Anda di halaman 1dari 16

EGOISME

Gagasan bahwa kehidupan terbaik adalah kehidupan dimana seseorang berhasil mendapatkan apa yang
diinginkannya sering disebut dengan egoism.

Buku Gordon Graham mendeskripsikan tentang Etika pada kehidupan manusia yang sangat komplek,
dimana untuk menemukan kehidupan yang baik ada beberapa tahap yang perlu dilakukan diantaranya
etika egoism, hedonism, naturalism, eksistensialisme, kuantianisme, utilitarisme, kontraktualisme, etika
agama dan makna kehidupan.

1. EGOISME

Nilai Instrumental dan Instrinsik

Nilai Instumental dapat diartikan sebagai suatu hal yang berharga hanya jika dapat ditukarkan
untuk mendapatkan sesuatu yang lain. Seperti halnya uang, jika kita memiliki banyak uang
namun ketika kita berada disuatu gurun namun kita tidak dapat membeli nya karena tidak ada
tempat untuk membeli makan dan minuman. Oleh karena itu uang dikatakan memiliki nilai
instrumental namun tidak instristik. Uang dianggap berharga karena membuat kita mendapatkan
apa yang kita inginkan, dengan kata lain, menjadi kaya adalah sesuatu yang baik karena hal ini
dapat membuat kita mendapatkan semua yang diinginkan.

Egoism, Sujectivism and Selfishness

Teori Etika Egoisme, dalam teori ini menjelaskan gagasan yang menyatakan bahwa kehidupan
terbaik adalah kehidupan dimana ia bisa mendapatkan apa yang diinginkan, biasanya disebut
sebagai egoism (dari Bahasa Latin “ego” yang berarti “aku”). Ini adalah gagasan yang setua
sejarah filsafat itu sendiri, dan telah disebutkan dalam beberapa bagian dalam dialog Plato. Meski
dialog-dialog tersebut tidak mengatakan demikian, penting untuk membedakan antara klaim yang
menyatakan bahwa pada dasarnya nilai adalah subyektif dan klaim yang menyatakan bahwa hal
yang membuat sesuatu bernilai bagi ia adalah hal yang ia inginkan.

Subyektifisme dan egoisme seringkali dihubung-hubungkan, Pada dasarnya ini adalah dua hal
yang sangat berbeda. Kaum subyektifis menganggap bahwa moral berakar dalam perasaan bukan
fakta, perasaan manusia pada umumnya, bukan perasaanku atau perasaanmu saja. Sebaliknya
egoisme meyakini bahwa apapun yang dipikirkan atau dirasakan orang, aku akan menerima saran
dan ajuan, mencari sesuatu dan melakukan tindakan, hanya sepanjang aku menginginkan hal
tersebut.

Perbedaan penting lainnya adalah egoism dan selfishness. Perbedaan antara egoism dan
selfishness terkadang sulit untuk dilihat, hal ini karena kata ‘selfishness’ dapat digunakan pada
beberapa cara. Orang yang selfish adalah orang yang selalu ingin mendapatkan yang terbaik
untuk dirinya daripada orang lain. Namun, egoism diartikan dengan saya mengerjakan sesuatu
karena saya memilki alasan untuk itu. Perbedaan antara selfishness dan egoism dibuat secara jelas
pada kisah filsuf Thomas Hobbes. Kesimpulan yang dapat diambil dari kisah tersebut adalah
orang yang selfish adalah seseorang yang tidak tergerak oleh penderitaan orang lain yang tidak
disebabkan oleh kesusahan orang lain. Seorang yang egois adalah orang yang bersikukuh untuk
melakukan suatu hal (dalam gambaran kisah Hobbes adalah memberikan uang kepada pengemis)
karena dia harus memuaskan ego nya karena merasa tidak nyaman melihat hal tsb, bukan karena
faktor dari orang tersebut (miskin).
Psychological Egoism

Egoisme psikologis mengklaim bahwa orang hanya melakukan apa yang ingin mereka lakukan,
dan bahwa di balik setiap tindakan pasti ada keinginan untuk melakukannya pada bagian dari
orang yang melakukan tindakan itu. Pada awalnya ini tampaknya bertentangan dengan
pengalaman kita sendiri dan dalam kehidupan orang lain di mana motif lain selain itu keinginan
dapat dipanggil untuk menjelaskan tindakan.

Rational Egoism

Apapun yang benar mengenai manusia saat kita menemukan hal tersebut, seharusnya kita
mempertimbangkan pemenuhan keinginan pribadi sebagain inti dari sebuah kehidupan yang baik.
Hal ini karena alas an yang baik untuk melakukan suatu hal hanyalah jika kita ingin
melakukannya. Dengan kata lain, ini berkaitan denga napa yang harus kita lakukan dan mengapa
kita melakukannya. Orang yang egois secara rasional akan menyarankan bahwa ‘saya harus
selalu melakukan apa yang saya inginkan. Sejak ex hypothesi (dengan sifat kasusnya) Saya sudah
ingin melakukannya, tidak ada ruang logika, untuk berbicara, untuk menanyakan apa alasan Saya
harus melakukan itu.”

Namun, walaupun egoism rasional dapat menikmati keuntungan ini, terdapat juga kelemahan dari
hal tersebut, yaitu meskipun tidak penting, hal tersebut adalah sesuatu yang memuakkan bagi
kebanyakan pikiran

