Anda di halaman 1dari 5

FILSAFAT PENDIDIKAN EKSISTENSIALISME

DI SUSUN OLEH:

KELOMPOK 5
FILSAFAT PENDIDIKAN EKSISTENSIALISME

Eksistensialisme termasuk filsafat pendatang baru. Eksistensialisme pertama kali dikemukakan


oleh ahli filsafat Jerman, Martin Heidegger (1889-1976). Eksistensialisme merupakan bagian
filsafat dan akar metodologinya berasal dari metode fenomologi yang dikembangkan oleh Hussel
(1859-1938). Kemunculan eksistensialisme berawal dari ahli filsafat Kieggard dan Nietzche.
Kiergaard (1813-1855) menjawab pertanyaan "Bagaimanakah aku menjadi seorang diri?"
Kegelisahan-kegelisahan tersebut tentu saja bukan sesuatu yang muncul dengan sendirinya,
melainkan sesuatu yang lahir ketika dunia yang mengalami krisis eksistensial, ketika manusia
melupakan individualitasnya. Kiergaard adalah satu diri yang berusaha menemukan jawaban
untuk pertanyaan tersebut manusia (aku) bisa menjadi individu yang autentik jika memiliki
gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi dalam kehidupan. Dari Kiergaard kemudian
diteruskan oleh Nitzsche (1844-1900), filsuf Jerman. Pemikiran filsafat Nitzsche terarah pada
upaya melahirkan. narasi yang bisa menjadi jalan keluar untuk menjawab pertanyaan
filosofisnya, yaitu "bagaimana cara menjadi manusia unggul (ubbermench)". Jawabannya:
manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk merealisasikan diri secara jujur
dan berani. Sebagai pendatang baru, filsafat eksistensialisme merupakan filsafat yang secara
khusus mendeskripsikan eksistensi dan pengalaman manusia dengan metodologi fenomenologi
atau cara manusia berada.

Eksistensialisme adalah suatu reaksi terhadap materialisme dan idealisme. Pendapat materialisme
terhadap manusia: manusia merupakan benda dunia, manusia adalah materi, manusia adalah
sesuatu yang ada tanpa menjadi subjek. Pandangan manusia menurut idealisme: manusia hanya
sebagai subjek atau hanya sebagai suatu kesadaran. Eksistensialisme berkeyakinan situasi
manusia selalu berpangkalkan eksistensi sehingga aliran eksistensialisme penuh dengan lukisan-
lukisan yang konkret. Di sini bagi eksistensialisme, individu bertanggung jawab atas
kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang
tidak benar. Sebenarnya, bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak
benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, karenanya masing-
masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar. Sementara, dalam ruang
ontologi, eksistensialisme banyak mempersoalkan makna keber-ada-an manusia yang diyakini
mesti dihadirkan lewat kebebasan. Oleh karenanya, pertanyaan utama eksistensialisme nyaris
selalu bersinggungan dengan persoalan kebebasan; mulai dari apakah kebebasan itu?
Bagaimanakah manusia Eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap
kebebasan kecuali kebebasan tersebut. Sementara, di Prancis eksistensialisme dikenal lewat Jean
Paul Sartre, dengan diktumnya "human is condemned to be free". Manusia, demikian menurut
Sartre, dikutuk untuk bebas. Dengan kebebasannya itulah, kemudian manusia bertindak. Dalam
sisi ini, pertanyaan yang sering muncul sebagai akibat dari adanya kebebasan eksistensialis:
sejauh mana kebebasan manusia itu? Atau, sesuatu yang dalam istilah dikenal "orde baru".
Apakah eksistensialisme mengenal kebebasan yang bertanggung jawab? Para penganut
eksistensialisme meyakini kebebasan universalitas manusia. Maka, batasan kebebasan setiap
adalah satu-satunya individu adalah kebebasan individu lain. Namun, menjadi eksistensialis
bukan melulu harus menjadi seorang yang lain-daripada-yang-lain, sebaliknya menjadi sadar
betapa keberadaan dunia selalu menjadi sesuatu yang berada di luar kendali manusia. Meski hal
itu bukan bukan berarti membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi
eksistensialisme.Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri dan sadar akan tanggung
jawabnya di masa depan adalah inti eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita akan
terjun ke berbagai profesi seperti dokter, desainer, insinyur, pebisnis, dan sebagainya, tetapi yang
dipersoalkan oleh eksistensialisme: apakah kita menjadi dokter atas keinginan orangtua atau
keinginan sendiri.

