1
yang menolong. Semangat optimis untuk memasuki dunia pendidikan guna mencapai
tujuan yang ia inginkan sudah ditanamkan dalam dirinya. Kebebasan berpendidikan
berdasarkan pandangan Jean Paul Sartre bisa digunakan kegiatan belajar mengajar yang
menanamkan toleransi. berpendapat bahwa suasana kelas yang baik dan seimbang, tidak
ada perbedaan ataupun diskriminasi diantaranya.
1
Achmadi, A. (2018). Filsafat Umum. Depok: PT RajaGrafindo Persada.
2
Biografi Jean Paul Sartre
Jean Paul Sartre lahir di Paris pada tahun 1905 M dan meninggal pada tahun
1980 M. Ia berasal dari keluarga menengah. Ia merupakan seorang filosof besar Prancis
dan tokoh penting dalam filsafat eksistensialisme. Ia belajar pada Ecole Normale
Superieur pada tahun 1924-28. Setelah tamat sekolah ia mengajar di beberapa Lycees
(sekolah menengah), baik di Paris maupun tempat lain. Sejak diterbitkan novelnya yang
berjudul La Nausee dan Lee Mur, muncullah karya-karyanya yang lain dalam bidang
filsafat.2
Saat Perang Dunia Kedua pecah pada tahun 1939, ia menggabungkan diri dalam
pasukan Prancis. Satu tahun kemudian ia ditangkap oleh Jerman. Setelah dibebaskan,
Sartre meneruskan karyanya sebagai pengajar dan menyelesaikan bukunya yang
terkenal berjudul, L’Etre et Le Neant (ada dan ketiadaan). Selain sebagai guru besar,
Sartre juga menjadi salah seorang pemimpin pertahanan pada Perang Dunia Kedua.
Pada tahun 1945, Sartre berhenti menjadi dosen dan mendirikan majalah baru berjudul
Les Temps Modern (Jaman-jaman Modern). 3Majalah berhaluan kiri ini berusaha
memberikan tanggapan tentang semua kejadian politik dan kultural. Sebagai sastrawan,
Sartre juga menerbitkan karya sandiwara antara lain Les Mouches (Lalat-lalat) (1943),
Huis Clos (Pintu Tertutup) (1945) , Morts sans Sépulture (Orang-orang Mati tanpa
Perkuburan) (1946), La Putain Respectueuse (Pelacur Terhormat) (1946), Les Main
Sales (Tangan-tangan Kotor) (1948), Le Diable et le bon Dieu (Si Setan dan Si Tuhan
Baik) (1951), Les Sequestrés d’Altona (Tahanan-tahanan dari Altona) (1960). Seri novel
(trilogi dari tetralogi yang direncanakan) dengan judul Les Chemins de la libertés
(Jalan-jalan Menuju Kebebasan); L’age de Raison, Le Sursis (1945), dan La Mort dans
l’âme (1951). Selain sebagai sastrawan, kritikus sastra dan budaya, esaist, dia juga
menggeluti dunia film serta berhasil menyutradarai beberapa film dan drama.
Pada tahun 1960, Sartre juga sebagai pelopor “Manifesto 121 Cendekiawan”
yang menyatakan bahwa prajurit-prajurit Prancis berhak untuk menolak dikirim ke
Aljazair. Dia juga membantu temannya yang terlibat dalam organisasi pembebasan
Aljazair, organisasi terlarang di Prancis hingga rumahnya di bom namun dia selamat.
2
Atang Abdul hakim, B. A. (2020). Filsafat Umum : Dari Metologi sampaiTeofilosofi. Bandung:
CV Pustaka Setia.
3
Tafsir, A. (2010). Filsafat Umum : Akal dan Hati Sejak Thales sampai Chapra.
Bandung: Remaja rosdakarya.