2. HEDONISME

Hedonisme merupakan keyakinan bahwa tujuan hidup adalah untuk menikmati hidup dan bahwa
kehidupan yang terbaik adalah kehidupan yang paling menyenangkan. Menuerut Cyrenaics
kesenangan adalah satu-satunya kebaikan alami yang ada, Artinya hanya kesenangan saja, secara
universal yang diakui oleh semua manusia sebagai hal yang diinginkan, sebaliknya rasa sakit
merupakan kejahatan alami dan diakui dunia sebagai sesuat hal yang tidak diinginkan.
Kesenangan dan rasa sakit berbeda dari hal kehormatan dan aib, terdapat dua aspek perbedaan,
pertama, kehormatan dan aib tidak secar mutlak diangap sesuatu yang baik dan sesuatu yang
buruk. Dalam beberapa budaya, orang memiliki rasa kehormatan yang sangat kuat dan
menganggap apapun yang dapat mencemarkan nama keluarga mereka merupakan sesuatu hal
yang sangat buruk/ mengerikan, sedangkan pada budaya lain mungkin tidak dianggap seperti itu.
Kedua hal- hal yang terhormat dan hal memalukan merupakan permasalahan yang berbeda dari
satu budaya ke budaya lain, sedangkan hal yang menyebakan rasa sakit dianggap sama
dimanapun. Ain pada suatu konteks bisa jadi merupakan bukan sebuah aib pada konteks lainnya.
Contohnya, di sebagian masayarakat wanita hamil diluar nikah merupakan suau hal yang
mengerikan tapi pada social masyarak lain memilik pertumbuhan kankerlah yang menjadi hal
yang mengerikan untuk dimiliki. Salah satu efeknya adalah, tidak seperti suatu kesenangan dan
kesakitan,cita-cita/ tujuan yang didasarkan pada mengejar kehormatan dan menghindari aib
sering terbantahkan dan bersaing tentang seperti apa hidup yang sebenarnya.
Epiceruan
Versi hedonisme bahwa hidup itu harus dipenuhi dengan kesenangan yang hanya dapat diisi
dengan kesenangan-kesenangan yang umumnya tidak disertai rasa sakit, yaitu kesenangan yang
relatif sederhana. Epikuros menunjukkan bahwa manusia mesti bersikap bijaksana terhadap
kesenangan pada dasarnya manusia hanya memerlukan dua hal untuk hidup bahagia, yakni
kebebasan dari perasaan sakit badani dan perasaan takut dan resah.Hedonisme Epikuros tidak
mengejar maksimalisasi tetapi kenikmatan (secukupnya). Hedonisme bukan seorang yang
serakah tetapi pemilihan dengan bijaksana. Kebebasan dari gangguan adalah tujuan hidup yang
membahagiakan.

3. EKSISTENSIALISME

Kierkegaard dan Asalnya Eksistensialisme

Kierkegaard adalah orang yang sangat ingin tahu dan penulis yang produktif, dia dikenal sebagai
pemikir religious daripada seorang filsuf. Ia bereaksi keras terhadap banyak aspek dari gereja
Lutheran Denmark pada zamaannya dan terhadap filsafat yang dominan di Eropa Utara yaitu
filsafat professor GWF Hegel. Keberatan Kierkegaard terhadap keduanya karena dengan cara
yang berbeda mereka mencoba membuat tuntutan Kekristenan masuk akal.

Dalam tulisan-tulisannya, terutama di Concluding Unscientific Postscript, tiga diantaranya


membentuk dasar dari sudut pandang eksistensialis. Pertama, pertanyaan paling mendasar yang
dihadapi manusia pada dasarnya bersifat praktis karena pertanyaan ‘Bagaimana saya akan
menghabiskan hidup saya’. Pemikiran spekulatif adalah objektif, dan secara objektif tidak ada
kebenaran untuk individu yang ada, tetapi hanya pemikiran, karena dengan eksis ia dicegah untuk
sepenuhnya menjadi objektif. Kedua, tidak hanya sia-sia tetapi juga menyesatkan untuk
membuktikan kebenaran objektif dari keyakinan yang diharapkan yang dijalani pria dan wanita.
Maksudnya adalah bahwa agama atau filosofi apa pun yang kita jalani harus benar-benar ada
dalam kehidupan. Ketiga, meskipun dari sudut pandang objektivitas kritis ‘kebenaran yang
membangun’ akan selalu tampak tidak masuk akal.

Kebebasan Satre dan Radikal

Satre menggunakan ungkapan eksistensi mendahului esensi. Ini adalah kesamaan pemikiran oleh
semua eksistensialis, Kristen dan non-Kristen. Artinya dalam menjawab pertanyaan mendasar
tentang keberadaan – Bagaimana saya harus hidup? – kita harus menolak segala daya tarik
terhadap gagasan tentang sifat atau esensi manusia, yaitu permohonan apa pun terhadap konsepsi
'manusia' yang akan ditemukan dalam setiap individu dan di mana setiap individu adalah
contohnya. Sebagian alasan untuk menolak konsepsi ini adalah keyakinan bahwa manusia tidak
memiliki karakter esensial yang telah ditentukan sebelumnya. Seperti yang dikatakan Sartre,
'Manusia tidak lain adalah apa yang dia buat dari dirinya sendiri'.

Satre berpendapat bahwa jika sebuah suara berbicara kepada saya, saya sendirilah yang harus
memutuskan apakah suara itu adalah suara malaikat atau bukan. Jika saya menganggap tindakan
tertentu sebagai baik, hanya saya yang memilih untuk mengatakan bahwa itu baik dan tidak
buruk. Dengan cara inilah jawaban atas pertanyaan 'Bagaimana saya akan hidup?' adalah
eksistensial yang tak terhindarkan. Dalam pengertian inilah manusia secara radikal bebas. Selain
itu, ada sisi lain dari kebebasan ini. Karena tidak ada yang menentukan jawabannya kecuali diri
kita sendiri, kita sendiri yang bertanggung jawab atas keputusan yang kita buat.

Menurut Sartre, ada dua mode keberadaan, Being-in-itself dan Being-for-itself. Apa terminologi
yang agak kabur ini dimaksudkan untuk menangkap kontras antara hal-hal, seperti batu dan
pohon, yang adildi sana dan tidak memiliki kesadaran atau nilai untuk diri mereka sendiri (Being-
in-itself) dan hal-hal, terutama manusia, yang sadar akan diri mereka sendiri dan yang kesadaran
akan keberadaan mereka sendiri adalah pusat (Being-for-itself). Kontrasnya berkaitan dengan
poin tentang masa lalu dan masa depan yang juga dibuat oleh Kierkegaard. Tindakan, dan
memikirkannya, berkaitan dengan masa depan. Sedangkan masa lalu dibuat dan tidak dapat
diubah, ciri pembeda dari masa depan adalah bahwa hal itu belum dibuat. Saat ini tidak ada apa-
apa, untuk dimodelkan seperti yang kita inginkan.

Kesembuhan dan Iman Buruk

Sartre membedakan tiga cara karakteristik dimana hal ini dilakukan dalam merespons
penderitaan. Pertama adalah yang paling tidak menarik, yang merupakan tanggapan dari mereka
yang berpikir bahwa dihadapkan dengan tindakan dan cara hidup alternatif bias saja gagal
memilihnya. Kedua, adalah cara berpikiran serius. Orang ini adalah yang seringkali religus tetapi
tidak harus demikian. Ketiga, untuk melarikan diri dari penderitaan adalah itikad buruk, yang
merupakan konsep eksistensialisme mpdern yang paling terkenal dengan ide dihadapkan dengan
realitas mengerikan dari kondisi manusia (absurditas dan tanggung jawabnya), individu mungkin
mencari pelarian dengan mengatur hidup mereka menurut beberapa peran sosial yang telah
ditentukan sebelumnya.