Eksistensialisme memiliki banyak tokoh antara lain Søren Kierkegaard tentunya, Karl Jaspers,
Gabriel Marcel, Albert Camus, Martin Heidegger, ada yang mengatakan Friedrich Nietzsche
juga, Franz Kafka, Miguel de Unamuno, Fydor Dostoievsky, dan tentu Jean Paul Sartre. Masing-
masing tokoh di atas sebenarnya memiliki ide tentang eksistensialisme. Maka, mustahil
merumuskan suatu gambaran masing-masing eksistensialisme Di beberapa kasus, tokoh yang
satu memiliki pangaruh pada tokoh yang yang mencakup seluruh tokoh di atas. Umum tentang
lain. Akan tetapi, akan menjadi lebih jelas jika kita melihat pemikiran masing-masing tokoh.
Adapun secara umum, eksistensialisme membagi problem filsafat menjadi empat masalah
filosofis: eksistensi manusia, bagaimana bereksistensi secara aktif, eksistensi manusia adalah
eksistensi yang terbuka dan belum selesai, serta pengalaman eksistensial. Sedangkan, Sartre
membagi eksistensialisme ke dalam dua cabang, yaitu eksistensialisme kristiani dan
eksistensialisme ateis. Sartre menyatakan diri sebagai seorang eksistensialis ateis. Filsafat
eksistensialisme membahas cara pengada-pengada, khususnya manusia. Sesuatu yang oleh Sartre
terbagi menjadi dua, yaitu l'etre-en- soi (ada-dalam-diri) dan l'etre-pour-soi (berada-untuk-diri).
L'etre-en-soi selalu menjadi keberadaan yang an sich, ada yang bulat, padat, beku, dan tertutup.
Entre-en-soi menaati prinsip what it is. Perubahan pada benda yang ada dalam diri itu
disebabkan oleh sebab-sebab yang telah ditentukan oleh adanya. Maka, benda etre-en-soi
terdeterminasi, tidak bebas, dan perubahannya memuakkan (nauseant). Benda yang berada-
dalam diri ada di sana tanpa alasan apa pun, tanpa yang kita berikan padanya. Alas an Adapun,
l'etre-pour-soi (mengada-untuk-diri) adalah cara ada yang sadar. Satu-satunya makhluk yang
mengada secara sadar adalah manusia. Etre-pour-soi tidak memiliki prinsip identitas karena
adanya terbuka, dinamis, dan aktif oleh karena kesadarannya. Di sini, manusia mesti
bertanggung jawab atas keberadaannya; bahwa "aku" adalah frater, bukan bruder, bahwa "aku"
imam tarekat, bukan imam diosesan; bahwa "aku" awam, bukan klerus; bahwa "aku" dosen,
bukan mahasiswa; bahwa "aku" mahasiswa, bukan pengamen. Manusia sadar bahwa dia
bereksistensi. Dalam membicarakan kesadaran, Sartre membagi menjadi dua, yaitu kesadaran
prareflektif dan kesadaran reflektif. Kesadaran prafeflektif adalah kesadaran aktivitas harian.
Menurut Sartre, tidak ada "aku" dalam kesadaran prareflektif. Sedangkan, kesadaran adalah
kesadaran akan diri. Selama seseorang berkonsentrasi, ia mengalami kesadaran reflektif.
Kesadaran ini membuat manusia mampu membayangkan apa yang mungkin terjadi dan apa yang
bisa ia lakukan. Misalnya, ketika ia sadar bahwa akan realitas hidupnya menurut Sartre
seseorang akan dibawa pada sesuatu yang dinamainya "pusaran kemungkinan". Di titik inilah
kebebasan menurut Sartre menjadi sesuatu hal yang terkutuk. Pendeknya, eksistensialisme selalu
menjadi pemikiran filsafat yang berupaya untuk agar manusia menjadi dirinya, mengalami
individualitasnya. Eksistensi berarti berdiri sebagai diri sendiri. Menurut Heideggard, "Das
wesen des daseins liegh in seiner Existenz." Da-sein tersusun dari dad dan sein. Da berarti di
sana, sein berarti berada. Artinya, manusia sadar dengan tempatnya. Menurut Sartre, adanya
manusia itu melainkan a etre-manusia itu tidak hanya ada, tetapi dia bukanlah etre, selamanya
harus membangun adanya, adanya harus dibentuk dengan tidak henti-hentinya. Menurut Parkay
(1998), aliran eksistensialisme terbagi dua sifat, yaitu teistik (bertuhan) dan ateistik. Menurut
eksistensialisme, ada dua jenis filsafat tradisional, yaitu filsafat spekulatif dan filsafat skeptif.
Filsafat spekulatif menyatakan bahwa pengalaman tidak banyak berpengaruh pada individu.
Filsafat skeptif manyatakan bahwa semua pengalaman itu adalah palsu, tidak ada sesuatu yang
dapat kita kenal dari realita. Menurut mereka, konsep metafisika adalah sementara.

