecakapan yang
dimilikinya dia berusaha untuk membentuk dan memperlihatkan identitas diri, ciri-ciri yang khas dari
dirinya. Dorongan membentuk dan memperlihatkan identitas diri ini, pada para remaja sering sekali
sangat ekstrim dan berlebihan, sehingga tidak jarang dipandang oleh lingkungannya sebagai
penyimpangan atau kenakalan. Dorongan pembentukan identitas diri yang kuat di satu pihak, sering
diimbangi oleh rasa setia kawan dan toleransi yang besar terhadap kelompok sebayanya. Di antara
kelompok sebaya mereka mengadakan pembagian peran, dan seringkali mereka sangat patuh
terhadap peran yang diberikan kepada masing-masing anggota.
6. Masa Dewasa Awal (Young adulthood) ditandai adanya kecenderungan intimacy isolation. Kalau
pada masa sebelumnya, individu memiliki ikatan yang kuat dengan kelompok sebaya, namun pada
masa ini ikatan kelompok sudah mulai longgar. Mereka sudah mulai selektif, dia membina hubungan
yang intim hanya dengan orang-orang tertentu yang sepaham. Jadi pada tahap ini timbul dorongan
untuk membentuk hubungan yang intim dengan orang-orang tertentu, dan kurang akrab atau
renggang dengan yang lainnya.
7. Masa Dewasa (Adulthood) ditandai adanya kecenderungan generativity stagnation. Sesuai
dengan namanya masa dewasa, pada tahap ini individu telah mencapai puncak dari perkembangan
segala kemampuannya. Pengetahuannya cukup luas, kecakapannya cukup banyak, sehingga

perkembangan individu sangat pesat. Meskipun pengetahuan dan kecakapan individu sangat luas,
tetapi dia tidak mungkin dapat menguasai segala macam ilmu dan kecakapan, sehingga tetap
pengetahuan dan kecakapannya terbatas. Untuk mengerjakan atau mencapai hal hal tertentu ia
mengalami hambatan.
8. Masa hari tua (Senescence) ditandai adanya kecenderungan ego integrity despair. Pada masa ini
individu telah memiliki kesatuan atau intregitas pribadi, semua yang telah dikaji dan didalaminya telah
menjadi milik pribadinya. Pribadi yang telah mapan di satu pihak digoyahkan oleh usianya yang
mendekati akhir. Mungkin ia masih memiliki beberapa keinginan atau tujuan yang akan dicapainya
tetapi karena faktor usia, hal itu sedikit sekali kemungkinan untuk dapat dicapai. Dalam situasi ini
individu merasa putus asa. Dorongan untuk terus berprestasi masih ada, tetapi pengikisan
kemampuan karena usia seringkali mematahkan dorongan tersebut, sehingga keputusasaan acapkali
menghantuinya.

Tahap perkembangan kepribadian menurut freud


a. Tahap Oral
Tahapan ini berlangsung selama 18 bulan pertama kehidupan.
Mulut merupakan sumber kenikmatan utama. Dua macam aktivitas oral di sini, yaitu menggigit dan
menelan makanan, merupakan prototype bagi banyak ciri karakter yang berkembang di kemudian
hari. Kenikmatan yang diperoleh dari inkorporasi oral dapat dipindahkan ke bentuk-bentuk inkorporasi
lain, seperti kenikmatan setelah memperoleh pengetahuan dan harta. Misalnya, orang yang senang
ditipu adalah orang yang mengalami fiksasi pada taraf kepribadian inkorporatif oral. Orang seperti itu
akan mudah menelan apa saja yang dikatakan orang lain.
b. Tahap Anal
Tahapan ini berlangsung antara usia 1 dan 3 tahun. Kenikmatan akan dialami anak dalam fungsi
pembuangan, misalnya menahan dan bermain-main dengan feces, atau juga senang bermain-main
dengan lumpur dan kesenangan melukis dengan jari.
c. Tahap Phallic
Tahapan ini berlangsung antara usia 3 dan 6 tahun. Tahap ini sesuai dengan nama genital laki-laki
(phalus), sehingga meupakan daerah kenikmatan seksual laki-laki. Sebaliknya pada anak wanita
merasakan kekurangan akan penis karena hanya mempunyai klitoris, sehingga terjadi penyimpangan
jalan antara anak wanita dan laki-laki. Lebih lanjut, pada tahap ini anak akan mengalami Oedipus
complex, yaitu keinginan yang mendalam untuk menggantikan orang tua yang sama jenis kelamin
dengannya dan menikmati afeksi dari orang tua yang berbeda jenis kelamin dnegannya. Misalnya
anak laki-laki akan mengalami konflik oedipus, ia mempunyai keinginan untuk bermain-main dengan
penisnya. Dengan penis tersebut ia juga ingin merasakan kenikmatan pada ibunya.

d. Tahap Latency
Tahapan ini berlangsung antara kira-kira usia 6 tahun dan masa pubertas. Merupakan tahap yang
paling baik dalam perkembangan kecerdasan (masa sekolah), dan dalam tahap ini seksualitas
seakan-akan mengendap, tidak lagi aktif dan menjadi laten.
e. Tahap Genital
Tahapan ini berlangsung antara kira-kira dari masa pubertas dan seterusnya. Bersamaan dengan
pertumbuhannya, alat-alat genital menjadi sumber kenikmatan dalam tahap ini, sedangkan
kecenderungan-kecenderungan lain akan ditekan

Anda mungkin juga menyukai