Ada empat kesulitan utama yang dihadapi oleh filsafat nilai eksistensialis. Pertama kita mungkin
bertanya apakah keberadaan manusia itu absurd dengan cara yang memberikan alasan untuk
penderitaan. Kedua, apakah selalu, atau bahkan biasanya lebih baik untuk bertindak dengan itikad
baik? Ketiga, dalam arti apa, jika ada, apakah benar bahwa individu manusia adalah pencipta
nilai? Dan keempat, apakah kita benar-benar bebas secara radikal? Yang terbaik adalah
mempertimbangkan masing-masing pertanyaan ini secara bergantian.

Absurditas Keberadaan

Sartre berpendapat bahwa keberadaan manusia tidak masuk akal. Yang mereka maksud dengan
ini adalah bahwa tidak ada penjelasan tentang keberadaan manusia secara umum atau individu
secara khusus yang akan menunjukkan bahwa keberadaan itu perlu.

Semua keberadaan adalah masalah fakta yang kasar dan tidak pasti,. Hal ini dianut para filsuf
yang disebut dengan metafisika rasionalis, mereka berfikir bahwa pasti ada alasan untuk segala
sesuatu menjadi sperti itu. Keyakinan bahwa segala sesuatu memiliki penjelasan ini sering
disebut prinsip alasan yang cukup. Bertentangan dengan metafisika rasionalis adalah para filsuf
umumnya disebut empiris. Di antaranya, John Locke (1632-1704) dan David Hume (1711-1776)
adalah yang paling terkenal. Mereka menganggap ambisi untuk memberikan alasan yang cukup
untuk segala sesuatu sebagai kesalahan besar. Kaum empiris terkesan dengan hasil eksperimen
sains, saat itu masih dalam masa pertumbuhan. Mereka melihat bahwa penjelasan fakta alam
dapat diperoleh dengan penyelidikan eksperimental ke dalam fakta empiris (karenanya disebut
empiris). Akan tetapi, menjelaskan dengan cara ini berarti tidak lebih dari menarik kemungkinan
yang dapat dibuktikan – bagaimana keadaannya adalah, bukan bagaimana mereka harus menjadi.
Bagi kaum empiris, kesalahan kaum rasionalis terletak pada anggapan bahwa masalah fakta
ilmiah dapat dijelaskan dengan cara yang sama seperti proposisi logika atau matematika. Teori-
teori logis dan matematis dapat ditunjukkan dengan penalaran abstrak untuk dipegang oleh
kebutuhan. Teori-teori ilmiah hanya dapat ditunjukkan oleh penalaran eksperimental untuk
dipegang sebagai masalah kontingen, yaitu fakta yang tidak perlu.

Bertindak dengan Iman Baik

Implikasi utama dari eksistensialisme sehubungan dengan perilaku manusia adalah ini: apa yang
Anda pilih untuk dilakukan, bagaimana Anda memilih untuk menghabiskan hidup Anda, tidak
sepenting cara Anda memilihnya. Apapun pilihannya, setidaknya itu berharga sejauh dibuat
dengan itikad baik. Ini berarti ia dibuat sebagai pengakuan penuh atas kebebasan dan tanggung
jawab yang melekat pada semua pilihan manusia. Motif dan niat suatu tindakan dan semangat
yang diungkapkan di dalamnya dapat menjadi faktor penting dalam evaluasi tindakan. Ini berarti
bahwa setiap pilihan dapat dibuat dengan itikad baik.

Penciptaan Nilai

Garis pemikiran yang lebih radikal dan yang telah ditarik oleh beberapa penulis eksistensialis
menunjukkan bahwa, setidaknya dalam berbagai kasus, kita tidak dapat menarik kontras antara
nilai subjektif dan objektif, karena ada hanya nilai subjektif.

Sesuatu dapat bernilai atau tidak adalah masalah yang relatif terhadap beberapa konteks. Ini
berarti bahwa pertanyaan tentang nilai kemanusiaan tidak dapat diajukan secara abstrak. Dihargai
bebas dari beberapa konteks tertentu, mereka sama sekali tidak masuk akal, dan jika demikian,
karena konteks pertanyaan tentang nilai yang relatif adalah masalah manusia, maka ada
pengertian di mana manusia adalah pencipta nilai.

Kebebasan Radikal

Inti dari eksistensialisme adalah doktrin kebebasan radikal. Pembicaraan tentang 'kebebasan'
selalu membutuhkan beberapa kualifikasi. Menjadi bebas adalah menjadi bebas sehubungan
dengan sesuatu logika atau hukum. Kebebasan radikal yang dibicarakan oleh eksistensialisme
adalah kebebasan logis belaka. Dalam batas-batas kemungkinan logis ada banyak cara lain di
mana kebebasan bertindak dapat dibatasi. Tapi lebih dari ini. Kendala tambahan ini tidak untuk
ditolak tetapi menyambut, karena kebebasan yang seharusnya kita inginkan bukanlah
kemungkinan pilihan yang tidak dibatasi tetapi rasional kebebasan.

Eksistensialis berpendapat bahwa kita secara radikal bebas sehubungan dengan pilihan nilai dan
gaya hidup kita. Dalam arti yang mendalam kitamendefinisikan diri kita sendiri dan apa yang kita
perjuangkan. Salah satu konsekuensi dari kebebasan radikal ini adalah bahwa individu harus
menerima tanggung jawab penuh atas apa yang mereka lakukan dan percayai.

Pertanyaan:

1. Yang mengemukakan bahwa aliran eksistensialisme adalah manusia yang mempunyai


keinginan untuk berkuasa (will to power) merupakan sebuah konsep yang dikemukakan
oleh…

a. Martin Heidegger

b. Friedric Nietzsche
c. Jean Paul Satre

d. Karl Jaspers

Alasan : Berdasarkan literature, Nietzsche memulai pemikiran ulangnya dengan menanyakan


apa yang menggerakkan orang, dan jawabannya adalah 'keinginan untuk berkuasa'. Yang
dimaksud dengan 'keinginan untuk berkuasa' Nietzsche adalah keinginan untuk menang
dalam situasi perjuangan yang merupakan bagian esensial dari kondisi manusia. Keinginan
untuk berkuasa lebih dari sekadar keinginan untuk hidup; itu adalah keinginan untuk
mendominasi dan mengatasi tantangan persaingan eksistensi.