1. Ontologi Pendidikan Eksistensialisme

Pemikiran filsafat eksistensialisme menyebutkan bahwa manusia memiliki keberadaan yang unik
dalam dirinya berbeda antara manusia satu dan manusia lainnya. Dalam hal ini, telaah manusia
diarahkan pada individualitas manusia sebagai unit analisisnya, dengan berfokus pada
pengalaman-pengalaman individu yang antaranya. di

1. Berkaitan dengan hal-hal esensial atau mendasar yang seharusnya manusia tahu serta
menyadari sepenuhnya tentang dunia tempat mereka tinggal dan hidup.

2. Menekankan data fakta dengan kurikulum bercorak vokasional.

3. Konsentrasi studi pada materi-materi dasar tradisional, seperti membaca, menulis, sastra,
bahasa asing, matematika, sejarah, sains, seni, dan musik.

4. Pola orientasinya adalah keterampilan dasar menuju keterampilan yang bersifat semakin
kompleks.

5. Perhatian pada pendidikan yang bersifat menarik dan efisien.

6. Yakin pada nilai pengetahuan untuk kepentingan pengetahuan.

7. Disiplin mental diperlukan untuk mengkaji informasi mendasar tentang dunia yang dialami.

8. Secara umum, eksistensialisme menekankan pada kreativitas, subjektivitas pengalaman


manusia, dan tindakan konkret dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakikat
manusia atau realita.
Eksistensialisme lebih memerhatikan pemahaman makna dan tujuan hidup manusia ketimbang
melakukan pemahaman terhadap kajian-kajian ilmiah dan metafisika tentang alam semesta.
Kebebasan individu sebagai milik manusia adalah sesuatu yang paling utama karena individu
memiliki sikap hidup, tujuan hidup, dan cara hidup sendiri. Jadi, filsafat pendidikan
eksistensialisme adalah filsafat yang memberikan kebebasan kepada setiap

2.Pendidikan Eksistensialis

Eksistensialisme berhubungan erat dengan pendidikan karena pusat pembicaraan


eksistensialisme adalah keberadaan manusia, sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh
manusia. Pendidikan menurut pandangan eksistensialisme diarahkan untuk mendorong setiap
individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri.Pendidikan
eksistensialis berusaha memberikan bekal pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua
bentuk kehidupan. Di sini anak didik disadari sebagai makhluk rasional dengan pilihan bebas dan
tanggung jawab atau pilihan suatu komitmen terhadap pemenuhan tujuan pendidikan. Kurikulum
eksistensialis cenderung bersifat liberal, membawa manusia pada kebebasan manusia. Oleh
karena itu, di sekolah harus diajarkan pendidikan sosial untuk mengajarkan rasa hormat terhadap
kebebasan, serta privasi masing-masing individu. Proses belajar mengajar pengetahuan tidak
ditumpahkan, tetapi ditawarkan agar hubungan antara guru dan siswa direalisasikan sebagai
suatu dialog.

Anda mungkin juga menyukai