3
Pada tahun 1966 Sartre aktif dalam kegiatan organisasi yang telah didirikan oleh
Bertrand Russell, Tribunal against war crimes in Vietnam, sebuah penyelidikan
terhadap kejahatan perang Amerika di Vietnam. 4
4
Luqmanul Hakim, E. F. (2022). Ontologi Pendidikan di Era Globalisasi Berdasarkan Pandangan
Eksistensialisme Jean Paul Sartre. Elementa: Jurnal, 10-11. Retrieved from
https://jurnal.stkipbjm.ac.id/index.php/pgsd/article/view/1765/841 (Diakses pada tanggal 24 Oktober
2022, Pukul 13.45 WIB)
5
Sunarso. (2010). Mengenal Filsafat Eksistensialisme Jean-Paul Sartre serta Implementasinya dalam
Pendidikan. Informasi, 6. Retrieved from
https://journal.uny.ac.id/index.php/informasi/article/view/5659/0 (Diakses pada tanggal 24 Oktober
2022, Pukul 13.50 WIB)
4
(Bierman dan Gauld) berpendapat bahwa salah satu watak keberadaan manusia ialah
takut. Takut datang dari kesadaran manusia tentang wujudnya di dunia. Sartre
menyatakan, bila manusia menyadari dirinya berhadapan dengan sesuatu, menyadari
bahwa ia ada, pada waktu itu juga dia bertanggung jawab untuk memutuskan bagi
dirinya dan bagi keseluruhan manusia. Manusia itu merdeka dan bebas. Oleh karena itu
ia harus bebas menentukan dan memutuskan. Dalam menentukan dan memutuskan ia
bertindak sendiri tanpa ada orang lain yang menolong. Ia harus menentukan untuk
dirinya dan seluruh manusia. 6
Berdasarkan pendapat Sartre mengenai kebebasan dan tanggung jawab, baru-
baru ini dunia pendidikan tengah dihebohkan dengan berita mengenai mahasiswa
beragama Hindu yang meraih gelar magister pada Program Studi Manajemen
Pendidikan Islam (MPI) di UIN Mataram. Mahasiswa tersebut telah membuktikan
bahwa pendidikan dalam pandangan eksistensialisme adalah fleksibel dan
membebaskan. Selanjutnya, pada asas pertama tersebut bahwa manusia juga disebut
sebagai subjektivitas manusia yang berbeda- beda, seperti kayu dan batu. Manusia
harus menyadari bahwa dirinya merupakan subjek yang menciptakan pengetahuan dan
pengalaman bagi dirinya sendiri. Hal ini berarti bahwa manusia bertanggung
jawab terhadap apa yang telah ia lakukan.
Sartre berpendapat bahwa eksistensialisme adalah pandangan yang optimis.
Pendapat ini diambil dari kutipannya, yaitu “semangat optimis setiap individu dapat
mencapai tujuan hidupnya”. Ni Ketut Mayoni, seorang perempuan yang beragama
Hindu telah diberi kebebasan dan kesempatan untuk mengambil keputusan sehingga
mampu bertanggung jawab atas apa yang ia pilih. Ia menjadi satu-satunya mahasiswa
pascasarjana yang duduk bersanding dengan para ustadz di UIN Mataram. Ia juga
mengaku bahwa ia menempuh pendidikan dengan nyaman karena terdapat toleransi
yang kuat, teman-teman dan dosen dapat menerimanya dengan baik.
Ternyata sebelum ia memutuskan untuk mengambil program studi tersebut, ia
sudah berprofesi menjadi kepala sekolah di SDN 2 Batunyala, Lombok Tengah. Hal
itulah yang kemudian menjadi alasannya untuk menempuh pendidikan S-2 di UIN
Mataram dengan program studi yang bertolak belakang dengan kepercayaannya.
Semangat optimis untuk memasuki dunia pendidikan guna mencapai tujuan yang ia
6
Tafsir, A. (2010). Filsafat Umum : Akal dan Hati Sejak Thales sampai Chapra.
Bandung: Remaja rosdakarya.
5
inginkan sudah ditanamkan dalam dirinya. 7
KESIMPULAN
Kebebasan berpendidikan berdasarkan pandangan Jean Paul Sartre bisa digunakan
sebagai dasar dari kegiatan belajar mengajar yang menanamkan toleransi. Sartre
berpendapat bahwa manusia merupakan individu yang penuh kebebasan dalam
bertindak. Tetapi kebebasan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan oleh setiap
individu. Pendidikan eksistensialisme bertujuan untuk menciptakan suasana kelas yang
baik dan seimbang, tidak ada perbedaan ataupun diskriminasi diantaranya. Sehingga
mahasiswa dapat belajar dengan minat dan bakat yang dimiliki serta menekuni potensi
yang dimilikinya.
DAFTAR RUJUKAN
7
Indah. (2022, Agustus 5). Kementerian Agama RI. Diambil kembali dari Mahasiswa Hindu Raih Gelar
Magister Pendidikan Islam dari UIN Mataram: https://kemenag.go.id/read/mahasiswa-hindu-raih-
gelar-magister-pendidikan-islam-dari-uin-mataram-6vzn5 (Diakses pada tanggal 24 Oktober 2022,
Pukul 14.07 WIB)
6