2. Subyektifisme dan egoisme seringkali dihubung-hubungkan, namun secara filosofis adalah


dua posisi yang berbeda. Mana dari pernyataan berikut yang merupakan perbedaan antara
keduanya…

a. Kaum subyektifis menganggap bahwa moral berakar dalam perasaan bukan fakta
dan perasaan manusia pada umumnya, bukan perasaanku atau perasaanmu saja.
Sedangkan egoisme meyakini bahwa apapun yang dipikirkan atau dirasakan orang,
aku akan menerima saran dan ajuan, mencari sesuatu dan melakukan tindakan,
hanya sepanjang aku menginginkan hal tersebut

b. Kaum subyektifis menganggap bahwa moral berakar dalam fikiran bukan fakta fikiran
manusia pada umumnya. Sedangkan egoisme meyakini bahwa apapun yang dipikirkan
atau dirasakan orang, aku akan menerima saran dan ajuan, mencari sesuatu dan
melakukan tindakan, hanya sepanjang aku menginginkan hal tersebut

c. Kaum subyektifis menganggap bahwa moral berasal dari fikiran seorang semata.
Sedangkan egoisme meyakini bahwa orang hanya melakukan apa yang ingin mereka
lakukan

d. Kaum subyektifis menganggap bahwa moral berakar dalam perasaan bukan fakta dan
perasaan manusia pada umumnya, bukan perasaanku atau perasaanmu saja. Sedangkan
egoisme meyakini bahwa orang hanya melakukan apa yang ingin mereka lakukan

Alasan : Subjektivisme dan egoisme pada kenyataannya adalah dua posisi yang sangat
berbeda. Sementara subjektivis berpendapat bahwa bahasa moral dan evaluatif harus berakar
pada perasaan daripada fakta, perasaan yang dimaksud bisa jadi perasaan manusia secara
umum, bukan milik Anda atau milik saya secara khusus. Sebaliknya,Saya memiliki alasan
untuk menerima nasihat dan resep, mencari sesuatu dan melakukan tindakan, hanya sejauh
yang saya mau. Jika saya tidak mau, fakta bahwa mereka secara objektif 'berharga' tidak
memberi saya alasan untuk melakukannya.

3. Menurut konsepsi Aristoteles tentang kehidupan yang baik bagi manusia adalah…
a. Manusia menggunakan pikiran untuk membuat, bertindak dan berpikir dengan
cara yang sebaik mungkin

b. Manusia menggunakan perasaan untuk membuat, bertindak dan berpikir dengan cara
yang baik

c. Manusia menggunakan kekuatan untuk membuat, bertindak dan berorientasi dengan cara
yang baik

d. Manusia menggunakan pikiran untuk bermoral, bertindak dan berpikir dengan cara yang
sebaik mungkin

Alasan: konsepsi Aristoteles tentang kehidupan yang baik adalah dimana kita menggunakan
pikiran kita untuk membuat, dan bertindak, dan berpikir, dengan cara yang sebaik mungkin.

4. Kehidupan yang baik bagi manusia menurut Etika Nichomachean yaitu...

a. Aktifitas jiwa yg sesuai dengan hati nurani

b. Aktifitas jiwa yg sesuai dengan ke rasionalan

c. Aktifitas jiwa yg sesuai dengan keunggulan

d. Aktifitas jiwa yg sesuai dengan kebajikan

Alasan: Berdasarkan literature, dalam Etika Nichomachean kehidupan yang baik bagi
manusia adalah aktivitas jiwa yang sesuai dengan kebijakan.
Gagasan bahwa kehidupan terbaik adalah kehidupan dimana seseorang berhasil mendapatkan
apa yang diinginkannya sering disebut dengan egoism. 
Buku Gordon Graham mendeskripsikan tentang Etika pada kehidupan manusia yang sangat
komplek, dimana untuk menemukan kehidupan yang baik ada beberapa tahap yang perlu
dilakukan diantaranya etika egoism, hedonism, naturalism, eksistensialisme, kuantianisme,
utilitarisme, kontraktualisme, etika agama dan makna kehidupan. 
BAB 2. EGOISME
Nilai Instrumental dan Instrinsik
Nilai Instumental dapat diartikan sebagai suatu hal yang berharga hanya jika dapat ditukarkan
untuk mendapatkan sesuatu yang lain. Seperti halnya uang, jika kita memiliki banyak uang
namun ketika kita berada disuatu gurun namun kita tidak dapat membeli nya karena tidak ada
tempat untuk membeli makan dan minuman. Oleh karena itu uang dikatakan memiliki nilai
instrumental namun tidak instristik. Uang dianggap berharga karena membuat kita
mendapatkan apa yang kita inginkan, dengan kata lain, menjadi kaya adalah sesuatu yang baik
karena hal ini dapat membuat kita mendapatkan semua yang diinginkan.
Egoism, Sujectivism and Selfishness
Teori Etika Egoisme, dalam teori ini menjelaskan gagasan yang menyatakan bahwa kehidupan
terbaik adalah kehidupan dimana ia bisa mendapatkan apa yang diinginkan, biasanya disebut
sebagai egoism (dari Bahasa Latin "ego” yang berarti "aku”). Ini adalah gagasan yang setua
sejarah filsafat itu sendiri, dan telah disebutkan dalam beberapa bagian dalam dialog Plato.
Meski dialog-dialog tersebut tidak mengatakan demikian, penting untuk membedakan antara
klaim yang menyatakan bahwa pada dasarnya nilai adalah subyektif dan klaim yang
menyatakan bahwa hal yang membuat sesuatu bernilai bagi ia adalah hal yang ia inginkan. 
Subyektifisme dan egoisme seringkali dihubung-hubungkan, Pada dasarnya ini adalah dua hal
yang sangat berbeda. Kaum subyektifis menganggap bahwa moral berakar dalam perasaan
bukan fakta, perasaan manusia pada umumnya, bukan perasaanku atau perasaanmu saja.
Sebaliknya egoisme meyakini bahwa apapun yang dipikirkan atau dirasakan orang, aku akan
menerima saran dan ajuan, mencari sesuatu dan melakukan tindakan, hanya sepanjang aku
menginginkan hal tersebut.
Perbedaan penting lainnya adalah egoism dan selfishness. Perbedaan antara egoism dan
selfishness terkadang sulit untuk dilihat, hal ini karena kata 'selfishness' dapat digunakan pada
beberapa cara. Orang yang selfish adalah orang yang selalu ingin mendapatkan yang terbaik
untuk dirinya daripada orang lain. Namun, egoism diartikan dengan saya mengerjakan sesuatu
karena saya memilki alasan untuk itu. Perbedaan antara selfishness dan egoism dibuat secara
jelas pada kisah filsuf Thomas Hobbes. Kesimpulan yang dapat diambil dari kisah tersebut
adalah orang yang selfish adalah seseorang yang tidak tergerak oleh penderitaan orang lain
yang tidak disebabkan oleh kesusahan orang lain. Seorang yang egois adalah orang yang
bersikukuh untuk melakukan suatu hal (dalam gambaran kisah Hobbes adalah memberikan
uang kepada pengemis) karena dia harus memuaskan ego nya karena merasa tidak nyaman
melihat hal tsb, bukan karena faktor dari orang tersebut (miskin). 
Psychological Egoism
Egoisme psikologis mengklaim bahwa orang hanya melakukan apa yang ingin mereka lakukan,
dan bahwa di balik setiap tindakan pasti ada keinginan untuk melakukannya pada bagian dari
orang yang melakukan tindakan itu. Pada awalnya ini tampaknya bertentangan dengan
pengalaman kita sendiri dan dalam kehidupan orang lain di mana motif lain selain itu keinginan
dapat dipanggil untuk menjelaskan tindakan.
Rational Egoism
Apapun yang benar mengenai manusia saat kita menemukan hal tersebut, seharusnya kita
mempertimbangkan pemenuhan keinginan pribadi sebagain inti dari sebuah kehidupan yang
baik. Hal ini karena alas an yang baik untuk melakukan suatu hal hanyalah jika kita ingin
melakukannya. Dengan kata lain, ini berkaitan denga napa yang harus kita lakukan dan
mengapa kita melakukannya. Orang yang egois secara rasional akan menyarankan bahwa
'saya harus selalu melakukan apa yang saya inginkan. Sejak ex hypothesi (dengan sifat
kasusnya) Saya sudah ingin melakukannya, tidak ada ruang logika, untuk berbicara, untuk
menanyakan apa alasan Saya harus melakukan itu.” 
Namun, walaupun egoism rasional dapat menikmati keuntungan ini, terdapat juga kelemahan
dari hal tersebut, yaitu meskipun tidak penting, hal tersebut adalah sesuatu yang memuakkan
bagi kebanyakan pikiran.

BAB 3. HEDONISME
Hedonisme merupakan keyakinan bahwa tujuan hidup adalah untuk menikmati hidup dan
bahwa kehidupan yang terbaik adalah kehidupan yang paling menyenangkan. Menuerut
Cyrenaics kesenangan adalah satu-satunya kebaikan alami yang ada, Artinya hanya
kesenangan saja, secara universal yang diakui oleh semua manusia sebagai hal yang
diinginkan, sebaliknya rasa sakit merupakan kejahatan alami dan diakui dunia sebagai sesuat
hal yang tidak diinginkan. Kesenangan dan rasa sakit berbeda dari hal kehormatan dan aib,
terdapat dua aspek perbedaan, pertama, kehormatan dan aib tidak secar mutlak diangap
sesuatu yang baik dan sesuatu yang buruk. Dalam beberapa budaya, orang memiliki rasa
kehormatan yang sangat kuat dan menganggap apapun yang dapat mencemarkan nama
keluarga mereka merupakan sesuatu hal yang sangat buruk/ mengerikan, sedangkan pada
budaya lain mungkin tidak dianggap seperti itu. Kedua hal- hal yang terhormat dan hal
memalukan merupakan permasalahan yang berbeda dari satu budaya ke budaya lain,
sedangkan hal yang menyebakan rasa sakit dianggap sama dimanapun. Ain pada suatu
konteks bisa jadi merupakan bukan sebuah aib pada konteks lainnya. Contohnya, di sebagian
masayarakat wanita hamil diluar nikah merupakan suau hal yang mengerikan tapi pada social
masyarak lain memilik pertumbuhan kankerlah yang menjadi hal yang mengerikan untuk
dimiliki. Salah satu efeknya adalah, tidak seperti suatu kesenangan dan kesakitan,cita-cita/
tujuan yang didasarkan pada mengejar kehormatan dan menghindari aib sering terbantahkan
dan bersaing tentang seperti apa hidup yang sebenarnya.
Epiceruan
Versi hedonisme bahwa hidup itu harus dipenuhi dengan kesenangan yang hanya dapat diisi
dengan kesenangan-kesenangan yang umumnya tidak disertai rasa sakit, yaitu kesenangan
yang relatif sederhana. Epikuros menunjukkan bahwa manusia mesti bersikap bijaksana
terhadap kesenangan pada dasarnya manusia hanya memerlukan dua hal untuk hidup bahagia,
yakni kebebasan dari perasaan sakit badani dan perasaan takut dan resah.Hedonisme
Epikuros tidak mengejar maksimalisasi tetapi kenikmatan (secukupnya). Hedonisme bukan
seorang yang serakah tetapi pemilihan dengan bijaksana. Kebebasan dari gangguan adalah
tujuan hidup yang membahagiakan.
John Stuart Mill Di Kenikmatan Tinggi dan Kenikmatan Rendah
John Stuart Mill adalah seorang filsuf Inggris abad kesembilan belas percaya bahwa
kesenangan adalah kebaikan alami dan rasa sakit adalah kejahatan alami, dalam hal
kesenangan dan kesakitan itulah kehidupan yang baik harus dinilai. Mill memperkenalkan
perbedaan antara kesenangan yang lebih tinggi dan lebih rendah, kita dapat mencapai
kesenangan yang setara dengan kesenangan tertinggi jika saja kita menambahkan cukup
banyak kesenangan terendah. jika kita menyatakan beberapa kesenangan lebih baik daripada
yang lain, kita harus menggunakan standar 'lebih baik' selain standar kesenangan itu sendiri.
Jika demikian, ini menunjukkan bahwa kesenangan bukanlah satu-satunya kebaikan yang ada.
Dua langkah biasanya dilakukan dalam upaya untuk menghindari kesimpulan ini. Pertama,
kadang-kadang dikatakan bahwa perbedaan antara kesenangan yang lebih tinggi dan lebih
rendah harus dijelaskan dalam hal kuantitas kesenangan. Kenikmatan yang lebih tinggi
membawa lagi kesenangan. Konsep kesenangan atau kebahagiaan etika hedonisme di atas
cenderung bersifat individual. Karena itu, etika utilitarianistik kemudian mengoreksinya dengan
menambahkan bahwa kesenangan atau kebahagiaan yang dihasilkan oleh suatu etika yang
baik adalah kebahagiaan bagi banyak orang, dan bukan kesenangan atau kebahagiaan
individual. 
ARISTOTEL PADA KESENANGAN
Gagasan kebahagiaan memainkan peran sentral. Dimulai dengan pertanyaan: apakah
kehidupan yang baik dan bagaimana mendapatkannya.24 Etika Aristoteles berawal dari
konsepnya tentang tujuan.25 Aristoteles mendekati pertanyaan tentang tujuan manusia secara
analitis, melalui langkah-langkah logis. Dia bertolak dari sebuah fakta: Fakta bahwa apa pun
yang dilakukan manusia selalu dilakukannya demi tujuan.26 Kembali pada pertanyaan: Apakah
tujuan manusia? Aristoteles melakukan pembedaan tentang tujuan manusia yang terbagi
menjadi 2 (dua), yaitu dicari demi suatu tujuan selanjutnya dan tujuan akhir yang dicari demi
dirinya sendiri. 27 Etika Aristoteles sering dikatakan termasuk etika egois, dalam arti bahwa
yang menentukan adalah akibat bagi si pelaku. Menurut Aristoteles orang hendaknya bertindak
sedemikian rupa sehingga dia diarahkan kepada kebahagiaan.28 Namun dalam pemahaman
egois pada pemikiran etika eudaemonisme Aristoteles bukan egois yang sesungguhnya.
BAB 4. NATURALISME DAN KEBAIKAN TEORI
Menurut Aristoteles, suatu kegiatan menghasilkan kesenangan jika itu berharga. Tujuan utama
dalam menjalankan hidup seharusnya bukan untuk kesenangan dalam arti hiburan atau
kepuasan, namun mengejar kegiatan yang bernilai sehingga memberi kesenangan. Hasil dari
kehidupan manusia yang baik dan bermanfaat bukanlah hedos tapi eudaimonia yang berarti
kebahagiaan. Dalam penggambaran Aristoteles, seorang yang bahagia bukanlah orang yang
hidupnya dipenuhi dengan kesenangan, tetapi orang yang unggul pada semua aktivitas dan
bakat yang menjadi karakteristik dari seorang manusia.
The Rational Animal
Bagi Aristoteles, manusia adalah salah satu tipe dari bagian hewan, yaitu spesies homo
sapiens. Oleh sebab itu, kita dapat mempelajari hal-hal penting dalam hidup berdasarkan
konstitusi alami. Dengan cara yang sama, kita dapat menemukan apa yang baik untuk kita
sebagai manusia dan apa artinya bagi seseorang untuk hidup dengan baik. Dalam konsep
Aristoteles, kata-kata "orang yang baik” dan "kehidupan yang baik” menggunakan kata "baik”
secara predikatif. Sehingga dapat diartikan, seorang manusia yang baik adalah seseorang yang
hidupnya menunjukan ciri khas yang merupakan keunggulan manusia. Sehingga untuk
menjawab pertanyaan "apakah X orang yang baik” menuntut kita untuk mengetaui seperti apa
manusia dan kekhasannya.
The Good for Human Beings
Konsep Aristoteles tentang kehidupan yang baik bagi manusia hampir tidak ada hubungannya
dengan agama, atau bahkan dengan moralitas. Kehidupan yang baik adalah dimana kita
menggunakan pikiran kita untuk membuat, dan bertindak, dan berpikir, dengan cara yang
sebaik mungkin. Aristoteles berpikir bahwa mereka yang dapat ditunjukkan untuk menjalani
kehidupan yang baik adalah mereka yang berusia paruh baya, berpendidikan baik, aman
secara finansial, dan dihormati secara sosial. Salah satu implikasi dari filosofi moral Aristoteles -
bahwa kehidupan para budak, orang miskin dan orang cacat bukanlah kehidupan yang baik.
Etika dan Sosiobiologi
Aristoteles adalah seorang pemikir terbesar sepanjang masa dan pemahamannya terhadap
ilmu biologi sangat maju. Karya nya menjadikan Aristoteles menjadi founding father dari ilmu
biologi. Namun semenjak era Darwin, konsep biologi Aristoteles menjadi tergantikan. Biologi
modern bukanlah studi yang memungkinkan untuk memperoleh fakta tentang benar dan salah
serta baik dan buruk. Studi yang lebih dekat dengan konsep Aristoteles kini disebut dengan
etologi. Dalam pengertian modernnya, etologi dapat digambarkan sebagai studi tentang
perilaku hewan di lingkungan alamnya, Menurut para ahli etologi, bahwa ada kondisi di mana
hewan tidak dapat berkembang dan di mana perilaku alami mereka dapat mengalami destruktif
dan bahkan merusak diri sendiri. Kombinasi dari ilmu etologi dan biologi modern bersamaan
dengan eksplorasi dari ilmu sosial telah menghasilkan studi yang disebut sosiobiologi. 
Teori Kebaijkan
Para filsuf berpikir bahwa banyak yang dapat diperoleh dengan berfokus pada predikat
daripada penggunaan atribut 'baik'. Lebih lanjut mereka percaya bahwa telah terlalu banyak
perhatian yang diberikan untuk konsep moral 'tipis' seperti baik dan bukur, benar dan salah dan
hal tersebut tidak cukup untuk membandingkan konsep moral 'tebal' seperti kemurahan hati,
pengecut, kebodohan dan kehati-hatian. Pendekatan inilah yang disebut sebagai teori kebajikan
atau "virtue theory”. 
Teori ini memiliki tiga hal penting. Pertama, teori ini memberikan alternatif yang masuk akal
untuk subjektivisme etis dan jenis realisme moral. Kedua, deskripsi tersebut ditentukan tidak
oleh suka atau tidak suka, tetapi dari fakta apa yang sebenarnya dilakukan. Ketiga, konten
deskriptif dari kata-kata kebajikan adalah sedemikian rupa sehingga memiliki unsur normatif
yang terbangun didalamnya untuk diungkapkan.
Alam sebagai Norma
Etologi didefinisikan sebagai studi tentang perilaku hewan di lingkungan alami mereka. Wilson
berpendapat bahwa, perilaku manusia lebih mudah dilihat dalam masyarakat yang relative
primitif dimana menurut banyak orang lebih menarik dan masuk akal. Kehidupan di kota modern
dianggap sudah tercampur dengan pertambahan budaya. Sehingga dapat dikatakan kehidupan
yang berada di bagian yang kurang berkembang jauh lebih 'alami'.
Penggunaan kata alami telah telah tersebar luas sebagai makna yang dapat diartikan sebagai
pujian. Kata tersebutpun sering digunakan sebagai nilai tambah dari bebagai aspek, sebaliknya
lawan katanya yakni 'tidak wajar/tidak alami' tidak begitu umum untuk digunakan. Mengutip dari
Wilson, kata alami dapat diartikan sebagai apa yang sesuai dengan manusia saat berevolusi
(merujuk pada adaptasi genetic terhadap lingkungan yang Sebagian besar telah lenyap, dhi
saat zaman es). Namun, pemahaman atas kriteria alami sangat terbatas karena berhubungan
dengan sejarah pada masa yang telah punah tsb.
Namun ada keberatan yang lebih penting terhadap upaya menjadikan 'alami' sebagai norma.
Manusia dapat berpikir apa yang harus mereka makan dan minum. Hal ini tidak hanya didorong
oleh insting alami saja, tetapi juga ditentukan oleh kehidupan dewasa manusia tsb.
Apakah 'Baik untuk Manusia' itu Baik?
Konsep Aristoles mengenai 'yang baik' sebagai 'yang baik untuk manusia (terbatas pada
spesies manusia)' masih menimbulkan pertanyaan hingga kini. Kemungkinan keputusan untuk
menolak hidup secara 'alami' adalah berdasarkan pemikiran yakni beberapa hal yang baik
untuk manusia pada kenyataannya tidak baik dilihat dari perspektif yang lebih buat. Hal ini
dapat digambarkan dengan kegiatan alami manusia dalam berburu. Sehingga disimpulkan
bahwa jawaban atas hidup yang baik adalah dengan menyadari tentang hal-hal yang baik.
Kebaikan Alami dan Kebebasan
Sifat alami manusia dan alam adalah sesuatu yang telah diberikan (tersedia). Dalam kata lain,
sifat manusia dan sesuatu yang alami bagi manusia adalah sesuatu yang harus kita temukan,
melalui bantuan ilmu etologi atau ilmu lainnya. Hal ini adalah fakta dan dari  sudut pandang
Aristoteles dan orang Yunani kuno, hal ini adalah salah satu yang menjadi dasar yang cocok
untuk konsep kehidupan yang baik.
Namun, dari sudut pandang lain, hal tersebut justru membuat sifat alami manusia dan alam
menjadi dasar yang tidak cocok untuk tindakan yang dilakukan manusia. Untuk menarik
faktafakta tentang sifat kita, dan mencoba menjadikannya sebagai penentu yang tidak dapat
diubah dari cara hidup kita adalah menyembunyikan dari diri kita ciri fundamental dari kondisi
manusia, yaitu kebebasan radikalnya. Dihadapkan pada penjelasan tentang cara hidup yang
'alami', kita masih bebas memilih atau menolaknya.
Secara jelas dapat dikatakan bahwa etologi tidak dapat berdiri dalam hubungan yang sama
dengan kehidupan manusia. Alasan sederhananya adalah bahwa jika cara hidup seperti itu
ditetapkan untuk kita, kita masih harus memutuskan apakah akan mengikutinya atau tidak. Hal
yang lebih penting adalah, jika kita beranggapan bahwa apa yang alami bagi diri kita adalah
otoritatif, maka kita akan menyangkal kebebasan kita sendiri untuk memilih. Salah satu cara
untuk menyatakan hal ini adalah dengan mengatakan bahwa kita akan membuat esensi kita
menentukan keberadaan kita, sedangkan 'eksistensi mendahului esensi'. 

BAB 5. EKSISTENSIALISME
Kierkegaard dan Asalnya Eksistensialisme
Kierkegaard adalah orang yang sangat ingin tahu dan penulis yang produktif, dia dikenal
sebagai pemikir religious daripada seorang filsuf. Ia bereaksi keras terhadap banyak aspek dari
gereja Lutheran  Denmark pada zamaannya dan terhadap filsafat yang dominan di Eropa Utara
yaitu filsafat professor GWF Hegel. Keberatan Kierkegaard terhadap keduanya karena dengan
cara yang berbeda mereka mencoba membuat tuntutan Kekristenan masuk akal. 
Dalam tulisan-tulisannya, terutama di Concluding Unscientific Postscript, tiga diantaranya
membentuk dasar dari sudut pandang eksistensialis. Pertama, pertanyaan paling mendasar
yang dihadapi manusia pada dasarnya bersifat praktis karena pertanyaan 'Bagaimana saya
akan menghabiskan hidup saya'. Pemikiran spekulatif adalah objektif, dan secara objektif tidak
ada kebenaran untuk individu yang ada, tetapi hanya pemikiran, karena dengan eksis ia
dicegah untuk sepenuhnya menjadi objektif. Kedua, tidak hanya sia-sia tetapi juga
menyesatkan untuk membuktikan kebenaran objektif dari keyakinan yang diharapkan yang
dijalani pria dan wanita. Maksudnya adalah bahwa agama atau filosofi apa pun yang kita jalani
harus benar-benar ada dalam kehidupan. Ketiga, meskipun dari sudut pandang objektivitas
kritis 'kebenaran yang membangun' akan selalu tampak tidak masuk akal. 
Kebebasan Satre dan Radikal
Satre menggunakan ungkapan eksistensi mendahului esensi. Ini adalah kesamaan pemikiran
oleh semua eksistensialis, Kristen dan non-Kristen. Artinya dalam menjawab pertanyaan
mendasar tentang keberadaan - Bagaimana saya harus hidup? - kita harus menolak segala
daya tarik terhadap gagasan tentang sifat atau esensi manusia, yaitu permohonan apa pun
terhadap konsepsi 'manusia' yang akan ditemukan dalam setiap individu dan di mana setiap
individu adalah contohnya. Sebagian alasan untuk menolak konsepsi ini adalah keyakinan
bahwa manusia tidak memiliki karakter esensial yang telah ditentukan sebelumnya. Seperti
yang dikatakan Sartre, 'Manusia tidak lain adalah apa yang dia buat dari dirinya sendiri'. 
Satre berpendapat bahwa jika sebuah suara berbicara kepada saya, saya sendirilah yang harus
memutuskan apakah suara itu adalah suara malaikat atau bukan. Jika saya menganggap
tindakan tertentu sebagai baik, hanya saya yang memilih untuk mengatakan bahwa itu baik dan
tidak buruk. Dengan cara inilah jawaban atas pertanyaan 'Bagaimana saya akan hidup?' adalah
eksistensial yang tak terhindarkan. Dalam pengertian inilah manusia secara radikal bebas.
Selain itu, ada sisi lain dari kebebasan ini. Karena tidak ada yang menentukan jawabannya
kecuali diri kita sendiri, kita sendiri yang bertanggung jawab atas keputusan yang kita buat. 
Menurut Sartre, ada dua mode keberadaan, Being-in-itself dan Being-for-itself. Apa terminologi
yang agak kabur ini dimaksudkan untuk menangkap kontras antara hal-hal, seperti batu dan
pohon, yang adildi sana dan tidak memiliki kesadaran atau nilai untuk diri mereka sendiri
(Being-in-itself) dan hal-hal, terutama manusia, yang sadar akan diri mereka sendiri dan yang
kesadaran akan keberadaan mereka sendiri adalah pusat (Being-for-itself). Kontrasnya
berkaitan dengan poin tentang masa lalu dan masa depan yang juga dibuat oleh Kierkegaard.
Tindakan, dan memikirkannya, berkaitan dengan masa depan. Sedangkan masa lalu dibuat dan
tidak dapat diubah, ciri pembeda dari masa depan adalah bahwa hal itu belum dibuat. Saat ini
tidak ada apa-apa, untuk dimodelkan seperti yang kita inginkan.
Kesembuhan dan Iman Buruk
Sartre membedakan tiga cara karakteristik dimana hal ini dilakukan dalam merespons
penderitaan. Pertama adalah yang paling tidak menarik, yang merupakan tanggapan dari
mereka yang berpikir bahwa dihadapkan dengan tindakan dan cara hidup alternatif bias saja
gagal memilihnya. Kedua, adalah cara berpikiran serius. Orang ini adalah yang seringkali
religus tetapi tidak harus demikian. Ketiga, untuk melarikan diri dari penderitaan adalah itikad
buruk, yang merupakan konsep eksistensialisme mpdern yang paling terkenal dengan ide
dihadapkan dengan realitas mengerikan dari kondisi manusia (absurditas dan tanggung
jawabnya), individu mungkin mencari pelarian dengan mengatur hidup mereka menurut
beberapa peran sosial yang telah ditentukan sebelumnya.
Ada empat kesulitan utama yang dihadapi oleh filsafat nilai eksistensialis. Pertama kita mungkin
bertanya apakah keberadaan manusia itu absurd dengan cara yang memberikan alasan untuk
penderitaan. Kedua, apakah selalu, atau bahkan biasanya lebih baik untuk bertindak dengan
itikad baik? Ketiga, dalam arti apa, jika ada, apakah benar bahwa individu manusia adalah
pencipta nilai? Dan keempat, apakah kita benar-benar bebas secara radikal? Yang terbaik
adalah mempertimbangkan masing-masing pertanyaan ini secara bergantian.
Absurditas Keberadaan
Sartre berpendapat bahwa keberadaan manusia tidak masuk akal. Yang mereka maksud
dengan ini adalah bahwa tidak ada penjelasan tentang keberadaan manusia secara umum atau
individu secara khusus yang akan menunjukkan bahwa keberadaan itu perlu. 
Semua keberadaan adalah masalah fakta yang kasar dan tidak pasti,. Hal ini dianut para filsuf
yang disebut dengan metafisika rasionalis, mereka berfikir bahwa pasti ada alasan untuk segala
sesuatu menjadi sperti itu. Keyakinan bahwa segala sesuatu memiliki penjelasan ini sering
disebut prinsip alasan yang cukup. Bertentangan dengan metafisika rasionalis adalah para filsuf
umumnya disebut empiris. Di antaranya, John Locke (1632-1704) dan David Hume (1711-1776)
adalah yang paling terkenal. Mereka menganggap ambisi untuk memberikan alasan yang cukup
untuk segala sesuatu sebagai kesalahan besar. Kaum empiris terkesan dengan hasil
eksperimen sains, saat itu masih dalam masa pertumbuhan. Mereka melihat bahwa penjelasan
fakta alam dapat diperoleh dengan penyelidikan eksperimental ke dalam fakta empiris
(karenanya disebut empiris). Akan tetapi, menjelaskan dengan cara ini berarti tidak lebih dari
menarik kemungkinan yang dapat dibuktikan - bagaimana keadaannya adalah, bukan
bagaimana mereka harus menjadi. Bagi kaum empiris, kesalahan kaum rasionalis terletak pada
anggapan bahwa masalah fakta ilmiah dapat dijelaskan dengan cara yang sama seperti
proposisi logika atau matematika. Teori-teori logis dan matematis dapat ditunjukkan dengan
penalaran abstrak untuk dipegang oleh kebutuhan. Teori-teori ilmiah hanya dapat ditunjukkan
oleh penalaran eksperimental untuk dipegang sebagai masalah kontingen, yaitu fakta yang
tidak perlu.
Bertindak dengan Iman Baik
Implikasi utama dari eksistensialisme sehubungan dengan perilaku manusia adalah ini: apa
yang Anda pilih untuk dilakukan, bagaimana Anda memilih untuk menghabiskan hidup Anda,
tidak sepenting cara Anda memilihnya. Apapun pilihannya, setidaknya itu berharga sejauh
dibuat dengan itikad baik. Ini berarti ia dibuat sebagai pengakuan penuh atas kebebasan dan
tanggung jawab yang melekat pada semua pilihan manusia. Motif dan niat suatu tindakan dan
semangat yang diungkapkan di dalamnya dapat menjadi faktor penting dalam evaluasi
tindakan. Ini berarti bahwa setiap pilihan dapat dibuat dengan itikad baik. 
Penciptaan Nilai
Garis pemikiran yang lebih radikal dan yang telah ditarik oleh beberapa penulis eksistensialis
menunjukkan bahwa, setidaknya dalam berbagai kasus, kita tidak dapat menarik kontras antara
nilai subjektif dan objektif, karena ada hanya nilai subjektif.
Sesuatu dapat bernilai atau tidak adalah masalah yang relatif terhadap beberapa konteks. Ini
berarti bahwa pertanyaan tentang nilai kemanusiaan tidak dapat diajukan secara abstrak.
Dihargai bebas dari beberapa konteks tertentu, mereka sama sekali tidak masuk akal, dan jika
demikian, karena konteks pertanyaan tentang nilai yang relatif adalah masalah manusia, maka
ada pengertian di mana manusia adalah pencipta nilai.
Kebebasan Radikal
Inti dari eksistensialisme adalah doktrin kebebasan radikal. Pembicaraan tentang 'kebebasan'
selalu membutuhkan beberapa kualifikasi. Menjadi bebas adalah menjadi bebas sehubungan
dengan sesuatu logika atau hukum. Kebebasan radikal yang dibicarakan oleh eksistensialisme
adalah kebebasan logis belaka. Dalam batas-batas kemungkinan logis ada banyak cara lain di
mana kebebasan bertindak dapat dibatasi. Tapi lebih dari ini. Kendala tambahan ini tidak untuk
ditolak tetapi menyambut, karena kebebasan yang seharusnya kita inginkan bukanlah
kemungkinan pilihan yang tidak dibatasi tetapi rasional kebebasan.
Eksistensialis berpendapat bahwa kita secara radikal bebas sehubungan dengan pilihan nilai
dan gaya hidup kita. Dalam arti yang mendalam kitamendefinisikan diri kita sendiri dan apa
yang kita perjuangkan. Salah satu konsekuensi dari kebebasan radikal ini adalah bahwa
individu harus menerima tanggung jawab penuh atas apa yang mereka lakukan dan percayai.

Anda mungkin juga menyukai